BAB I PENDAHULUAN. keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. ataupun pekerjaan. Baik pekerjaan yang diusahakan sendiri maupun bekerja pada orang lain.

BAB I PENDAHULUAN. yang berdasarkan atas hukum (Rechstaat) dalam arti negara pengurus. 1 Selain itu,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan Negara Hukum, hal ini termaktub jelas pada

BAB I PENDAHULUAN. kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Negara Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana dirumuskan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan memiliki fungsi perlindungan kepada masyarakat (protective function).

BAB I PENDAHULUAN. dengan tanah, dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia baik secara

BAB I PENDAHULAUN. dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. teknologi, dibidang pemerintah telah terjadi perubahan yang mendasar. Salah satu

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. oleh hukum adatnya masing-masing. Negara telah mengakui hak-hak adat

BAB I PENDAHULUAN. dan memperkokoh dalam tatan perekonomian nasional. peningkatan pembangunan pemerintah maupun bagi pengusaha-pengusaha swasta

BAB I PENDAHULUAN. hukum adat terdapat pada Pasal 18 B ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, segala sesuatu dituntut untuk lebih praktis. Kondisi itu makin

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 18 B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD

BAB I PENDAHULUAN. bahwa tujuan pembentukan negara Indonesia adalah...melindungi segenap

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PEMUSNAHAN KOSMETIKA

2017, No Negara Republik Indonesia Nomor 4843); 3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tah

BAB 1 PENDAHULUAN. Selain itu Indonesia juga merupakan welfare state. sesuai dengan amanat yang tersirat didalam alinea ke IV, Pembukaan

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGAWASAN SEDIAAN FARMASI, ALAT KESEHATAN, DAN PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi kebudayaan atau pun kebiasaan masyarakat di Indonesia.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, Indonesia sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan guna

BAB I PENDAHULUAN. pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

BAB I PENDAHULUAN. Secara konstitusional hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah sebagian

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan berbagai rupa yang

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan negara, hal ini terlihat dalam Undang-Undang Dasar 1945

BAB I PENDAHULUAN. yang menghabiskan uangnya untuk pergi ke salon, klinik-klinik kecantikan

BAB I PENDAHULUAN. kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sejak tanggal 17 Agustus. pembangunan dalam mencapai tujuan nasional.

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila itu mencangkup sila atau prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menyelenggarakan pemerintahan, negara mempunyai kewajiban untuk

BAB I PENDAHULUAN. disebutkan dalam alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

BERITA NEGARA. BADAN POM. Notifikasi Kosmetika. Prosedur. Pengajuan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

2017, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Neg

TUGAS POKOK DAN FUNGSI

BAB I PENDAHULUAN. yang kedaulatannya berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut

BAB 1 PENDAHULUAN. itu ekonomi secara terus-menerus mengalami pertumbuhan dan perubahan. Manusia

BAB III METODE PENELITIAN. membandingkan dengan standar ukuran yang telah ditentukan. 1

BAB I PENDAHULUAN. dalam konsep kesejahteraan (welfare) dalam Pembukaan Undang-Undang

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Acara Serta Kendala Implementasinya. Cet.1(Jakarta: Kencana 2008). Hal.1.

BAB I PENDAHULUAN. 1. Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang- undangan. 2. Adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan.

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG PENARIKAN DAN PEMUSNAHAN KOSMETIKA

BAB I PENDAHULUAN. seperti kebutuhan pangan, sandang serta kesempatan kerja. Selain itu, jumlah masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. untuk menunjang penampilan seseorang, bahkan bagi masyarakat dengan gaya

BAB I PENDAHULUAN. negara tersebut menimbulkan hak dan kewajiban bagi negara yang dapat dinilai

MASUKAN KAMI TERIMA PALING LAMBAT TANGGAL 18 OKTOBER 2017

2016, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Ne

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Undang-undang no.36 tahun 2009 tentang Kesehatan, kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Selaras dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia

RANCANGAN, 19 DESEMBER 2016 PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. kemudian diiringi juga dengan penyediaan produk-produk inovatif serta. pertumbuhan ekonomi nasional bangsa Indonesia.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA,

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Saat ini permasalahan pendidikan di Indonesia sangatlah penting dan ini

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang terdapat dalam pembukaan Undang- Undang Dasar (UUD) Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. Agraria berasal dari bahasa latin ager yang berarti tanah dan agrarius

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : HK TENTANG BAHAN KOSMETIK

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2009 tentang Kesehatan pada Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,

2011, No Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemer

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. ketentuan tertentu pasti mempunyai tujuan yang sudah dirancang sebelumnya.

BAB I PENDAHULUAN. berkompetensi dan memiliki dedikasi tinggi pada Pancasila dan Undang. Negara. Pegawai Negeri merupakan tulang punggung Pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. darah Indonesia. Dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

BAB I PENDAHULUAN. dinegara Indonesia. Semakin meningkat dan bervariasinya kebutuhan masyarakat menyebabkan

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TAHUN 2010 TENTANG PERSYARATAN TEKNIS KOSMETIKA

BAB I PENDAHULUAN. ketentuan perundang-undangan. Izin menurut definisi yaitu perkenan atau

,Jurnal Karya Tulis Ilmiah

BAB I PENDAHULUAN. betapa besar potensi laut sebagai sumber daya alam. Laut tidak saja

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TENTANG KOSMETIK

2015, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Ne

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan atau yang sering disamakan dengan cita-cita bangsa Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Kecamatan Kototangah Kota Padang Provinsi Sumatera Barat, pada Pasal 1

GUBERNUR GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap warga negaranya dari berbagai

BAB 1 PENDAHULUAN. Negara adalah suatu organisasi yang memiliki tujuan. Pada negara Indonesia, tujuan

BAB I PENDAHULUAN. adil, sejahtera dan makmur. Keadilan dan kesejahteraan serta kemakmuran merupakan citacita

BAB I PENDAHULUAN. Istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu standard

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kepastian hukum bagi jalannya kehidupan organisasi pemerintahan di Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. Konstitusi bangsa Indonesia adalah Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. meliputi emas, perak, tembaga, minyak dan gas bumi, batu bara, bijih besi, dan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan disegala bidang yang dilaksanakan secara terpadu dan terencana

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang sedang giat-giatnya

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum, seperti yang tercantum dalam Pasal I

BAB I PENDAHULUAN. oleh pemikiran Immanuel Kant. Menurut Stahl, unsur-unsur negara hukum

BAB I PENDAHULUAN. tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

MENTERIKESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KESEHATAN.REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1176/MENKES/PERNIII/201 0 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia tahun 1945 yang menyatakan bahwa: Bumi, air, dan kekayaan. dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

BAB I PENDAHULUAN. Ditengah-tengah perkembangan dunia usaha saat ini, tepatnya yang terjadi

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN, REPUBLIK INDONESIA

PENGETAHUAN TENTANG KOSMETIKA PERAWATAN KULIT WAJAH DAN RIASAN PADA MAHASISWI JURUSAN KESEJAHTERAAN KELUARGA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI PADANG

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TENTANG

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN DOKUMEN INFORMASI PRODUK

BAB I PENDAHULUAN. kemajuan teknologi dan ilmu pengatahuan telah menimbulkan perubahan cepat

I. PENDAHULUAN. Penampilan menarik dan cantik selalu diidam-idamkan oleh semua kalangan

merupakan campuran dari beragam senyawa kimia, beberapa terbuat dari sumbersumber alami dan kebanyakan dari bahan sintetis (BPOM RI, 2003).

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa negara hukum (rechtsstaat)

BAB 1 PENDAHULUAN. sesuai jenis kulit, warna kulit, iklim, cuaca, waktu penggunaan, umur dan jumlah

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pemerintah Negara Indonesia dalam menyelenggarakan pemerintahannya mempunyai kewajiban untuk melindungi kepentingan rakyatnya, baik dalam bidang kesejahteraan, keamanan, pertahanan, maupun kecerdasan kehidupannya. Hal ini sesuai dengan tujuan negara sebagaimana yang tercantum pada alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.. Merujuk pada salah satu cita-cita negara yaitu memajukan kesejahteraan umum, terlihat bahwa Indonesia merupakan Negara Kesejahteraan. Salah satu karakteristik konsep negara kesejahteraan adalah kewajiban Pemerintah untuk mengupayakan kesejahteraan umum atau bestuurszorg. Menurut E. Utrecht, adanya bestuurszorg ini menjadi suatu tanda yang menyatakan adanya suatu Welfare State. Bagir Manan menyatakan bahwa dimensi sosial ekonomi dari negara berdasar atas hukum adalah berupa kewajiban negara atau pemerintah untuk mewujudkan dan menjamin kesejahteraan sosial (kesejahteraan umum) dalam suasana sebesar-besarnya kemakmuran menurut asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat. 1 Pasal 28H ayat (1) Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa, Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan 2011, hlm. 18-19. 1 Ridwan. HR, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1

batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 28H tersebut, seluruh rakyat Indonesia berhak untuk hidup sejahtera dan juga berhak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Pemerintah sendiri berkewajiban untuk memenuhi hak asasi manusia tersebut, sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam rangka memberikan perlindungan hak asasi manusia dalam hal kesehatan, maka pemerintah pun membentuk Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan memberikan pengertian kesehatan sebagai berikut, Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Salah satu kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat berdasarkan Pasal 48 Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan adalah melakukan pengamanan 2

dan penggunaan sediaan farmasi. Pengertian Sediaan Farmasi tercantum pada Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 yaitu, Sediaan farmasi adalah obat, obat tradisional, dan kosmetika. Tindakan pemerintah dalam melakukan pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi adalah membuat ketentuan bahwa bagi sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditentukan hal tersebut diatur dalam Pasal 105 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Standar utama bagi sediaan farmasi yang diadakan, disimpan, diolah, dipromosikan atau diedarkan haruslah aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau. Pemberian standar dan/atau persyaratan tersebut dilakukan oleh Pemerintah untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi yang tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Salah satu sediaan farmasi yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 adalah kosmetik. Pengertian kosmetik tercantum dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1175/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Izin Produksi Kosmetika, yaitu Kosmetika adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ genital bagian luar) atau gigi dan membrane mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan dan atau memperbaiki bau badan atau melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik. 3

Saat ini, kosmetik menjadi kebutuhan pokok bagi wanita hal ini seiring dengan perkembangan zaman yang menuntut wanita untuk tampil cantik dan berpenampilan menarik dalam kehidupan sosial di lingkungan masyarakat. Hal ini pun membuat kebutuhan wanita akan kosmetik menjadi besar. Dengan kebutuhan akan kosmetik yang semakin besar, para produsen kosmetik tersebut pun membuat berbagai macam produk kosmetik dengan imingiming konsumen akan mendapatkan wajah yang cerah dan cantik sesuai dengan yang diinginkan dengan hasil yang cepat dan harga yang terjangkau. Hal tersebut, tentunya menjadi magnet bagi para wanita untuk membeli produk kosmetik yang ditawarkan oleh produsen kosmetik tersebut. Demi mendapatkan keuntungan yang besar serta untuk memenuhi kebutuhan konsumen yang menginginkan kosmetik dengan harga terjangkau, banyak produsen kosmetik yang menggunakan bahan berbahaya yang justru akan merugikan konsumen yang menggunakan produk tersebut. Hasil instan berupa wajah yang semakin cerah dan cantik serta kurangnya pengetahuan akan bahanbahan berbahaya menjadikan konsumen produk kosmetik yang mengandung berbahaya terus menggunakan produk kosmetik tersebut tanpa mempedulikan efek jangka panjang yang akan dialami. Kondisi tersebut membuat peredaran kosmetik yang mengandung bahan berbahaya masih dapat dengan mudah ditemukan di pasaran. Hal ini terbukti dari disitanya ribuan jenis dan merek kosmetik yang mengandung bahan kimia berbahaya oleh petugas Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Provinsi Sumatera Barat di sejumlah pasar tradisional. Ditaksir nilainya mencapai Rp 3 4

miliar. 2 Bahan berbahaya yang teridentifikasi dalam kosmetik tersebut diantaranya adalah pewarna merah K3 dan K10 (rhodamin b ), asam retinoat, merkuri dan hidrokuinon. Pewarna merah K3 dan K10 (rhodamin b), asam retin oat, merkuri dan hidrokinon tergolong bahan yang tidak aman digunakan sebagai bahan kosmetik, karena bahan-bahan kimia tersebut berbahaya bagi kulit dan dapat memicu kanker. 3 Padahal, berdasarkan Pasal 98 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 serta Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dinyatakan bahwa Sediaan farmasi termasuk kosmetik yang diproduksi dan/atau diedarkan harus memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan. Selain itu, sediaan farmasi yang berupa kosmetika harus sesuai dengan persyaratan dalam buku Kodeks Kosmetika Indonesia yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Sehingga, bahan kosmetik yang tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dan tidak tercantum dalam buku Kodeks Kosmetika Indonesia dikategorikan bahan berbahaya yang tidak boleh digunakan sebagai bahan yang digunakan dalam produksi kosmetik. Bahan berbahaya berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 472/MENKES/PER/V/1996 tentang Pengamanan Bahan Berbahaya Bagi Kesehatan adalah zat, bahan kimia dan biologi, baik dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan 2 Budi Sunandar, Obat dan Kosmetik Ilegal Senilai Rp 3 M diamankan Petugas, http://www.daerah.sindonews.com/read/1068652/174/obat-dan-kosmetik-ilegal-senilai-rp3-mdiamankan, 2015, diakses pada tanggal 15 Januari 2016, pukul. 10.15 Wib. 3 Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, Bahan Berbahaya Dalam Kosmetik, Buletin Naturakos, Vol. III No.8, Agustus 2008, hlm. 5. 5

kesehatan dan lingkungan hidup secara langsung atau tidak langsung, yang mempunyai sifat racun, karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif dan iritasi. Dalam lampiran Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 472/MENKES/PER/V/1996 tentang Pengamanan Bahan Berbahaya Bagi Kesehatan, tercantum bahwa merkuri dan rhodamin-b yang ditemukan dalam bahan kosmetik merupakan bahan berbahaya yang bersifat racun dan karsinogenik yang dapat membahayakan kesehatan pemakainya. Sehingga, pemerintah mempunyai kewajiban untuk melakukan pengawasan terhadap penyalahgunaan bahan berbahaya sebagai bahan kosmetik. Pengawasan merupakan sarana penegakan hukum administrasi negara yang digunakan oleh pemerintah sebagai langkah preventif untuk memaksakan kepatuhan yang bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat. Pengawasan yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat pada dasarnya dilakukan oleh Pemerintah Pusat serta Pemerintah Daerah. Berdasarkan Pasal 12 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kesehatan merupakan urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar. Selanjutnya, Pasal 7 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, menyatakan bahwa urusan pemerintahan wajib tersebut wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota dengan pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah pusat. 6

Terkait mengenai pengawasan dalam bidang kosmetik, tercantum pada Lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengenai Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Kesehatan, dimana pada Angka 3 huruf d dan huruf e mengenai urusan sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan minuman, dinyatakan bahwa mengenai pengawasan pre-market dan pengawasan post-market obat, obat tradisional, kosmetika, alat kesehatan, perbekalan kesehatan rumah tangga (PKRT) dan makanan minuman merupakan urusan pemerintah pusat. Dalam melaksanakan urusan pemerintahan, pemerintah selain membentuk kementerian negara yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan juga dapat membentuk Lembaga Pemerintah Non Kementerian. Dalam Pasal 1 ayat (1) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, menjelaskan bahwa Lembaga Pemerintah Non Departemen adalah lembaga pemerintah pusat yang dibentuk untuk melaksanakan tugas pemerintahan tertentu dari Presiden. Selanjutnya dalam Pasal 1 ayat (2) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen dinyatakan bahwa Lembaga Pemerintah Non Departemen berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Terkait pengawasan kosmetik sebagai salah satu urusan pemerintah pusat sebagaimana yang dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 7

tentang Pemerintahan Daerah, Presiden pun membentuk suatu lembaga pemerintah non kementerian yaitu Badan Pengawas Obat dan Makanan. Berdasarkan Pasal 67 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, Badan Pengawas Obat dan Makanan merupakan lembaga pemerintah pusat yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam melaksanakan tugasnya Badan Pengawas Obat dan Makanan dikoordinasikan oleh Menteri Kesehatan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 106 huruf e Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen. Kewenangan Badan Pengawas Obat dan Makanan tercantum pada Pasal 69 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen. Salah satu kewenangan Badan Pengawas Obat dan Makanan berdasarkan Pasal 69 Keputusan Presiden tersebut adalah menetapkan pedoman pengawasan peredaran obat dan makanan serta melakukan pemberian izin dan melakukan pengawasan peredaran obat serta pengawasan industri farmasi. Pengawasan atas kosmetika sebagai salah satu sediaan farmasi dilakukan dari tahap produksi sampai dengan peredaran. Berdasarkan Pasal 3 Peraturan 8

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.12.11.10053 Tahun 2011 tentang Pengawasan Produksi dan Peredaran Kosmetika, pengawasan dilakukan melalui pemeriksaan terhadap sarana yang terdiri dari industri kosmetika, importir kosmetika, usaha perorangan/badan usaha yang melakukan kontrak produksi dengan industri kosmetika yang telah memiliki izin produksi, distribusi dan penjualan kosmetika melalui media elektronik. Selain itu pengawasan juga dilakukan melalui pemeriksaan terhadap kosmetika yang meliputi legalitas kosmetika, keamanan, kemanfaatan dan mutu kosmetika, penandaan dan klaim kosmetika serta promosi dan iklan kosmetika. Pengawasan atas peredaran kosmetik di Kota Padang dilakukan oleh Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Padang serta Dinas Kesehatan Kota Padang. Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Padang merupakan Unit Pelaksana Teknis Badan Pengawas Obat dan Makanan. Adapun tugas Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Kota Padang tercantum dalam Pasal 2 Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 14 Tahun 2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan yaitu melaksanakan kebijakan dibidang pengawasan obat dan makanan, yang meliputi pengawasan atas produk terapetik, narkotika, psikotropika, zat adiktif, obat tradisional, kosmetik, produk komplemen serta pengawasan atas keamanan pangan dan bahan berbahaya. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penulis merasa tertarik untuk meneliti dan membahas mengenai pengawasan peredaran kosmetik berbahaya di 9

Kota Padang, dalam bentuk sebuah penelitian yang berjudul PENGAWASAN PEREDARAN KOSMETIK YANG MENGANDUNG BAHAN BERBAHAYA DI KOTA PADANG B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, penulis dapat merumuskan pokok-pokok permasalahan, sebagai berikut : 1. Bagaimana pengawasan peredaran kosmetik yang mengandung bahan berbahaya di Kota Padang? 2. Bagaimana tindak lanjut dalam hal ditemukan peredaran kosmetik yang mengandung bahan berbahaya di Kota Padang? C. Tujuan Penelitian Dalam merumuskan tujuan penelitian, penulis berpegang pada masalah yang telah dirumuskan. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui pengawasan peredaran kosmetik yang mengandung bahan berbahaya di Kota Padang. 2. Untuk mengetahui tindak lanjut dalam hal ditemukan peredaran kosmetik yang mengandung bahan berbahaya di Kota Padang. D. Manfaat Penelitian Manfaat yang ingin dicapai oleh penulis dalam penulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis a. Untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dibidang hukum, khususnya dibidang Hukum Administrasi Negara. 10

b. Agar dapat menjadi bahan bacaan, referensi atau pedoman bagi penelitian-penelitian berikutnya dalam hal pengawasan peredaran kosmetik yang mengandung bahan berbahaya. c. Untuk memberikan pengetahuan bagi penulis mengenai pengawasan peredaran kosmetik berbahaya di Kota Padang, serta yang mengandung bahan tindak lanjut dalam hal ditemukan peredaran kosmetik yang mengandung bahan berbahaya di Kota Padang. 2. Manfaat Praktis Penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih serta manfaat bagi individu, masyarakat, maupun pihak-pihak yang berkepentingan dalam menambah ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan pengawasan peredaran kosmetik yang mengandung bahan berbahaya. E. Metode Penelitian Metode penelitian adalah segala aktivitas seseorang untuk menjawab permasalahan hukum yang bersifat akademik dan praktisi, baik yang bersifat asasasas hukum, norma-norma hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, maupun yang berkenaan dengan kenyataan hukum dalam masyarakat. 4 Oleh karena itu, metode yang diterapkan harus sesuaikan dengan ilmu pengetahuan dan sejalan dengan objek yang diteliti. Untuk memperoleh data yang maksimal dalam penelitian dan penulisan ini sehingga tercapai tujuan yang diharapkan maka, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 4 Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum,, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 19. 11

1. Metode Pendekatan Penelitian Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat yuridis sosiologis ( Socio-legal research), yaitu bagaimana hukum itu dilaksanakan termasuk proses penegakan hukum (law enforcement). 5 Dalam hal ini penulis mengungkapkan permasalahan-permasalahan yang ada dalam pengawasan peredaran kosmetik yang mengandung bahan berbahaya di Kota Padang. 2. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yang mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian. Demikian juga hukum dalam pelaksanaannya didalam masyarakat yang berkenaan objek penelitian. 6 3. Sumber dan Jenis Data a. Sumber Data 1. Penelitian Lapangan Data lapangan yang diperlukan sebagai data penunjang diperoleh melalui informasi dan pendapat-pendapat dari responden yang ditentukan secara purposive sampling (ditentukan oleh peneliti berdasarkan kemauannya) dan/atau random sampling (ditentukan oleh peneliti secara acak). 7 Penelitian lapangan dilakukan secara purposive sampling di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan 5 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 134. 6 Zainudin Ali, op.cit, hlm. 106. 7 Ibid, hlm. 107. 12

di Padang, Dinas Kesehatan Kota Padang, dan toko-toko kosmetik yang ada di Pasar Raya Padang dan Plaza Andalas. 2. Penelitian Kepustakaan Data kepustakaan yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen resmi, publikasi, dan hasil penelitian. 8 Studi kepustakaan dilakukan di beberapa tempat, yaitu Perpustakaan Pusat Universitas Andalas, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Andalas, maupun sumber dan bahan bacaan lainnya. b. Jenis Data Dalam mengumpulkan bahan penelitian, jenis data yang diambil terdiri dari: 1. Data Primer Data yang diperoleh langsung dari sumber pertama, atau data yang diperoleh secara langsung melalui penelitian lapangan (field research), serta wawancara mengenai pengawasan peredaran kosmetik yang mengandung bahan berbahaya di Kota Padang. Dalam hal pengumpulan data primer, penulis melakukan wawancara dengan Ibu Linda Gusrini Fadri selaku Pengawas Farnasi Makanan pada Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Padang, Ibu Indrawati. A selaku Kepala Seksi Kefarmasian Dinas 8 Ibid, hlm. 107. 13

Kesehatan Kota Padang dan Ibu Resita Sandra selaku Staf Seksi Kefarmasian Dinas Kesehatan Padang. 2. Data Sekunder Data yang diperoleh dari dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, atau dari penelitian kepustakaan yang berupa bahan hukum, yaitu: a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat diperoleh dengan mempelajari semua peraturan yang meliputi : peraturan perundang-undangan, konvensi, dan peraturan terkait lainnya berhubungan dengan penelitian penulis. Bahan-bahan hukum yang digunakan antara lain: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi; 5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan 14

Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota; 6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen; 7. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2005 tentang Perubahan Keenam Atas Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen; 8. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 239/Men.Kes/Per/V/85 tentang Zat Warna Tertentu Yang Dinyatakan Sebagai Bahan Berbahaya; 9. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 472 Tahun 1996 tentang Pengamanan Bahan Berbahaya Bagi Kesehatan; 10. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1175/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Izin Produksi Kosmetika; 11. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor : HK.03.1.23.08.11.07517 Tahun 2011 tentang Persyaratan Teknis Bahan Kosmetika 15

yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.08.11.07517 Tahun 2011 tentang Persyaratan Teknis Bahan Kosmetika. 12. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 14 Tahun 2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan; 13. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.12.11.10053 Tahun 2011 tentang Pengawasan Produksi dan Peredaran Kosmetika; 14. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.4.1745 Tahun 2003 tentang Kosmetik. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, misalnya Rancangan Undang- Undang (RUU), Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), hasil 16

penelitian (hukum), hasil karya (ilmiah) dari kalangan hukum, dan sebagainya. 9 c. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier, yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, misalnya: kamus-kamus (hukum), ensiklopedia, indek kumulatif, dan sebagainya. 10 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan dalam penulisan ini adalah a. Studi dokumen yaitu penelitian dengan cara mempelajari bahan-bahan hukum kepustakaan yang ada, terutama yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, serta mempelajari peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan materi atau objek penelitian. 11 Bahanbahan tersebut diperoleh dari : 1. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Andalas 2. Perpustakaan Pusat Universitas Andalas. 3. Buku-buku dan bahan-bahan kuliah yang dimiliki oleh penulis. b. Wawancara 114. 9 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2013, hlm. 10 Ibid, hlm. 114. 11 Zainudin Ali, loc.cit. 17

Wawancara adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan secara lisan guna memperoleh informasi dari responden yang erat kaitannya dengan masalah yang diteliti oleh penulis di lapangan 12. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik wawancara semi terstruktur, karena dalam penelitian ini terdapat beberapa pertanyaan akan peneliti tanyakan kepada narasumber, dimana pertanyaan-pertanyaan tersebut terlebih dahulu penulis siapkan dalam bentuk point-point. Namun tidak tertutup kemungkinan dilapangan nanti penulis akan menanyakan pertanyaan pertanyaan baru setelah melakukan wawancara dengan narasumber. Wawancara dilakukan dengan Ibu Linda Gusrini Fadri selaku Pengawas Farmasi Makanan Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Padang, Ibu Indrawati. A selaku Kepala Seksi Kefarmasian Dinas Kesehatan Kota Padang, Ibu Resita Sandra selaku Staf Seksi Kefarmasian Dinas Kesehatan Kota Padang serta Penjual kosmetik di Plaza Andalas dan Pasar Raya Padang. 5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data a. Pengolahan Data Sebelum melakukan analisis data, data yang diperoleh dari penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan diolah dengan cara editing. Editing atau penyuntingan gunanya adalah untuk menentukan data yang diperlukan dan data yang tidak diperlukan, seperti melakukan 12 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-PRESS, Jakarta, 2008, hlm. 196. 18

pemilihan, menghapus secara keseluruhan atau sebagian kalimat-kalimat tertentu. 13 b. Analisis Data Berdasarkan sifat penelitian yang menggunakan metode penelitian bersifat deskriptif analitis, analisis data yang digunakan adalah pendekatan kualitatif terhadap data primer dan data sekunder. Deskriptif tersebut, meliputi isi dan struktur hukum positif, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh penulis untuk menentukan isi atau makna aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi objek kajian. 14 13 Bambang Sunggono, op.cit, hlm. 126. 14 Zainudin Ali, op.cit, hlm. 107. 19