PENDAHULUAN Latar Belakang Kedelai (Glycine max (L) Merrill) merupakan sumber protein terpenting di Indonesia. Kandungan protein kedelai sangat tinggi, sekitar 35%-40%, persentase tertinggi dari seluruh tumbuhan yang dikenal (Salisbury dan Ross 1992; Adisarwanto 2005). Kedelai juga memiliki kandungan asam amino (metionin, isoleusin, leusine, fenilalanin, treonin, triptofan, valin, dan lisin) yang lebih tinggi dibanding bahan pangan serealia lainnya (Suprapto 2001). Karena itu, keberadaan kedelai diharapkan dapat memperbaiki dan meningkatkan gizi masyarakat. Sejalan dengan peran penting kedelai dalam pangan masyarakat serta pertambahan penduduk, Indonesia harus mengimpor kedelai. Sebelum tahun 1975, Indonesia pernah berswasembada kedelai. Setelah itu impor kedelai meningkat sangat pesat, puncaknya terjadi pada tahun 1993 dan 1996, masingmasing sebesar 700 ribu dan 744 ribu ton (Swastika et al. 2002). Dalam periode 2000-2004 impor kedelai telah mencapai rata-rata 1.20 juta ton/tahun (BPS 2005). Di sisi lain produksi kedelai pada tahun 1999 mencapai 1.38 juta ton sedangkan pada tahun 2000, 2001, 2002, 2003, 2004 masing-masing hanya mencapai 1.02, 0.83, 0.67, 0.67, dan 0.72 juta ton (BPS 2005). Uraian di atas menunjukkan bahwa kebutuhan kedelai meningkat dari tahun ke tahun, sebaliknya produksi kedelai cenderung menurun. Untuk mengurangi impor tersebut, upaya-upaya ke arah peningkatan produktivitas dan luas tanam kedelai perlu mendapat perhatian. Potensi produksi kedelai di Indonesia mencapai lebih dari 2.0 ton/ha, namun sejauh ini produksi aktual di tingkat petani hanya mencapai rata-rata 1.2 ton/ha (Badan Litbang Deptan 2004). Rendahnya produksi kedelai disebabkan oleh berbagai faktor antara lain kondisi lingkungan biotik maupun abiotik yang kurang optimal seperti kekeringan, intensitas cahaya rendah, serangan hama pengisap polong dan penyakit karat, serta rendahnya penguasaan dan penerapan teknologi budidaya. Informasi ini mengindikasikan bahwa diperlukan upaya perbaikan produktivitas tanaman untuk kondisi spesifik melalui perakitan varietas toleran. Dalam peningkatan produksi melalui peningkatan luas tanam, terdapat banyak kendala terutama terbatasnya lahan-lahan subur, sehingga pemanfaatan lahan tidur di bawah tegakan tanaman perkebunan atau hutan tanaman industri
2 (HTI) menjadi salah satu pilihan. Potensi lahan tidur di bawah tegakan tanaman perkebunan maupun HTI cukup besar. Luas areal perkebunan mencapai 16.86 juta ha dengan luas areal tanaman baru sekitar 3.23 juta ha sedangkan luas areal HTI mencapai 8.82 juta ha (BPS 2004). Areal tanaman baru dapat ditumpangsarikan dengan kedelai sampai tanaman pokok berumur 2 3 tahun (Sopandie el al 2002). Peningkatan produksi kedelai dengan memanfaatkan lahan tidur di bawah tegakan tanaman perkebunan atau HTI telah menjadi salah satu strategi (Pinem 2000). Dalam Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-2010 disebutkan bahwa lebih dari 2 juta ha lahan di bawah tegakan tanaman perkebunan dan HTI telah menjadi salah satu program peningkatan luas areal panen kedelai (Badan Litbang Deptan 2005). Apabila 10% luas areal tersebut atau sekitar 200 ribu ha diasumsikan cocok bagi budidaya kedelai dan hasil kedelai dapat mencapai 80% kondisi optimum (Sopandie el al. 2002) atau sekitar 0.96 ton/ha, maka budidaya kedelai di bawah tegakan dapat menyumbangkan sekitar 192 ribu ton atau sekitar 16% dari rata-rata impor tahun 2000-2004. Lahan di bawah tegakan memiliki berbagai faktor pembatas, antara lain intensitas cahaya rendah. Asadi et al. (1997) menyebutkan bahwa TBM berumur 2-3 tahun memberikan naungan sebesar 33-50%. Menurut Adisarwanto et al. (2000) naungan 50% tidak sesuai bagi pertanaman kedelai, sehingga kedelai yang akan dikembangkan sebagai tanaman sela harus toleran terhadap intensitas cahaya rendah. Menurut Levitt (1980), toleransi tanaman terhadap intensitas cahaya rendah dapat diperoleh melalui mekanisme penghindaran (avoidance) untuk efisiensi penangkapan cahaya dan mekanisme toleran (tolerance) untuk efisiensi penggunaan cahaya. Mekanisme penghindaran berkaitan dengan respon perubahan morfoanatomi daun seperti peningkatan luas daun sehingga daun menjadi tipis (Lee et al. 2000, Awada dan Redmann 2000, Evans dan Poorter 2001, Khumaida 2002), pengurangan trikoma (Levitt 1980, Taiz dan Zeiger 2002), peningkatan klorofil (Bailey et al. 2001, Khumaida 2002, Sopandie et al. 2003a), dan pengurangan pigmen non-fotosintetik (Levitt 1980). Mekanisme toleran berkaitan dengan penurunan titik kompensasi cahaya (Murchie dan Horton 1997, Taiz dan Zeiger 2002) dan respirasi yang efisien (Levitt 1980, Fitter dan Hay 1989, Awada dan Redmann 2000, Taiz dan Zeiger 2002). Sejauh ini, penurunan titik kompensasi
3 cahaya untuk fotosintesis dan respirasi yang efisien pada kedelai belum dilaporkan. Dalam studi morfo-anatomi dan fisiologis terkait efisiensi penangkapan dan penggunaan cahaya pada sejumlah genotipe kedelai disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara kedelai toleran dan peka intensitas cahaya rendah (Khumaida 2002, Sopandie et al. 2003a, Lestari 2005, Tyas 2006, Jurfri 2006). Informasi tersebut menunjukkan bahwa, tersedia peluang yang besar untuk merakit varietas kedelai toleran intensitas cahaya rendah. Keberhasilan perakitan varietas sangat tergantung pada pengetahuan tentang kendali genetik karakter toleransi intensitas cahaya rendah sehingga pola pewarisan karakter-karakter tersebut perlu dipelajari untuk dimanfaatkan dalam program perbaikan tanaman. Rumusan Masalah Pemanfaatan lahan tidur di bawah tegakan merupakan salah satu pilihan dalam upaya peningkatan luas tanam dan produksi kedelai, namun terdapat beberapa faktor pembatas pertumbuhan dan perkembangan tanaman antara lain intensitas cahaya rendah. Tanaman kedelai yang akan dibudidayakan dalam kondisi demikian harus toleran terhadap intensitas cahaya rendah agar dapat tumbuh dan berkembang serta berproduksi tinggi. Kedelai toleran intensitas cahaya rendah memiliki ciri-ciri : (1) morfo-anatomi yang mendukung efisiensi penangkapan cahaya, dan (2) karakter fisiologis yang dapat mempertahankan laju fotosintesis dan laju respirasi rendah. Informasi respon morfo-anatomi dan fisiologi terhadap intensitas cahaya rendah sangat penting bagi program pemuliaan perbaikan sifat tanaman. Sejauh ini, informasi tentang kendali genetik terhadap karakter toleransi intensitas cahaya rendah pada kedelai masih sangat terbatas, karena itu perlu dilakukan studi pola pewarisan. Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan untuk : a) Mengidentifikasi mekanisme adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah melalui karakter morfologi, anatomi, dan fisiologi, b) Memperoleh informasi tentang pewarisan sifat toleransi terhadap intensitas cahaya rendah melalui efisiensi penangkapan cahaya.
4 Kerangka Pemikiran Intensitas cahaya di bawah tegakan tanaman perkebunan atau HTI lebih rendah dari areal terbuka karena terjadi penutupan oleh kanopi tanaman utama. Pada perkebunan karet umur 2, 3, dan 4 tahun, intensitas cahaya di bawah tegakan berturut-turut setara dengan naungan paranet 25%, 50%, dan 75% (Chozin et al. 1999). Pada perkebunan kelapa umur lima tahun, intensitas cahaya di bawah tegakan hanya sekitar 50% (Magat 1989). Intensitas cahaya 50% tidak sesuai lagi bagi pertanaman kedelai (Adisarwanto et al. 2000) sehingga diperlukan upaya untuk memperoleh varietas kedelai yang adaptif. Hasil penelitian menggunakan naungan ringan (33%) dimana kedelai ditumpangsarikan dengan jagung telah dilepas varietas Pangrango sebagai kedelai yang adaptif (Asadi dan Arsyad 1995) sedangkan upaya pemuliaan kedelai untuk pola tumpangsari dengan kondisi naungan yang lebih berat (± 50%) masih sangat terbatas. Upaya pemuliaan kedelai toleran naungan berat dapat dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut : (1) identifikasi mekanisme efisiensi penangkapan dan penggunaan cahaya pada kedelai yang mendapat naungan berat, (2) mempelajari pola pewarisan karakter toleransi terhadap naungan berat, (3) menyeleksi galur-galur toleran terhadap naungan berat, dan (4) uji daya hasil dalam kondisi naungan berat pada waktu yang berbeda. Identifikasi mekanisme toleransi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah telah dilakukan oleh beberapa peneliti (Khumaida 2002, Sopandie et al. 2002, Handayani 2003, Sopandie et al. 2003a, Lestari 2005, Tyas 2006, Jurfri 2006), namun informasi aspek fotosintesis dan respirasi yang efisien masih terbatas. Penelitian awal untuk mempelajari pola pewarisan karakter toleransi terhadap naungan berat juga telah dilakukan (Sopandie et al. 2002, Handayani 2003, Trikoesoemaningtyas et al. 2003). Dalam studi tersebut diketahui bahwa beberapa sifat morfologi daun kedelai dikendalikan oleh gen-gen major, demikian pula klorofil. Dalam keadaan ternaungi, tetua betina berpengaruh nyata terhadap pewarisan tinggi tanaman, luas daun, jumlah polong, dan jumlah biji per polong (Trikoesoemaningtyas et al. 2003), kecuali kandungan klorofil a, klorofil b, dan karoten (Handayani 2003). Uraian di atas menunjukkan bahwa, informasi yang lebih lengkap tentang kendali genetik sifat toleransi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah belum diketahui.
5 Hipotesis a) Adaptasi morfo-anatomi pada kedelai genotipe toleran intensitas cahaya rendah lebih baik sehingga lebih efisien menangkap cahaya. b) Penggunaan cahaya pada genotipe toleran yang lebih efisien diperoleh dengan meningkatkan kandungan klorofil, mengurangi kandungan antosianin, mempertahankan aktivitas fotosintesis, serta respirasi yang lebih rendah. c) Kandungan klorofil dan kerapatan trikoma diwariskan dengan heritabilitas yang tinggi. d) Aksi gen-gen yang mengendalikan ekspresi kerapatan trikoma dan kandungan klorofil bersifat aditif. Ruang Lingkup Penelitian Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini dirumuskan ke dalam tiga aspek : (1) mekanisme efisiensi penangkapan cahaya, (2) mekanisme efisiensi penggunaan cahaya, dan (3) pola pewarisan sifat toleransi terhadap intensitas cahaya rendah. Ketiga aspek tersebut dikelompokkan menjadi empat subjudul penelitian : (1) mekanisme efisiensi penangkapan cahaya pada kedelai toleran dan peka intensitas cahaya rendah, (2) aktivitas enzim-enzim fotosintetik dan respirasi pada kedelai toleran dan peka intensitas cahaya rendah, (3) respon fotosintesis dan respirasi pada kedelai toleran dan peka intensitas cahaya rendah, dan (4) pewarisan sifat efisiensi penangkapan cahaya pada kedelai. Perubahan morfologi, anatomi, dan kandungan pigmen yang merupakan adaptasi tanaman untuk efisiensi penangkapan cahaya dipelajari dalam subjudul penelitian pertama. Efisiensi penggunaan cahaya tersebut dipelajari berdasarkan aktivitas enzim fotosintesis dan respirasi (subjudul penelitian kedua) dan respon fotosintesis dan respirasi (subjudul penelitian kedua). Karakter atau peubah terkait penangkapan cahaya yang berkorelasi dan memberikan kontribusi besar terhadap hasil dipelajari kendali genetiknya dalam subjudul penelitian keempat. Dalam pelaksanaan penelitian, masing-masing subjudul dilakukan dalam dua kajian. Subjudul penelitian 1, 2, dan 3, kajian dilakukan terhadap empat tetua kedelai dengan perlakuan intensitas cahaya dalam periode waktu yang lama (longterm exposure) dan perlakuan intensitas cahaya dalam periode waktu singkat (shor-term exposure). Subjudul keempat dilakukan pada intensitas cahaya rendah
6 (50%) menggunakan tetua dan populasi dialel. Garis besar seluruh kegiatan penelitian disajikan dalam Gambar 1. Intensitas Cahaya 100% (Long-term exposure) Penangkapan dan Penggunaan Cahaya secara Efisien 1 Mekanisme Efisiensi Penangkapan cahaya KEDELAI (TETUA) Intensitas Cahaya 50% (Short-term exposure) Responsivitas Perubahan Karakter 2 3 Aktivitas Enzim Fotosintesis dan Respirasi Respon Fotosintesis dan Respirasi Analisis Korelasi dan Sidik Lintas serta Analisis Ragam POPULASI DIALEL Aksi Gen, Heritabilitas, Karakter Seleksi 4 Pewarisan Sifat Toleransi Kedelai terhadap Intensitas Cahaya Rendah Gambar 1. Alur Kegiatan Penelitian