BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dalam era otonomi daerah ini, daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Hal ini, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan pemberian otonomi daerah kepada daerah atas dasar desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Pemerintah Pusat tidak lagi mempatronasi, apalagi mendominasi. Dalam konteks desentralisasi ini peran Pemerintah Pusat adalah melakukan supervisi, memantau, mengawasi, dan mengevaluasi pelaksanaan otonomi daerah. Perwujudan dari pemberian otonomi kepada pemerintah daerah adalah setiap daerah merencanakan, melaksanakan berbagai program, dan kegiatan untuk melayani masyarakat di segala bidang, menjalankan roda pemerintahan secara efektif dan efisien, mampu mendorong peran serta masyarakat, meningkatkan pemerataan dan keadilan dengan mengoptimalkan semua potensi yang dimiliki oleh pemerintah daerah (Kuncoro, 2012:319). Mardiasmo (2004:59) menyebutkan tujuan utama otonomi daerah adalah sebagai berikut: Tujuan utama penyelengaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah, pada dasarnya terkandung tiga misi utama pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu : (1) Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, (2) Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah, dan (3) Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. Dengan otonomi daerah diharapkan pemerintah daerah sebagai ujung tombak pemerintahan bertanggungjawab terhadap keberhasilan penyelenggaraan
2 pemerintahan di daerah, terutama pembangunan dan meningkatkan pelayanan publik yang berkualitas sesuai dengan harapan masyarakat. Implikasi dari pelaksanaan otonomi daerah adalah beban pengeluaran yang harus ditanggung daerah. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 yang menjadi motor desentralisasi fiskal, yang menjadikan Pemerintahan Daerah memiliki beberapa kewenangan fiskal sebagai bagian dari sumber anggaran daerah. Sebagai konsekuensi dari pemberian otonomi yang luas maka sumbersumber keuangan telah banyak bergeser ke Daerah baik melalui perluasan basis pajak (taxing power) maupun dana perimbangan. Hal ini sejalan dengan makna desentralisasi fiskal yang mengandung pengertian bahwa kepada Daerah diberikan: (1) kewenangan untuk memanfaatkan sumber keuangan sendiri yang dilakukan dalam wadah Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sumber utamanya adalah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dengan tetap mendasarkan batas kewajaran, (2) didukung dengan perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah. Untuk merealisasikan pelaksanaan otonomi daerah maka sumber pembiayaan pemerintah daerah tergantung pada peranan dan kontribusi PAD dan hal pembiayaan daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Pendapatan Asli Daerah bersumber dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Pajak dan retribusi daerah merupakan salah satu komponen pokok dari pendapatan asli daerah yang paling potensial dan memberikan masukan terbesar pada kas daerah. Menurut Mardiasmo (2009:14) Retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Retribusi daerah pada dasarnya dikelola sendiri oleh setiap daerah, artinya pengelolaan retribusi daerah ini antara daerah yang satu dengan yang lain berbeda-beda. Dengan demikian dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah, salah satunya ditempuh dengan jalan
3 meningkatkan penerimaan daerah dari sektor retribusi daerah, sehingga akan memperbesar tersedianya keuangan daerah yang dapat digunakan untuk berbagai kegiatan pembangunan. Dengan demikian akan memperbesar keleluasaan daerah untuk mengarahkan penggunaan keuangan daerah sesuai dengan rencana berdasarkan skala prioritas. Retribusi daerah merupakan salah satu komponen dari sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah yang diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah untuk menciptakan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, objek retribusi terdiri dari: jasa umum; jasa usaha; perizinan tertentu. Retribusi juga dibagi atas tiga golongan, yaitu; retribusi jasa umum; retribusi jasa usaha; retribusi perizinan tertentu. Pungutan retribusi yang dilakukan adalah dengan cara langsung berhubungan dengan masyarakat pengguna layanan publik dengan objek retribusinya adalah berbagai jenis jasa tertentu yang disediakan oleh pemerintah daerah. Tidak semua jasa yang diberikan oleh pemerintah daerah dapat dipungut retribusinya, tetapi hanya jenis-jenis tertentu yang menurut pertimbangan sosial ekonomi layak dijadikan sebagai objek retribusi. Berikut adalah daftar realisasi penerimaan retribusi daerah Kota Bandung dalam enam tahun terakhir: Tabel 1.1 Target dan Realisasi Pendapatan Retribusi Daerah Kota Bandung Tahun 2009-2014 Tahun 2009 2010 2011 2012 Target (Rp) Realisasi Jumlah (Rp) % Selisih (Rp) % 81.758.868.505,00 68.912.741.347,00 84,29 (12.846.127.158,00) -15,71 91.810.119.947,00 86.471.546.547,00 94,19 (5.338.573.400,00) -5,81 73.090.784.230,00 71.684.532.455,00 98,08 (1.406.251.775,00) -1,92 71.174.028.328,00 78.649.880.372,00 110,50 7.475.852.044,00 10,5
4 2013 100.816.228.425,00 115.508.351.284,00 114,57 14.692.122.859,00 14,57 2014 131.157.749.867,00 99.192.319.387,00 75,63 (31.965.430.480,00) -24,37 Sumber: DPKAD Kota Bandung Berdasarkan tabel 1.2 diatas dapat dilihat bahwa pada enam tahun terakhir, hanya tahun 2012 dan 2013 saja realisasi pendapatan dari retribusi daerah yang melampaui target yang telah ditetapkan, sedangkan empat tahun lainnya tidak dapat mencapai target. Pada tahun 2009 dari target yang ditetapkan sebesar Rp. 81.758.868.505,00 hanya terealisasi Rp. 68.912.741.347,00 saja, berarti terdapat Rp. 12.846.127.158,00 yang tidak terealisasi. Pada tahun 2010 adanya peningkatan penerimaan retribusi daerah dibandingkan dengan tahun 2009 yaitu sebesar Rp. 86.471.546.547,00, tetapi jumlah tersebut tidak mencapai target yang telah ditetapkan yaitu sebesar Rp. 91.810.119.947,00 dan terdapat Rp. 5.338.573.400,00 yang tidak terealisasi. Kemudian terjadi penurunan penerimaan pada tahun 2011 yaitu sebesar Rp. 71.684.532.455,00, dan jumlah tersebut tidak mencapai target yang telah ditetapkan. Berikutnya tahun 2012 mengalami peningkatan penerimaan retribusi yaitu sebesar Rp. 78.649.880.372,00 jumlah tersebut telah melampaui target yang ditetapkan. Begitu juga pada tahun 2013 masih terjadi peningkatan penerimaan yaitu sebesar Rp. 115.508.351.284,00 dan telah melampaui target yang ditetapkan. Dan pada tahun 2014 terjadi penurunan penerimaan yaitu sebesar Rp. 99.192.319.387,00 dibandingkan dengan yang ditargetkan yaitu sebesar Rp. 131.157.749.867,00 sehingga cukup banyak yang tidak terealisasi yaitu sebesar Rp. 31.965.430.480,00 dari yang ditargetkan. Tidaknya hanya target yang tidak dapat terealisasi, penetapan target retribusi daerah pada tahun 2010 sampai tahun 2012 pun mengalami penurunan. Hal tersebut menunjukkan bahwa di Kota Bandung salah satu sumber pendapatan asli daerah yang belum optimal dan terkelola dengan baik yaitu retribusi daerah yang di setiap tahunnya mengalami fluktuasi. Permasalahan umum yang sering ditemukan dalam pengelolaan retribusi daerah yaitu masih terbatasnya kemampuan daerah dalam mengidentifikasi dan menetukan potensi riil obyek retribusi yang dimilikinya. Seharusnya upaya untuk
5 meningkatkan penerimaan retribusi didasarkan pada jenis retribusi yang berpotensi di daerah tersebut yaitu retribusi pasar. Retribusi Pasar termasuk dalam retribusi jasa umum yang memberikan kontribusi yang cukup potensial terhadap peningkatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Retribusi pasar perlu dikelola secara optimal, karena pada dasarnya retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah (UU No. 34 Tahun 2000). Untuk itu pemerintah daerah harus benar-benar menggunakan hasil retribusi pasar ini dengan sebaik-baiknya. Salah satu usaha yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam mengelola retribusi pasar ini adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan apa yang telah mereka bayarkan kepada pemerintah. Keberadaan pelayanan ini dirasakan cukup penting sebagai aspek yang harus dilakukan dalam tatanan demokrasi di daerah itu sendiri (Isna, 2005). Pelayanan publik sebagai indikator utama bagi pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku dan dikelola dengan baik, karena pemungutan dan pengelolaan retribusi pasar tidak dapat dilepaskan dari pelayanan yang diberikan. Mardiasmo (2004:149) menjelaskan sebagai berikut : Pungutan retribusi langsung berhubungan dengan masyarakat pengguna layanan publik. Peningkatanan retribusi secara otomatis akan mendorong peningkatan kualitas pelayanan publik karena masyarakat tentu tidak mau membayar lebih tinggi bila pelayanan yang diterima sama saja dengan kualitas dan kuantitasnya. Dengan demikian, pemerintah daerah ditantang untuk meningkatkan kinerjanya dalam memberikan pelayanan publik. Namun pada kenyataannya, pengelolaan retribusi pasar selama ini belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat pengguna jasa pasar. Wakil Wali Kota Bandung Oded M. Danial mengatakan, pengelolaan pasar tradisonal di Kota Bandung belum optimal. Akibatnya, kondisi pasar tradisonal pun masih buruk. (www.jurnalbandung.com, diakses 7 desember 2015 9:15) Retribusi pasar ini dikelola oleh Dinas Pengelolaan Pasar sejak Januari 2008 berubah menjadi Perusahaan Daerah Pasar Bermartabat. Alasan perubahan
6 nama ini adalah agar pelayanan terhadap masyarakat di area pasar dapat lebih meningkat dibandingkan ketika masih berbentuk Dinas Pengelolaan Pasar. Dengan perubahan pengelolaan tersebut diharapkan pengelolaan pasar menjadi lebih baik, tapi kenyataannya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Seperti yang dilansir dari www.jurnalbandung.com (05 Desember 2015), Oded menilai, sejak dikelola PD Pasar Bermartabat, pihaknya belum merasakan adanya peningkatan kondisi pasar. Bahkan beliau kerap menerima keluhan dari masyarakat tentang pengelolaan pasar yaitu, masih adanya oknum pengelola pasar yang melakukan tindakan tidak terpuji, seperti retribusi ilegal dan pelayanan yang buruk. Keluhan juga berdatangan dari pedagang pasar yang menilai pihak pengelola pasar cenderung lamban menangani keluhan insfrastruktur pasar, seperti pasar yang kotor maupun bangunan pasar yang rusak. Padahal, pedagang pasar taat membayar retribusi. Bahkan PAD dari pasar pun belum terasa, harusnya bisa lebih optimal. Melihat hal tersebut Direktur Utama PD. Pasar Bermartabat Kota Bandung Mochamad Rinal Siswadi, juga mengakui pelayanan dan pengelolaan pasar tradisional memang belum maksimal. Dari kondisi pasar tradisional di Kota Bandung ini hampir 80% nya sudah tua dan harus segera di revitalisasi. Memang kondisi pasar tradisional jauh tertinggal bila dibandingkan dengan pasar modern. Infrastruktur pasar hampir seluruhnya memerlukan renovasi dan perbaikan besarbesaran. (inspirasibangsa.com, 24 Januari 2014) Penelitian mengenai penerimaan retribusi pasar terhadap kualitas pelayanan pasar pernah dilakukan oleh Tri (2014), dimana penerimaan retribusi pasar yang selalu meningkat dari tahun ke tahun belum diimbangi dengan kualitas pelayanan pasar di Pasar Johar yang masih rendah karena masih terdapat kekurangan dalam pelayanannya antara lain: tidak terjaganya kebersihan dan kerapihan pasar, kurangnya respon Dinas Pasar dalam memahami kebutuhan pedagang. Berdasarkan fenomena dan permasalahan yang telah dikemukakan sebelumnya, penulis tertarik untuk meneliti melalui penulisan skripsi dengan
7 judul Pengaruh Efektivitas Pemungutan Retribusi Pelayanan Pasar Terhadap Kualitas Pelayanan Publik di Kota Bandung. 1.2 Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka rumusan masalah dalam penelitian ini, sebagai berikut: 1. Bagaimana efektivitas pemungutan retribusi pelayanan pasar. 2. Bagaimana kualitas pelayanan publik. 3. Bagaimana pengaruh efektivitas pemungutan retribusi pasar terhadap kualitas pelayanan publik. 1.3 Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui efektivitas pemungutan retribusi pelayanan pasar. 2. Untuk mengetahui kualitas pelayanan publik di pasar Kota Bandung. 3. Untuk mengetahui pengaruh efektivitas pemungutan retribusi pelayanan pasar terhadap kualitas pelayanan publik di pasar Kota Bandung. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran dan informasi bagi pemerintah Kota Bandung mengenai efektivitas pemungutan retribusi pelayanan pasar terhadap kualitas pelayanan publik yang diberikan pemerintah kepada masyarakat terutama pedagang. Sehingga pemerintah Kota Bandung diharapkan dapat lebih menigkatkan pelayanan publik bagi pengguna pasar khususnya pedagang. 1.4.2 Manfaat Akademis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah penelitian dan memberikan sumbangan bagi pengembangan keilmuan terutama akuntansi sektor publik. Diharapkan juga penelitian ini berguna bagi pengembangan penelitian sejenis bagi pihak lain yang akan membahas tentang retribusi pelayanan pasar dan pelayanan publik.