BAB I PENDAHULUAN I.1.Latar Belakang Pada saat ini kegiatan pelayanan kesehatan tidak terlepas dari aspek hukum yang melindungi pasien dari hal hal yang tidak di inginkan akibat dari tindakan medis yang diterimanya. Seseorang dalam kondisi sakit akan pergi berobat ke dokter dan menyerahkan kepercayaannya kepada dokter, karena dokter dianggap lebih mengetahui tentang segala sesuatu menyangkut penyakit pasien (Komalawati, 2002). Agar pemberian pertolongan dapat berfungsi di dalam pelayanan medik, dokter perlu memberikan informasi atau keterangan kepada pasien tentang keadaan dan situasi kesehatannya (Hendrik, 2002). Seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi, pasien sudah berkembang menjadi kritis terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan kepadanya dan menuntut hak-haknya sebagai pasien. Pada pelayanan medis di Indonesia terdapat adanya informed consent yang telah dikeluarkan oleh Permenkes Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 disebut sebagai persetujuan 1
2 tindakan medik adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Hal ini berlaku bagi para dokter, baik yang bekerja di rumah sakit, puskesmas, klinik, dan praktik perorangan maupun praktik bersama. Konteks pengembangan isi informed consent mempunyai kaitan langsung dengan informasi diagnosis (adequat information) dan wajib simpan rahasia kedokteran (medical secrecy). Sarana adequat information adalah pembuatan persetujuan atau penolakan tindakan medis oleh pasien, yang pelaksanaannya dilakukan setelah pasien memahami semua penjelasan dokter tentang kondisi kesehatannya (Poernomo, 1999). Seringkali pemberian informed consent dianggap suatu yang merupakan kelengkapan formal yang rutin saja di rumah sakit. Padahal pasien mempunyai hak yang harus dihormati, diantaranya hak atas informasi, hak untuk memberikan pemahaman terhadap informed consent adalah hak informasi dan hak memberikan persetujuan. Dengan demikian pasien itu mempunyai hak otonomi sebagaimana disebutkan bahwa informed consent merupakan dasar hubungan antara klien dan profesional kesehatan yang
3 didasari pada prinsip otonomi manusia yang paling fundamental (Fromer, 1981). Pada prinsipnya informed consent adalah proses, bukan hanya sekedar meminta pasien untuk menandatangani suatu formulir. Penandatanganan oleh pasien hanya merupakan suatu kelanjutan atau pengukuhan apa yang sebenarnya sudah disepakati sebelumnya antara dokter dan pasien (Guwandi, 2004). Perbedaan antara pemberian informasi oleh dokter dan penerima (pengertian) oleh pasien, sehingga sangat mungkin terjadi informasi telah diberikan oleh dokter tetapi belum dimengerti atau dipahami oleh pasien karena informasi yang diberikan oleh dokter tidak lengkap. Dalam keadaan seperti ini, pasien belum informed dan dengan demikian informed consent dalam pengertian sebenarnya juga belum terwujud (Hendrik, 2002). Kuzel (2004). Dalam penelitiannya mengemukakan bahwa pasien lebih peduli pada komunikasi yang baik dengan dokternya. Dan ternyata sebagian besar error disebabkan oleh misinterpretasi atas komunikasi dengan dokter. Bila diperhatikan kasus kasus gugatan malpraktik yang terjadi, hampir sebagian besar ketidakjelasan
4 disebabkan oleh kurangnya komunikasi antara tenaga kesehatan dengan pasien,terutama hak atas informed consent (Kerbala, 1993). Berkaitan dengan uraian tersebut di atas, untuk terlaksananya penyampaian informasi yang lengkap maka harus ditunjang dengan pengetahuan dari dokter yang memeriksanya. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengambil topik penulisan dengan judul Tingkat Pengetahuan Dokter Terhadap Kelengkapan Penyampaian Informasi dalam Pelaksanaan Informed Consent di Rumah Sakit Umum Wilayah Kota Surakarta. I.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah tingkat pengetahuan dokter terhadap kelengkapan penyampaian informasi dalam pelaksanaan informed consent di Rumah Sakit wilayah Kota Surakarta?. I.3. Tujuan Penelitian Mengetahui tingkat pengetahuan dokter terhadap kelengkapan penyampaian informasi dalam pelaksanaan
5 informed consent di Rumah Sakit Wilayah Kota Surakarta. I.4. Keaslian Penelitian Penelitian oleh Ishak Kunji (1999) tentang Tingkat Pengetahuan Dokter terhadap Implementasi Informed Consent Pada Pelayanan Kesehatan di RSU Ulin Banjarmasin. Hasil penelitian diperoleh bahwa tingkat pengetahuan dokter secara keseluruhan baik. Dalam implementasi tersebut pula sangat tergantung dengan informasi yang diberikan oleh dokter kepada pasien. Penelitian oleh Surianto (2006) Mengenai Gambaran Pemberian Informed Consent di Ruang Rawat Inap Teratai RSUD Undata Palu. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pemberi informed consent kepada pasien sudah dilakukan oleh dokter, pasien menerima penjelasan tindakan medik langsung dari dokter hal ini sudah cukup baik dengan lama pemberian informasi selama 20 menit.persetujuan tindakan medik masih ditanda tangani oleh pihak kedua (keluarga pasien). Yang membedakan penelitian ini dengan penelitianpenelitian sebelumnya yaitu tempat dan waktu pelaksanaan penelitian serta pada penelitian ini
6 memfokuskan pada kelengkapan komunikasi dokter dalam pelaksanaan informed consent. I.5. Manfaat Penelitian 1. Bagi Rumah Sakit Penelitian ini dapat memberikan masukan untuk mempertahankan atau meningkatkan tingkat pengetahuan dokter terhadap kelengkapan penyampaian informasi dalam pelaksanaan informed consent di Rumah Sakit Wilayah Surakarta. 2. Bagi Institusi Pendidikan a. Sebagai bahan masukan dalam proses belajar mengajar. b. Sebagai bahan bacaan guna menambah wawasan bagi mahasiswa atau pembaca mengenai kelengkapan informasi dalam informed consent. 3. Bagi Peneliti a. Manfaat penelitian ini yaitu memperoleh informasi mengenai tingkat pengetahuan dokter terhadap kelengkapan penyampaian informasi dalam pelaksanaan informed cosent. b. Hasil penelitian ini sebagai acuan bagi peneliti untuk penelitian selanjutnya.