BAB II KAJIAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Para individu lanjut usia atau lansia telah pensiun dari pekerjaan yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sindhi Raditya Swadiana, 2014

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan ikatan lahir batin dan persatuan antara dua pribadi yang berasal

BAB II LANDASAN TEORI. (Herning, dalam Sumiarti 1956). Sedangkan menurut Duval & Miller (1980)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebuah perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tahap perkembangan psikososial Erikson, intimacy versus isolation, merupakan isu

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. interpersonal sebagai kemampuan-kemampuan yang dimiliki seseorang dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama.

BAB 1 PENDAHULUAN. Berikut kutipan wawancara yang dilakukan peneliti dengan seorang wanita

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Kepuasan Perkawinan. Menurut Aqmalia dan Fakhrurrozi (2009) menjelaskan bahwa per kawinan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perkembangan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dimulai dari lahir, masa

HUBUNGAN KEMATANGAN EMOSI DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA MASA PERNIKAHAN AWAL

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Dalam bab ini menjelaskan tentang pembahasan teori yang sudah disinggung pada bab

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN. orang disepanjang hidup mereka pasti mempunyai tujuan untuk. harmonis mengarah pada kesatuan yang stabil (Hall, Lindzey dan

para1). BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN WAWANCARA. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penyesuaian dengan

BAB I PENDAHULUAN. pernikahan. Berdasarkan Undang Undang Perkawinan no.1 tahun 1974,

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga

BAB II LANDASAN TEORI

KONFLIK INTERPERSONAL ANTAR ANGGOTA KELUARGA BESAR

BAB I PENDAHULUAN. serta tanggung jawab sosial untuk pasangan (Seccombe & Warner, 2004). Pada

KEPUASAN PERNIKAHAN DITINJAU DARI KEMATANGAN PRIBADI DAN KUALITAS KOMUNIKASI

BAB I PENDAHULUAN. Pada setiap tahap perkembangan terdapat tugas-tugas perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Individu pada hakikatnya selalu mengalami proses pertumbuhan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. (Santrock,2003). Hall menyebut masa ini sebagai periode Storm and Stress atau

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi

BAB I PENDAHULUAN. pembagian tugas kerja di dalam rumah tangga. tua tunggal atau tinggal tanpa anak (Papalia, Olds, & Feldman, 2008).

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Undang-Undang No.1 Tahun

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. Penelitian ini termasuk penelitian korelasi yang melihat Hubungan

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Hasil Presentase Pernikahan Dini di Pedesaan dan Perkotaan. Angka Pernikahan di Indonesia BKKBN (2012)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam membangun hidup berumah tangga perjalanannya pasti akan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini terbagi atas tujuh sub bab. Sub bab pertama membahas mengenai pernikahan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menikah merupakan saat yang penting dalam siklus kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. tugas perkembangannya (Havighurst dalam Hurlock, 1996). dalam Hurlock, 1996). Di masa senjanya, lansia akan mengalami penurunan

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB V PEMBAHASAN MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang terlahir di dunia ini pasti akan mengalami pertumbuhan dan proses

TINJAUAN PUSTAKA Kesiapan menikah

BAB II LANDASAN TEORI. Sebelum diuraikan mengenai pengertian penyesuaian perkawinan, terlebih

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan adalah suatu hubungan yang sakral atau suci dan pernikahan memiliki

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Dalam pertumbuhannya, anak memerlukan perlindungan, kasih sayang

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. parkawinan akan terbentuk masyarakat kecil yang bernama rumah tangga. Di

BAB I PENDAHULUAN. telah memiliki biaya menikah, baik mahar, nafkah maupun kesiapan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan. Periode perkembangan hidup manusia terdiri dari masa pranatal, masa

BAB I PENDAHULUAN. tidak tinggal bersama (Long Distance Relationship) dalam satu rumah karena

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia memiliki fitrah untuk saling tertarik antara laki-laki dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. adalah intimancy versus isolation. Pada tahap ini, dewasa muda siap untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

BAB 1 PENDAHULUAN. terbatas berinteraksi dengan orang-orang seusia dengannya, tetapi lebih tua,

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis.

BAB I PENDAHULUAN. Santrock (dalam Dariyo, 2003) masa dewasa awal ditandai dengan adanya transisi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Keluarga merupakan unit pelayanan kesehatan yang terdepan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Dalam tiga tahun terakhir angka perceraian di Indonesia meningkat secara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa dewasa adalah masa awal individu dalam menyesuaikan diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia yang dianggap sebagai fase kemunduran. Hal ini dikarenakan pada

BABI PENDAHULUAN. Setiap pasangan suami isteri tentu berharap perkawinan mereka bisa

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang memiliki dorongan untuk

BAB I PENDAHULUAN. satunya ditentukan oleh komunikasi interpersonal suami istri tersebut. Melalui

GAMBARAN KEPUASAN PERNIKAHAN PADA ISTRI YANG TELAH MENIKAH TIGA TAHUN DAN BELUM MEMILIKI ANAK KEUMALA NURANTI ABSTRAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. sering mendengar kasus-kasus penganiyaan suami atau istri karena berselingkuh

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup individu, yaitu suatu masa

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Gambaran Kepuasan..., Dini Nurul Syakbani, F.PSI UI, 2008

Prosiding SNaPP2010 Edisi Sosial ISSN:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. lazimnya dilakukan melalui sebuah pernikahan. Hurlock (2009) menyatakan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. bahasan dalam psikologi positif adalah terkait dengan subjective well being individu.

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. atau di kota. Namun banyak manusia yang sudah mempunyai kemampuan baik

BAB I PENDAHULUAN. bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga usia lanjut. Tahap yang paling panjang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk sosial, oleh karena itu manusia

2015 HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PARENTAL ATTACHMENT DAN RELIGIUSITAS DENGAN KESIAPAN MENIKAH PADA MAHASISWA MUSLIM PSIKOLOGI UPI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang datang dari dirinya maupun dari luar. Pada masa anak-anak proses

BAB 1 PENDAHULUAN. bawah satu atap dalam keadaan saling bergantung. Keluarga mempunyai peran

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memerlukan mitra untuk mengembangkan kehidupan yang layak bagi

BAB I PENDAHULUAN. Pada rentang kehidupan manusia akan selalu terjadi proses perkembangan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berpasang-pasangan. Allah SWT telah menentukan dan memilih jodoh untuk

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya senantiasa membutuhkan orang lain.kehadiran orang lain bukan hanya untuk

BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Ilma Kapindan Muji,2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Transkripsi:

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penyesuaian Perkawinan 1. Pengertian Penyesuaian Perkawinan Konsep penyesuaian perkawinan menuntut kesediaan dua individu untuk mengakomodasikan berbagai kebutuhan, keinginan, dan harapan pasangan (Sadarjoen, 2005). Oleh karena itu kedua individu yang telah menikah diharapkan dapat mengatur kebutuhankebutuhannya agar tercipta kebahagiaan pernkahan. Menurut Lasswel & Lasswel (Desmita, 2009) mendefinisikan penyesuaian perkawinan sebagai proses memodifikasi, beradaptasi dan mengubah pola perilaku dan interaksi pasangan maupun individu untuk mencapai kepuasan maksimun dalam hubungan. Hubungan pernikahan yang memperlihatkan kedua individu merasakan kepuasan maksimum dapat diindikasikan sebagai penyesuaian perkawinan yang berhasil pada pasangan. Dalam Hurlock (2002), penyesuaian perkawinan adalah proses adaptasi antara suami dan istri, dimana suami dan istri tersebut dapat mencegah terjadinya konflik dan menyelesaikan konflik dengan baik melalui proses penyesuaian diri. Penyesuaian diri tersebut meliputi penyesuaian dengan pasangan penyesuaian dengan seksual, 10

11 penyesuaian dengan keuangan, dan penyesuaian dengan anggota keluarga pasangan. Menurut Burgess & Cottrell (Khalili, 2013), penyesuaian perkawinan adalah integrasi antara pasangan di mana dua individu dengan dua kepribadian tidak hanya digabung, tetapi berinteraksi satu sama lain untuk saling mencapai kepuasan dan tujuan umum. Ekspresi penyesuaian meliputi; interaksi yang sehat atau tidak sehat, dan kualitas atau kuantitas, pola komunikasi yaitu efektif atau tidak efektif dan berhubungan dengan masalah serta konflik. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian perkawinan adalah proses dimana dua individu memasuki tahap perkawinan dan mulai membiasakan diri dengan situasi baru sebagai suami istri yang saling menyesuaikan dengan kepribadian, lingkungan, kehidupan keluarga, dan saling mengakomodasikan kebutuhan, keinginan dan harapan, serta saling menyesuaikan diri di beberapa aspek perkawinan untuk mencapai kepuasan maksimum dalam perkawinan. 2. Aspek-Aspek Penyesuaian Perkawinan Hurlock (2002) mengemukakan beberapa aspek dari penyesuaian perkawinan, sebagai berikut. a. Penyesuaian dengan pasangan

12 Penyesuaian yang paling penting dan pertama kali harus dihadapi saat seorang individu memasuki dunia perkawinan adalah penyesuaian dengan pasangan. Semakin banyak pengalaman dalam hubungan interpersonal antara pria dan wanita yang diperoleh di masa lalu, maka semakin besar pengertian dan wawasan sosial antara satu dengan yang lainnya sehingga memudahkan dalam penyesuaian dengan pasangan. Hubungan interpersonal tersebut antara lain bagaimana individu belajar untuk berkomunikasi serta memberi dan menerima afeksi. b. Penyesuaian seksual Penyesuaian seksual merupakan penyesuaian utama yang kedua dalam perkawinan, hal ini akan menjadi masalah yang paling sulit dalam perkawinan dan salah satu penyebab yang mengakibatkan pertengkaran dan ketidakbahagiaan dalam perkawinan. Permasalahan biasanya dikarenakan pasangan belum mempunyai pengalaman yang cukup dan keduanya tidak mampu mengendalikan emosi. c. Penyesuaian keuangan Uang dan kurangnya uang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap penyesuaian diri individu dalam perkawinan. Apabila suami tidak mampu menyediakan barang-barang keperluan keluarga, maka hal ini bisa menimbulkan perasaan tersinggung yang dapat berkembang ke arah percekcokan. Banyak istri yang

13 menghadapi masalah seperti ini kemudian bekerja untuk mencukupi keluarga, namun banyak suami yang keberatan kalau istrinya bekerja karena dapat menimbulkan prasangka orang lain bahwa suami tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarga. d. Penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan Setiap individu yang menikah secara otomatis memperoleh sekelompok keluarga baru yaitu anggota keluarga pasangan dengan usia yang berbeda, mulai dari bayi hingga kakek atau nenek, yang kerapkali mempunyai minat dan nilai yang berbeda, bahkan seringkali sangat berbeda dari segi pendidikan, budaya, dan latar belakang sosialnya. Suami istri tersebut harus mempelajari dan menyesuaikan diri dengannya bila tidak menginginkan hubungan yang tegang dengan sanak saudara. Sementara itu, Spanier (1976) mengemukakan bahwa ada beberapa komponen dalam penyesuaian perkawinan, yaitu: a. Kesepakatan dalam perkawinan (dyadic consensus) Menyangkut tingkat persetujuan antar pasangan suami istri tentang hal-hal yang penting dalam perkawinan, seperti keuangan, rekreasi, keagamaan. b. Kedekatan hubungan (dyadic cohesion)

14 Kebersamaan atau kedekatan, yang menunjukkan seberapa banyak pasangan melakukan berbagai kegiatan secara bersamasama dan menikmati kebersamaan yang. Aspek ini ditunjukkan dengan solidaritas pasangan suami istri. c. Kepuasan hubungan dalam perkawinan (dyadic satisfaction) Menyangkut tingkat kepuasan antar pasangan suami istri atau derajat kepuasan dalam hubungan perkawinan. d. Ekspresi afeksi (affectional expression) Kesepahaman dalam menyatakan perasaan yang ditunjukkan dengan persetujuan pasangan suami istri dalam mengungkapkan perasaan cinta dan hubungan seksual. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk dalam penyesuaian perkawinan yaitu penyesuaian dengan pasangan, penyesuaian seksual, penyesuaian keuangan, dan penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan. 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Perkawinan Menurut Hurlock (2002), terdapat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penyesuaian perkawinan, yaitu: a. Saat menjadi orang tua (timing of parenthood) Jangka waktu sejak perkawinan hingga pasangan memiliki anak akan mempengaruhi penyesuaian perkawinan bila anak pertama lahir sebelum pasangan dapat menyesuaikan diri satu

15 sama lain dan atau keadaan keuangan belum stabil, penyesuaian perkawinan akan lebih sulit untuk dilakukan. b. Keadaan keuangan yang stabil (stable financial condition) Keadaan ekonomi pasangan akan mempengaruhi penyesuaian perkawinan. Pasangan yang mempunyai status ekonomi yang baik atau yang diinginkan akan dapat melakukan penyesuaian perkawinan lebih mudah dibandingkan pasangan yang mengalami kesulitan ekonomi keuangan. c. Harapan yang tidak realitis akan perkawinan (unrealistic expectations of marriage) Harapan yang tidak realitis akan kehidupan perkawinan akan mempersulit penyesuaian perkawinan. Terkadang pasangan tidak menyadari permasalahan dan tanggung jawab yang dapat timbul dalam sebuah perkawinan. Harapan atau bayangan bahwa perkawinan akan selalu romantis dan tidak pernah bermasalah sering membawa kekecewaan dan mempersulit penyesuaian perkawinan. d. Jumlah anak (Number of childeren) Kesepakatan pasangan akan jumlah anak yang akan dimiliki akan mempengaruhi penyesuaian perkawinan. Apabila pasangan sepakat akan jumlah anak yang akan dimiliki dan berhasil mencapai jumlah tersebut, penyesuaian perkawinan pasangan tersebut akan lebih mudah.

16 e. Urutan kelahiran dalam keluarga (Ordinal position in the family) Semakin mirip peran dalam perkawinan dengan peran yang pernah dipelajari dalam keluarga, semakin mudah penyesuaian perkawinannya. Urutan kelahiran dalam keluarga mempunyai peran yang penting, karena peran yang dipelajari sesuai urutan tersebut akan terbawa pada kehidupan perkawinan. Penyesuaian perkawinan akan lebih mudah apabila suami adalah anak sulung dengan adik perempuan, sedangkan isteri adalah adik dari kakak laki-laki. f. Hubungan dengan keluarga pasangan (in law relationships) Hubungan dengan keluarga pasangan (pihak mertua dan ipar) akan mempengaruhi penyesuaian perkawinan. Semakin baik hubungan tersebut, semakin mudah pula penyesuaian perkawinannya. Santrock (2002) juga mengemukakan tentang faktor penyesuaian terhadap pasangan dalam perkawinan yaitu sebagai berikut. a. Konsep pasangan yang ideal Dalam memilih pasangan, baik pria maupun wanita sampai sejauh tertentu dibimbing oleh konsep pasangan ideal yang dibentuk selama masa dewasa. Semakin orang tidak terlatih menyesuaikan diri terhadap realitas semakin sulit penyesuaian dilakukan terhadap pasangan. b. Pemenuhan kebutuhan

17 Apabila penyesuaian yang baik dilakukan, pasangan harus memenuhi kebutuhan yang berasal dari pengalaman awal yaitu pengenalan, pertimbangan prestasi dan status sosial agar bahagia, pasangan harus membantu pasangan lainnya untuk memenuhi kebutuhan tersebut. c. Kesamaan latarbelakang Suami istri dengan latar belakang sama akan mencari pandangan unik tentang kehidupan dan mudah untuk saling menyesuaikan diri, sebaliknya jika pandangan hidup berbeda akan sulit dalam penyesuaian diri. d. Minat dan kepentingan bersama Kepentingan yang saling bersamaan tentang suatu hal yang dapat dilakukan pasangan cenderung membawa penyesuaian yang baik. e. Kesamaan nilai dan konsep peran Pasangan yang mempunai nilai yang serupa dan harapan terhadap peran serta mampu memainkan perannya sebagai pasangan cendnerung dapat menyesuaikan diri dengan baik. f. Perubahan dalam pola hidup Penyesuaian terhadap pasangannya berarti mengorganisaikan pola kehidupan, mengubah persahabatan dan kegiatan-kagiatan

18 sosial serta mengubah persyaratan pekerjaan terutama bagi seorang istri. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor dalam penyesuaian perkawinan antara lain hubungan dengan keluarga pasangan, urutan kelahiran dalam keluarga, jumlah anak, harapan yang tidak realitis akan perkawinan, keadaan keuangan yang stabil, dan saat menjadi orang tua. 4. Usia Perkawinan dalam Melakukan Penyesuaian Perkawinan Menurut Duvall & Miller (Rumondor, 2011), masa awal perkawinan ialah masadua setengah tahun pertama perkawinan saat pasangan belum memiliki anak. Masa ini merupakan masa transisi antara kehidupan lajang dengan kehidupan pernikahan. Masa ini penuh dengan proses penyesuaian diri dalam berbagai area kehidupan antara dua individu yang memiliki kepribadian dan latar belakang yang berbeda. Dalam masa ini terdapat beberapaperubahan yang berbeda dengan kehidupan lajang, antara lain: penyesuaian antara harapan ideal dengan keadaan sesungguhnya dari pasangan, kehilangan kemandirian, penyesuaian diri dengan teman dan keluarga dari pasangan, pembagian tugas dan peran. Menurut Hassan (Anjani & Suryanto, 2006) mengatakan bahwa masa lima tahun pertama perkawinan pasangan suami-istri biasanya belum banyak mempunyai pengalaman bersama, sehingga diperlukan

19 proses penyesuaian diri tidak hanya dengan pasangan hidup tapi juga dengan kerabat-kerabat yang ada. Hurlock (2002) juga mengatakan bahwa tahun pertama dan kedua perkawinan, pasangan suami istri biasanya harus melakukan penyesuaian perkawinan satu sama lain. Dimana pasangan diharapkan melakukan penyesuaian dengan baik sehingga terhindar dari ketidakbahagiaan di dalam perkawinan. Clinebell dan Clinebell (Anjani & Suryanto (2006) mengatakan bahwa krisis muncul saat pertama kali memasuki pernikahan. Biasanya tahap berlangsung selama dua sampai lima tahun. Kedua pasangan harus banyak belajar tentang pasangan masing-masing dan diri sendiri. Keduanya mulai berhadapan dengan berbagai masalah. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa satu sampai dua tahun pertama perkawinan adalah tahun yang paling penting dan memadai dalam melakukan penyesuaian perkawinan. 5. Penyesuaian Perkawinan Individu Menikah Kembali Perkawinan pada semua usia menimbulkan masalah penyesuaian diri di dalam pernikahannya, begitu pula dengan pernikahan ulang atau pernikahan kembali juga mempunyai ciri masalah penyesuaian perkawinan yang khusus. Seperti disebutkan dalam Hurlock (2002), masalah penyesuaian diri pada perkawinan ulang tersebut antara lain

20 penyesuaian diri dengan pasangan hidup yang baru, kerabat yang baru, rumah baru dalam lingkungan masyarakat yang sama, dan kadang-kadang dengan lingkungan yang baru. Papalia (2008) mengatakan bahwa penyesuaian perkawinan cenderung lebih sulit pada pernikahan kembali daripada pernikahan pertama. Hal ini disebabkan karena pertama individu pada umumnya sudah berusia lebih tua dibandingkan pada saat perkawinan pertama. Kedua karena semua bentuk penyesuaian secara teoritis akan semakin sulit sesuai dengan pertambahan usia. Ketiga masalah ini disebabkan oleh alasan bahwa penyesuaian dalam pernikahan berarti menghilangkan atau mengekang sikap yang telah terpola dalam periode waktu yang sangat lama, kemudian berusaha untuk membentuk sikap baru. Keempat disebabkan oleh keterlibatan anak, mertua, dan keluarga dari perkawinan pertama, dengan demikian berarti menambah masalah baru. Menurut Hurlock (2002), dalam pernikahan kembali terdapat dua masalah penyesuaian yang umum, yaitu sebagai berikut. a. Penyesuaian dengan pasangan baru Kesempatan untuk melakukan penyesuaian seperti yang dilakukan pada pernikahan pertama adalah kecil kemungkinannya. Akibatnya laki-laki maupun perempuan harus

21 mengorbankan penyesuaian yang pernah dilakukan dan membentuk penyesuaian yang baru, terutama masalah penyesuaian seksual dan peran yang harus dimainkan oleh pasangannya. b. Penyesuaian dengan peran yang biasa dilakukan oleh mertua tiri Keberhasilan anak dalam menyesuaikan diri dengan orangtua tiri sangat dipengaruhi oleh tingkat usia anak pada saat perkawinan kembali dilangsungkan. Anak yang lebih dewasa sudah mempunyai pola hidup tertentu sehingga cenderung untuk menolak terhadap setiap unsur yang akan mengubah pola hidup yang sudah dibentuknya. Sebaliknya anak-anak yang lebih muda dapat menyetujui kehadiran orang tua tiri, sehingga hal ini dapat memperkuat proses penyesuaian perkawinan kembali. Selanjutnya dalam Hurlock (2002), terdapat kondisi yang menunjang keberhasilan penyesuaian perkawinan kembali di masa usia lanjut, yaitu sebagai berikut. a. Pernikahan pertama yang bahagia b. Mengetahui sifat-sifat dan pola-pola perilaku apa yang dicari dari pasangan yang potensial

22 c. Keinginan untuk menikah karena alasan mencintai dan membutuhkan teman, daripada alasan untuk memenuhi hidup nyaman atau bantuan ekonomi d. Minat untuk melanjutkan perilaku seksual e. Latar belakang pendidikan dan sosial yang sama f. Pendapatan yang memadai g. Pengakuan dari anak, cucu, dan teman-teman terhadap pernikahan tersebut h. Kesehatan cukup baik dan kondisi fisik sehat serta mampu bagi kedua pasangan hidup i. Usahakan memperoleh calon isteri/ suami yang tidak berasal dari daerah tempat tinggal anaknya yang sudah dewasa, kerabat keluarga, dan teman-temannya. Berdasarkan uraian di atas, maka bentuk penyesuaian perkawinan pada individu yang memutuskan untuk menikah kembali yaitu penyesuaian dengan pasangan baru dan penyesuaian dengan peran yang biasa dilakukan oleh mertua tiri. B. Perkawinan pada Duda Lanjut Usia Menikah Lagi Dalam UU No.13/1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas. Sementara WHO membagi lanjut usia dalam 3 golongan, usia 60-74 disebut sebagai usia lanjut awal, 75-90 tahun disebut lanjut usia menengah dan 91 tahun ke atas disebut lanjut akhir usia (Papalia, 2008).

23 Hal ini juga dijelaskan dalam Hurlock (2002) bahwa tahap akhir dalam rentang kehidupan sering dibagi menjadi usia lanjut dini, yang berkisar antara usia 60 sampai 70, dan usia lanjut yang mulai pada usia 70 sampai akhir kehidupan seseorang. Menurut Suardiman (2011), duda adalah pria yang telah kehilangan istrinya atau tidak lagi beristri disebabkan oleh perceraian atau kematian. Masa menjanda atau menduda sama-sama merupakan suatu peristiwa hidup yang paling menekan/ stressful. Pada tahun-tahun pertama setelah kematian pasangan, duda maupun janda menunjukkan kehilangan dan kesedihan, tapi kemudian tergantung pada terkondisikan tidaknya mereka dengan peran-peran jender yang kaku sebelumnya. Bila pria terbiasa dirawat dan diladeni oleh pasangannya, maka kehidupan sebagai duda akan menjadi lebih berat. Terlebih bila lingkungannya mendorongnya untuk segera mempunyai pendamping. Hurlock (2002), mengatakan bahwa salah satu cara orang usia lanjut dalam mengatasi masalah kesepian dan hilangnya aktivitas seksual yang disebabkan karena tidak mempunyai pasangan hidup adalah dengan cara menikah kembali. Angka menikah kembali pada duda lebih tinggi daripada janda. Janda lebih mampu bertahan hidup sendiri tanpa harus menikah lagi dibandingkan dengan laki-laki yang cenderung menikah lagi manakala isterinya mendahului meninggal. Hal ini sejalan dengan Desiningrum (2014) bahwa lansia pria biasanya tidak lama menduda

24 dikarenakan keterbatasan dalam merawat diri yang mendorongnya untuk menikah lagi. Dalam Papalia (2008), menikah lagi di usia senja memiliki karakteristk khusus yaitu mereka yang menikah di usia senja bersifat lebih percaya dan menerima, dan tidak terlalu membutuhkan berbagi perasaan personal. Pria usia lanjut cenderung menjadi lebih puas dalam pernikahan kembali di usia senja dibandingkan yang paruh baya. Menikah kembali mempunyai manfaat sosial, karena lansia yang menikah tidak terlalu membutuhkan bantuan dari komunitas dibandingkan yang hidup sebatang kara. Menikah kembali dapat didorong dengan membiarkan orang-orang menyimpan pensiun dan manfaat jaminan sosial yang bersumber dari pernikahan sebelumnya dan ketersediaan tempat tinggal seperti perumahan kelompok usia. Individu yang memutuskan untuk menikah tidak terlepas dari kegiatan seksual antara suami dan istri, seperti dalam Suardiman (2011), bahwa bagi usia lanjut, kegiatan seksual tetap perlu dilakukan meski mengalami berbagai penurunan dan perubahan. Perubahan fisik dan psikis pada kehidupan suami isteri mungkin mempengaruhi kegiatan seksual, namun bukan untuk menghentikannya. Meskipun pasangan usia lanjut mengalami penurunan kemampuan reproduksi sejak usia pertengahan namun aktivitas seksual pada usia lanjut merupakan kebutuhan yang manusiawi sesuai dengan kondisinya.

25 Berdasarkan uraian di atas disimpulkan bahwa lanjut usia yang berstatus duda yaitu individu laki-laki yang berusia lebih dari 60 tahun dan kehilangan pasangan akibat dari perceraian maupun kematian akan mengalami situasi yang berat jika lansia tersebut terbiasa dirawat oleh pasangannya. Situasi yang berat tersebut antara lain kesepian dan kehilangan aktivitas seksual, serta mengalami keterbatasan dalam merawat diri, yang kemudian menjadi alasan lansia tersebut menikah lagi. C. Kerangka Berpikir Dinamika psikologis lanjut usia yang berstatus duda antara lain mengalami kesepian dan kehilangan aktivitas seksual serta mengalami keterbatasan dalam merawat diri akibat ditinggal oleh pasangan hidupnya di masa lalu, baik disebabkan karena bercerai maupun meninggal dunia. Duda lanjut usia tersebut kemudian memutuskan untuk menikah kembali dan biasanya lansia tersebut memilih untuk menikahi perempuan yang lebih muda daripada dirinya. Duda lanjut usia yang menikah lagi kemudian harus menyesuaikan diri di dalam perkawinannya. Perkawinan pada semua usia menimbulkan masalah penyesuaian diri antara lain penyesuaian dengan pasangan, penyesuaian seksual, penyesuaian keuangan, dan penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan. Berbeda dengan perkawinan yang pertama, pada perkawinan kembali proses penyesuaian yang dilakukan lebih

26 kompleks karena banyak faktor yang berpengaruh. Salah satunya disebabkan individu tersebut telah mempunyai pengalaman dari perkawinan sebelumnya baik pengalaman seksual, pengalaman dengan pasangan dan sebagainya yang tentunya memberikan pengaruh terhadap kehidupan perkawinan yang saat ini sedang dijalani. Penyesuaian perkawinan kembali dikatakan berhasil apabila individu dapat melakukan penyesuaian dengan pasangan, seksual, keuangan, dan pihak keluarga pasangan dengan sebaik mungkin. Selanjutnya terdapat kondisi yang menunjang keberhasilan penyesuaian perkawinan kembali di masa usia lanjut, yaitu pernikahan pertama yang bahagia, mengetahui sifat-sifat dan pola-pola perilaku apa yang dicari dari pasangan yang potensial, keinginan untuk menikah karena alasan mencintai dan membutuhkan teman, daripada alasan untuk memenuhi hidup nyaman atau bantuan ekonomi, minat untuk melanjutkan perilaku seksual, latar belakang pendidikan dan sosial yang sama, pendapatan yang memadai, pengakuan dari anak, cucu, dan temanteman terhadap pernikahan tersebut, kesehatan cukup baik dan kondisi fisik sehat serta mampu bagi kedua pasangan hidup, dan usahakan memperoleh calon isteri/ suami yang tidak berasal dari daerah tempat tinggal anaknya yang sudah dewasa, kerabat keluarga, dan temantemannya.

27 Lansia Duda Menikah Lagi Penyesuaian Perkawinan Penyesuaian dengan Pasangan Penyesuaian Seksual Penyesuaian Keuangan Penyesuaian dengan Pihak Keluarga Pasangan Gambar 1. Kerangka Berpikir