BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Pada tahun 2013, konsumsi energi dunia mencapai sekitar 13541 Mtoe. Bauran energi dunia (Gambar 1.1) didominasi energi fosil, yang mencapai 81,4%. Minyak bumi, yang mencapai 31,1% menjadi sumber energi terbesar yang memasok kebutuhan energi dunia. Sebanyak 1,2% kebutuhan energi final dunia dipasok oleh sumber-sumber energi lain, yang didalamnya termasuk energi matahari, angin, panas bumi, dan lainnya. Gambar 1.1. Bauran Energi Final Dunia 2013 (IEA, 2015a) Tahun 2013 tersebut, pembangkit listrik di dunia membangkitkan listrik sebesar 23322 TWh. Bauran energi dunia guna pembangkitan listrik (Gambar 1.2) didominasi energi fosil, yang mencapai 67,4%. Batubara, yang mencapai 41,3% menjadi sumber energi terbesar yang memasok kebutuhan energi dunia. Sebanyak 5,7% kebutuhan energi final dunia dipasok oleh sumber-sumber energi lain, yang didalamnya termasuk energi matahari, angin, panas bumi, dan lainnya. 1
Gambar 1.2. Pembangkitan Listrik Dunia 2013 Menurut Jenis Sumber Energi (IEA, 2015a) Sementara itu, tahun 2013, walaupun terus turun, porsi minyak bumi dalam bauran energi final di Indonesia masih di nomor 1, yaitu 38%. Karena Indonesia mengutamakan sumber energi fosil domestik yang murah, maka batubara menjadi nomor 2 di bauran energi. Sepuluh tahun terakhir ini konsumsi batubara meningkat hingga lebih dari dua kalinya melebihi konsumsi gas alam. Indonesia juga mengkonsumsi biomassa dan limbah tradisional dalam jumlah sangat besar untuk sektor rumah tangga, utamanya di daerah terpecil yang jauh dari jaringan listrik nasional. Tahun 2013, konsumsi energi berbasis biomassa dan limbah/sampah (termasuk kayu bakar dan arang) mencapai hampir 18%. Namun demikian pemanfaatan energi dari sumber ini terus turun dalam beberapa tahun terakhir. Seiring dengan proses industrialisasi serta berkembangnya sektor kelistrikan dan transportasi di Indonesia, konsumsi bahan bakar fosil terus meningkat, utamanya batubara dan minyak bumi. Bauran energi final Indonesia tahun 2013 ditampilkan dalam Gambar 1.3 (EIA, 2015). 2
Gambar 1.3. Konsumsi Energi Primer Indonesia 2013 Menurut Jenis Sumber Energi (EIA, 2015) Tahun 2013 Indonesia mempunyai pembangkit listrik total daya terpasang 51 GW, yang memproduksi sekitar 229 milyar kwh. Sekitar 88% pembangkitan berbasis berbagai jenis sumber energi fosil, sementara sekitar 8% dari energi air dan 5% dari panas bumi. Lebih dari separo energi fosil tersebut adalah batubara. Pembangkit listrik berbasis minyak bumi (PLTD) mengalami penurunan. Pembangkitan listrik Indonesia 2013 menurut jenis sumber energinya ditampilkan dalam Gambar 1.4 (EIA, 2015). Gambar 1.4. Pembangkitan Listrik Indonesia 2013 Menurut Jenis Sumber Energi (EIA, 2015) 3
Dalam studi intensifnya terhadap sangat banyak literatur, Budiarto (2013) memaparkan bahwa dalam skala global ketergantungan terhadap energi fosil menimbulkan berbagai masalah besar yang saling terkait akibat 1) berkurangnya cadangan minyak bumi di banyak negara, 2) sumber energi fosil dunia yang tidak terdistribusi dengan baik, 3) harga energi fosil, utamanya minyak bumi, yang fluktuatif dan spekulatif, 4) potensi konflik politik bahkan militer yang didorong oleh masalah energi fosil dan juga 5) masalah lingkungan yang sangat kompleks dengan berbagai dampak negatifnya yang sangat luas. Hal-hal ini yang mendorong peningkatan pemanfaatan berbagai teknologi energi terbarukan. Sektor energi listrik saat ini bergerak menuju sistem energi tanpa emisi karbon (decarbonised energy system). Pada tahun 2040 konsumsi energi listrik mencakup hampir seperempat dari seluruh energi final dunia. Negara-negara non- OECD membutuhkan tujuh dari tiap delapan unit peningkatan kebutuhan listrik. Hingga tahun 2040 sekitar 60% dari seluruh investasi pembangkit baru dibelanjakan untuk berbagai teknologi energi terbarukan guna mencapai peningkatan sekitar 8300 TWh (angka ini setara dengan jumlah produksi listrik berbasis energi fosil di Cina, Amerika Serikat dan Uni Eropa secara keseluruhan saat ini). Pada tahun 2040 porsi pembangkit listrik berteknologi energi terbarukan di Uni Eropa mencapai sekitar 50%, di Cina dan Jepang 30%, serta di Amerika Serikat dan India di atas 25%. Secara keseluruhan perkembangan bauran energi di sektor kelistrikan dunia ditampilkan dalam Gambar 1.5. Sementara itu Gambar 1.6 memperlihatkan perbandingan pembangkitan listrik di dunia 2014 dan 2040 sesuai jenis teknologinya. Berkat meningkatnya pemakaian berbagai teknologi energi terbarukan, nuklir dan berkat peningkatan efisiensi pembangkit termal, dapat dicapai laju peningkatan emisi CO 2 yang hanya seperlima dari laju peningkatan produksi listrik di tahun 2040 IEA (2015b). 4
Gambar 1.5. Perkembangan Bauran Energi pada Pembangkitan Listrik di Dunia 1990-2040 (IEA, 2015) Gambar 1.6. Perbandingan Pembangkitan Listrik di Dunia 2014 dan 2040 Sesuai Jenis Teknologinya (IEA, 2015b) Kebijakan Energi Nasional Indonesia menetapkan pencapaian sasaran kebijakan antara lain dalam hal bauran energi sebagai berikut: 1) tahun 2025 peran Energi Baru dan Energi Terbarukan paling sedikit 23% dan tahun 2050 paling sedikit 31% sepanjang keekonomiannya terpenuhi, 2) tahun 2025 peran minyak bumi kurang dari 25% dan pada tahun 2050 menjadi kurang dari 20%, 3) tahun 2025 peran batubara minimal 30% dan tahun 2050 minimal 25% serta 4) tahun 2025 peran gas bumi minimal 22% dan tahun 2050 minimal 24%. 5
Target 1.7. Bauran Energi Indonesia dalam KEN (sumber: DEN, 2014) Pemanfaatan panas bumi untuk tujuan pembangkitan listrik akan terus meningkat. Di tingkat global, antara tahun 2010-2015 daya total PLTP di dunia meningkat dari 10.897 MW menjadi 12.635 MW. Sepuluh besar negara pemakai PLTP (menurut daya terpasang tahun 2015), disajikan dalam Tabel 1.1 (Bertani, 2015). Terlihat dalam tabel tersebut bahwa pada tahun 2020 diprediksikan Indonesia akan menduduki peringkat kedua terbesar pemakai PLTP di dunia. Ini membuat kajian tentang PLTP di Indonesia akan menjadi makin dibutuhkan. Tabel 1.1. Sepuluh Besar Negara Pemakai PLTP Tahun 2015 Negara Daya Thn. 2015 Energi Thn. 2015 Prediksi Thn. 2020 (GW) (GWh) (GW) Amerika Serikat 3.450 16.603 5.600 Filipina 1.870 9.646 2.500 Indonesia 1.340 9.600 3.500 Meksiko 1.017 6.071 1.400 Selandia Baru 1.005 7.000 1.350 Itali 916 5.660 1.000 Islandia 665 5.245 1.300 Kenya 594 2.848 1.500 Jepang 519 2.687 570 El Salvador 204 1.422 300 (sumber: Bertani, 2015) 6
Terdapat momentum peningkatan peran pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) di banyak negara, termasuk Indonesia. Pertumbuhan kebutuhan energi global yang dibarengi dengan meningkatnya kesadaran pentingnya merespon berbagai dampak negatif sistem energi yang didominasi oleh energi fosil saat ini memberikan dorongan kuat untuk peningkatan pemanfaatan berbagai sumber energi terbarukan. Energi panas bumi menjadi salah satu pilihan jawaban tantangan kompleks tersebut. Sementara itu, Tabel 1.2. merangkum jenis PLTP yang dipakai di dunia. Dari enam jenis PLTP dalam tabel tersebut teknologi biner biasa dipilih untuk memanfaatkan sumber daya panas bumi. Dari segi produksi listriknya teknologi tersebut memegang porsi 12%, sementara dari segi jumlah unit memegang porsi 46,7%. Sementara itu jenis yang lain, yaitu back pressure, single hingga triple flash dan dry steam biasa dipakai untuk memanfaatkan sumber daya panas bumi entalpi tinggi. Artinya, Tabel 1.2 tersebut menunjukkan dominasi PLTP dengan pemanfaatan sumber daya panas bumi entalpi tinggi. Tabel 1.2. Rangkuman Jenis PLTP di Dunia Jenis Daya Terpasang - (MWe) Produksi Energi (%) Jumlah Unit Rerata Daya Terpasang (MW/unit) Rerata Produksi Energi (GWh/unit) Biner 1790 12 286 6,3 31 Back Pressure 181 3 26 7,0 76 Single Flash 5079 41 167 30,4 179 Double Flash 2544 21 68 37,4 231 Triple Flash 182 1 2 90,8 500 Dry Steam 2863 22 63 45,4 253 (sumber: Bertani, 2015) PLTP biasa dioperasikan sebagai piranti pemenuhan kebutuhan base-load. Untuk memenuhi kebutuhan listrik, interupsi layanannya harus diusahakan seminimal mungkin. Oleh karena itu, aspek kehandalan PLTP menjadi hal yang sangat penting bagi negara yang memanfaatkannya. Tingkat kehandalan aktual suatu PLTP akan mempengaruhi tingkat produksi listrik. Tingkat produksi listrik inilah yang menjadi salah satu indikator utama 7
keberhasilan pembangungan dan operasional PLTP. Indikator ini juga menjadi salah satu faktor penentu kredibiltas operator PLTP. Selain itu, aspek kehandalan tersebut juga sangat penting untuk menjaga capaian target profitabilitas PLTP. Investasi pengembangan PLTP sangat diperlukan untuk meningkatkan pasok energi listrik dan meningkatkan porsi energi terbarukan dalam bauran energi. Bagi investor tingkat produksi listrik ini menjadi salah satu indikator utama keberhasilan investasi mereka dan menjadi pertimbangan apakah akan dilakukan investasi kembali atau tidak. Tingkat kehandalan tinggi suatu PLTP antara lain akan mampu menghasilkan keuntungan menarik bagi investor; salah satu yang sangat penting dalam usaha akselerasi peningkatan peran PLTP. Sifat dasar fluida di lapangan panasbumi merupakan tantangan dalam pemeliharaan PLTP. Hal ini karena fluida tersebut mengandung berbagai material (dissolved dan suspended), seperti silika, khlorida, karbonat, sulfur, berbagai jenis gas dan menyebabkan berbagai masalah yang perlu diatasi dalam pemeliharaan, seperti korosi, erosi, scaling, dan fouling di PLTP. Penanganan berbagai masalah ini sangat penting guna mencapai tingkat kehandalan dan availability PLTP. Pelaksanaan kegiatan pemeliharaan akan mempengaruhi kegiatan operasional unit produksi. PLTP akan mengalami derating selama masa pemeliharaan. Hubungan antara derating dengan harga per satuan listrik yang seharusnya dibangkitkan dan dijual dalam masa pemeliharaan tersebut mengakibatkan pengurangan pendapatan bagi perusahaan. Sementara itu, perusahaan juga dibebani biaya terkait jasa pemeliharaan. Biaya total sebagai konsekuensi pemeliharaan PLTP menjadi bagian signifikan dalam unit cost energi panas bumi dan mempengaruhi tingkat profitabilitasnya. Sanyal (2004) bahkan menemukan bahwa harga listrik PLTP sangat peka terhadap biaya satuan operasional dan pemeliharaan. Sementara Hance dan Gawell (2005) mengungkapkan bahwa komposisi kimia fluida panas bumi, yang memicu masalah NCG, scaling dan korosi, serta kedalaman reservoir, yang mempengaruhi biaya make-up drilling, mempunyai pengaruh signifikan terhadap biaya O&M. Hal tersebut sejalan dengan Finster dkk. (2015) yang menyatakan bahwa untuk membersihkan scaling dan pekerjaan kontrol korosi bisa membutuhkan shutdown 8
sumur dan berbagai komponen PLTP di atas permukaan tanah secara periodik dan berbiaya tinggi. Biaya pemeliharaan perlu diminimalkan dengan melakukan optimasi proses pemeliharaan agar PLTP mampu terus beroperasi secara ekonomis (Adale, 2009). Tekanan kepada para operator PLTP untuk meningkatkan kinerja aktifitas pemeliharaannya makin menguat karena biaya total per unit energi yang dipasok ke pasar perlu dijaga sekompetitif mungkin (Elísson, 2013). Sementara itu, rekomendasi yang dicantumkan dalam manual pemeliharaan PLTP mendasarkan pada asumsi berlakunya kondisi rancangan. Hal ini tidak selalu sesuai. Untuk mengelola tantangan berbagai problem khas diperlukan rancangan sistem pemeliharaan untuk menjamin tercapainya kinerja tinggi pada PLTP (Bore, 2008). Makin meningkatnya kompleksitas dan biaya suatu sistem membuat parameter kehandalan makin berarti vital. Dalam konteks ini PLTP merupakan sistem yang menjadi pokok bahasan. Kehandalan memberikan pengaruh pada semua alat, baik alat tunggal kecil seperti kapasitor atau transistor, pompa hingga sistem energi utuh yang kompleks yang pengaruhnya dapat melintasi batas-batas wilayah yang sangat luas. Perancang perlu terus berusaha membuat karyanya untuk bisa memenuhi target-target terkait kehandalan. Paling tidak mereka akan berusaha agar kegagalan tunggal tidak menjadi kegagalan keseluruhan sistem. Kehandalan akan memberi pengaruh pada pemilihan material yang akan dipakai dalam membuat suatu alat, merangkai berbagai komponen menjadi sistem yang lebih besar, serta juga rancangan operasional dan pemeliharaan alat atau sistem. Smith (2001) menekankan bahwa analisis kehandalan secara kuantitatif bermanfaat, paling tidak untuk 1) memberi indikasi awal potensi sistem yang dirancang dalam memenuhi syarat kehandalan yang telah ditetapkan, 2) menyediakan perkiraan seluruh biaya yang harus dipenuhi selama siklus hidup sistem dan 3) memberikan prediksi bagian atau komponen dari sistem yang berperan besar dalam ketidakhandalan. Baik Smith (2001) maupun Yadav dkk. (2006) menguraikan manfaat analisis kehandalan untuk membandingkan berbagai alternatif yang tersedia dalam proses perancangan. 9
Berbagai pertimbangan di atas mendorong dilakukannya penelitian yang berfokus pada kehandalan sistem panas bumi. Sementara itu, review tentang sebaran tema penelitian panas bumi menunjukkan bahwa tema tersebut masih relatif sangat sedikit disinggung oleh berbagai penelitian di bidang panas bumi. Oleh sebab itu penelitian yang disajikan dalam disertasi ini difokuskan pada aspek kehandalan PLTP. PLTP yang dipilih adalah jenis entalpi tinggi, yang lebih banyak dipakai di dunia, termasuk Indonesia. Secara garis besar, wilayah tinjauan PLTP dapat dibagi menjadi dua: 1) tinjauan pada bagian bawah tanah (sub surface) sistem PLTP dan 2) bagian permukaan tanah (surface). Irisan dua bagian ini ada di komponen sumur PLTP, baik sumur produksi maupun reinjeksi. Penelitian ini difokuskan pada bagian permukaan tanah, yang dimulai dari sumur produksi hingga sumur reinjeksi. Penelitian pada aspek kehandalan utuh bagian permukaan tanah PLTP boleh dikatakan masih belum dijumpai. Belum ditemukan pula penelitian yang merumuskan kriteria kehandalan yang secara spesifik bisa menunjukkan derajat kehandalan suatu PLTP yang dibangun dengan mempertimbangkan berbagai variabel khas PLTP. Formulasi derajat kehandalan tersebut akan berguna, antara lain dalam pertimbangan investasi awal, investasi tambahan, perancangan dan pengembangan program pemeliharaan PLTP. Hal tersebut menjadi dasar kuat pemilihan tujuan penelitian ini. Analisis mendasarkan utamanya pada berbagai data sejumlah PLTP terkait catatan produksi listrik, produksi uap, kejadian berbagai masalah akibat berbagai hal, seperti scaling, korosi dan lainnya, kondisi operasional (suhu, tekanan), serta kandungan kimiawi fluida. Data sekunder berbagai PLTP utamanya yang berlokasi di Indonesia, Filipina dan Selandia baru menjadi tumpuan utama analisis karena keterbatasan ketersediaan data. Berkat ketersediaan data yang lebih baik penelitian ini melakukan analisis lebih mendalam terhadap PLTP Dieng di Jawa Tengah. 10
1.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk 1. Merumuskan kriteria kehandalan yang secara spesifik bisa menunjukkan derajat kehandalan suatu PLTP yang dibangun dengan mempertimbangkan berbagai variabel khas PLTP. Kriteria kehandalan tersebut tidak akan hanya menunjukkan kemampuan pasok listrik, melainkan juga berbagai hal lain terkait pasok uap dan berbagai masalah yang bisa mengganggu kinerja PLTP. 2. Mengukur derajat kehandalan sejumlah PLTP di Indonesia 1.3. Batasan Masalah Batasan masalah pada studi ini adalah sebagai berikut 1. Studi dilakukan terhadap PLTP jenis entalpi tinggi. 2. Studi ini memfokuskan pada PLTP yang sudah beroperasi di Indonesia. Namun demikian, dalam menyusun analisisnya, studi ini memanfaatkan berbagai data relevan dari PLTP di Filipina dan Selandia Baru. 1.4. Keaslian Penelitian Belum dijumpai penelitian yang merumuskan kriteria kehandalan yang secara spesifik bisa menunjukkan derajat kehandalan suatu PLTP yang dibangun dengan mempertimbangkan berbagai variabel khas PLTP. 11
1.5. Manfaat Penelitian Beberapa manfaat mendasar yang dapat diberikan oleh penelitian adalah sebagai berikut 1. Memberi metoda penentuan derajad kehandalan yang memudahkan penilaian/evaluasi kehandalan PLTP yang melibatkan berbagai variabel khas, 2. Derajat kehandalan yang dihasilkan dapat dimanfaatkan guna pembandingan kehandalan antar PLTP dan 3. Derajat kehandalan yang dihasilkan dapat menjadi piranti perumusan program pemeliharaan serta perumusan kebijakan lain terkait, seperti pengembangan dan investasi PLTP 12