A. Pengertian dan Dasar Hukum Akuntansi Pajak

dokumen-dokumen yang mirip
3) Penundaan atau Perpanjangan Penyampaian SPT

AKUNTANSI PERPAJAKAN KELOMPOK : IV APRIDA DEWI DEVI JUNIANTY ( ) TASLIM GOTAMI

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS. Menurut UU KUP No 28 tahun 2007 pasal 1 angka 29, pembukuan

B. KEWAJIBAN PEMBUKUAN

BAGIAN 2 PENGERTIAN PEMBUKUAN/PENCATATAN

KONSEP DASAR AKUNTANSI PAJAK

Tujuan Akuntansi Pajak a. Dasar menghitung PKP b. Menghitung harga perolehan c. Menghitung penyerahan barang kena pajak d. Menghitung besarnya pajak y

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. tanpa balas jasa yang dapat ditunjuk secara langsung.

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, dunia perekonomian berkembang dengan sangat pesat. Banyaknya

AKUNTANSI PERPAJAKAN PEMBUKUAN & PENCATATAN. Dr. Suhirman Madjid, SE.,MS.i.,Ak., CA. HP/WA :

PERBEDAAN AKUNTANSI DENGAN UU PAJAK. penyesuaian

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Surat Ketetapan Pajak. Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com

BAB I PENDAHULUAN. sendiri. Agar tujuan perusahaan dapat tercapai, maka semua faktor-faktor

-1- RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 118/PMK.03/2016 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PELATIHAN PENGISIAN SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI PADA USAHA KECIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Hukum Pajak. Kewajiban Perpajakan (Pertemuan #9) Semester Genap

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TANGGAL 1 JULI 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

24 Maret STIE Widya Praja Tanah Grogot

BAB II KAJIAN PUSTAKA

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2017, No tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tenta

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 62/PJ/2013 TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ABSTRAK. : Pajak Penghasilan, Laporan Keuangan Komersial, Laporan Keuangan Fiskal, Rekonsiliasi Fiskal.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG

Akuntansi Pajak Atas Liabilitas (Kewajiban)

I. UMUM II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. Cukup jelas. Pasal 2

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Drs. APIT YULIMAN ERMAYA.,BA.,SE.,MM.,MAk.,MBA.,Akt.,CA KAPRODI: D3 AKUNTANSI-POLITEKNIK TEDC PENDIDIKAN: S1 Manajemen UNRI S2-MM -IGI Jakarta S1

2016, No pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia; b. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (2) P

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia pada zaman orde baru mengandalkan penerimaan negara pada sektor

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban pemerintah untuk mewujudkan tujuan-tujuan negara yaitu untuk

SPT TAHUNAN PPH BADAN TERKAIT PENYAMPAIAN SURAT PERNYATAAN HARTA (SPH) UNTUK PENGAMPUNAN PAJAK

PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Materi E-Learning Perpajakan

BAB IV ANALISIS DATA DAN HASIL PENELITIAN. perusahaan perlu mendapat perhatian khusus dalam penetapan kebijakan baik

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. 1. Perbedaan pelakuan pajak penghasilan

BAB I PENDAHULUAN. paling populer bagi negara. Hal ini terjadi akibat pengaruh pergeseran penerimaan

Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah Koreksi Penyesuaian Fiskal Negatif berupa Biaya Emisi sebesar Rp

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 144/PMK.011/2012 TENTANG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN NOMOR SE-62/PJ/2013 TENTANG

EVALUASI ATAS PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 PADA PT SNI. Dalam rangka pemanfaatan Undang undang Perpajakan secara optimal untuk

1 of 5 21/12/ :18

DIREKTUR JENDERAL PAJAK

AKUNTANSI PAJAK. Amanita Novi Yushita

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 533/KMK.04/2000 TENTANG

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN (UU KUP)

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PAJAK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN BAB I KETENTUAN UMUM.

1 Catatan Revaluasi Aktiva Tetap Perusahaan

RINGKASAN KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

KEPUTUSAN KEPALA KANTOR PELAYANAN PAJAK... NOMOR : KEP-...

PENILAIAN KEMBALI AKTIVA TETAP UNTUK TUJUAN PERPAJAKAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. menurut Rochmat Soemitro, seperti yang dikutip Waluyo (2008:3)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

CONTOH PENERAPAN DAN PENGHITUNGAN FASILITAS PAJAK PENGHASILAN

BAB IV PEMBAHASAN. Penjelasan mengenai akun akun dalam laporan keuangan PT Mitra Wisata Permata

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS. administratif dan diharapkan akan digunakan lebih dari satu

BAB I PENDAHULUAN. yaitu pajak langsung, dan pajak tidak langsung. Contoh pajak langsung adalah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG

I. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 9/PMK.03/2018

Rekonsiliasi Fiskal Terhadap Laporan Keuangan Komersial Dan Laporan Keuangan Fiskal Dalam Menghitung Pajak Penghasilan Badan Pada Pt Cipta KARYA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1983 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP - 519/PJ./2002 TENTANG

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT.36985/PP/M.XIII/15/2012. : Pajak Penghasilan Badan. Tahun Pajak : 2007

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG

BAB II LANDASAN TEORI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. pajak, baik pajak pusat maupun pajak daerah, ini terbukti pada tahun 2014

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

AKUNTANSI KOMERSIAL VS AKUNTANSI PAJAK

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 144/PMK.011/2012 TENTANG

2017, No Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang

2 b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 31A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 te

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN

APAKAH TARIF PAJAK BAGI WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI PENGGUNA NORMA SUDAH ADIL? STUDI KASUS PEDAGANG ECERAN MINUMAN DI JAKARTA BARAT

ANALISIS KEPATUHAN WAJIB PAJAK SEBELUM DAN SESUDAH DITERAPKANNYA PERATURAN PEMERINTAH NO. 46 TAHUN 2013 DI UMKM ONYX TULUNGAGUNG RINGKASAN SKRIPSI

Transkripsi:

5 BAB II LANDASAN TEORITIS A. Pengertian dan Dasar Hukum Akuntansi Pajak 1. Pengertian Akuntansi Pajak Dewasa ini sering timbul kerancuan mengenai istilah pembukuan dan akuntansi. S. Hadibroto (2004 : 30) mendefinisikan pembukuan sebagai berikut pembukuan merupakan bagian dari pengertian akuntansi, yaitu bagian akuntansi yang berfungsi sebagai pencatatan dan pengumpulan data. Untuk memahami perbedaan antara pembukuan dan akuntansi, maka penting untuk mendefinisikan pengertian akuntansi dengan tepat. Banyak sekali definisi yang diberikan untuk istilah akuntansi, American Accounting Association (1977:64) memberikan definisi sebagai berikut : Accounting is the body of knowledge and function concerned with systematic originating, authenticating, recording, classifying, processing, summarizing, analyzing, interpreting supplying of dependable and significant information covering transactions and which are in part at least, of financial character, required for the management and operation of an entity and for the reports that have to be submitted, there on o meet fudiciary and other responsibilities. Pada hakekatnya akuntansi adalah suatu sistem informasi. Lebih tepat lagi akuntansi merupakan penerapan teori informasi umum terhadap masalah operasi ekonomi yang efisien. Akuntansi mencakup pula sebagian besar sistem informasi umum yang memberikan informasi untuk pengambilan keputusan dalam bentuk kuantitatif. Dalam kaitan ini, maka akuntansi merupakan bagian sistem informasi

6 umum sesuatu entity yang beroperasi maupun bidang dasar yang termasuk konsep informasi. Dari definisi di atas, dapat dilihat bahwa fungsi pembukuan atau pencatatan sudah tercakup di dalam pengertian akuntansi. S.Hadibroto (2004 : 31) mendefinisikan akuntansi secara singkat sebagai sebagai berikut akuntansi merupakan keseluruhan pengetahuan yang sifatnya lebih luas daripada teknikteknik pembukuan, atau suatu sistim informasi yang bersifat kuantitatif dengan tujuan untuk menjadi dasar pengambilan keputusan ekonomi. Berdasarkan pengertian akuntansi diatas, S. Hadibroto menetapkan bahwa tujuan dari akuntansi adalah dimungkinkannya penyediaan informasi yang bersifat finansial kepada siapa saja yang memerlukan data informasi tersebut. Untuk mencapai tujuan tersebut maka akuntansi memerlukan bermacam-macam teknik, yaitu teknik pencatatan, pengawasan, penyajian laporan keuangan, pemeriksaan, dan sebagainya sehingga informasi yang disajikan merupakan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Hasil akhir dari proses akuntansi dalam suatu periode tertentu adalah Laporan Keuangan. Penyusunan Laporan Keuangan ini harus berpedoman pada prinsip akuntansi umum yang berlaku, yaitu Standar Akuntansi Keuangan (SAK). Laporan Keuangan yang disusun berdasarkan SAK disebut dengan Laporan Keuangan Bisnis atau Laporan Keuangan Komersial.. Dalam perpajakan penyelenggaraan akuntansi disebut dengan istilah pembukuan, Undang-Undang nomor 6 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pasal 1 butir 29 menyebutkan Pembukuan adalah

7 suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa Neraca dan Laporan Laba Rugi untuk periode tahun pajak tersebut. Laporan keuangan yang disusun berdasarkan Undang-Undang Perpajakan disebut dengan laporan keuangan fiskal. Dari pengertian pembukuan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pembukuan hanyalah sebagian dari proses akuntansi. Akuntansi mempunyai pengertian yang lebih luas, termasuk penerapan pedoman dalam menyusun laporan keuangan. Penulis berkesimpulan bahwa istilah pembukuan dalam undang-undang perpajakan mempunyai maksud yang sama dengan pengertian akuntansi pada umumnya yang intinya terjadi proses pencatatan atas transaksi yang terjadi dalam suatu periode. Sehingga pembukuan dalam terminologi perpajakan dapat dipersamakan juga dengan akuntansi pajak. Dalam penjelasan Pasal 28 ayat 7 Undang-Undang nomor 6 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan disebutkan bahwa maksud diselenggarakannya pembukuan adalah agar dapat dihitung besarnya Pajak Penghasilan yang terhutang dan Pajak Pertambahan Nilai serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan benar. 2. Dasar Hukum Akuntansi Perpajakan Hadirnya akuntansi di dunia bisnis sangat membantu perusahaan, hal ini berkaitan dengan manajemen dalam upaya menyediakan informasi keuangan

8 yang dibutuhkan oleh berbagai pihak yang berkepentingan. Salah satu pihak yang berkepentingan adalah negara, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak, untuk menentukan besarnya pajak yang benar dalam arti adil dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak. Dalam perpajakan istilah yang digunakan dalam penyelenggaraan akuntansi adalah pembukuan dan pencatatan. Mengenai pembukuan ini diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Dalam Pasal 28 tersebut, disebutkan bahwa Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia, wajib menyelenggarakan pembukuan. Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 28 disebutkan bahwa pembukuan diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, yaitu berdasarkan Prinsip Akuntansi Indonesia, kecuali peraturan perundangan perpajakan menentukan lain. B. Kewajiban Pembukuan Salah satu kewajiban Wajib Pajak yang diatur di dalam Undang-Undang nomor 6 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 28 adalah menyelenggarakan pembukuan, yang berlaku bagi Wajib Pajak Badan maupun Wajib Pajak Orang Pribadi. Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan adalah: 1. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas di Indonesia; 2. Wajib Pajak Badan di Indonesia

9 Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan pembukuan: a. Pembukuan atau pencatatan harus dilakukan dengan itikad baik dan mencerminkankeadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya; b. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan. c. Pembukuan harus diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas. Prinsip taat atas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah pergeseran laba atau rugi. Prinsip taat asas dalam metode pembukuan misalnya dalam penerapan: 1. Stelsel pengakuan penghasilan; 2. Tahun buku; 3. Metode penilaian persediaan; 4. Metode penyusutan atau armotisasi. Yang dimaksud dengan stelsel akrual adalah metode penghitungan penghasilan dan biaya dalam arti penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui pada waktu terutang. Jadi tidak tergantung kapan penghasilan itu diterima dan kapan biaya itu dibayar secara tunai. Termasuk dalam pengertian sistem akrual adalah pengakuan penghasilan berdasarkan metode persentase tingkat penyelesaian pekerjaan yang umumnya dipakai dalam bidang konstruksi dan metode lain yang dipakai dalam bidang usaha tertentu seperti build operatie and transfer (BOT) dan real estate.

10 Sedangkan, stelsel kas adalah suatu metode yang penghitungannya didasarkan atas penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai. Menurut stelsel kas, penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan apabila penghasilan benar-benar telah diterima secara tunai dalam suatu periode tertentu serta biaya baru dianggap sebagai biaya apabila benar-benar telah dibayar secara tunai dalam suatu periode tertentu. Stelsel ini biasanya digunakan oleh perusahaan kecil orang pribadi atau perusahaan jasa, seperti transportasi, hiburan, dan restoran yang tenggang waktu antara penyerahan jasa dan penerimaan pembayarannya tidak berlangsung lama. Berdasarkan stelsel kas murni penghasilan dari penyerahan barang atau jasa ditetapkan pada saat pembayaran dari pelanggan diterima dan biaya-biaya ditetapkan pada saat barang, jasa, dan biaya operasi lain dibayar. Pemakaian stelsel kas memiliki kelemahan yaitu mengakibatkan perhitungan yang mengaburkan jumlah penghasilan, yaitu besarnya penghasilan dari tahun ke tahun dapat disesuaikan dengan mengatur penerimaan kas dan pengeluaran kas. Oleh karena itu terkait dengan perpajakan, apabila Wajib Pajak memakai stelsel kas ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu: 1. Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi seluruh penjualan, baik yang tunai maupun yang bukan. Dalam menghitung harga pokok penjualan harus diperhitungkan seluruh pembelian dan persediaan. 2. Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak-hak yang dapat diamortisasi, biaya-biaya yang dikurangkan dari penghasilan hanya dapat dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi. 3. Pemakaian stelsel kas harus dilakukan secara taat asas (konsisten).

11 d. Perubahan terhadap metode pembukuan dan/ atau tahun buku harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak. Pemberitahuan perubahan metode pembukuan harus diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum dimulainya tahun buku yang bersangkutan dengan disertai penyampaian alasan yang logis dan dapat diterima serta akibat yang mungkin timbul dari perubahan tersebut. e. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang; f. Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat izin Menteri Keuangan. g. Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi on-line wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak Badan. Jangka waktu ini disesuaikan dengan batas daluarsa penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. C. Ketentuan Norma Penghitungan Penghasilan Neto Pada dasarnya setiap Wajib Pajak di Indonesia, baik Wajib Pajak Badan maupun Wajib Pajak Orang Pribadi, memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan. Namun, pemerintah Indonesia menyadari bahwa masih ada Wajib Pajak yang tidak mampu untuk menyusun pembukuan sebagaimana dimaksud oleh ketentuan undang-undang perpajakan karena beberapa sebab antara lain pengetahuan dan atau tingkat pendidikan Wajib Pajak yang tidak memungkinkan untuk

12 melaksanakan kewajiban pembukuan tersebut. Untuk mengakomodir keadaan tersebut, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menempatkan pasal yang mengatur bahwa bagi Wajib Pajak yang menjalankan usaha dan atau pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran bruto tertentu diperbolehkan menggunakan Norma Penghitungan dalam menghitung penghasilan netonya. Penelitian ini akan membahas mengenai Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. Besaran Norma Penghitungan Penghasilan Neto ini diperhatikan oleh Direktorat Jenderal Pajak, sehingga ada pedoman dalam penyusunannya. Dasar hukum penyusuan Norma Penghitungan Penghasilan Neto adalah Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 505/KMK.04/1995 tanggal 07 Nopember 1995 tentang Pegangan Penyusunan Norma Penghitungan Peredaran Bruto dan Norma Penghitungan Penghasilan Neto yang berisi: 1. Norma Penghitungan Peredaran Bruto berupa angka perkalian terhadap faktorfaktor yang mempengaruhi besarnya peredaran atau penerimaan bruto suatu jenis usaha seperti besarnya persediaan, tingkat kecepatan peredaran, tingkat hunian, kapasitas produksi, dan rendemen. 2. Norma Penghitungan Penghasilan Neto berupa angka persentase terhadap peredaran atau penerimaan bruto. 3. Nota Penghitungan Peredaran Bruto dan Norma Penghitungan Penghasilan Neto disusun sedemikian rupa sehingga; a. Sederhana; b. Terinci menurut kelompok jenis usaha dan pekerjaan bebas;

13 c. Dibedakan menurut Wajib Pajak Orang Pribadi, Wajib Pajak Badan, dan Bentuk Usaha Tetap (BUT). 4. Norma Penghitungan Peredaran Bruto dan atau Norma Penghitungan Penghasilan Neto ditinjau kembali apabila dianggap perlu. Untuk menindaklanjuti Keputusan Menteri Keuangan tersebut diterbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-32/PJ.2/2000 tanggal 9 Februari 2000 tentang Revisi Tim Penyusunan Norma Penghitungan Peredaran Bruto untuk : 1. Mempersiapkan peraturan-peraturan, metode penelitian, dan tata cara pendataan yang berkaitan dengan Norma Penghitungan Peredaran bruto dan Norma penghitungan Penghasilan Neto; 2. Melaksanakan penelitian dan pendataan dalam rangka penyusunan Norma Penghitungan Peredaran Bruto dan Norma Penghitungan Penghasilan Neto; 3. Melaporkan hasil pelaksanaan penelitian dan pendataan dalam rangka penyusunan Norma Penghitungan Peredaran bruto dan perubahan Norma Penghitungan Penghasilan Neto kepada Direktur Jenderal Pajak. Berdasarkan hasil kerja Tim Revisi, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-536/PJ/2000 tanggal 29 Desember 2000 tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak yang dapat menghitung Penghasilan Neto dengan menggunakan Norma Penghitungan. Adapun ketentuan yang tertuang di dalam keputusan terakhir antara lain: 1. Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto di bawah Rp 600.000.000,00 dalam 1 (satu) tahun wajib menyelenggarakan pencatatan, kecuali Wajib Pajak yang bersangkutan memilih menyelenggarakan pembukuan.

14 2. a. Wajib Pajak yang bersangkutan wajib memberitahukan mengenai penggunaan Norma Penghitungan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 3(tiga) bulan sejak awal tahun pajak yang bersangkutan. b. Pemberitahuan penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto yang disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud tersebut dianggap disetujui kecuali berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata Wajib Pajak tidak memenuhi persayaratan untuk menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto. c. Wajib Pajak yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan. 3. Bagi Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan, Wajib Pajak yang memilih menyelenggarakan pembukuan, dan Wajib Pajak yang dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan, yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan, penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasiln Neto. Dan Wajib Pajak yang bersangkutan dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% dari Pajak Penghasikan yang tidak atau kurang dibayar dalam tahun pajak yang bersangkutan. 4. Norma Penghitungan Penghasilan neto dikelompokkan menurut wilayah sebagai berikut: a. 10 (sepuluh) ibukota propinsi, yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Depasar, Manado, Makassar, dan Pontianak; b. Ibukota propinsi lainnya;

15 c. Daerah lainnya. 5. Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha atau pekerjaan bebas, penghitungan penghasilan netonya dilakukan terhadap masing-masing jenis usaha dengan memperhatikan pengelompokkan wilayah. Penghasilan neto Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha adalah penjumlahan penghasilan neto dari masing-masing jenis usaha atau pekerkaan bebas. 6. Penghasilan Neto bagi tiap jenis usaha dihitung dengan cara mengalikan angka persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan peredaran bruto atau penghasilan bruto dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dalam 1 (satu) tahun. 7. Dalam menghitung besarnya Pajak penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak orang pribadi, sebelum melakukan penerapan tarif umum, terlebih dahulu dihitung Penghasilan Kena Pajak dengan mengurangkan Penghasilan Tidak Kena Pajak dari penghasilan neto. Dalam perkembangannya, ketentuan mengenai pelaksanaan penghitungan penghasilan neto dengan norma mengalami perubahan. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang memuat pengaturan mengenai pelaksanaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto di Indonesia saat ini, yaitu: a. Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, memuat tentang yang dikecualikan dari kewajiban penyelenggaraan pembukuan sebagaimana dimaksud di dalam Ayat (1) tetapi wajib melakukan pencatatan adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

16 b. Pasal 14 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan yang mengatur : (1) Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk menentukan penghasilan neto, dibuat dan disempurnakan terus menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak. (2) Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan neto, dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal pajak dalam jangka waktu (3) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. (3) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) yang menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto wajib menyelenggarakan pencatatan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan. (4) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan. (5) Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, termasuk wajib pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (3), yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pencatatan atau pembukuan atau tidak memperlihatkan pencatatan atau bukti-bukti

17 pendukungnya maka penghasilan netonya dihitung berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan peredaran brutonya dihitung dengan cara lain dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. c. Besaran norma penghitungan yang tercantum dalam lampiran Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-536/PJ/2000 tanggal 29 Desember 2000 masih berlaku sampai sekarang dan belum megalami perubahan. d. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tanggal 30 Desember 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan Pasal 13 diatur bahwa pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri termasuk biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang dikenakan pajak berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Undang- Undang Pajak Penghasilan. Dengan demikian dalam penghitungan penghasilan neto dengan metode norma tidak mengenal kerugian karena seluruh biaya dianggap telah diperhitungkan dalam tarif norma penghitungan yang berlaku untuk penghasilan tersebut. D. Kewajiban Pencatatan Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-04/PJ/2009 tanggal 20 Januari 2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pencatatan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi diatur bahwa bahwa Wajib Pajak orang pribadi yang tidak wajib menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib menyelenggarakan pencatatan adalah: a. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan

18 bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan memilih untuk menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto; dan b. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas. Pencatatan yang harus diselenggarakan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas meliputi : 1. peredaran dan/atau penerimaan bruto yang diterima dari kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang penghasilannya merupakan objek pajak yang tidak dikenai pajak bersifat final. 2. Penghasilan bruto yang diterima dari luar kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang penghasilannya merupakan objek pajak yang tidak dikenai pajak bersifat final, termasuk biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut. 3. Penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final, baik yang berasal dari kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas maupun dari luar kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas. 4. Pencatatan atas harta dan kewajiban baik yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas maupun yang tidak digunakan untuk melaksanakan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas. 5. Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha dan/atau tempat usaha, pencatatan harus dapat menggambarkan secara jelas untuk masing-masing jenis usaha dan/atau tempat usaha yang bersangkutan.

19 Pencatatan yang harus diselenggarakan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas harus meliputi : 1. Penghasilan bruto yang diterima yang merupakan objek pajak yang tidak dikenai pajak bersifat final termasuk biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut. 2. Penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final. 3. Pencatatan atas harta dan kewajiban yang dimiliki. Ketentuan umum yang berlaku bagi Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas adalah sebagai berikut : 1. Pencatatan peredaran dan/atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto oleh Wajib Pajak orang pribadi meliputi seluruh peredaran dan/atau penerimaan dan/atau penghasilan bruto yang telah diterima secara tunai. 2. Pencatatan harus dibuat dalam suatu Tahun Pajak, yaitu jangka waktu 1 (satu) tahun kalender mulai tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember. 3. Pencatatan harus dibuat secara kronologis dan sistematis berdasarkan urutan tanggal diterimanya peredaran dan/atau penerimaan bruto. 4. Pencatatan dilakukan dengan menggunakan mata uang Rupiah sebesar nilai yang sebenarnya terjadi dan disusun dalam bahasa Indonesia. 5. Pencatatan harus diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan yang sebenarnya serta didukung dengan dokumen yang menjadi dasar pencatatan.

20 6. Catatan dan dokumen yang menjadi dasar pencatatan harus disimpan ditempat tinggal Wajib Pajak dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan selama 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak berakhirnya Tahun Pajak. 7. Bentuk dan Tata Cara Pencatatan penghasilan yaitu sebagai berikut : Tabel 2.1 Bentuk dan Tata Cara Pencatatan penghasilan yang diterima dari kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang merupakan objek pajak yang tidak dikenai pajak bersifat final Tanggal Uraian Jumlah Bruto Keterangan (Rp) 1 Januari.. 31 Desember Jumlah Sumber : Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-4/PJ/2009 Tabel 2.2 Bentuk dan Tata Cara Pencatatan penghasilan bruto yang diterima dari luar kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang penghasilannya merupakan objek pajak yang tidak dikenai pajak bersifat final Tanggal Uraian Jumlah Bruto (Rp) 1 Januari Biaya (Rp) Jumlah Neto (Rp) Keterangan. 31 Des Jumlah Sumber : Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-4/PJ/2009

21 Tabel 2.3 Pencatatan penghasilan bruto yang diterima oleh Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas Tanggal Uraian Jumlah Bruto (Rp) 1 Januari Pengurang Penghasilan Bruto (Rp) Penghasilan Neto (Rp) Keterangan.. 31 Des Jumlah Sumber : Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-4/PJ/2009 E. Kerangka Pemikiran Kerangka konseptual dari penelitian Perbandingan Penghitungan Pajak Penghasilan Orang Pribadi Antara Metode Pembukuan dengan Norma Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Timur bermula dari adanya fakta bahwa sebagian besar Wajib Pajak orang pribadi (yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas) dalam menghitung penghasilan netonya menggunakan norma penghitungan penghasilan neto dan cenderung menghindari pembukuan. Hal ini tidak terlepas dari pemikiran dibutuhkannya administrasi perpajakan yang sederhana bagi para wajib pajak baru atau usaha kecil yang masih kesulitan melakukan kewajiban perpajakannya. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perbedaan metode pembukuan dengan metode norma dalam penghitungan penghasilan neto WP orang pribadi dan mengidentifikasi metode manakah yang yang memberikan hasil berupa penghasilan neto dan PPh terutang yang lebih besar. Alur pemikiran penelitian ini digambarkan pada Gambar di halaman berikut :

22 Penghitungan PPh WP orang pribadi terdiri dari dua metode yaitu Pembukuan dan Norma Sebagian besar WP orang pribadi yang melakukan usaha atau pekerjaan bebas memilih menggunakan Metode Norma Penghitungan penghasilan neto WP orang pribadi yang menggunkan norma dengan menggunakan Metode Pembukuan Penghasilan neto berdasarkan metode pembukuan lebih besar dibandingkan dengan metode norma Gambar 2.4 Gambar 2.1 Kerangka Konseptual