BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. penyakit kanker yang menempati peringkat teratas diantara berbagai penyakit kanker

BAB I PENDAHULUAN BAB II ISI

BAB I PENDAHULUAN. rahim yaitu adanya displasia/neoplasia intraepitel serviks (NIS). Penyakit kanker

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha

Kanker Serviks. 2. Seberapa berbahaya penyakit kanker serviks ini?

3. METODOLOGI PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. serviks uteri. Kanker ini menempati urutan keempat dari seluruh keganasan pada

BAB I PENDAHULUAN. yang disebut sebagai masa pubertas. Pubertas berasal dari kata pubercere yang

See & Treat untuk Skrining Lesi Prakanker Serviks

KUESIONER FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU IBU DALAM PEMERIKSAAN PAP SMEAR DI POLI GINEKOLOGI RSUD DR PIRNGADI MEDAN TAHUN

BAB 4 HASIL. Korelasi stadium..., Nurul Nadia H.W.L., FK UI., Universitas Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan data International Agency for Research on Cancer (IARC) diketahui

Kanker Leher Rahim (serviks)

BAB I PENDAHULUAN. Kanker serviks (leher rahim) adalah salah satu kanker ganas yang

BAB I PENDAHULUAN. penyakit yang paling umum yang diakibatkan oleh HPV. Hampir semua

No. Responden: B. Data Khusus Responden

BAB I PENDAHULUAN menyepakati perubahan paradigma dalam pengelolaan masalah

I. PENDAHULUAN. terutama pada daerah transformasi epitel gepeng serviks. Sebagian besar

Kanker Servix. Tentu anda sudah tak asing lagi dengan istilah kanker servik (Cervical Cancer), atau kanker pada leher rahim.

Kanker Serviks. Cervical Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Beberapa Penyakit Organ Kewanitaan Dan Cara Mengatasinya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan hak semua manusia yang harus dijaga,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kanker leher rahim adalah tumor ganas pada daerah servik (leher rahim)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. awal (Nadia, 2009). Keterlambatan diagnosa ini akan memperburuk status

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. didominasi oleh penyakit menular bergeser ke penyakit tidak menular. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan, seseorang paling tepat dan murah apabila tidak menunggu

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Papanicolaou smear atau Pap smear adalah metode yang digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kedua di dunia dimana konstribusinya 13 % dari 22% kematian yang

BAB I PENDAHULUAN UKDW. sedang berkembang, salah satunya Indonesi (WHO, 2012).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya umur harapan hidup sebagai salah satu tujuan

BAB 4 HASIL PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Lesi Prakanker Leher Rahim Istilah lesi prakanker leher rahim (displasia serviks) telah di kenal luas di

KANKER PAYUDARA dan KANKER SERVIKS

KuTiL = KankeR LeHEr RaHIM????

No. Responden. I. Identitas Responden a. Nama : b. Umur : c. Pendidikan : SD SMP SMA Perguruan Tinggi. d. Pekerjaan :

BAB 1 PENDAHULAN. kanker serviks (Cervical cancer) atau kanker leher rahim sudah tidak asing lagi

BAB I PENDAHULUAN. uteri. Hal ini masih merupakan masalah yang cukup besar dikalangan masyarakat Di

ABSTRAK GAMBARAN VARIASI HASIL PEMERIKSAAN PAP SMEAR BERDASARKAN BETHESDA SYSTEM PADA PASIEN WANITA DI PATOLOGI ANATOMI RSUP SANGLAH TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DAN PENDIDIKAN DENGAN PELAKSANAAN DETEKSI DINI KANKER SERVIK MELALUI IVA. Mimatun Nasihah* Sifia Lorna B** ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. keempat tersering yang terjadi pada wanita, dan secara keseluruhan

BAB 1 PENDAHULUAN. Kesehatan reproduksi wanita merupakan hal yang perlu diperhatikan agar suatu

1. PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ke arah rahim, letaknya antara rahim (uterus) dan liang senggama atau vagina.

BAB I PENDAHULUAN. paling sering terjadi pada kisaran umur antara tahun.

BAB I PENDAHULUAN. (Emilia, 2010). Pada tahun 2003, WHO menyatakan bahwa kanker merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker leher rahim (kanker serviks) masih menjadi masalah

BAB 6 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian pada 45 penderita karsinoma epidermoid serviks uteri

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Gambaran masyarakat Indonesia dimasa depan yang ingin dicapai melalui

II. TINJAUAN PUSTAKA. interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk

1 Universitas Kristen Maranatha

Seri penyuluhan kesehatan. Kanker Leher Rahim. Dipersembahkan dengan gratis. Oleh: Klinik Umiyah. Jl. Lingkar Utara Purworejo,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Foundation for Woman s Cancer (2013) kanker serviks adalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kanker serviks adalah suatu penyakit kanker terbanyak kedua di seluruh dunia

A. Pengetahuan Kanker Serviks NO. PERTANYAAN JAWABAN 1. Kanker leher rahim ( serviks ) merupakan penyakit?

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIK) MAKASSAR

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 2. Sistem Reproduksi ManusiaLatihan Soal 2.2. Sifilis. Epididimitis. Kanker prostat. Keputihan

BAB XXIV. Kanker dan Tumor. Kanker. Masalah pada leher rahim. Masalah pada rahim. Masalah pada payudara. Masalah pada indung telur

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Lesi prakanker leher rahim yang sangat dini dikenal dengan Neoplasi

BAB I PENDAHULUAN. Kanker serviks adalah kanker tersering nomor tujuh secara. keseluruhan, namun merupakan kanker terbanyak ke-dua di dunia pada

BAB 1 PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh pertumbuhan sel-sel jaringan tubuh yang tidak normal.

BAB I PENDAHULUAN. kelamin) (Manuaba Ida Bagus Gde, 2009: 61). Wanita yang mengalami

BAB 1 PENDAHULUAN. kanker yang paling tinggi di kalangan perempuan adalah kanker serviks. yang paling beresiko menyebabkan kematian.

30/10/2015. Penemuan Penyakit secara Screening - 2. Penemuan Penyakit secara Screening - 3. Penemuan Penyakit secara Screening - 4

Prosiding Pendidikan Dokter ISSN: X. Bagian Patologi Anatomi, Fakultas Kedokteran, Universitas Islam Bandung 3

BAB 1 : PENDAHULUAN. daerah leher rahim atau mulut rahim, yang merupakan bagian yang terendah dari

BAB 1 PENDAHULUAN. dini. 6,8 Deteksi dini kanker serviks meliputi program skrining yang terorganisasi

I. PENDAHULUAN. Kanker adalah penyakit akibat pertumbuhan tidak normal dari sel-sel jaringan

BAB I PENDAHULUAN. payudara, dan kanker ovarium (Maysaroh, 2013). Salah satu kanker yang

BAB I PENDAHULUAN. Kanker merupakan suatu penyakit yang dianggap sebagai masalah besar

BAB V PEMBAHASAN. A. Lama Penggunaan KB IUD dan Kejadian Keputihan. 1 tahun masing-masing adalah sebanyak 15 responden (50%), sehingga total

BAB I PENDAHULUAN. Menurut data dari Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan reproduksi menurut World Health Organization (WHO) adalah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dan progesteron dalam ovarium. Menopause alami ditegakkan secara

Oleh : Duwi Basuki, Ayu Agustina Puspitasari STIKes Bina Sehat PPNI Mojokerto

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 : PENDAHULUAN. penyakit kanker dengan 70% kematian terjadi di negara miskin dan berkembang. Salah satu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. human papilloma virus (HPV) terutama pada tipe 16 dan 18. Infeksi ini

BAB 1 PENDAHULUAN. Karsinoma servik merupakan penyakit kedua terbanyak pada perempuan

BAB I PENDAHULUAN. kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 3, September 2017 ISSN

BAB I PENDAHULUAN. Deteksi Penyakit Kanker Serviks Menggunakan Metode Adaptive Thresholding Berbasis Pengolahan Citra

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang mendorong, mengaktifkan atau menggerakkan dan yang mengarahkan

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan manusia tidak dapat melakukan aktivitas sehari-harinya. Keadaan

I. PENDAHULUAN. sehingga berpengaruh pada kondisi kesehatan dan kemungkinan mengakibatkan. berbagai penyakit-penyakit yang dapat dialaminya.

BAB I PENDAHULUAN. sosial secara utuh yang tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan,

BAB I PENDAHULUAN. pada negara-negara berkembang yang lain. Kanker leher rahim merupakan. Wilayah Propinsi Jawa Tengah. Pada tahun 2008 Kota Semarang

Transkripsi:

6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lesi Prakanker 2.1.1 Pengertian Lesi prakanker serviks atau disebut juga lesi intraepitel serviks (cervical intraepithelial neoplasia) merupakan awal dari perubahan menuju karsinoma serviks uterus. Diawali dengan CIN I yang secara klasik dinyatakan dapat berkembang menjadi CIN II dan kemudian menjadi CIN III lalu berkembang menjadi karsinoma serviks (Andrijono,2010). Lesi prakanker serviks merupakan suatu kondisi dimana terjadi perubahan selsel leher rahim ke arah abnormal namun tidak terdapat keganasan. Menurut Andrijono (2010), perubahan abnormal pada serviks merupakan langkah awal dari serangkaian proses perubahan yang berjalan lambat, yang beberapa tahun kemudian dapat menimbulkan kanker serviks. Karena itulah, beberapa perubahan abnormal serviks merupakan keadaan prakanker yang bisa berubah menjadi kanker. Tabel 2.1. Perjalanan Lesi Prakanker Serviks Regresi Persisten Progres ke CIN III Progres ke karsinoma LSIL (CIN I) 57% 32% 11% 1% HSIL (CIN II) 43% 35% 22% 5% HSIL(CIN III) 32% 56% - > 12% 6

7 2.1.2 Tahap-Tahap Cervical Intraepithelial Neoplasia Saat ini telah digunakan istilah yang berbeda untuk perubahan abnormal pada sel-sel dipermukaan serviks, salah satu diantaranya adalah lesi skuamosa intraepitel. Secara histopatologi karsinoma serviks terdiri dari 2 jenis, yaitu: jenis karsinoma epidermoid (95%) dan jenis adenokarsinoma (5%). Proses perubahan sel kolumner endoserviks menjadi sel skuamosa ektoserviks terjadi secara fisiologik pada setiap wanita yang disebut sebagai proses metaplasia. Karena adanya faktor-faktor risiko yang bertindak sebagai zat karsinogen, proses metaplasia fisiologis ini dapat berubah menjadi displasia yang bersifat patologis. Proses inilah yang kemudian disebut lesi prakanker serviks atau cervical intraepithelial neoplasia (CIN) atau neoplasia intraepithelial serviks (NIS) (Bobak,2005). Perubahan pada sel ini kemudian dibagi menjadi 2 kelompok: 1. Lesi tingkat rendah Merupakan perubahan dini pada ukuran, bentuk dan jumlah sel yang membentuk permukaan serviks. Beberapa lesi tingkat rendah menghilang dengan sendirinya. Namun yang lainnya tumbuh menjadi lebih besar dan lebih abnormal membentuk lesi tingkat tinggi. Lesi tingkat rendah disebut juga displasia ringan atau neoplasia intraepitel servikal (NIS I). Lesi tingkat rendah paling sering ditemukan pada wanita berumur 25-35 tahun, tapi dapat juga terjadi pada semua kelompok umur. 2. Lesi tingkat tinggi

8 Ditemukan sejumlah besar sel prakanker yang tampak sangat berbeda dari sel normal. Perubahan prakanker ini hanya terjadi pada sel di permukaan seviks. Lesi tingkat tinggi disebut juga displasia menengah, displasia berat dan karsinoma in situ. Lesi tingkat tinggi paling banyak ditemukan pada wanita berumur 30-40 tahun. Menurut Bobak (2005), lesi prakanker serviks dibagi menjadi: CIN I : displasia ringan CIN II : displasia sedang CIN III : displasia berat Sehingga perkembangan kanker serviks dapat digambarkan sebagai berikut: CIN I-CIN II-CIN III-CIS-Ca invasif 2.1.3 Faktor Risiko Lesi Prakanker Serviks Lesi prakanker serviks merupakan awal dari perubahan menuju kanker serviks. Pada dasarnya faktor risiko lesi prakanker dan kanker serviks adalah sama. Serviks secara secara alami mengalami proses pertumbuhan sel abnormal akibat terjadinya penekanan pada kedua sel lapisan pada serviks. Dengan masuknya virus, porsio yang dalam keadaan erosi yang awalnya fisiologis berkembang menjadi patologis. Berdasarkan konsep regresi spontan serta lesi yang persisten menunjukkan bahwa lesi prakanker tidak seluruhnya berkembang menjadi invasif, sebagian kasus antara 30-70% dapat menjadi normal kembali sehingga diakui masih banyak faktor yang mempengaruhi (Andrijono,2010).

9 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tri Wahyuningsih (2013), didapatkan hasil bahwa faktor risiko lesi prakanker serviks sama dengan faktor risiko kanker serviks. Berbagai faktor dianggap sebagai kofaktor (faktor yang menyertai) terjadinya kanker serviks. Menurut Bobak (2005), berikut ini merupakan faktor risiko kanker serviks: 1. Umur Rata-rata umur wanita yang menderita kanker serviks adalah 40-50 tahun. Kondisi prainvasif mampu bertahan antara 10-15 tahun sebelum berkembang menjadi karsinoma invasif. Meningkatnya risiko kanker leher rahim pada usia lanjut merupakan gabungan dari meningkatnya dan bertambah lamanya waktu pemaparan terhadap karsinogen serta melemahnya sistem kekebalan tubuh akibat usia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Setyarini (2009) menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antar usia responden dengan kejadian kanker leher rahim di RSUD DR Moewardi Surakarta. Wanita berusia 35 tahun berisiko untuk terkena kanker serviks 4,23 kali lebih besar daripada yang berusia < 35 tahun. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan Triwahyuningsih (2013) yang mendapatkan hasil bahwa wanita berumur lebih dari 35 tahun berisiko 4,23 kali lebih tinggi untuk mengidap kanker serviks daripada wanita yang berumur dibawah umur 35 tahun. 2. Umur pertama kali berhubungan seksual Wanita muda yang aktif secara seksual memiliki risiko lebih besar berkembangnya kanker leher rahim. Hal ini disebabkan karena pada saat umur muda, sel-sel rahim masih belum matang secara sempurna. Sel tersebut akan matang seiring bertambah usia dan menjadi lebih mampu menahan proses yang

10 dihasilkan akibat penetrasi seksual. Terpajan proses ini sebelum matur dapat merusak sel-sel yang belum matang tersebut. Beberapa studi menyatakan berhubungan seks dibawah usia 20 tahun mempunyai risiko tertinggi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Umri (2013) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara umur pertama kali berhubungan seksual dengan kejadian kanker serviks. Wanita yang melakukan hubungan seksual pada umur < 20 tahun memiliki risiko 6 kali lebih tinggi untuk mengalami kejadian kanker serviks dibandingkan wanita yang melakukan hubungan seksual pertama kali pada umur > 20 tahun. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Utami, Ratnawati, & Fatmawati (2011) dalam penelitiannya menyatakan bahwa wanita yang melakukan hubungan seksual pada usia <20 tahun memiliki risiko 10 kali lebih besar terkena kanker serviks dibandingkan dengan yang berhubungan seksual 20 tahun. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Irmayani (2015) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara umur pertama kali berhubungan seksual dengan kejadian lesi prakanker serviks. Pada penelitian ini wanita yang berhubungan seksual pertama kali pada umur kurang dari 25 tahun berisiko mengalami penyakit lesi prakanker serviks 5,8 kali lebih tinggi daripada yang berhubungan seksual pertama kali pada umur lebih dari 25 tahun. 3. Paritas Kanker serviks banyak dijumpai pada wanita yang sering melahirkan. Semakin sering seorang wanita melahirkan semakin tinggi risikonya mengidap kanker serviks. Memiliki banyak anak dengan jarak kelahiran yang terlalu dekat akan berdampak pada perlukaan di organ reproduksi dan dampaknya akan

11 memudahkan infeksi HPV sehingga terjadi kanker serviks. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Saputra (2015) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara paritas dengan kejadian kanker serviks dengan nilai P = 0,000. Selain itu terdapat peningkatan risiko 10,2 kali lebih tinggi bagi wanita yang memiliki paitas 3 untuk mengalami kejadian kanker serviks dibandingkan wanita yang memiliki paritas < 3. Penelitian lain juga dilakukan oleh Mayrita (2015) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara paritas dengan kejadian kanker serviks dengan nilai P= 0,000. Wanita yang memiliki paritas > 3 memiliki risiko untuk mengalami kanker serviks 3 kali lebih tinggi dibandingkan wanita yang memiliki paritas < 3 orang. Penelitian lain juga dilakukan oleh Wardhani (2013) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara paritas dengan kejadian kanker serviks dengan nilai P= 0,013 dan paritas merupakan variabel paling dominan yang berhubungan dengan kejadian kanker serviks pada penelitian tersebut. 4. Penyakit hubungan seksual Adanya riwayat penyakit menular seksual terutama HPV, herpes simpleks virus (HSV-2) dan kondiloma akuminata diduga sebagai faktor penyebab kanker serviks. Virus ini mampu mengubah susunan DNA nukleus dari sel-sel serviks yang belum matang. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dirk (2012) yang menyatakan bahwa wanita yang memiliki riwayat penyakit menular seksual memiliki risiko 4,4 kali lebih tinggi untuk mengalami penyakit kanker serviks. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Parwati (2015) yang mendapatkan hasil bahwa wanita yang memiliki riwayat penyakit menular seksual berisiko 9,7 kali lebih tinggi untuk mengalami penyakit lesi

12 prakanker serviks dibandingkan wanita yang tidak memiliki riwayat penyakit menular seksual. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Savitri (2012) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara memiliki riwayat penyakit hubungan seksual dengan kejadian kanker serviks invasif. Wanita yang memiliki riwayat IMS memiliki risiko 11,37 kali lebih tinggi mengalami kanker serviks dibandingkan wanita yang tidak memiliki riwayat IMS 5. Penggunaan kontrasepsi hormonal Pil kontrasepsi merupakan bentuk kontrasepsi yang dapat diandalkan untuk sebagian besar wanita. Namun, pil ini dapat menurunkan kekebalan alami tubuh terhadap infeksi dan juga mempengaruhi tubuh dalam menyerap asam folat. Berdasarkan penelitian metanalisis yang menyatakan bahwa lamanya penggunaan kontrasepsi hormonal akan meningkatkan risiko kanker serviks dan penggunaan lebih dari 10 tahun akan meningkatkan risiko sampai dua kali. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yuniar (2009) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara penggunaan kontrasepsi hormonal dengan kejadian kanker serviks dengan nilai P= 0,012. Wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal memiliki risiko untuk mengalami kejadian kanker serviks sebesar 6,6 kali lebih tinggi daripada wanita yang tidak menggunakan kontrasepsi hormonal. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Damayanti (2014), yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara penggunaan kontrasepsi hormonal dengan kejadian kanker serviks. Penggunaan kontrasepsi hormonal > 4 tahun dapat meningkatkan risiko mengalami kanker serviks 1,5-2,5 kali lebih tinggi daripada wanita yang menggunakan kontrasepsi

13 hormonal < 4 tahun. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pradya (2015) yang menyatakan bahwa wanita yang menggunakan pil kontrasepsi dalam jangka waktu lebih dari empat tahun berisiko 42 kali lebih tinggi untuk mengalami lesi prakanker serviks 6. Personal higiene Personal higiene erat kaitannya dengan keadaan sosial ekonomi menengah ke bawah. Pada golongan sosial ekonomi rendah umumnya memiliki pengetahuan kurang mengenai kebersihan perorangan sehingga mereka kurang menjaga kebersihan dan meningkatkan risiko infeksi virus dan bakteri. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2012) menyatakan terdapat hubungan bermakna antara personal higiene dengan kejadian lesi prakanker serviks. Dimana wanita yang memiliki perilaku personal higiene yang buruk meningkatkan risiko terkena lesi prakanker sebanyak 29 kali daripada yang memiliki perilaku higiene yang baik. 7. Diethylstilbestrol (DES) Beberapa wanita yang memiliki riwayat terpapar DES atau nonsteroid estrogen lainnya selama kehamilan akan memiliki kecenderungan masalah perkembangan genital baik keturunan wanita maupun pria. Estimasi antara tahun 1940-1970, dari 500.000 kehamilan yang menerima DES terdapat beberapa kelainan multipel. Beberapa kelainan berkembang setelah pubertas. Diperkirakan 1 dari 1000 wanita yang terpapar DES selama di dalam kandungan akan memiliki kelainan perkembangan vagina maupun serviks dan biasanya terjadi saat menjelang dewasa. Pada pria yang pernah terapar DES, kelainan yang biasanya terjadi adalah kista epididimis, hipotropik testis dan penebalan selaput testis. Kelainan ini dapat

14 menyebabkan gangguan ejakulasi, oligospermia dan motilitas sperma yang rendah. 2.1.4 Gejala Klinis Lesi Prakanker Serviks Perubahan prakanker pada serviks biasanya tidak menimbulkan gejala dan perubahan ini tidak terdeteksi kecuali jika wanita tersebut menjalani pemeriksaan panggul dan pap smear. Gejala biasanya baru muncul ketika sel serviks yang abnormal berubah menjadi keganasan dan masuk ke jaringan di sekitarnya (Adi,2012). Pada fase prakanker maka akan timbul gejala sebagai berikut: 1. Perdarahan vagina yang abnormal, terutama diantara 2 menstruasi setelah melakukan hubungan seksual atau setelah menopause. 2. Menstruasi abnormal (lebih lama dan lebih banyak). 3. Keputihan yang menetap dengan cairan encer, berwarna merah muda atau coklat, mengandung darah serta berbau busuk. 2.2 Metode Pencegahan Dini Pap Smear 2.2.1 Pengertian Pap Smear Pap smear merupakan salah satu jenis pemeriksaan skrining dalam mendeteksi dini kanker serviks yang sederhana, murah, mudah, praktis. Sederhana artinya cukup dengan mengambil hapusan sel leher rahim lalu diamati di bawah mikroskop, maka lesi prakanker dapat dideteksi bila terlihat sel-sel yang tidak normal. Murah karena pelaksanaannya membutuhkan biaya yang tidak mahal. Praktis artinya dapat dilakukan dimana saja, tidak memerlukan sarana khusus, dan peralatan yang sederhana seperti

15 spekulum, tempat tidur yang representatif dan lampu. Mudah karena dapat dilakukan oleh dokter umum, bidan dan perawat yang terlatih (Adi,2012). Menurut Bobak (2005), metode paling reliabel untuk mendeteksi lesi prakanker seperti kasus displasia adalah tes pap smear. Tes ini mampu mendeteksi 90% fase awal displasia serviks. Deteksi dini dan pengobatan prakanker dapat menurunkan kematian dari sebab ini sebanyak 50%. Namun, yang terjadi saat ini adalah 2 dari 5 wanita tidak melakukan tes pap smear secara rutin. Asosiasi Kanker Amerika menyarankan untuk melakukan tes pap smear setahun sekali untuk semua wanita yang aktif secara seksual. Wanita yang memiliki kategori risiko tinggi harus melakukan tes pap smear lebih sering. 2.2.2 Akurasi Pap Smear Menurut Purwata & Nuranna (2002) dalam (Oktavia,2009) menyatakan bahwa sensitivitas pap smear untuk mendeteksi CIN berkisar antara 50%-98% dan spesifitasnya 91,3%. Angka negatif palsu diperkirakan berkisar antara 5%-50% dengan kesalahan terbanyak disebabkan oleh pengambilan sediaan yang tidak adekuat (62%), kegagalan skrining (15%) dan kesalahan interpretasi (23%). Angka positif palsu untuk pap smear adalah 3%-15%. 2.2.3 Interpretasi Pap Smear Sistem Bethesda pertama kali diperkenalkan oleh Bethesda pada tahun 1988 dan disempurnakan oleh National Cancer Institute USA (Andrijono,2010). Menurut klasifikasi kelainan sel pada sistem Bethesda adalah sebagai berikut: 1. Dalam batas normal Sel dengan perubahan dalam batas normal

16 2. ASCUS/AGCUS/AGUS ASCUS dibagi dalam dua kategori yaitu ASC-US dan ASC-H. Perbedaan kategori ini membedakan penatalaksanaanya. Pada ASC-US karena umumnya CIN I maka pemeriksaan tipe HPV dianjurkan dan pengamatan berulang berkala menjadi standar pelaksanaannya. Sedangkan ASC-H harus dilanjutkan dengan pemeriksaan kolposkopi. 3. Lesi Intraepitel Derajat Rendah (LGSIL) Fase LGSIL terkadang disebut sebagai displasia ringan LGSIL juga dapat disebut sebagai neoplasia intraepitel servikal (CIN-1). 4. Lesi Intraepitel Derajat Berat (HGSIL) Lesi intraepitel derajat berat merupakan kelainan sel yang memiliki kemungkinan lebih tinggi berkembang menjadi kanker. Pada tingkatan lesi ini terjadi displasia sedang atau berat atau karsinoma in situ. Lesi HGSIL kadang-kadang disebut sebagai CIN-2, CIN-3 atau CIN-2/3, menunjukkan bahwa sel-sel abnormal menempati sebagian besar lapisan pada lapisan serviks. 5. Karsinoma Sel Skuamosa Karsinoma sel skuamosa adalah jenis kanker non-melanoma yang dimulai dari sel epitel pipih. Jenis kanker ini dapat menyerang lebih dalam ke dalam serviks, jaringan atau organ lain. 6. Adenokarsinoma

17 Adenokarsinoma merupakan kanker yang dimulai dari sel-sel yang melapisi organ internal tertentu dan berbentuk kelenjar. Pilihan utama terapi pada fase ini adalah histerektomi. 2.3 Segitiga Epidemiologi 2.3.1 Host, Agent dan Environment Menurut Noor (2013), terjadinya suatu penyakit disebabkan karena ketidakseimbangan interaksi antara host, agen dan environment. Pengertian masingmasing komponen adalah sebagai berikut: 1. Agen Agen disebabkan oleh berbagai unsur seperti unsur biologis yang disebabkan oleh mikroorganisme (virus, bakteri, jamur, protozoa, dll). Unsur nutrisi disebabkan karena bahan makanan yang tidak memenuhi standar gizi yang ditentukan. Unsur kimiawi disebabkan oleh bahan dari luar tubuh maupun dari dalam tubuh sendiri. Unsur fisika disebabkan oleh panas, benturan, dll. Agen dalam penelitian ini adalah Human Papilloma Virus (HPV) tipe onkogenik (berpotensi menyebabkan kanker). 2. Host Host atau penjamu adalah keadaan manusia yang sedemikian rupa sehingga menjadi faktor risiko untuk terjadinya suatu penyakit. Faktor ini disebabkan oleh faktor intrinsik seperti umur, jenis kelamin, etnik, genetik, status kesehatan, bentuk anatomis tubuh, fungsi fisiologis tubuh, imunitas, riwayat penyakit, kebiasaan hidup. Host kanker serviks pada penelitian ini adalah umur, umur pertama kali berhubungan seksual, paritas dan riwayat penyakit menular seksual.

18 3. Environment Faktor lingkungan adalah faktor ketiga yang berfungsi sebagai penunjang terjadinya penyakit. Faktor ini datang dari luar atau bisa disebut faktor ekstrinsik. Faktor lingkungan dibagi menjadi lingkungan biologis, lingkungan fisik, dan sosial ekonomi. Lingkungan yang berpengaruh terhadap kejadian lesi prakanker serviks dalam penelitian ini adalah penggunaan kontrasepsi hormonal dan perilaku personal higiene. 2.3.2 Riwayat Alamiah Penyakit Lesi Prakanker Serviks HOST AGENT ENVIRONMENT Gambar 2.1 Segitiga Epidemiologi Konsep penyebab dan proses terjadinya penyakit dalam epidemiologi berkembang dari rantai sebab akibat ke suatu proses kejadian penyakit yakni proses interaksi antara host, agent dan environment. Untuk memprediksi penyakit, model ini menekankan perlunya analisis dan pemahaman masing-masing komponen. Penyakit dapat terjadi karena adanya ketidakseimbangan antar ketiga komponen tersebut. Antara ketiga komponen (host, agen dan environment) terdapat keseimbangan yang disebut keseimbangan ekologi. Interaksi yang kompleks antara ketiga komponen tersebut menyebabkan tidak ada satupun penyakit yang disebabkan oleh satu faktor

19 saja. Selalu ada beberapa faktor yang saling berinteraksi dan akhirnya menimbulkan penyakit (Noor, 2013). Konsep segitiga epidemiologi ini juga berlaku bagi penyakit kanker serviks. Timbulnya penyakit ini disebabkan karena ketidakseimbangan ketiga komponen tersebut dimana komponen agennya adalah HPV, hostnya berupa faktor risiko seperti umur, umur pertama kali berhubungan seksual, paritas dan riwayat penyakit menular seksual. Sedangkan faktor lingkungan yang berpengaruh adalah riwayat penggunaan kontrasepsi hormonal dan personal higiene. Pemilihan kontrasepsi dan perilaku personal higiene ditentukan oleh pendidikan, pengetahuan dan pengaruh dari masyarakat, tenaga medis dan keluarga. Berikut ini akan dijelaskan mengenai riwayat alamiah penyakit kanker serviks: 1. Prepatogenesis Pada fase ini, individu berada dalam keadaan sehat/normal. Namun telah terjadi interaksi antara penjamu dengan bibit penyakit di luar tubuh manusia/ lingkungan. 2. Patogenesis a. Masa Inkubasi Pada fase ini, Human Papilloma Virus (HPV) telah masuk ke dalam tubuh hingga menimbulkan gejala-gejala tertentu. Penyakit kanker serviks dimulai dengan infeksi awal oleh HPV, tetapi sebagian besar infeksi HPV tidak berkembang menjadi kanker serviks. Infeksi awal HPV dapat berlanjut dan menjadi displasia atau hilang dengan spontan. Sebagian besar wanita yang terinfeksi HPV akan mengalami displasia tingkat rendah (CIN 1) dan beberapa kasus akan mengalami regresi dan menghilang dalam waktu 2-3 tahun terutama pada wanita dengan usia dibawah 35 tahun.

20 b. Tahap Dini Pada tahap dini, setelah diagnosa ditegakkan akan tampak berbagai gejala/tanda adanya kanker serviks seperti keputihan, perdarahan, dan pengeluaran cairan lendir encer. Walaupun demikian, penderita masih bisa beraktivitas seperti biasa. c. Tahap Lanjut Pada tahap lanjut, akan ditemukan perdarahan dari kemaluan setelah melakukan senggama, jika pada tahap yang lebih berat akan terjadi perdarahan yang tidak teratur. Pada fase ini, penderita membutuhkan perawatan dan pengobatan secara intensif. 3. Pasca Patogenesis/ Tahap Akhir Semakin lanjut dan bertambah parahnya penyakit kanker serviks, penderita kanker serviks akan menjadi kurus, anemia, anoreksia, syok dan keadaan paling parah akan berujung pada kematian. Penyakit kanker serviks merupakan penyakit yang sangat sulit disembuhkan sehingga pada tahapan ini penderita sangat membutuhkan rehabilitasi yang maksimal.

21