BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi - manggi,

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove.

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

BAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi

TINJAUAN PUSTAKA. kestabilan pantai, penyerap polutan, habitat burung (Bismark, 1986). Kemampuan mangrove untuk mengembangkan wilayahnya ke arah laut

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove

1. Pengantar A. Latar Belakang

Avicenia sp. ( Api-Api ) Rhizophora sp( Bakau ) Nypa sp. ( Nipah ) Bruguiera sp. ( Lacang ) Sonneratia sp. ( Pedada )

BAB I PENDAHULUAN. Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi. pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove dilaporkan berasal dari kata mangal yang menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PROPOSAL PENELITIAN PENYIAPAN PENYUSUNAN BAKU KERUSAKAN MANGROVE KEPULAUAN KARIMUNJAWA

TINJAUAN PUSTAKA. A. Perencanaan Lanskap. berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat

VI. SIMPULAN DAN SARAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan erat. Selain keunikannya, terdapat beragam fungsi yang dapat dihasilkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove

KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA ABSTRAK

PENDAHULUAN Latar Belakang

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan

PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

Hasil dan Pembahasan

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

TINJAUAN PUSTAKA. pada daerah landai di muara sungai dan pesisir pantai yang dipengaruhi oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

BAB I PENDAHULUAN. bantu yang mampu merangsang pembelajaran secara efektif dan efisien.

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

Oleh. Firmansyah Gusasi

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. sampai sub tropis. Menurut Spalding et al. (1997) luas ekosistem mangrove di dunia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. secara tradisional oleh suku bangsa primitif. Secara terminologi, etnobotani

PENDAHULUAN. beradaptasi dengan salinitas dan pasang-surut air laut. Ekosistem ini memiliki. Ekosistem mangrove menjadi penting karena fungsinya untuk

TINJAUAN PUSTAKA. merupakan salah satu peran penting mangrove dalam pembentukan lahan baru. Akar mangrove mampu mengikat dan menstabilkan substrat

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Ekosistem Mangrove

BAB I PENDAHULUAN. dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan

TINJAUAN PUSTAKA. dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi

TINJAUAN PUSTAKA. komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap kadar garam. Ekosistem mangrove

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem mangrove adalah ekosistem yang unik karena terjadi perpaduan

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

TINJAUAN PUSTAKA. di sepanjang garis pantai perairan tropis dan mempunyai ciri-ciri tersendiri yang

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak dapat pulih (seperti minyak bumi dan gas serta mineral atau bahan

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

II. TINJAUAN PUSTAKA. sumberdaya alam hayati dan non hayati. Salah satu sumberdaya alam hayati

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan sehingga perlu dijaga kelestariannya. Hutan mangrove adalah

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

TINJAUAN PUSTAKA. air laut dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang mampu tumbuh

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Dudepo merupakan salah satu pulau kecil berpenduduk yang berada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Ekosistem Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi - manggi, yaitu nama yang diberikan kepada mangrove merah (Rhizophora spp). Nama mangrove diberikan kepada jenis tumbuh - tumbuhan yang tumbuh di pantai atau muara sungai yang menyesuaikan diri pada keadaan asin. Kadang - kadang kata mangrove juga berarti suatu komunitas mangrove (Romimohtarto, 2001). Hutan mangrove umumnya tumbuh pada daerah intertidal dengan genangan air secara berkala dan menerima pasokan air tawar yang cukup, hutan mangrove sering juga disebut sebagai hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau atau hutan bakau, kan tetapi, mangrove sudah ditetapkan sebagai nama baku untuk hutan pantai. Hutan mangrove merupakan tipe hutan tropika yang khas tumbuh di sepanjang pantai dan muara sungai dipengaruhi oleh pasang surut (Bengen, 2002). Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada tanah berlumpur aluvial di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut dengan beberapa genera atau spesies yaitu Avicennia sp, Sonneratia sp, Rhizophora sp, Bruguiera sp, Ceriops sp, Lumnitzera sp, Excoecaria sp, Xylocarpus sp, Aegicveras sp, Scyphyphora dan Nypa sp. (Soerianegara, 1987). Menurut ( Darsidi, 1984) mangrove sebagai vegetasi yang terdapat di daerah pasang surut sebagai suatu komunitas, hutan pasang surut atau hutan payau lebih dikenal dengan nama hutan mangrove. Vegetasi yang tumbuh sangat 8

9 dipengaruhi oleh kadar garam serta adanya aliran sungai yang berair tawar, sehingga pada umumnya hutan mangrove berada di muara - muara sungai di tepi pantai yang cukup terlindung oleh hempasan gelombang dan angin laut yang deras. Definisi lain hutan mangrove adalah suatu kelompok tumbuhan terdiri atas berbagai macam jenis dari suku yang berbeda, namun memiliki daya adaptasi morfologi dan fisiologis yang sama terhadap habitat yang selalu dipengaruhi oleh pasang surut (Nybakken, 1992). Hutan bakau atau mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon - pohon yang khas atau semak - semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan yang asin. Sebutan bakau ditujukan untuk semua individu tumbuhan, sedangkan mangal ditujukan bagi seluruh komunitas atau asosiasi yang didominasi oleh tumbuhan ini, hutan mangrove adalah hutan yang berkembang baik di daerah pantai yang berair tenang dan terlindung dari hempasan ombak, serta eksistensinya selalu dipengaruhi oleh pasang surut dan aliran sungai. Hutan mangrove dijumpai pada zonasi yang dibentuk oleh keadaan topografi, frekuensi pasang surut, lamanya penggenangan, komposisi dan stabilitas sedimen tempat tumbuh dan tipe tanah, salinitas air dan atau tanah, dan dinamika proses pemakanan biji mangrove oleh organisme yang berasosiasi dengan mangrove, pada keadaan tertentu dapat dijumpai hanya satu zonasi, pembagian zonasi mangrove didasarkan antara lain pada frekuensi penggenangan oleh pasang surut air, tingkat salinitas dengan memperhatikan frekuensi

10 penggenangan air, dan berdasarkan nama genus pohon yang dominan. 2.2 Zonasi dan Karakteristik Hutan Mangrove Zonasi adalah kondisi dimana kumpulan vegetasi yang saling berdekatan mempunyai sifat atau tidak ada sama sekali jenis yang sama walaupun tumbuh dalam lingkungan yang sama dimana dapat terjadi perubahan lingkungan yang dapat mengakibatkan perubahan nyata di antara kumpulan vegetasi, selanjutnya perubahan vegetasi tersebut dapat terjadi pada batas yang jelas atau tidak jelas atau bisa terjadi bersama - sama (Anwar et, al, 1984). Kartawinata at, al (1987) menyatakan bahwa faktor utama yang menyebabkan adanya zonasi pada hutan mangrove adalah sifat - sifat tanah, di samping faktor salinitas, frekuensi serta tingkat penggenangan dan ketahanan suatu jenis terhadap ombak dan arus, sehingga variasi zonasi ini memanjang dari daratan sampai ke pantai. Pola umum zonasi yang sering ditemui dari arah laut ke darat, pertama adalah jalur Avicennia spp yang sering berkolompok dengan Sonneratia sp, kemudian jalur Rhizophora spp, Bruguiera sp dan terakhir Nypa sp. Asosiasi di hutan mangrove di Indonesia yaitu, asosiasi antara Bruguiera sp. dan Rhizophora spp yang sering ditemukan di zona terdalam. Dari segi keanekaragaman jenis, zona transisi peralihan antara hutan mangrove dan hutan rawa merupakan zona dengan jenis yang beragam terdiri atas jenis - jenis mangrove yang khas dan tidak khas habitat mangrove. Secara umum, sesuai dengan kondisi habitat lokal,

11 tipe komunitas berdasarkan jenis pohon dominan mangrove di Indonesia berbeda suatu tempat ke tempat lain dengan variasi ketebalan dari beberapa puluh meter sampai beberapa kilometer dari garis pantai. Menurut Aksornkoae (1993) berdasarkan sifat - sifat serta lokasi ditemukanya mangrove, maka definisi dari mangrove yang umum diterima adalah vegetasi holopit yang tumbuh di daerah pasang surut sepanjang areal pantai, yang dan satu - satunya sistem makrofit laut yang memiliki areal biomassa terhampar mulai dari daerah tropis sampai daerah subtropis. Salah satu tipe zonasi hutan mangrove di Indonesia seperti ditujukkan pada Gambar 2. 1, yaitu daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp, pada zona ini biasa berasosiasi dengan Sonneratia spp yang dominan tumbuh pada lumpur yang dalam yang agak kaya dengan bahan organik, lebih kearah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp, di zona ini juga dijumpai Bruguiera sp dan Xylocarpus sp, zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera sp. zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans dan beberpa spesies palem lainnya (Bengen, 2004). Gambar 2.1. Salah satu tipe zonasi hutan mangrove di Indonesia (Bengen, 2004)

12 Tidak semua tumbuh - tumbuhan memperoleh oksigen untuk akar - akarnya dari tanah yang mengandung oksigen, mangrove tumbuh di tanah yang tidak mengandung oksigen dan harus memperoleh hampir seluruh oksigen untuk akar - akar mereka dari atmosfer. Spesies Rhizophora memenuhi kebutuhan tersebut dengan akar - akar tunjang yang mencuat sampai mempunyai banyak pori - pori yang disebut lenticels. Pada waktu air surut, oksigen terserap kedalam tanaman melalui lenticels dan turun ke akar - akar. Berbeda dengan Rhizophora, jenis Sonneratia, Avicennia dan Xylocarpus tidak memiliki akar - akar tunjang, tetapi mempunyai pneumatophores, yaitu akar - akar yang mencuat secara vertikal keluar dari bawah tanah. Pada waktu surut, udara masuk melalui pneumatophore dan menyebarkan ke bawah selanjutnya ke seluruh jaringan hidup di akar (Supriharyono, 2000). Kemampuan mangrove untuk mengembangkan wilayahnya kearah laut merupakan salah satu peran penting mangrove dalam pembentukan lahan baru. Akar mangrove mampu mengikat dan menstabilkan substrat lumpur, pohonnya mengurangi energi gelombang dan memperlambat arus, sementara vegetasi secara keseluruhan dapat memerangkap sedimen Davies and Claridge (1993) dan Othman (1994) dalam Noor et, al, (1999). Menurut pertumbuhan Dahuri, 1996, di wilayah pesisir yang tidak bermuara sungai, vegetasi mangrove tidak optimal. Mangrove sulit tumbuh di wilayah pesisir yang terjal dan berombak besar dengan arus pasang surut kuat karena kondisi ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur yang diperlukan sebagai substrat bagi pertumbuhannya. Mangrove banyak dijumpai di

13 wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak dan daerah yang landai. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur. 2.3 Komposisi Mangrove Menurut Kartadinata et, al. (1977) vegetasi hutan mangrove mencakup tiga spesies terdiri dari tujuh famili, dari sekian banyak vegetasi yang dimiliki hutan mangrove hanya ada 21 spesies dan 14 famili yang berbentuk pohon. Hutan mangrove kususnya di kawasan pesisir Kecamatan Jerowaru umumnya di jumpai kurang lebih 21 jenis mangrove yang teridentifikasi selama proses pendataan. Beberapa jenis mangrove yang tercacah di lokasi pendataan, antara lain adalah Aegiceras floridum, Avicennia alba, A.marina, A.officinalis, Bruguiera gymnorrhiza, Ceriops decandra, C. tagal, Lumnitzera racemosa, Rhizophora apiculata, R. mucronata, Sonneratia alba dan Xylocarpus moluccensis. Kegiatan pendataan vegetasi mangrove ini merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh (Kementerian Kelautan dan Perikanan pusat, 2013). Di Kecamatan Jerowaru ditemukan empat jenis mangrove yaitu: Rhizophora apiculata, R. Mucronata, Avicennia officinalis, dan Bruguiera sp. dengan pola zonasi campuran. 2.4 Fungsi dan Manfaat Mangrove Ekosistem mangrove merupakan suatu ekosistem peralihan antara daratan dan lautan yang menjadi mata rantai yang sangat penting dalam pemeliharaan keseimbangan siklus biologi di suatu perairan, tempat berlindung dan memijah berbagai jenis udang, ikan, berbagai biota laut, dan juga

14 merupakan habitat satwa seperti burung, primata, reptilia, insekta, sehingga secara ekologis dan ekonomis dapat dimanfaatkan untuk peningktan kesejahtraan manusia (Sugandhy, 1993). Fungsi dan manfaat hutan mangrove dibagi kedalam tiga golongan besar yaitu :(1) secara fisik, dapat menjaga kestabilan garis pantai, mempercepat perluasan lahan, melindungi pantai dari tebing sungai, dan mengolah bahan limbah, (2) secara biologis, merupakan tempat pemijahan dan pembesaran benih - benih ikan, udang dan kerang - kerangan, tempat bersarang dan mencari makan burung - burung, dan habitat alami bagi kebanyakan biota, (3) secara ekonomi, merupakan salah satu daerah pesisir yang cocok untuk tambak, tempat pembuatan garam, rekreasi, dan produksi kayu. (Anwar et, al. 1984). Mangrove memiliki fungsi dan manfaat penting bagi darat dan laut. Berikut fungsi dan manfaat tersebut dibagi menjadi tiga kategori yaitu, fungsi fisik, biologis dan ekonomi : a. Fungsi Fisik Sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen (Bengen, 2004). Kerapatan pohon mampu meredam atau menetralisir peningkatan salinitas, perakaran yang rapat akan menyerap unsur - unsur yang mengakibatkan meningkatnya salinitas, bentuk -bentuk perakaran yang telah beradaptasi terhadap kondisi salinitas tinggi menyebabkan tingkat salinitas di daerah sekitar tegakan menurut (Arief, 2003). Selain itu akar - akar mangrove dapat pula menahan adanya pengendapan lumpur

15 yang dibawa oleh sungai - sungai di sekitarnya, sehingga lahan mangrove dapat semakin luas tumbuh keluar. b. Fungsi Biologis Sebagai daerah asuhan ( nursery ground), daerah mencari makan ( feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) berbagai jenis ikan, udang dan berbagai jenis biota laut lainnya, penghasil sejumlah besar detritus dari daun dan dahan pohon mangrove (Bengen, 2004). Daerah hutan mangrove dapat dihuni bermacam-macam fauna. Hewan - hewan darat termasuk serangga, kera pemakan daun-daunan yang suka hidup dibawah naungan pohon - pohonan, ular dan golongan melata lainnya. Hewan laut diwakili oleh golongan epifauna yang beranekaragam dimana hidupnya menempel pada batang - batang pohon dan golongan infauna yang tinggal didalam lapisan tanah atau lumpur. Kayu dari pohon mangrove itu sendiri adalah suatu hasil produksi yang berharga (Hutabarat et,al, 1984). c. Fungsi Ekonomi Sebagai sumber bahan bakar dan bangunan, lahan untuk perikanan dan pertanian serta tempat tersedianya bahan makanan (Arief, 2003). Selanjutnya Nontji (2002) menambahkan bahwa berbagai tumbuhan dari hutan mangrove di manfaatkan untuk bermacam keperluan. Produk hutan mangrove antara lain digunakan untuk kayu bakar, pembuatan arang, bahan penyamak (tanin), perabot rumah tangga, bahan konstruksi bangunan, obat - obatan dan sebagai bahan untuk industri kertas.

16 2.5 Jalur Hijau Hutan Mangrove Jalur hijau adalah zona perlindungan mangrove yang dipertahankan di sepanjang pantai dan tidak diperbolehkan untuk ditebang, dikonversikan atau dirusak. Fungsi jalur hijau pada prinsipnya adalah untuk mempertahankan pantai dari ancaman erosi serta untuk mempertahankan fungsi mangrove sebagai tempat berkembang biak dan berpijah berbagai jenis ikan (Noor et, al, 1999). Kebijakan pemerintah untuk merumuskan suatu jalur hijau dimulai pada tahun 1975 ketika dikeluarkan Dirjen Perikanan ( SK No H.I/4/2/18/1975) yang mengatur perlunya di pertahankan areal di sepanjang pantai selebar 400 meter dari rata - rata pasang rendah. Dirjen Kehutanan mengeluarkan SK No.60/KPTS/DJ/I/1978 mengenaipan duan silvikultur di areal air payau. Menurut SK tersebut, jalur hijau ditetapkan selebar 10 meter di sepanjang sungai dan 50 meter di sepanjang pantai pada pasang terendah. Pada tahun 1984, menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan Bersama No. KB 550/246/ KPTS/1984 dan No. 082/KPTS-II/1984, yang menghimbau pelestarian jalur hijau selebar 200 meter sepanjang pantai, melarang penebangan mangrove di Jawa, serta melestarikan seluruh mangrove yang tumbuh pada pulau - pulau kecil atau kurang dari 1.000 ha (Noor et, al 1999). Menurut (Noor et, al 1999) dikeluarkannya SK Presiden No. 32 Tahun 1990 mengenai Pengelolaan kawasan lindung menggantikan seluruh peraturan terdahulu mengenai jalur hijau. Peraturan ini memberikan perlindungan yang lebih memadai terhadap zona jalur hijau. Menurut SK tersebut, jalur mangrove pantai minimal 130 kali rata - rata pasang yang diukur ke darat dari titik terendah

17 pada saat surut. Dalam pelaksanaannya di lapangan SK ini ternyata memiliki beberapa kelemahan sebagai beberapa kritik yang disampaikan mengenai SK ini antara lain adalah: 1. SK ini tidak dapat diterapkan pada areal yang saat ini tidak memiliki tumbuhan mangrove lagi karena adanya eksploatasi pada masa lalu atau konversi. Untuk itu, hendaknya diadakan penyesuaian yaitu pada areal yang awalnya hanya memiliki vegetasi mangrove. 2. Penentuan jalur hijau dengan menggunakan SK ini di pantai - pantai yang datar atau dataran lumpur yang luas tidak dapat digunakan secara efektif. Di beberapa daerah seperti di atas, lebar jalur hijau yang dihitung dari titik terendah saat air surut hanya berupa dataran lumpur saja dan tidak sampai ke hutan mangrovenya. Permasalahan ini dapat diatasi dengan mendefenisikan pengukuran dari hutan mangrove terluar dekat laut. 3. SK ini tidak memacu adanya perlindungan terhadap mangrove secara menyeluruh maupun fungsi ekologisnya. SK mengesampingkan adanya keterkaitan ekologis, misalnya dengan mangrove daratan, sumber air tawar atau dengan rawa air tawar. Tanpa adanya perlindungan terhadap ekosistem pendukung secara terpadu, kelangsungan hidup jalur hijau tersebut tidak akan terjamin sepenuhnya. 4. SK ini hanya memberikan pilihan untuk konservasi. Pilihan tersebut umumnya tidak memadai pada daerah yang telah memiliki pemanfaatan tradisional yang intensif, sehingga akan menyulitkan tercapainya suatu konsesus pengelolaan mangrove di beberapa daerah. Misalnya di Jawa,

18 hampir seluruh areal mangrove yang ada telah dimanfaatkan oleh penduduk baik untuk tambak maupun berbagai bentuk pemanfaatan lainnya yang sebenarnya tidak mendukung konservasi mangrove. Peraturan terakhir mengenai jalur hijau adalah Permen Mendagri No. 26 Tahun 1997 tentang Penetapan Jalur Hijau Hutan Mangrove. Peraturan ini menginstruksikan kepada seluruh gubernur dan bupati/walikotamadya di seluruh Indonesia untuk melakukan penetapanjalur hijau hutan mangrove di daerahnya masing - masing (Noor,at, al, 1999). 2.6 Penyebab Kerusakan Mangrove Salah satu kerusakan hutan mangrove disebabkan oleh pertumbuhan penduduk dan urbanisasi karena mereka membuang limbah di sekitar perairan ekosistem hutan mangrove yang tidak jauh dari kota, oleh karena itu diperlukan suatu pengelolaan dalam membuang limbah yang tidak merusak ekosistem mangrove (Lazardi et, al, 2000). Sedangkan menurut Budiman et, al ( 2001) luas area mangrove di Pulau Lombok di laporkan sekitar 3,426,78 ha, namun sebagaian dari area tersebut telah terganggu di alih fungsikan sebagai kegiatan tambak dan pemukiman, sehingga di perkirakan bahwa jumlah area mangrove yang belum terganggu sekitar 2,743 ha di Kabupatan Lombok Timur. Kerusakan ekosistem mangrove umumnya disebabkan oleh dua faktor utama yaitu secara alami dan buatan manusia, proses alami seperti badai topan dapat merusak dan memporak - porandakan ekosistem mangrove, sedangkan kerusakan ekosistem hutan mangrove akibat campur tangan manusia erat kaitannya dengan konversi

19 lahan mangrove menjadi tambak dan penebangan untuk pemanfaatan kayu dari hutan mangrove (Nybakken, 1988). 2. 7 Faktor Lingkungan Kusmana (2003) menyatakan bahwa pola pertumbuhan mangrove termasuk didalamnya struktur, fungsi, komposisi dan distribusi spesies yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove tersebut sangat tergantung pada faktor lingkungan diantaranya : fisiografi pantai, iklim (cahaya, musim, dan suhu), pasang surut, gelombang dan arus, salinitas oksigen terlarut (disolved oxygen), tanah, nutri. Kawasan yang berada di pantai selatan bagian timur Pulau Lombok, meliputi tiga Desa di Kecamatan Keruak, Kabupaten Lombok Timur (Desa Pemongkong, Tanjung Luar dan Jerowaru). Secara umum kondisi visual mangrove, khususnya di daerah yang menjorok ke pantai masih relatif baik tapi sebaliknya pada lahan datar telah dialih fungsikan menjadi lahan tambak khususnya tambak garam, kawasan mangrove ini mengalami tekanan dari masyarakat pesisir dengan cara menebang mangrove dan menggunakannya sebagai kayu bakar maupun peruntukan alih fungsi lahan menjadi lahan tambak garam di kawasan ini juga merupakan salah satu faktor penting penyebab penyusutan/penyempitan lahan mangrove. (Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi NTB, 2006).

20 2.8 Kebijakan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang mengungkapkan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan dengan pengambilan keputusan, sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah- masalah publik (Dunn, 1994). Sebagai disiplin ilmu terapan, kebijakan dapat diharapkan untuk menghasilkan informasi dan argumen- argumen yang masuk akal melalui tiga bentuk pertanyaan berikut :(1) nilai yang mencapainya merupakan tolok ukur utama untuk melihat apakah masalah telah selesai, (2) fakta yang keberadaanya dapat membatasi atau meningkatkan nilai- nilai, dan (3) tindakan penerapannya yang menghasilkan pencapaian nilai- nilai. Dunn (1994), mengemukakan bahwa kebijakan pada dasarnya terdiri dari tiga elemen yaitu :(1) kebijakan publik (public policies) merupakan rangkaian pilihan yang saling berhubungan termasuk keputusan - keputusan untuk tidak bertindak yang dibuat oleh badan atau pejabat pemerintah, selanjutnya diaplikasikan di berbagai bidang termasuk kebijakan lingkungan hidup. Definisi dan formulasi masalah kebijakan sangat tergantung dari keterlibatan para pelaku kebijakan (policy stakeholders), yaitu individu atau kelempok yang mempunyai andil di dalam formulasi kebijakan, karena mereka berpengaruh dan dipengaruhi oleh keputusan atau kebijakan pemerintah, (2) kebijakan lingkungan (policy environment) merupakan konteks khusus dimana kejadian - kejadian di sekeliling isu - isu kebijakan terjadi dapat berpengaruh dan dipengaruhi oleh pembuat kebijakan publik, (3) kebijakan operasional (policy operation) yang didasarkan

21 pada suatu pijakan landasan kerja, yang merupakan dasar dari kebijakan yang ditempuh atau dengan kata lain kebijakan merupakan dasar bagi pelaksanaan atau pengambilan keputusan. 2.9 Pengelolaan Hutan Mangrove Tujuan utama pengelolaan hutan, termasuk hutan mangrove, adalah untuk mempertahankan produktivitas lahan hutan sehingga kelestarian hasil merupakan tujuan utama pengelolaan hutan, kelestarian produktivtas mempunyai dua arti, yaitu kesinambungan pertumbuhan dan kesinambungan hasil panen. ( Dahuri, 2001). Selain itu keseriusan atau komitmen pemerintah dalam pengelolaan mangrove sangat menentukan dalam keberlanjutan ekosistem mangrove sehingga untuk itu diperlukan data penelitian ekologi (Kairo et al, 2001). Data yang dimaksud adalah luas tutupan mangrove dan kerapatan seperti pada kriteria baku kerusakan mangrove untuk menentukan apakah kondisi mangrove yang ada masih baik atau sudah harus direhabilitasi. Adapun kriteria baku kerusakan mangrove seperti pada Tabel 2-1 Tabel 2-1 Kriteria baku kerusakan mangrove Kiteria Penutupan (%) Kerapatan (Pohon/ha) Baik Sangat Padat 75 1500 Sedang 50 - <75 1000-<1500 Rusak Jarang <50 <1000 (Sumber: KepMen No.201 Tahun 2004). Menurut (Saenger et, al, 1983), menyatakan pengelolaan hutan mangrove harus berdasarkan filosofi konservasi. Hal ini sebagai langkah awal

22 dan mencegah semakin rusaknya ekosistem hutan mangrove dan mengoptimumkan konservasi sumberdaya mangrove untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan tetap mempertahankan cadangan yang cukup untuk melindungi keanekaragaman flora dan fauna yang hidup di dalamnya. Dalam konteks pengembangan mangrove, rencana pengelolaan hutan mangrove dibuat untuk lokasi - lokasi mangrove yang telah ditetapkan. Rencana pengelolaan ini harus dijadwalkan dan dikoordinasi secara resmi di dalam rencana tata ruang daera dan merupakan rencana tata ruang Kabupaten. Rencana - rencana tersebut harus disusun berdasarkan survei yang akurat untuk mengetahui potensi sumberdaya yang ada dan aspirasi masyarakat yang perlu dinilai dan didengar melalui komunikasi langsung dan dipertimbangkan dalam rencana pengelolaan. Tanpa persetujuan, pengertian dan kerjasama dengan masyarakat setempat, maka rencana pengelolaan tersebut tidak akan berfungsi dengan baik (Alikodra, 1999). Pengelolaan multiguna mengharuskan sumberdaya dimanfaatkan untuk kepentingan banyak pihak secara seimbang, sehingga terhindar dari orientasi tunggal yang sempit dan berjangka pendek Dahuri, et, al, (2001). Pengelolaan multiguna juga akan membawa jangkauan kegiatan yang beragam sehingga membuka pilihan yang lebih luas bagi masyarakat lokal untuk terlibat dalam pengelolaan hutan mangrove.