PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG PERIKANAN

dokumen-dokumen yang mirip
POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PEMBERANTASAN KEGIATAN PERIKANAN LIAR (IUU FISHING)

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

BAB V PENUTUP. Pencegahan Illegal Fishing di Provinsi Kepulauan Riau. fishing terdapat pada IPOA-IUU. Dimana dalam ketentuan IPOA-IUU

PELAKSANAAN TINDAKAN KHUSUS TERHADAP KAPAL PERIKANAN BERBENDERA ASING DALAM PASAL 69 AYAT (4) UU NO. 45 TAHUN 2009

LAPORAN PENELITIAN INDIVIDU PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK TINDAK PIDANA DALAM RUU KUHP

MEMPERKUAT MEKANISME KOORDINASI DALAM PENANGANAN ABK DAN KAPAL IKAN ASING

PENENGGELAMAN KAPAL SEBAGAI USAHA MEMBERANTAS PRAKTIK ILLEGAL FISHING

BAB 1 PENDAHULUAN. dijaga keamanan dan dimanfaatkan untuk kemakmuran Indonesia. Wilayah negara

PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA DI BIDANG PERIKANAN

Kata Kunci : Yurisdiksi Indonesia, Penenggelaman Kapal Asing, UNCLOS

BAB III TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING) SEBAGAI TINDAK PIDANA INTERNASIONAL DI PERAIRAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang sebagian besar

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2001 TENTANG

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. pembahasan di atas, dapat ditarik tiga kesimpulan sebagai berikut:

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

I. PENDAHULUAN. terhadap kekayaan negara maupun transnational crime menunjukkan perkembangan

PENYIDIKAN TERHADAP TINDAK PIDANA YANG TERJADI DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 115 TAHUN 2015 TENTANG SATUAN TUGAS PEMBERANTASAN PENANGKAPAN IKAN SECARA ILEGAL (ILLEGAL FISHING)

SKRIPSI ANALISIS YURIDIS PEMIDANAAN TERHADAP WARGA NEGARA ASING SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PERIKANAN

Lex et Societatis, Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017. PENEGAKAN HUKUM PADA TINDAK PIDANA PERIKANAN 1 Oleh: Vianny Andreyna Dirks 2

DISKUSI PANEL PADA RAKORNAS IUU FISHING

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia

JAKARTA (4/3/2015)

luas. Secara geografis Indonesia memiliki km 2 daratan dan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

RETREAT ISU STRATEGIS DAN KEGIATAN PRIORITAS PENGAWASAN. Kepala Subbagian Perencanaan dan Penganggaran Ditjen PSDKP

III. METODE PENELITIAN. Cara penulisan skripsi ini, penulis menggunakan pendekatan normatif dan empiris

Kapita Selekta: Multidoor Approach & Corporate Criminal Liability dalam Kasus Pidana Perikanan

- l~ r C.r C. ~,J:: ')!; "f ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA DYAH HARINI

Peran PPNS Dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan. Oleh: Muhammad Karno dan Dahlia 1

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

BAGANISASI DI PERAIRAN PULAU SEBATIK DALAM MENGATASI ILLEGAL FISHING ( Baganisasi in the Sebatik Island Waters on Combating Illegal Fishing)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Peranan PPNS Perikanan Dalam Penanganan Tindak Pidana Perikanan

BAB IV TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TENTANG PELAKSANAAN TINDAKAN KHUSUS TERHADAP KAPAL PERIKANAN BERBENDERA

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

PROSIDING SEMINAR NASIONAL MULTI DISIPLIN ILMU & CALL FOR PAPERS

KEBIJAKAN PENENGGELAMAN KAPAL ASING PELAKU ILLEGAL FISHING OLEH PEMERINTAH INDONESIA DALAM PERSFEKTIF HUKUM PIDANA INTERNASIONAL

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap negara pada prinsipnya mempunyai kedaulatan penuh atas

BAB I PENDAHULUAN. Pidana (KUHAP) adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

LAPORAN AKHIR ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PEMBERANTASAN KEGIATAN PERIKANAN LIAR (IUU FISHING)

BAB I PENDAHULUAN. tabu untuk dilakukan bahkan tidak ada lagi rasa malu untuk

PENANGANAN PERKARA PERIKANAN

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

DAMPAK KEGIATAN IUU-FISHING DI INDONESIA

PENCEGAHAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar

Prof. Melda Kamil Ariadno, Ph.D. Fakultas Hukum UI PUSANEV_BPHN

6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Rancangbangun hukum pulau-pulau perbatasan merupakan bagian penting dari ketahanan negara.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERIZINAN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

Jurnal Ilmiah. Kebijakan Kementerian Kelautan Indonesia Dalam Kasus Pencurian Ikan Oleh Nelayan Malaysia Di Perairan Natuna Indonesia

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kelima, Penyidikan Oleh Badan Narkotika Nasional (BNN)

BAB I PENDAHULUAN. wilayahnya dan berbatasan langsung dengan beberapa negara lain. Sudah

KEJAHATAN TRANSNASIONAL DI INDONESIA DAN UPAYA PENANGANANNYA. Penyunting Humphrey Wangke

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan permasalahan yang muncul sejak berdirinya

Revisi UU KPK Antara Melemahkan Dan Memperkuat Kinerja KPK Oleh : Ahmad Jazuli *

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

BAB 1 PENDAHULUAN. kewenangan dalam rangka menetapkan ketentuan yang berkaitan dengan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai

BAB IV TINJAUAN HUKUM TERHADAP PENCURIAN IKAN OLEH KAPAL ASING DIPERAIRAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF BERDASARKAN UNDANG-

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap Negara dapat dipastikan harus selalu ada kekuatan militer untuk

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KEHUTANAN. Oleh: Esti Aryani 1 Tri Wahyu Widiastuti 2. Abstrak

PERAN PERWIRA PENYERAH PERKARA DALAM TINDAK PIDANA MILITER (STUDI DENPOM IV/ 4 SURAKARTA)

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

PUSANEV_BPHN. Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum memiliki

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Presiden, DPR, dan BPK.

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

FUNGSI LEGISLASI: PEmbENtUkAN dan PELAkSANAAN beberapa UNdANG-UNdANG republik INdoNESIA

I. PENDAHULUAN. Hakekat pembangunan nasional adalah membangun seluruh manusia Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak pernah lepas dengan. berbagai macam permasalahan. Kehidupan bermasyarakat akhirnya

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini

BAB I PENDAHULUAN. fenomena penangkapan ikan tidak sesuai ketentuan (illegal fishing), yaitu

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. maraknya penggunaan media elektronik mulai dari penggunaan handphone

I. PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya sebagaimana tercantum

BAB I PENDAHULUAN. atributif dan peraturan normatif. Peraturan hukum atributif

I. PENDAHULUAN. Penanganan dan pemeriksaan suatu kasus atau perkara pidana baik itu pidana

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan pangan, kebutuhan listrik dan lain sebagainya. Perilaku korupsi itu

Penenggelaman Kapal Asing dalam Upaya Perlindungan Sumber Daya Laut di Indonesia: Perspektif Hukum Indonesia dan Hukum Internasional 1

Transkripsi:

LAPORAN PENELITIAN KELOMPOK PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG PERIKANAN O L E H Puteri Hikmawati, SH., MH. Novianti, SH., MH. Dian Cahyaningrum, SH., MH. Prianter Jaya Hairi, S.H., L.LM. Marfuatul Latifah, SHI., L.LM. PUSAT PENGKAJIAN PENGOLAHAN DATA DAN INFORMASI SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI 2015

RINGKASAN EKSEKUTIF Dalam dekade 10 tahun terakhir eksploitasi dan eksplorasi hasil perikanan di Indonesia menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan. Kerugian negara akibat penangkapan ikan secara ilegal atau illegal fishing sangatlah besar. Data Badan Pangan Dunia atau FAO mencatat kerugian Indonesia per tahun akibat illegal fishing sebesar Rp.30 triliun. Jumlah tersebut dinilai cukup kecil oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Menurut Susi, kerugian negara akibat illegal fishing per tahun sebenarnya bisa mencapai lebih dari US$ 20 miliar atau sekitar Rp.300 triliun, sehingga, selama 10 tahun terakhir, total kerugian negara mencapai Rp.3.000 triliun. Salah satu penyebab kerugian tersebut adalah banyaknya kapal asing ilegal yang menangkap ikan di laut Indonesia. Jumlah kapal asing lebih dari 1.000 unit, dan yang tidak mempunyai izin berkisar 3-5 kali lipatnya. Jumlah tangkapan satu kapal mencapai 600-800 ton per tahun. 1 Dalam memberantas illegal fishing di samping mengikuti hukum acara yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 (UU Perikanan) juga memuat hukum acara tersendiri sebagai ketentuan khusus (lex specialis). Beberapa ketentuan khusus yang diatur dalam UU Perikanan, di antaranya pemberian kewenangan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil perikanan, perwira TNI AL, dan pejabat polisi negara Republik Indonesia, serta pembentukan pengadilan perikanan. Kebijakan Pemerintah dalam menenggelamkan kapal menimbulkan pro kontra dalam masyarakat dan kekhawatiran bahwa tindakan penenggelaman tersebut akan berdampak pada hubungan antar negara, khususnya dari negara-negara asal nelayan tersebut. Bahkan, tindakan tersebut dikaitkan dengan pelanggaran HAM, pelanggaran hukum, dan tindakan tidak manusiawi. Selain itu, pelaksanaan penyidikan dalam pemberantasan tindak pidana di bidang perikanan yang dimiliki oleh Kepolisian, Penyidik 1 Susi: "Illegal Fishing" Rugikan Negara Rp 300 Triliun Per Tahun, http://finance.detik.com/read/2014/12/01/152125/2764211/4/menteri-susi-kerugian-akibat-illegalfishing-rp-240-triliun, diakses pada 15 Januari 2015.

Pegawai Negeri Sipil (PPNS), dan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) (Pasal 73 ayat (1) UU Perikanan) masih menimbulkan persoalan. Banyaknya institusi yang berwenang dalam pemberantasan tindak pidana di bidang perikanan belum membuat efektif penegakan hukum tindak pidana di bidang perikanan, sehingga dibentuk Badan Keamanan Laut (Bakamla) berdasarkan Perpres No. 178 Tahun 2014 sebagai pengganti Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla). Terakhir, dibentuk Satgas Pemberantasan Illegal Fishing dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Tahun 2014. Terkait dengan kelembagaan Pengadilan Perikanan (Pasal 71 UU Perikanan), pembentukan pengadilan perikanan di lingkungan peradilan umum dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan. Saat ini telah dibentuk 10 pengadilan perikanan, namun perkara tindak pidana di bidang perikanan yang ditangani tujuh pengadilan perikanan yang sudah aktif selama periode 2007 hingga 2013 masih sangat sedikit. Demikian pula, masalah penerapan sanksi terhadap tindak pidana di bidang perikanan. Sanksi penenggelaman kapal misalnya, dalam UU Perikanan tidak disertai prosedur pelaksanaannya. Selain itu, penjatuhan pidana terhadap tindak pidana di bidang perikanan belum menimbulkan efek jera. Pengaturan sanksi administrasi sangat kurang. Belum efektifnya penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan ini juga memberi dampak yang besar terhadap industri perikanan. Tindak pidana di bidang perikanan menimbulkan kerugian secara langsung maupun tidak langsung, berupa kerugian material maupun imaterial, dari aspek ekonomi, ekologi, maupun sosial. Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah bagaimana penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan? Dari permasalahan tersebut, ada lima pertanyaan penelitian yang diajukan, yaitu pertama, bagaimana penerapan hukum internasional terkait dengan tindak pidana di bidang perikanan? Kedua, bagaimana pelaksanaan kewenangan penyidikan oleh institusi penegak hukum dan institusi-institusi terkait dalam pemberantasan tindak pidana di bidang perikanan? Ketiga, bagaimana pelaksanaan proses penegakan hukum tindak pidana di bidang perikanan pada pengadilan perikanan? Keempat, bagaimana penerapan sanksi dalam tindak pidana di bidang perikanan? dan kelima, bagaimana dampak penegakan hukum tindak pidana di bidang perikanan terhadap industri perikanan?

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan atau manfaat, baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memperkuat khasanah ilmu pengetahuan hukum, khususnya dalam bidang hukum pidana. Sedangkan secara praktis, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan bagi DPR RI dalam melakukan pembahasan RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, sebagaimana yang tercantum dalam Program Legislasi Nasional Tahun 2015-2019. Berdasarkan fokus penelitian, jenis penelitian Penegakan Hukum Tindak Pidana di Bidang Perikanan ini merupakan penelitian hukum normatif-empiris. Sedangkan berdasarkan sifat penelitian, penelitian ini bersifat deskriptif analitis, dengan menggunakan metode pendekatan kualitatif. Dengan demikian, dalam melaksanakan penelitian hukum ini, Tim Peneliti memulainya dengan mengkaji ketentuan-ketentuan hukum positif terkait penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan, kemudian mengkaji penerapan ketentuan-ketentuan hukum positif pada peristiwa hukum perkara tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi selama ini, khususnya di daerah penelitian. Dengan penggunaan kedua tahapan tersebut, maka penelitian normatif-empiris ini membutuhkan data sekunder dan data primer. Data sekunder yang dimaksud terdiri dari bahan hukum primer (primary sources), dan bahan hukum sekunder (secondary sources). Sedangkan data primer diperoleh langsung dari sumbernya, yakni masyarakat. 2 Data primer umumnya diperoleh melalui wawancara, observasi maupun laporan dalam bentuk dokumen tidak resmi yang kemudian diolah oleh peneliti. 3 Dalam penelitian ini data primer diperoleh dari aparat penegak hukum, pejabat pemerintah, pengusaha, masyarakat nelayan, melalui wawancara dan laporan dalam bentuk dokumen, serta para akademisi yang memiliki kompetensi dalam masalah tindak pidana di bidang perikanan melalui focus group discussion (FGD). Penelitian dilakukan dari bulan Februari sampai dengan Oktober 2015. Adapun penelitian ke daerah dilakukan di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) dan Provinsi Sulawesi Utara (Sulut), dengan waktu pelaksanaan penelitian sebagai berikut Provinsi Kepulauan 2 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia (UI-PRESS), Jakarta, 2010, hal 51. 3 Zainuddin Ali, op.cit., hal. 106.

Riau pada 23 29 Maret 2015 dan Provinsi Sulawesi Utara pada 6 12 April 2015. Selanjutnya, data yang terkumpul dalam penelitian ini disusun secara sistematis sesuai dengan permasalahan yang diteliti, kemudian dianalisis dengan pendekatan kualitatif terhadap data primer dan data sekunder. Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini adalah penegakan hukum yang masalah pokoknya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut adalah: 4 faktor hukum (undang-undang), penegak hukum (pihak yang membentuk dan menerapkan hukum), sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, masyarakat, dan kebudayaan. Sebagai suatu sistem (atau subsistem dari sistem kemasyarakatan), maka hukum mencakup, struktur, substansi, dan kebudayaan. Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus diserasikan. Berdasarkan hasil penelitian, penerapan hukum internasional terkait dengan tindak pidana di bidang perikanan (illegal fsihing) diatur dalam UNCLOS 1982, yang membedakan wilayah laut menjadi dua kategori, dimana negara dapat melakukan penegakan hukum terhadap IUU Fishing, yaitu wilayah laut yang berada di bawah kedaulatan dan wilayah laut dimana suatu negara memiliki yurisdiksi. Penerapan hukum internasional di ZEE terkait dengan tindak pidana di bidang perikanan (illegal fishing) terdapat dalam Pasal 73 UNCLOS 1982 yakni kapal asing yang tidak mematuhi peraturan perundang-, perikanan negara pantai di ZEE, negara pantai dapat menaiki, memeriksa, menangkap dan melakukan proses pengadilan atas kapal tersebut dan memberitahu negara bendera kapal. Penyidikan dilakukan oleh 3 lembaga, yaitu TNI AL, PPNS Perikanan, dan kepolisian. Kewenangan penyidikan bersama tersebut pada dasarnya telah terpetakan dengan baik, otoritasnya dibedakan berdasarkan jangkauan wilayah kewenangan yaitu 0-12 mil laut untuk penyidik Kepolisian, wilayah ZEEI yaitu lebih dari 200 mil bagi Penyidik Perwira TNI AL, dan seluruh wilayah perairan Indonesia bagi PPNS Perikanan. Selain itu, mekanisme 4 Ibid., hal. 8-60.

kerjasama 3 instansi tersebut telah terjalin melalui MoU antara KKP dengan Kepolisian RI dan TNI AL. Namun penerapan mekanisme ini belum sampai tataran daerah. Untuk itu perlu dibentuk wadah yang menjalankan fungsi koordinator terhadap lembaga-lembaga yang melakukan penyidikan tindak pidana perikanan atau menunjuk salah satu dari lembaga yang melakukan penyidikan tersebut sebagai koordinator. Selain itu, Penyidikan terhadap tindak pidana di bidang perikanan seringkali terhambat oleh ketentuan tentang nakhoda yang berkebangsaan asing yang melakukan penangkapan ikan di ZEEI, tidak bisa ditahan. Hal ini seringkali menyebabkan nahkoda yang menjadi terperiksa melarikan diri sehingga proses penyidikan menjadi terhambat. Selain nahkoda, anak buah kapal yang ikut ditangkap saat terjadinya tindak pidana di bidang perikanan juga ikut diamankan dan ditempatkan di suatu tempat yang bukan tempat tahanan. Sampai saat ini di 2 daerah yang menjadi objek penelitian tidak terdapat tempat khusus yang memadai untuk tahanan. Pengadilan Perikanan Tanjung Pinang Kepulauan Riau dan Pengadilan Perikanan Bitung Sulawesi Utara setiap tahunnya telah memeriksa kasus-kasus tindak pidana di bidang perikanan, namun demikian jika dibandingkan dengan banyaknya kerugian negara dari maraknya tindakan illegal fishing maka tentu dapat dikatakan jumlah kasus yang berhasil disidangkan tersebut masih relatif sedikit. Namun demikian, dalam pelaksanaannya ternyata tindak pidana di bidang perikanan selama ini juga disidangkan di pengadilan negeri, maka untuk dapat menyimpulkan seberapa efektif penegakan hukum tindak pidana bidang perikanan oleh pengadilan perikanan selama ini menjadi tidak relevan. Selain itu, dalam pemeriksaan di pengadilan, hakim mengalami keterbatasan juru bahasa/penerjemah misalnya dalam kasus yang melibatkan pelaku dari Filipina, Vietnam, Thailand, dan lain-lain. Perumusan sanksi pidana dalam tindak pidana di bidang perikanan cukup memadai, namun belum membuat efek jera. Selain itu, ancaman sanksi administrasi dalam UU Perikanan sangat terbatas dan tidak memberikan efek jera bagi para pelaku tindak pidana di bidang perikanan. Terkait dengan sanksi pemusnahan kapal yang dapat dilakukan setelah mendapatkan persetujuan Ketua Pengadilan Negeri, ketentuan tersebut tidak menyebutkan tolok ukur terkait persetujuan yang diberikan oleh Ketua Pengadilan Negeri mengacu pada hal hal apa, terkait dengan apakah kapal tersebut dihancurkan ataukah dilakukan penahanan untuk selanjutnya dilelang atau bahkan dihibahkan kepada

penduduk terdekat setempat di wilayah domisili terjadinya tindak pidana perikanan tersebut. Hal ini akan menimbulkan keraguan seorang Hakim dalam menetapkan persetujuannya atas dilakukannya pemusnahan kapal. Kekayaan bahan baku ikan di Provinsi Sulawesi Utara mendorong perkembangan industri usaha pengolahan ikan, namun perkembangan industri usaha pengolahan ikan di Provinsi tersebut mengalami penurunan karena kekurangan pasokan bahan baku ikan sebagai dampak dari penegakan hukum tindak pidana di bidang perikanan. Berbeda dengan Provinsi Sulawesi Utara, tidak ada dampak dari penegakan hukum tindak pidana di bidang perikanan terhadap industri usaha pengolahan ikan di Provinsi Kepulauan Riau. Pasokan bahan baku ikan untuk industri usaha pengolahan ikan di Provinsi Kepulauan Riau masih tercukupi karena industri usaha pengolahan ikan di Provinsi tersebut tidak sebesar di Provinsi Sulawesi Utara. Industri usaha pengolahan ikan di Provinsi Kepulauan Riau bukan industri besar, melainkan hanya berupa home industry. Beberapa saran dari hasil penelitian, bahwa penyidikan yang dilakukan oleh tiga instansi perlu ditentukan koordinatornya, agar proses penyidikan tidak berjalan sendirisendiri tetapi ada koordinasi, dan penerapan mekanisme kerjasama tiga instansi yang menjalankan tugas menyidik sesuai MoU sampai pada tataran daerah. Dalam UU Perikanan perlu ditegaskan bahwa semua tindak pidana di bidang perikanan diperiksa dan diputus hanya oleh Pengadilan Perikanan. Selain itu, perlu perubahan terkait jangka waktu 30 hari pemeriksaan di pengadilan, yang dinilai terlalu singkat dan sering terlampaui, khususnya bagi terdakwa yang tidak ditahan. Ketentuan sanksi pidana sebaiknya ditentukan minimum khusus dan maksimum umum agar efek jera yang dimaksudkan dalam perumusan ancaman pidana dalam UU dapat dicapai. Selain itu, adanya minimum khusus dan maksimum umum dalam ancaman pidana bertujuan agar jaksa penuntut umum tidak melakukan penuntutan kurang dari hukuman minimal, begitu juga hakim. Terkait dengan sanksi administrasi, harus dirumuskan secara tegas berupa teguran secara tertulis dan apabila perbuatan tersebut terulang kembali, terhadap orang perorangan maupun perusahaan dapat dikenakan sanksi pembekuan izin dan penutupan perusahaan. Dengan demikian, perusahaan maupun perorangan akan berpikir kembali untuk melakukan pengulangan pelanggaran aturan yang ada. Selain itu, perlu ada ketentuan yang memberikan tolok ukur bagi ketua pengadilan

negeri dalam memberikan persetujuan pemusnahan kapal, sehingga asas kepastian dapat menjadi pegangan dan hakim memiliki keyakinan dalam memberikan persetujuan. Penegakan hukum tindak pidana di bidang perikanan hendaknya juga perlu memperhatikan kebutuhan pasokan bahan baku untuk kelancaran proses produksi industri usaha pengolahan ikan. Selain itu, perlu ada pembinaan dan pembangunan infrastruktur untuk mendorong perkembangan industri pengolahan ikan.