BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. diharapkan oleh kelompok sosial, serta merupakan masa pencarian identitas untuk

dokumen-dokumen yang mirip
HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH OTORITER DENGAN KEMANDIRIAN

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH DEMOKRATIS ORANG TUA DAN KEMANDIRIAN DENGAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN MASALAH PADA REMAJA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tergantung pada orangtua dan orang-orang disekitarnya hingga waktu tertentu.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tita Andriani, 2013

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan bebas, sumber daya manusia yang diharapkan adalah yang

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bagi remaja itu sendiri maupun bagi orang-orang yang berada di sekitarnya.

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan

BAB I PENDAHULUAN. Tantangan globalisasi serta perubahan-perubahan lain yang terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya. pergolakan dalam dalam jiwanya untuk mencari jati diri.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Wangi Citrawargi, 2014

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. latin adolensence, diungkapkan oleh Santrock (2003) bahwa adolansence

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pendapatnya secara terbuka karena takut menyinggung perasaan orang lain. Misalnya

I. PENDAHULUAN. Konsepsi manusia seutuhnya merupakan konsepsi ideal kemanusiaan yang terletak pada

BAB I PENDAHULUAN. itu kebutuhan fisik maupun psikologis. Untuk kebutuhan fisik seperti makan,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013

I. PENDAHULUAN. Setiap manusia dilahirkan dalam kondisi yang tidak berdaya. Untuk memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kekayaan sumber daya alam di masa depan. Karakter positif seperti mandiri,

BAB I PENDAHULUAN. apabila individu dihadapkan pada suatu masalah. Individu akan menghadapi masalah yang lebih

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah status yang disandang oleh seseorang karena

ASERTIVITAS DALAM PEMILIHAN STUDI LANJUT SISWA KELAS XII SMA DITINJAU DARI PERSEPSI TERHADAP POLA ASUH ORANGTUA NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi hampir bersamaan antara individu satu dengan yang lain, dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh

Dalam keluarga, semua orangtua berusaha untuk mendidik anak-anaknya. agar dapat menjadi individu yang baik, bertanggungjawab, dan dapat hidup secara

BAB I PENDAHULUAN. banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk

PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. awal yaitu berkisar antara tahun. Santrock (2005) (dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbatas pada siswa baru saja. Penyesuaian diri diperlukan remaja dalam menjalani

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. adolescence yang berasal dari kata dalam bahasa latin adolescere (kata

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri)

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah kesehatan jiwa tidak lagi hanya berupa gangguan jiwa yang berat

BAB I PENDAHULUAN. Sepanjang masa hidupnya, manusia mengalami perkembangan dari sikap

`BAB I PENDAHULUAN. mengalami kebingungan atau kekacauan (confusion). Suasana kebingunan ini

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dengan. remaja merupakan pengembangan dan perluasan kemampuan-kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. memiliki konsep diri dan perilaku asertif agar terhindar dari perilaku. menyimpang atau kenakalan remaja (Sarwono, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. diasuh oleh orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya hingga

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kepercayaan Diri Anak Usia Remaja. yang berkualitas adalah tingkat kepercayaan diri seseorang.

BAB I PENDAHULUAN. Kecerdasan awalnya dianggap sebagai kemampuan general manusia untuk

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tahun pertama kuliah di Perguruan Tinggi. Usia mahasiswa berkisar tahun.

BAB I PENDAHULUAN. membentuk perilaku sosial anak menjadi lebih baik dan berakhlak.

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah keadaan psikologi seperti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin (adolescence)

BAB I PENDAHULUAN. Belajar merupakan istilah kunci yang penting dalam kehidupan manusia,

BAB I PENDAHULUAN. pada kejahatan dan dibiarkan seperti binatang, ia akan celaka dan binasa.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dimana pada masa tersebut merupakan periode peralihan dan perubahan. Hurlock

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi perbaikan perilaku emosional. Kematangan emosi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. diandalkan. Remaja merupakan generasi penerus yang diharapkan dapat. memiliki kemandirian yang tinggi di dalam hidupnya.

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa dimana seseorang menghadapi banyak. persoalan dan konflik, termasuk diantaranya kebingungan dalam proses

BAB 1 PENDAHULUAN. Kepercayaan diri tentu saja mengalami pasang surut, seseorang mungkin merasa percaya

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa remaja berlangsung proses-proses perubahan secara biologis,

BAB I PENDAHALUAN. A. Latar Belakang Masalah. status sebagai orang dewasa tetapi tidak lagi sebagai masa anak-anak. Fase remaja

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ibu adalah sosok yang penuh pengertian, mengerti akan apa-apa yang ada

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya.

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Pengasuhan anak, dilakukan orang tua dengan menggunakan pola asuh

HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP AGRESIFITAS ANAK DI TAMAN KANAK-KANAK KARTIKA 1-61 PADANG

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN TEORITIS. Santrock menyebutkan bahwa remaja (adolescene) diartikan sebagai masa. perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja adalah individu yang unik. Remaja bukan lagi anak-anak, namun

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan sangat penting dalam kehidupan dan diharapkan mampu. mewujudkan cita-cita bangsa. Pendidikan bertujuan untuk membantu

KEMANDIRIAN DITINJAU DARI URUTAN KELAHIRAN DAN JENIS KELAMIN

BAB I PENDAHULUAN. terjadi perubahan-perubahan baik dalam segi ekonomi, politik, maupun sosial

SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi

BAB I PENDAHULUAN. Dengan adanya perkembangan dunia yang semakin maju dan persaingan


BAB I PENDAHULUAN. 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ahli psikologi. Karena permasalahan remaja merupakan masalah yang harus di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia memiliki fitrah untuk saling tertarik antara laki-laki dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

2014 EFEKTIVITAS KONSELING TEMAN SEBAYA UNTUK MENGEMBANGKAN KEMANDIRIAN SISWA

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa yang penuh konflik, karena masa ini adalah periode perubahan dimana terjadi perubahan tubuh, pola perilaku dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial, serta merupakan masa pencarian identitas untuk mengangkat diri sendiri sebagai individu. Perubahan-perubahan tersebut bagi remaja kadang-kadang merupakan situasi yang tidak menyenangkan dan sering menimbulkan masalah. Permasalahan-permasalahan tersebut menuntut suatu penyelesaian agar tidak menjadi beban yang dapat mengganggu perkembangan selanjutnya Hurlock (dalam Martiyastuti, 2008) kemandirian remaja secara spesifik menuntut suatu kesiapan individu baik secara fisik maupun emosional untuk mengatur, mengurus, dan melakukan aktivitas atas tanggung jawabnya sendiri tanpa banyak tergantung pada orang lain. Kurangnya pengalaman remaja dalam menghadapi berbagai masalahnya, maka remaja akan mengalami kesulitan dalam menghadapi berbagai masalahnya untuk dapat memperoleh kemandirian (Yunita, Wimbarti, dan Mustagfirin, 2002). Remaja dalam mencapai keinginan untuk mandiri sering kali mengalami hambatan-hambatan yang disebabkan oleh masih adanya kebutuhan untuk tetap tergantung pada orang lain. Situasi ini akan mempengaruhi remaja dalam usahanya untuk mandiri, sehingga sering menimbulkan hambatan dalam penyesuaian diri terhadap lingkungan sekitarnya. Tetapi tidak jarang remaja

menjadi frustrasi dan memendam kemarahan yang mendalam kepada orang tuanya atau orang lain di sekitarnya. Frustrasi dan kemarahan tersebut seringkali diungkapkan dengan perilaku-perilaku yang tidak simpatik terhadap orang tua maupun orang lain dan dapat membahayakan dirinya dan orang lain di sekitarnya. Hal ini tentu saja akan sangat merugikan remaja tersebut karena akan menghambat tercapainya kedewasaan dan kematangan kehidupan psikologisnya (Mu tadin, 2002). Oleh karena itu, pemahaman orang tua terhadap kebutuhan psikologis remaja untuk mandiri sangat diperlukan dalam upaya mendapatkan titik tengah penyelesaian konflik dan masalah yang dihadapi remaja. Permasalahan kemandirian lain juga dipaparkan oleh Bisono (BNN, 2011) yaitu gagalnya kemandirian remaja sebagai penyebab utama meningkatnya penyalahgunaan narkotika, minuman keras, ekstasi dan obat-obatan terlarang. Dalam hal ini remaja dalam konteks sosiabilitas yang sangat luas, dunia remaja memang dunia yang penuh gejolak, kecemasan, kebingungan, yang justru merupakan suatu proses terpenting dalam tahap pendewasaan seorang remaja, namun sebagai remaja, keterkaitan yang kuat justru harus tercipta dari hubungan remaja dengan orang tua. Hubungan tersebut yang diharapkan dalam kondisi sehat, terbuka, dan positif, sehingga dapat berfungsi sebagai tameng terhadap berbagai pengaruh negatif yang ada didalam masyarakat. Banyak orangtua yang masih menganggap bahwa remaja mereka itu masih merupakan anak kecil, sehingga masih terus harus dituntun, padahal mereka sudah memiliki kemampuan, walaupun masih dalam taraf belajar untuk bersikap mandiri, melakukan pilihan dan memutuskan apa yang terbaik bagi mereka.

Ketidakmandirian remaja ini tercermin dalam perilaku mereka dalam pergaulan dengan teman sebaya. Para remaja tersebut cenderung merasa tergantung pada teman sebaya yang ada dalam kelompoknya, ia tidak dapat memutuskan segala sesuatunya sendiri, misalnya dalam pemilihan jurusan atau fakultas ketika masuk sekolah atau Perguruan Tinggi, banyak remaja yang masih tidak dapat memutuskan sendiri universitas atau jurusan mana yang akan dipilihnya. Bahkan masih banyak ditemui orangtua yang sangat memaksakan kehendaknya untuk memasukkan putera-puterinya ke jurusan yang mereka kehendaki meskipun anaknya sama sekali tidak berminat untuk masuk ke jurusan tersebut (Mu tadin, 2002). Menurut Steinberg (2002), kemandirian didefinisikan sebagai kemampuan individu dalam bertingkah laku, merasakan sesuatu, dan mengambil keputusan berdasar kehendaknya sendiri. Peningkatan tanggung jawab, kemandirian, dan menurunnya tingkat ketergantungan remaja terhadap orang tua, adalah perkembangan yang harus dipenuhi individu pada periode remaja akhir. Monks (dalam Widiana, 2001) mengatakan bahwa orang yang mandiri akan memperlihatkan perilaku yang eksploratif, mampu mengambil keputusan, percaya diri, dan kreatif. Selain itu juga mampu bertindak kritis, tidak takut berbuat sesuatu, mempunyai kepuasan dalam melakukan aktifitasnya, percaya diri, dan mampu menerima realitas. Kebutuhan untuk memiliki kemandirian dipercaya sebagai hal yang penting dalam memperkuat motivasi individu. Menurut Ryan dan Deci (dalam Yusuf, 2000) bahwa individu yang mandiri mampu memotivasi dirinya untuk bertahan dengan kesulitan yang

dihadapi dan dapat menerima kegagalan dengan pikiran yang rasional. Hal ini sesuai dengan salah satu ciri individu yang memiliki kemandirian tinggi yaitu mampu menghadapi kegagalan dengan sikap yang rasional dengan berupaya mengatasinya secara lebih baik tanpa menyebabkan depresi. Kemandirian merupakan salah satu indikator kedewasaan seseorang yang ditandai dengan kemampuannya dalam melakukan segala sesuatu sendiri tanpa harus bergantung dengan orang lain (Patriana, 2007). Lerner dan Spanier (dalam Hirmaningsih, 2001) menyebutkan bahwa kemandirian dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu faktor internal atau kondisi diri, seperti:usia, jenis kelamin dan tingkat pendidikan, dan faktor eksternal atau lingkungan, seperti: keluarga, kegiatan atau pekerjaan dan latar belakang budaya. Hasil penelitian Iffah (2006) menunjukkan bahwa orang tua yang menerapkan, pola asuh yang baik, remaja cenderung dapat menyelesaikan masalah dengan baik dan mudah, sebaliknya orang tua yang menerapkan pola asuh yang kurang baik, remaja cenderung kurang mampu menyelesaikan masalah dengan baik. Menurut Allen dkk (dalam Kulbok, 2004) setiap daerah, setiap negara mempunyai adat istiadat dan cara tertentu dalam mendidik anak. Pada budaya barat, anak sangat dituntut lebih cepat mandiri. Anak pada budaya barat banyak yang kerja part time dan banyak yang sudah mulai tinggal sendiri tidak bersama orangtua lagi. Menurut Manuela Fleming (dalam Mirandi, 2008) mengenai jenis kelamin menunjukkan bahwa isu mengenai kemandirian lebih muncul pada remaja pria. Hal ini terlihat dari banyaknya remaja pria yang mengalami konflik dengan orang tuanya seputar kepatuhan terhadap nasehat orang tuanya. Remaja

perempuan dinilai lebih patuh sehingga walaupun terdapat beberapa hal yang menimbulkan konflik, isu kemandirian kurang muncul pada remaja perempuan. Penelitian Hernawati (2006) menunjukkan remaja di panti asuhan yang mempunyai kemandirian baik dan positif cenderung baik kemampuan pemecahan masalahnya, sebaliknya remaja yang kemandiriannya kurang baik cenderung kurang mampu dalam pemecahan masalahnya. Sedangkan penelitian Lukman (2000) menyebutkan dalam kemandirian ada sikap percaya dan inisiatif yang kurang sehingga kemampuan remaja dalam menyelesaikan masalah kurang baik, karena hanya menerima terus dan tidak ada inisiatif untuk menyelesaikannya. Baumrind (dalam Gustiany, 2003) mengatakan bahwa ada empat macam pola asuh orang tua, yaitu pola asuh otoriter, pola asuh demokratis, pola asuh permisif, dan pola asuh penelantar. Pola asuh otoriter cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya standar tersebut diikuti dengan ancaman-ancaman yang bersifat menghukum anak jika tidak mengikuti apa yang diperintah oleh orang tua. Pola asuh demokratis, pola asuh ini memprioritaskan kepentingan anak untuk memilih dan menentukan suatu tindakan, akan tetapi tidak menutup kemungkinan orang tua untuk mengendalikan anak tersebut. Pola asuh permisif, yaitu pola asuh yang memberikan kesempatan sepenuhnya kepada anak tanpa adanya pengawasan dari orang tua. Terakhir adalah pola asuh penelantar, orang tua yang mempunyai pola asuh penelantar ini lebih banyak mengahabiskan waktunya untuk bekerja, dan juga kadang kala biayapun diminimalisir untuk anaknya, sehingga tidak mampu memberikan perhatian fisik maupun psikis pada anak-anaknya.

Pola asuh otoriter adalah pola asuh dimana orang tua cenderung mengandalkan kekuasaan daripada alasan untuk menegakkan tuntutan, menciptakan disiplin yang tinggi dan perilaku pengasuhan yang rendah, menilai kepatuhan sebagai suatu kebajikan, mendukung adanya hukuman sebagai usaha untuk menegakkan tuntutan orang tua, tidak memberikan dorongan dan penerimaan secara verbal, dan menganggap bahwa keputusan mereka bersifat final (Lagacé-Séguin dan d entremont, 2006). Hart dkk (Santrock, 2007) menyatakan bahwa orang tua yang otoriter kemungkinan sering juga melakukan tindakan yang tidak sesuai, seperti memukul anak, menuntut anak untuk mematuhi aturan yang kaku tanpa ada penjelasan dari orang tua, serta cenderung menunjukkan rasa marahnya pada anak. Seringkali anak dengan pola asuh otoriter tidak merasakan kebahagiaan, merasa ketakutan, merasa minder jika dibandingkan dengan orang lain, tidak mampu memulai aktivitas, serta kemampuan komunikasinya tergolong rendah. Dalam penelitian Walters (dalam Zahroh, 2003) ditemukan bahwa orang tua yang otoriter cenderung memberi hukuman terutama hukuman fisik. Perintah dan hukuman yang selalu dilakukan orang tua akan berakibat buruk terhadap perkembangan jiwa anak. Selalu penurut, tidak mempunyai inisiatif dan selalu merasa takut menyampaikan sesuatu menjadi persoalannya karena takut disalahkan yang dapat berakibat dikenai sanksi/hukuman (Zahroh, 2003). Rahayu dkk (2008) mengungkapkan penelitiannya tentang pola asuh otoriter menunjukkan bahwa dalam kebudayaan Timur yang memiliki ciri kolektivisme, pola asuh otoriter tidak selalu menunjukkan dampak negatif,

sebaliknya dalam kebudayaan Barat yang justru menunjukkan dampak negatif di dalam berbagai macam aspek kehidupan. Jenjang pendidikan yang di lalu masa remaja yaitu sekolah SMK dimana pada jenjang tersebut di butuhkan kemandiran dalam beberapa hal. Di Sekolah SMK siswa dituntut untuk lebih disiplin, mandiri, ulet dan inovatif, karena siswa SMK disiapakan untuk biasa langsung masuk dunia kerja atau untuk mendirikan usaha yang mandiri, dalam dunia kerja atau mendirikan usaha mandiri siswa tidak bias lepas dari peran orang tua baik itu berupa dukungan orang tua, latar belakang orang tua ataupun pola asuh yang diterapkan oleh orang tua. Jadi peneliti tertarik untuk meneliti kemandirian siswa SMK yang di hubungkan dengan pola asuh otoriter. Berdasrkan permasalahan tersebut penulis ingin meneliti dengan judul Hubungan Antara Pola Asuh Otoriter Dengan Kemandirian.

B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pola asuh otoriter dengan kemandirian. C. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain: 1. Secara Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wacana ilmiah terhadap pengembangan ilmu pengetahuan bagi ilmu psikologi pada umumnya dan ilmu psikologi pendidikan pada khususnya. 2. Secara Praktis a. Bagi Kepala Sekolah, hasil penelitian ini dapat menjadi informasi mengenai kondisi pola asuh siswanya sehingga dapat menciptakan kondisi-kondisi yang kondusif untuk pengembangan potensi siswanya untuk meningkatkan kemandirian siswa. b. Bagi guru Bimbingan dan Konseling, hasil penelitian ini dapat menjadi informasi tentang kondisi psikis siswanya yang ditinjau dari latar belakang pola asuh sehingga dapat memberi bimbingan dan konseling kaitannya dengan proses belajar siswa dan mengetahui tingkat kemandirian siswa ditinjau dari latar belakang pola asuh. c. Bagi para siswa, diharapkan dapat menjadi informasi mengenai latar belakang pola asuh dalam upaya mereka meningkatkan kemandirian.

d. Bagi peneliti selanjutnya atau pihak-pihak lainnya yang berkompeten dan berminat pada masalah yang relatif sama dengan kajian ini, hasil penelitian ini dapat menjadi informasi dan kontribusi.