BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perencanaan tebal perkerasan yang mempunyai lingkup perencanaan bahan dan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III LANDASAN TEORI. A. Parameter Desain

BAB III LANDASAN TEORI. jalan, diperlukan pelapisan ulang (overlay) pada daerah - daerah yang mengalami

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI. Pada metode Bina Marga (BM) ini jenis kerusakan yang perlu diperhatikan

BAB II DASAR TEORI 2.1 Tinjauan Umum 2.2 Dasar Teori Oglesby, C.H Hicks, R.G

BAB III METODA PERENCANAAN

Menetapkan Tebal Lapis Perkerasan

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan jumlah penduduk dan kemajuan teknologi pada zaman sekarang,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang terletak pada lapis paling atas dari bahan jalan dan terbuat dari bahan khusus

BAB III LANDASAN TEORI

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II1 METODOLOGI. Berikut ini adalah bagan alir (Flow Chart) proses perencanaan lapis

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Provinsi Banten ini nantinya akan berubah status dari Jalan Kolektor

A. LAPISAN PERKERASAN LENTUR

LAPISAN STRUKTUR PERKERASAN JALAN

ANALISIS TEBAL PERKERASAN LENTUR DENGAN METODE ANALISA KOMPONEN SKBI 1987 BINA MARGA DAN METODE AASHTO

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. Kontruksi Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)

BAB III METODOLOGI PERENCANAAN PERKERASAN LENTUR KONSTRUKSI JALAN RAYA. 1. Nama Proyek : Pembangunan Jalan Spine Road III Bukit Sentul

BAB III LANDASAN TEORI. dapat digunakan sebagai acuan dalam usaha pemeliharaan. Nilai Pavement

STUDI KASUS: JALAN RUAS KM. 35 PULANG PISAU. Adi Sutrisno 06/198150/TK/32229

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang C. Tujuan Penelitian D. Manfaat Penelitian B. Rumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN Perkembangan Teknologi Jalan Raya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sampai saat ini ada 3 (tiga) jenis perkerasan jalan yang sering digunakan, yaitu :

Jurnal J-ENSITEC, 01 (2014)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. memenuhi syarat-syarat secara teknis maupun ekonomis. Syarat-Syarat umum jalan yang harus dipenuhi adalah:

Gambar 3.1. Diagram Nilai PCI

Penggunaan Hot Rolled Asphalt Sebagai Alternatif Lapisan Tambahan Perkerasan pada Ruas Jalan Pacitan Glonggong di Pacitan. Sri Wiwoho M, ST, MT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

STUDI BANDING DESAIN TEBAL PERKERASAN LENTUR MENGGUNAKAN METODE SNI F DAN Pt T B

LAPORAN. Ditulis untuk Menyelesaikan Matakuliah Tugas Akhir Semester VI Pendidikan Program Diploma III. oleh: NIM NIM.

DR. EVA RITA UNIVERSITAS BUNG HATTA

BAB IV PERHITUNGAN TEBAL PERKERASAN LENTUR. perumahan Puri Botanical Residence di jl. Joglo Jakarta barat. ditanah seluas 4058

Berdasarkan bahan pengikatnya konstmksi perkerasanjalan dapat dibedakan atas:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perkerasan kaku (rigid pavement) atau perkerasan beton semen adalah perkerasan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DESKRIPSI PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN JALAN MENGGUNAKAN METODE AASHTO

BAB II DASAR TEORI BAB 2 DASAR TEORI

DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM DITERBITKAN OLEH YAYASAN BADAN PENERBIT PU

BAB I PENDAHULUAN. agregat, dan agregat berperan sebagai tulangan. Sifat-sifat mekanis aspal dalam

STUDI PENGARUH BEBAN BELEBIH (OVERLOAD) TERHADAP PENGURANGAN UMUR RENCANA PERKERASAN JALAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dasar dan roda kendaraan, sehingga merupakan lapisan yang berhubungan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISA PERHITUNGAN TEBAL LAPIS PERKERASAN LENTUR ( FLEXIBEL PAVEMENT) PADA PAKET PENINGKATAN STRUKTUR JALAN SIPIROK - PAL XI (KM KM. 115.

PERANCANGAN PERKERASAN CONCRETE BLOCK DAN ESTIMASI BIAYA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melebihi daya dukung tanah yang diijinkan (Sukirman, 1992).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah umum Jalan sesuai dalam Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 38 Tahun 2004 tentang JALAN, sebagai berikut :

BAB V VERIFIKASI PROGRAM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pekerasan Jalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum

PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN LENTUR RUAS JALAN PARINGIN- MUARA PITAP KABUPATEN BALANGAN. Yasruddin¹)

BAB III LANDASAN TEORI. dapat digunakan sebagai acuan dalam usaha pemeliharaan. Nilai Pavement

LAPORAN. Ditulis untuk Menyelesaikan Matakuliah Tugas Akhir Semester VI Pendidikan Program Diploma III. oleh: NIM NIM.

STUDI KORELASI DAYA DUKUNG TANAH DENGAN INDEK TEBAL PERKERASAN JALAN MENGGUNAKAN METODE BINA MARGA

DAFTAR ISI. Halaman Judul Pengesahan KATA PENGANTAR

BAB V EVALUASI V-1 BAB V EVALUASI

LAPORAN TUGAS AKHIR. Ditulis untuk Menyelesaikan Matakuliah Tugas Akhir Semester VI Pendidikan Program Diploma III. oleh:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

PERBANDINGAN PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN LENTUR METODE BINA MARGA DAN METODE AASHTO (STUDI KASUS PROYEK PERKERASAN JALAN DI CUT MEUTIA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam campuran beraspal, aspal berperan sebagai pengikat atau lem antar partikel

BAB I PENDAHULUAN. Campuran beraspal adalah suatu kombinasi campuran antara agregat dan aspal.

gambar 3.1. teriihat bahwa beban kendaraan dilimpahkan ke perkerasan jalan

Perbandingan Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode Bina Marga 2011 Dengan Metode Jabatan Kerja Raya Malaysia 2013

BAB II KERUSAKAN DAN REHABILITASI JALAN

konfigurasi sumbu, bidang kontak antara roda perkerasan. Dengan demikian

PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN LENTUR PADA RUAS JALAN CIJELAG - CIKAMURANG DENGAN MENGGUNAKAN METODE AASTHO 93

PROGRAM KOMPUTER UNTUK DESAIN PERKERASAN LENTUR JALAN RAYA

Teknik Sipil Itenas No. x Vol. xx Jurnal Online Institut Teknologi Nasional Agustus 2015

ANALISIS TEBAL PERKERASAN LENTUR JALAN BARU MENGGUNAKAN MANUAL DESAIN PERKERASAN JALAN (MDP) 2013

BAB IV METODE PENELITIAN. Mulai. Identifikasi Masalah. Studi Literatur. Pengumpulan Data Sekunder. Rekapitulasi Data. Pengolahan Data.

BAB IV PERHITUNGAN TEBAL PERKERASAN LENTUR

PERKERASAN DAN PELEBARAN RUAS JALAN PADA PAKET HEPANG NITA DENGAN SYSTEM LATASTON

GAMBAR KONSTRUKSI JALAN

BAB I PENDAHULUAN. berkembang, sampai ditemukannya kendaraan bermotor oleh Gofflieb Daimler dan

7.1. PERKERASAN JALAN (PAVEMENT)

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISIS

B. Metode AASHTO 1993 LHR 2016

BAB I PENDAHULUAN. Permukaan tanah pada umumnya tidak mampu menahan beban kendaraan

DIVISI 4 PELEBARAN PERKERASAN DAN BAHU JALAN SEKSI 4.1 PELEBARAN PERKERASAN UMUM PERSYARATAN

ANALISIS PERBANDINGAN PERHITUNGAN TEBAL PERKERASAN KAKU DENGAN METODE BINA MARGA 2013 DAN AASHTO 1993 (STUDI KASUS JALAN TOL SOLO NGAWI STA

PENGGUNAAN LIMBAH HANCURAN GENTENG SEBAGAI ALTERNATIF AGREGAT KASAR PADA CAMPURAN HOT ROLLED ASPHALT

PENGARUH KELEBIHAN BEBAN TERHADAP UMUR RENCANA JALAN

BAB III LANDASAN TEORI

PENGARUH PENGGUNAAN AGREGAT HALUS (PASIR BESI) PASUR BLITAR TERHADAP KINERJA HOT ROLLED SHEET (HRS) Rifan Yuniartanto, S.T.

BAB III LANDASAN TEORI. A. Perkerasan Lentur

PERENCANAAN PERKERASAN JALAN

Perkerasan kaku Beton semen

KOMPARASI TEBAL PERKERASAN LENTUR METODE AASHTO 1993 DENGAN METODE BINA MARGA

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. cara membandingkan hasil perhitungan manual dengan hasil perhitungan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Jalan Perancangan jalan terdiri dari dua bagian yaitu perencanaan geometrik dan tebal perkerasan jalan. Perencanaan jalan merupakan bagian perencanaan jalan yang dititik beratkan pada perencanaan tebal perkerasan yang mempunyai lingkup perencanaan bahan dan perencanaan tebal perkerasan menurut suatu metode tertentu, sehingga dapat memenuhi fungsinya untuk memberikan pelayanan yang optimum pada arus lalu lintas dan akses dari rumah ke rumah. Dalam lingkungan pekerjaan ini termasuk pula dimensi perkerasan, tetapi bukan pada perencanaan geometrik jalannya, karena yang menjadi dasar perencanaan geometrik jalan adalah sifat gerakan, sifat pengemudi dalam mengendalikan kendaraan dan karakteristik arus lalu lintas. 2.2. Perkembangan Perkerasan Jalan Sampai saat ini ada 3 (tiga) jenis perkerasan jalan yang sering digunakan yaitu : perkerasan lentur, perkerasan kaku dan gabungan dari keduanya atau yang populer dengan istilah perkerasan komposit. Perbedaan utama dari ketiganya adalah pada bahan pengikat, perkerasan lentur menggunakan aspal dan perkerasan kaku menggunakan Portland cement (PC). Perkerasan lentur umumnya terdiri dari tiga lapis yang terdiri dari lapis permukaan, lapis pondasi atas dan lapis pondasi bawah yang terletak diatas tanah dasar (subgrade). Sedangkan pada perkerasan kaku, pelat beton dengan atau tanpa tulangan diletakkan diatas tanah dasar dengan II-1 II-1

atau tanpa lapis pondasi bawah. Untuk perkerasan komposit dapat berupa perkerasan lentur diatas pekerasan kaku atau perkerasan kaku diatas perkerasan lentur. Beban kendaraan yang dilimpahkan perkerasan jalan melalui kontak roda kendaraan dengan muka jalan terdiri atas berat kendaraan sebagai gaya vertikal, gaya rem kendaraan sebagai gaya horizontal dan gerakan roda kendaraan sebagai getaran. Beban tersebut dilimpahkan melalui bidang kontak antara roda dan permukaan jalan lalu didistribusikan kelapisan di bawahnya. Model pendistribusian beban dipengaruhi oleh sifat kekakuan lapisan penerima beban. Pelat beton dengan nilai kekakuan tinggi, mendistribusikan beban kendaraan pada bidang seluas pelat beton, sehingga beban persatuan luas yang dilimpahkan ke lapisan di bawah pelat beton menjadi kecil. Perkerasan lentur memiliki kekakuan yang lebih rendah sehingga beban yang dilimpahkan kelapisan di bawahnya didistribusikan pada luas yang lebih sempit. Gambar 2.1 mengilustrasikan beban kendaraan pada perkerasan kaku dan perkerasan lentur. Gambar 2.1 : Distribusi beban pada perkerasan kaku dan perkerasan lentur (Sumber : Perencanaan tebal perkerasan lentur) II-2

Jika mengikuti sejarah perkembangan perkerasan jalan, metode penggunaan tiga macam atau lebih material yang digunakan dengan cara berlapis pada perkerasan lentur merupakan modifikasi dari perkerasan yang sudah ada sebelumnya. Pada akhir abad ke 18, Thomas Telford (1757-1834) dari Skotlandia, seorang ahli tentang batu, membangun jalan diatas lapisan tanah dasar dengan kemiringan tidak lebih dari 1:30. Konstruksi perkerasan jalan yang terdiri dari 3 lapis dengan tebal total antara 35-45cm. Ciri khas Telford adalah lapisan batu belah yang disusun diatas tanah dasar dimana lapis pertama terdiri dari batu besar dengan lebar 10cm dan tinggi 7,5-18cm, Lapis kedua dan ketiga terdiri dari batu dengan ukuran maximum 6,5cm (tinggi lapis kedua dan ketiga sekitar 15-25cm),dan paling atas diberi lapisan aus kerikil dan sekaligus sebagai bahan pengisi dengan ukuran 4cm agar jalan tersebut menjadi rata. Konstruksi ini sangat kuat sebagai pondasi jalan dan cukup berhasil. Konstruksi inilah yang dinamakan perkerasan Telford. Jalan jalan di Indonesia yang dibaut pada zaman dahulu sebagian besar merupakan system jalan telford, walaupun diatasnya telah diberikan lapisan aus dengan pengikat aspal. John Louden Macadam (1756-1836) orang Skotlandia, memperkenalkan konstruksi perkerasan yang memakai batu-batu pecah ukuran terbesar 7,5cm di atas lapisan tanah dasar dalam dua lapis. Tebal total kedua lapis adalah 20cm. Lapis uas dibangun dengan ketebalan sekitar 5cm terdiri dari agregat berukuran maksimum 2,5cm. Jadi tebal total struktur perkerasan macadam adalah 25cm lebih tipis dari perkerasan Telford. Jenis perkerasan ini terkenal dengan nama II-3

perkerasan Macadam. Lapisan Macadam di Indonesia telah mengalami beberapa kali modifikasi, antara lain jenis lapisan Macadam basah (waterbound macadam) dan Penetrasi Macadam. Macadam basah menggunakan tanah berbutir halus sebagai lapisan penutup pori lapisan paling atas, sedangkan lapisan Penetrasi Macadam menggunakan aspal yang dilabur sebagai bahan pengikat lapisan paling atas dan diberi pasir kasar sebagai bahan penutup. Kedua konstruksi ini sampai sekarang masih lazim digunakan didaerah-daerah. Sistem Telford sangat cocok untuk program padat karya, tetapi system ini memakan waktu lama. Jika ingin pekerjaan yang lebih cepat maka sistem Macadam bisa menjadi alternatif yang lebih baik. Perkerasan jalan dengan menggunakan aspal sebagai bahan pengikat telah ditemukan pertama kali di Babylon pada 625 tahun sebelum Masehi, Tetapi perkerasan jenis ini tidak berkembang sampai ditemukannya kendaraan bermotor bensin oleh Gottlieb Daimler dan Karl Benz pada tahun 1880. Mulai tahun 1920 sampai sekarang teknologi konstruksi perkerasan dengan menggunakan aspal sebagai bahan pengikat maju pesat. Konstruksi perkerasan menggunakan semen sebagai bahan pengikat telah ditemukan pada tahun 1828 di London, tetapi sama halnya dengan perkerasan menggunakan aspal, perkerasan ini mulai berkembang pesat sejak awal tahun 1990 sampai sekarang di tahun 2015 ini banyak digunakan sebagai alternatif pembangunan jalan. II-4

Awal tahun 1970 Indonesia mulai membangun jalan-jalan dengan klasifikasi yang lebih baik, hal ini ditandai dengan diresmikannya jalan tol pertama pada tanggal 9 Maret 1978 sepanjang 53 km, yang menghubungkan kota Jakarta Bogor Ciawi yang kita kenal dengan nama Jalan Tol Jagorawi. 2.3. Klasifikasi Jalan 2.3.1. Klasifikasi Menurut Fungsi Jalan Klasifikasi jalan menurut fungsi jalan terbagi atas : 1. Jalan Arteri/ Jalan Utama : Jalan yang melayani angkutan utama dengan ciriciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien. Kelas jalan yang termasuk di sini adalah Kelas I 2. Jalan Kolektor/ Jalan Sekunder : Jalan yang melayani angkutan pengumpul / pembagi dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi. Kelas jalan yang termasuk di sini adalah Kelas IIA, IIB, IIC 3. Jalan Lokal/ Jalan Penghubung : Jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi. Kelas jalan yang termasuk di sini adalah Kelas III 2.3.2. Klasifikasi Menurut Kelas Jalan Klasifikasi jalan menurut kelas jalan terbagi atas : 1. Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan untuk II-5

menerima beban lalu lintas, dinyatakan dalam muatan sumbu terberat (MST) dalam satuan ton. 2. Klasifikasi menurut kelas jalan dan ketentuannya serta kaitannya dengan klasifikasi menurut fungsi jalan dapat dilihat dalam tabel 2.1 (Pasal 11,PP.No.43/1993). Tabel 2.1 : Klasifikasi menurut kelas jalan Fungsi Jalan Kelas Jalan Muatan Sumbu Terberat MST (ton) I >10 Arteri II 10 IIIA 8 Kolektor IIIA 8 IIIB - Sumber : Modul perencanaan geometrik jalan 2.3.3. Klasifikasi Menurut Wewenang Pembinaan Jalan Klasifikasi jalan menurut wewenang pembinaanya sesuai PP. No.26/1985 adalah Jalan Nasional, Jalan Provinsi, Jalan Kabupaten/ Kotamadya, Jalan Desa dan Jalan Khusus. 2.4. Lapis Perkerasan Lentur Pada umumnya perkerasan lentur baik digunakan untuk jalan yang melayani beban lalu lintas ringan sampai sedang, seperti jalan perkotaan, jalan dengan sistem utilitas terletak dibawah perkerasan jalan, perkerasan bahu jalan atau perkerasan dengan konstruksi bertahap. II-6

Struktur perkerasan lentur terdiri dari beberapa lapis yang makin kebawah memiliki daya dukung yang semakin jelek. Gambar 2.2 menunjukan jenis lapisan perkerasan dan letaknya, yaitu : - Lapis permukaan (surface course) - Lapis pondasi (base course) - Lapis pondasi bawah (subbase course) - Lapis tanah dasar (subgrade) Gambar 2.2 : Lapisan struktur perkerasan lentur (Sumber : Google image) 2.4.1. Lapis Permukaan (Surface Course) Lapis permukaan adalah bagian perkerasan yang paling atas yang fungsi utamanya meliputi : 1. Lapis pekerasan penahan vertikal / beban roda, lapisan mempunyai stabilitas tinggi untuk menahan beban roda selama masa pelayanan. 2. Lapis kedap air, sehingga air hujan yang jatuh diatasnya tidak meresap kelapisan di bawahnya dan melemahkan lapisan lapisan tersebut. 3. Lapis aus (wearing course), lapisan yang langsung menderita gesekan akibat rem kendaraan sehingga mudah menjadi aus. II-7

4. Lapis yang menyebarkan beban ke lapisan bawah, sehingga dapat dipikul oleh lapisan lain yang mempunyai daya dukung yang lebih jelek. Guna dapat memenuhi fungsi tersebut diatas, pada umumnya lapisan permukaan dibuat dengan menggunakan bahan pengikat aspal sehingga menghasilkan lapisan yang kedap air dengan stabilitas yang tinggi dan daya tahan yang lama. Jenis lapis permukaan yang umum dipergunakan di Indonesia antara lain : 1. Lapisan bersifat nonstruktural, yang berfungsi sebagai lapisan aus dan kedap air antara lain : Burtu (Laburan aspal satu lapis), merupakan lapis penutup yang terdiri dari lapisan aspal yang ditaburi dengan satu lapis agregat bergradasi seragam, dengan tebal maksimum 2 cm. Burda (Laburan aspal dua lapis), merupakan lapis penutup yang terdiri dari lapisan aspal ditaburi agregat yang dikerjakan dua kali secara berurutan dengan tebal maksimum 3.5 cm. Latasir (Lapis Tipis Aspal Pasir), merupakan lapis penutup yang terdiri dari lapisan aspal dan pasir alam bergradasi menerus dicampur, dihampar dan dipadatkan pada suhu tertentu dengan tebal padat 1-2 cm. Buras (Laburan Aspal), merupakan lapis penutup terdiri dari lapisan aspal ditaburkan pasir dengan ukuran butir maksimum 3/6 inchi. Latasburn (Lapis tipis asbuton murni), merupakan lapis penutup yang terdiri dari campuran asbuton dan bahan pelunak dengan perbandingan tertentu yang dicampur secara dingin (tebal padat maksimum 1 cm). II-8

Lataston (Lapis tipis aspal beton), dikenal dengan nama hot rolled sheet (HRS), merupakan lapis penutup yang terdiri dari campuran antara agregat bergradasi timpang, mineral pengisi (filler) dan aspal keras dengan perbandingan tertentu, yang dicampur dan dipadatkan dalam keadaan panas, tebal padat antara 2,5 3 cm. Jenis lapisan permukaan tersebut diatas walaupun bersifat nonstructural, namun dapat menambah daya tahan perkerasan terhadap penurunan mutu, sehingga secara keseluruhan menambah masa pelayanan dari konstruksi perkerasan. Jenis perkerasan ini terutama digunakan untuk memelihara jalan. 2. Lapisan bersifat struktural, berfungsi sebagai lapisan yang menahan & menyebarkan beban roda. Penetrasi macadam (Lapen), merupakan lapis perkerasan yang terdiri dari agregat pokok dan agegat pengunci bergradasi terbuka dan seragam yang diikat oleh aspal dengan cara disemprotkan diatasnya dan dipadatkan lapis demi lapis. Diatas lapen ini biasanya diberi laburan aspal dengan agregat penutup. Ukuran maksimum agregat pokok membedakan ketebalan yang dapat dipilih yaitu : a. Tebal 7 10 cm, jika digunakan agregat pokok dengan ukuran maksimum 75 mm (3 inci). b. Tebal 5 8 cm, jika digunakan agregat pokok dengan ukuran maksimum 62,5 mm (2,5 inci). c. Tebal 4 5 cm, jika digunakan agregat pokok dengan ukuran maksimum 50 mm (2 inci). II-9

Lasbutag (Lapis Asbuton Agregat), merupakan suatu lapisan pada konstruksi jalan yang terdiri dari campuran antara agregat asbuton dan bahan pelunak yang diaduk, dihampar dan dipadatkan secara dingin. Tebal pada tiap lapisannya antara 3-5 cm. Laston (Lapis aspal beton), merupakan suatu lapisan pada konstruksi jalan yang terdiri dari campuran aspal keras dari campuran aspal keras dan aggregat yang mempunyai gradasi menerus, dicampur, dihampar, dan dipadatkan pada suhu tertentu. Dari standar perencanaan geometrik jalan, ketentuan mengenai bahan lapis permukaan sebagai berikut : Tabel 2.2 : Standar perencanaan Kelas Jalan I IIA II B II C III Sumber : Rekayasa jalan raya, 1999 Lapisan Permukaan Jalan Aspal beton Aspal Beton Penetrasi Berganda Penetrasi Tunggal Pelaburan dengan Aspal 2.4.2. Lapis Pondasi Atas (Base Course) Lapis pondasi atas adalah lapisan perkerasan yang terletak diantara lapis pondasi bawah dan lapis permukaan. Fungsi lapisan pondasi atas ini antara lain sebagai : 1. Bagian perkerasan yang menahan gaya vertikal dari beban roda dan menyebarkan beban ke lapisan di bawahnya. 2. Lapisan peresapan untuk lapisan pondasi bawah. 3. Bantalan terhadap lapisan permukaan. II-10

Jenis lapis pondasi atas yang umum dipergunakan di Indonesia antara lain : 1. Ageregat bergradasi baik dapat dibagi atas : Batu pecah kelas A. Batu pecah kelas B. Batu pecah kelas C. 2. Pondasi macadam. 3. Pondasi Telford. 4. Penetrasi Macadam (Lapen) tetapi tidak menggunakan lapisan penutup. 5. Aspal beton pondasi (Asphalt Concrete Base/ Asphalt Treated Base). 6. Stabilisasi yang terdiri dari : Stabilisasi agregat dengan semen (Cement Treated Base). Stabilisasi agregat dengan kapur (Lime Treated Base). Stabilisasi agregat dengan aspal (Asphalt Treated Base). 2.4.3. Lapis Pondasi Bawah (Subbase Course) Lapis pondasi bawah adalah lapisan perkerasan yang terletak antara lapis pondasi atas dan tanah dasar. Fungsi lapis pondasi bawah ini antara lain : 1. Bagian dari konstruksi perkerasan untuk menyebarkan beban roda ke tanah dasar. 2. Effisiensi penggunaan material. Material pondasi bawah relatif murah dibandingkan dengan lapisan perkerasan diatasnya. 3. Mengurangi tebal lapisan diatasnya yang lebih mahal. 4. Lapis peresapan, agar air tanah tidak berkumpul di pondasi. 5. Lapisan pertama, agar pekerjaan dapat berjalan lancar. II-11

6. Lapisan untuk mencegah partikel-partikel halus dari tanah dasar naik ke lapis pondasi atas. Jenis lapisan pondasi bawah yang umum dipergunakan di Indonesia antara lain : 1. Ageregat bergradasi baik dapat dibagi atas : Sirtu/Pitrun kelas A. Sirtu/Pitrun kelas B. Sirtu/Pitrun kelas C. 2. Stabilisasi Stabilisasi agregat dengan semen (Cement Treated Subbase). Stabilisasi agregat dengan kapur (Lime Treated Subbase). Stabilisasi tanah dengan semen (Soil Cement Stabilization). Stabilisasi tanah dengan kapur (Soil Lime Stabilization). 2.4.4. Tanah Dasar (Subgrade / Roadbed) Daya dukung tanah dasar dipengaruhi oleh jenis tanah, tingkat kepadatan, kadar air, kondisi drainase dll. Tanah dengan tingkat kepadatan tinggi mengalami perubahan volume yang kecil jika terjadi perubahan kadar air, dan mempunyai daya dukung yang lebih besar jika dibandingkan dengan tanah sejenis yang tingkat kepadatannya lebih rendah. Daya dukung tanah dasar ditentukan dengan pengujian CBR insitu sesuai dengan SNI 03-1731-1989 atau CBR laboratorium sesuai dengan SNI 03-1744-1989, masing-masing untuk perencanaan tebal perkerasan lama dan perkerasan jalan baru. Apabila tanah dasar mempunyai nilai CBR lebih kecil dari 2 %, maka perlu dilakukan perbaikan tanah. II-12

2.5. Material Perkerasan Bahan perkerasan yang utama adalah bahan ikat yang berupa dari bahan batu berupa batu pecah, batu belah kerikil dan pasir. Material perkerasan dapat dibedakan menjadi 4 kategori sehubungan dengan sifat dasarnya, akibat beban lalu lintas yaitu : 2.5.1. Material Berbutir Material berbutir terdiri dari agregat/kerikil atau batu pecah. Agregat / batuan merupakan salah satu bahan perkerasan jalan selain aspal. Lapisan perkerasan jalan mengandung 75-80% agregat berdasarkan presentase volumenya. Dengan demikian daya dukung, keawetan, dan mutu perkerasan jalan ditentukan juga dari sifat agregate dan hasil campuran agregat dengan material lain. Untuk meningkatkan dalam pelaksanaan seringkali dilakukan pencampuran (mix). 2.5.2. Material Terikat Material terikat adalah material yang dihasilkan dengan menambah semen, kapur, atau zat cair lainnya dalam jumlah tertentu untuk menghasilkan bahan yang terikat dengan kuat tarik. 2.5.3. Aspal Aspal adalah material utama pada lapis perkerasan lentur (flexible pavement) jalan raya, yang berfungsi sebagai campuran dan bahan pengikat agregat karena mempunyai daya lekat yang kuat, mempunyai sifat adesi, kedap air dan mudah dikerjakan. Aspal merupakan bahan yang plastis yang dengan kelenturannya II-13

mudah diawasi untuk dicampur dengan agregat. Lebih jauh lagi, aspal sangat tahan terhadap asam, basa, dan garam. Ini berarti jika aspal dipergunakan sebagai pengikat dengan mutu yang baik dapat memberikan lapisan kedap air dan tahan terhadap pengaruh cuaca dan reaksi kimia yang lain. Sifat aspal akan berubah akibat panas dan umur, aspal akan menjadi kaku dan rapuh. Pada akhirnya daya adhesinya/kemampuan aspal untuk mengikat agregat akan berkurang. Sedangkan kohesi adalah kemampuan aspal untuk tetap mempertahankan agregat tetap ditempatnya setelah terjadi peningkatan. 2.5.4. Beton semen Beton semen adalah agregat yang dicampur dengan PC secara basah. Lapisan beton semen dapat dipergunakan sebagai lapisan pondasi bawah pada perkerasan lentur dan kaku dan sebagai lapisan pondasi atas pada perkerasan kaku. Untuk pondasi bawah pada perkerasan lentur beton mempunyai kelebihan kemampuan untuk ditempatkan dengan dituangkan begitu saja pada area dengan kondisi tanah dasar jelek (poor subgrade) tanpa digilas. Untuk maksud perencanaan struktur, karakteristik penting yang harus diketahui dan dievaluasi adalah modulus, angka poisson dan penampilan pada saat pembebanan ulang. Beton yang digunakan untuk dipakai keperluan pondasi bawah mempunyai kuat tekan 28 hari minimum 5 Mpa jika menggunakan campuran abu batu (flyash) dan 7 Mpa jika tanpa abu batu. II-14

2.6. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan 2.6.1. Lalu Lintas Penentuan beban lalu-lintas rencana untuk perkerasan kaku, dinyatakan dalam jumlah sumbu kendaraan niaga (commercial vehicle), sesuai dengan konfigurasi sumbu pada lajur rencana selama umur rencana. Lalu-lintas harus dianalisis berdasarkan hasil perhitungan volume lalu-lintas dan konfigurasi sumbu, menggunakan data terakhir atau data 2 tahun terakhir. Kendaraan yang ditinjau untuk perencanaan perkerasan kaku adalah kendaraan berat atau yang mempunyai berat total minimum 5 ton. Konfigurasi sumbu untuk perencanaan terdiri atas 4 jenis kelompok sumbu sebagai berikut : - Sumbu tunggal roda tunggal (STRT). - Sumbu tunggal roda ganda (STRG). - Sumbu tandem roda ganda (STdRG). - Sumbu tridem roda ganda (STrRG). 2.6.2. Lajur Rencana Perkembangan lapisan perkerasan yang baru atau pelapisan tambahan akan dilaksanakan pada 2 lajur atau lebih yang kemungkinan bisa berbeda kebutuhannya terhadap ketebalan lapisan, tetapi untuk praktisnya akan dibuat sama. Untuk itu dibuat lajur rencana yang menerima beban terbesar. II-15

2.6.3. Umur Rencana Umur rencana adalah jangka waktu dalam tahun sampai perkerasan harus diperbaiki atau ditingkatkan. Perbaikan terdiri dari pelapisan ulang, penambahan, atau peningkatan. Umur rencana perkerasan jalan ditentukan atas pertimbangan klasifikasi fungsional jalan, pola lalu-lintas serta nilai ekonomi jalan yang bersangkutan, yang dapat ditentukan antara lain dengan metode Benefit Cost Ratio, Internal Rate of Return, kombinasi dari metode tersebut atau cara lain yang tidak terlepas dari pola pengembangan wilayah. Beberapa tipikal umur rencana (UR) : - Lapisan perkerasan aspal baru, 20 25 tahun - Lapisan perkerasan kaku baru, 20 40 tahun - Lapisan tambahan (aspal, 10-15), (batu pasir, 10 20 ) tahun 2.6.4. Pertumbuhan Lalu-Lintas (i %) Volume lalu-lintas akan bertambah sesuai dengan usia rencana atau sampai tahap dimana kapasitas jalan dicapai dengan faktor pertumbuhan lalu lintas pada masa tersebut. Angka pertumbuhan lalu lintas dapat ditentukan dari hasil survey untuk setiap lokasi dan dinyatakan dalam persen per tahun 2.6.5. Lalu Lintas Rencana Lalu-lintas rencana adalah jumlah komulatif sumbu kendaraan niaga pada lajur rencana selama umur rencana, meliputi proporsi sumbu serta distribusi beban pada setiap jenis sumbu kendaraan. Metoda yang akan digunakan tergantung dari II-16

data lalu lintas yang ada dari prosedur perencanaan yang akan digunakan. Secara ideal data lalu lintas harus mencakup jumlah dan berat setiap jenis sumbu. 2.6.6. Faktor Keamanan Beban Pada penentuan beban rencana, beban sumbu dikalikan dengan faktor keamanan beban (F KB ). Faktor keamanan beban ini digunakan berkaitan adanya berbagai tingkat realibilitas perencanaan seperti telihat pada Tabel 2.3. Tabel 2.3 : Faktor keamanan beban (F KB ) No. Penggunaan Nilai F KB 1 Jalan bebas hambatan utama (major freeway) dan jalan berlajur banyak, yang aliran lalu lintasnya tidak terhambat serta volume kendaraan niaga yang tinggi. Bila menggunakan data lalu-lintas dari hasil survai beban 1,2 (weight-in-motion) dan adanya kemungkinan route alternatif, maka nilai faktor keamanan beban dapat dikurangi menjadi 1,15. 2 Jalan bebas hambatan (freeway) dan jalan arteri dengan 1,1 volume kendaraan niaga menengah. 3 Jalan dengan volume kendaraan niaga rendah. 1,0 Sumber : Binamarga, 2003 2.7. Perencanaan Lapis Perkerasan 2.7.1. Perencanaan Jalan Baru Desain perkerasan lentur didasarkan pada analisis sistem lapisan dimana beban kendaraan dipikul secara bersamaan oleh semua lapisan perkerasan sebagai satu kesatuan. Konstribusi setiap lapisan perkerasan dalam memikul beban kendaraan, ditentukan oleh karakteristik bahan dan tebal dari masing-masing lapisan tersebut. II-17

Bahan perkerasan dengan kualitas yang lebih baik pada umumnya digunakan sebagai lapisan perkerasan yang lebih atas. Sedangkan lapisan-lapisan dibawahnya menggunakan bahan perkerasan yang kualitasnya lebih rendah, tapi kualitasnya lebih baik daripada kualitas tanah dasar yang mendukungnya. Perkerasan ini umumnya terdiri dari tiga lapis atau lebih. Struktur perkerasan lentur terdiri dari lapisan permukaan, lapisan pondasi, lapisan pondasi bawah, dan lapisan tanah dasar. 2.7.2. Jalan Lama (Overlay) Pemeliharaan konstruksi jalan terus menerus dapat juga memperpanjang umur konstruksi jalan raya khususnya perkerasan jalanya. Kerusakan yang terjadi pada konstruksi jalan raya sebagian besar disebabkan oleh pengaruh air, baik yang berupa air hujan maupun dari dalam tanah (air tanah), karena itu pemeliharaan terhadap kelancaran pembuangan air (Drainase) perlu mendapat perhatian yang serius. Untuk pelaksanaan pemeliharaan jalan dapat diberi lapis tambahan (Overlay) yang merupakan tindakan yang tepat untuk mencegah kerusakan yang lebih parah atau merupakan usaha memperpanjang umur konstruksi perkerasan. Overlay dapat terdiri dari lapisan beton aspal atau butas. 2.7.3. Pertimbangan Perencanaan Berbagai pertimbangan yang diperlukan dalam perencanaan tebal perkerasan antara lain meliputi hal-hal sebagai berikut : 1. Pertimbangan Konstruksi dan Pemeliharaan II-18

Konstruksi dan pemeliharaannya kelak setelah digunakan, harus dijadikan pertimbangan dalam merencanakan tebal perkerasan. Faktor yang perlu dipertimbangkan, yaitu : - Perluasan dan jenis drainase (saluran). - Penggunaan konstruksi berkotak kotak (segmental). - Ketersediaan peralatan khususnya peralatan : pencampur material, penghamparan dan pemadatan (alat berat). - Penggunaan konstruksi bertahap. - Penggunaan stabilitasi. - Kebutuhan dari segi lingkungan dan keamanan pemakai. - Pertimbangan sosial dan strategi pemeliharaan. - Resiko resiko yang mungkin terjadi. 2. Pertimbangan Lingkungan - Kelembaban Kelembaban secara umum berpengaruh terhadap penampilan perkerasan, sedangkan kekakuan/kekuatan material yang lepas dan tanah dasar tergantung dari kadar air materialnya. - Suhu Lingkungan Suhu lingkungan pengaruhnya cukup besar pada penampilan permukaan perkerasan lentur, karena karakteristik dan sifat aspal yang kaku dan regas pada temperatur rendah dan sebaliknya akan lunak dan viskoelastis pada suhu tinggi. II-19

- Cuaca/ Iklim Cuaca sangat berpengaruh terhadap umur rencana perkerasan terutama pada perkerasan lentur. 2.7.4. Faktor Pertimbangan Untuk Estimasi Daya Dukung Jalan Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam mengestimasi nilai kekuatan dan kekakuan lapisan tanah dasar. - Urutan pekerjaan tanah dari penghamparan dan pemadatan yang dilakukan layer per layer ± 15 20 cm. - Penggunaan air pada saat pemadatan (compact) dan kepadatan lapangan yang dicapai. - Perubahan kadar air selama usia pelayanan - Variabilitas tanah dasar. - Ketebalan lapisan perkerasan. Pengukuran daya dukung tanah dasar (subgrade) yang digunakan, dilakukan dengan : - California Bearing Ratio (CBR) - Parameter elastik - Modulus reaksi tanah dasar (k) II-20

2.8. Perencanaan Perkerasan Lentur Metode SNI 1732-1989-F Metode SNI 1732-1989-F yang dikenal dengan nama metode Analisa Komponen, mengacu kepada metode AASHTO 1972 yang sudah dimodifikasi sesuai dengan kondisi jalan di Indonesia. 2.8.1. Persentase Kendaraan Pada Lajur Rencana Jalur Rencana (JR) merupakan jalur lalu-lintas dari suatu ruas jalan raya yang terdiri dari satu lajur atau lebih. Jika jalan tidak memiliki tanda batas lajur, maka jumlah lajur ditentukan dari lebar perkerasan. Tabel 2.4 : Pedoman penentuan jumlah lajur Lebar Perkerasan (L) Jumlah Lajur (n) L < 5,5 m 1 Lajur 5,5 m < L < 8,25 m 2 Lajur 8,5 m < L < 11,25 m 3 Lajur 11,25 m < L < 15,00 m 4 Lajur 15,00 m < L < 18,75 m 5 Lajur 18,75 m < L < 22,00 m 6 Lajur Sumber : SNI-1732-1989-F Koefisien Distribusi Kendaraan (C) untuk kendaraan ringan dan berat yang lewat pada jalur rencana ditentukan menurut daftar dibawah ini : Tabel 2.5 : Koefisien distribusi kendaraan Jumlah Kendaraan Ringan Kendaraan Berat Lajur 1 Arah 2 Arah 1 Arah 2 Arah 1 Lajur 1,0 1,0 1,0 1,0 2 Lajur 0,6 0,5 0,7 0,5 3 Lajur 0,4 0,4 0,5 0,475 4 Lajur - 0,3-0,45 II-21

5 Lajur - 0,25-0,425 6 Lajur - 0,25-0,4 Kendaraan Ringan < 5 ton, misal mobil penumpang, pick up, mobil hantaran. Kendaraan Berat 5 ton, misal bus, truk, traktor, semi trailer, trailer. Sumber : SNI-1732-1989-F 2.8.2. Angka Ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan Angka Ekivalen (E) masing masing golongan beban sumbu (setiap kendaraan) ditentukan menurut rumus dibawah ini : a. Angka Ekivalen Sumbu Tunggal E = (beban sumbu tunggal, Kg) 4...(2.1) 8160 b. Angka Ekivalen Sumbu Ganda E = 0,086 (beban sumbu tunggal, Kg) 4...(2.2) 8160 Tabel 2.6 : Angka ekivalen (E) sumbu kendaraan Beban Sumbu (ton) Sumbu Tunggal Roda Tunggal Sumbu Tunggal Roda Ganda Sumbu Ganda Roda Ganda 1 0,0002 0,0002 0,00002 2 0,0036 0,0036 0,000031 3 0,02 0,02 0,00 4 0,06 0,06 0,00 5 0,14 0,14 0,01 6 0,29 0,29 0,03 7 0,54 0,54 0,05 8 0,92 0,92 0,08 9 1,48 1,48 0,13 10 2,26 2,26 0,19 11 3,30 3,30 0,28 12 4,68 4,68 0,40 13 6,44 6,44 0,55 Sumbu Triple Roda Ganda Tidak ada pedoman untuk ini II-22

14 8,66 8,66 0,75 15 11,42 11,42 0,98 16 14,78 14,78 1,27 17 18,84 1,62 18 23,68 2,04 19 29,39 2,53 20 36,09 3,10 21 43,68 3,77 22 52,84 4,54 23 63,12 5,43 24 74,83 6,44 25 88,10 7,58 26 103,07 8,86 27 119,87 10,31 28 138,63 11,92 29 159,53 13,72 30 182,69 15,71 Sumber : SNI 1732-1989-F Tidak ada pedoman untuk ini 2.8.3. Daya Dukung Tanah Dasar SNI 1732-1989-F Daya dukung tanah dasar perlu diperhatikan karena fungsinya sebagai penerima beban lapis terakhir. Sifat sifat tanah dasar yang akan berpengaruh terhadap lapis perkerasan diantaranya : 1. Perubahan bentuk tetap (deformasi permanen). 2. Sifat mengembang dan menyusut. 3. Daya dukung tanah yang tidak merata dan susah ditentukan. 4. Landutan dan lendutan balik selama dan sesudah pembebanan lalu lintas. 5. Tambahan pemadatan akibat pembebanan lalu lintas. II-23

Karena sifat - sifat diatas maka perlu dukungan pondasi yang berfungsi : 1. Melindungi tanah dasar terhadap air hujan. 2. Mendapatkan permukaan lantai kerja yang cukup rata, kuat dan uniform. 3. Memberikan sumbangan kenaikan daya dukung tanah dasar. Daya Dukung Tanah dasar (DDT) ditetapkan berdasarkan grafik korelasi CBR DDT. Nilai CBR yang dipakai ditentukan dari nilai CBR rata-rata untuk suatu lajur tertentu. Tabel 2.7 Korelasi antara DDT dan CBR CBR DDT 3 3,75 4 4,29 5 4,71 6 5,05 7 5,33 8 5,58 9 5,8 10 6,00 20 7,29 30 8,05 40 8,59 50 9,01 60 9,35 70 9,63 80 9,88 90 10,10 100 10,30 Gambar 2.3 : Penentuan nilai DDT dan CBR (Sumber : Penentuan Praktis Perencanaan teknik Jalan) II-24

2.8.4. Faktor Regional (FR) Faktor Regional ( FR ) adalah faktor koreksi sehubungan dengan adanya perbedaan kondisi setempat yang mempengaruhi kinerja struktur perkerasan selama masa pelayanan jalan. FR ini dipengaruhi oleh bentuk alinyemen, persentase kendaraan berat yang berhenti, serta iklim. Hal hal yang mempengaruhi faktor regional antara lain : 1. Keadaan medan. 2. Persentase kendaraan berat 3. Pertimbangan teknis dari perencanaan, misalnya : persimpangan, pemberhentian, tikungan, dan daerah rawa- rawa. Curah Hujan Tabel 2.8 : Faktor regional Kelandaian I < 6 % Kelandaian I 6-10 % Kendaraan Berat ( % ) Kelandaian III > 10 % 30 % > 30 % 30 % > 30 % 30 % > 30 % Iklim I 0,5 1 1,5 1 1,5-2 1,5 2 2,5 < 900 mm/th Iklim II 900 mm/th 1,5 2 2,5 2 2,5-3 2,5 3 3,5 Catatan : Pada bagian jalan tertentu seperti persimpangan, pemberhentian, atau tikungan tajam (jari-jari 30 m). FR ditambah dengan 0,5. Pada daerah rawa FR ditambah 1,0 Sumber : SNI-1732-1989-F II-25

2.8.5. Indeks Permukaan 1. Indeks Permukaan Awal ( IPo) Adalah nilai kerataan / kehalusan serta kekokohan permukaan jalan pada awal usia rencana. Nilai IPo dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 2.9 : Indeks Permukaan pada awal usia rencana (IPo) Jenis Lapisan Perkerasan IPo Roughness *) (mm/km) Laston 4 3,9 3,5 1000 > 1000 Lasbutag 3,9 3,5 3,4 3,0 2000 > 2000 HRA 3,9 3,5 3,4 3,0 2000 > 2000 Burda 3,9 3,5 < 2000 Burtu 3,4 3,0 < 2000 Lapen 3,4 3,0 3000 2,9 2,5 > 3000 Latasbum 2,9 2,5 - Buras 2,9 2,5 - Lapis Pelindung 2,9 2,5 - Jalan Tanah 2,4 - Jalan Kerikil 2,4 - Sumber : SNI-1732-1989-F 2. Indeks Permukaan Akhir (IPt) Dalam menentukan indeks permukaan (IP) pada akhir umur rencana, ditentukan berdasarkan pertimbangan faktor-faktor klasifikasi fungsional jalan dan jumlah lintas ekivalen rencana (LER) pada tabel 2.10. Kondisi perkerasan jalan diakhir umur rencana seperti pada tabel 2.10 digambarkan sebagai kondisi seperti pada tabel 2.11. II-26

Tabel 2.10 : Indeks permukaan pada akhir umur rencana (IPt) LER = Lintas Fungsi Jalan Ekivalen Rencana Lokal Kolektor Arteri Tol < 10 1,0 1,5 1,5 1,5 2,0-10 < 100 1,5 1,5 2,0 2,0-100 < 1000 1,5 2,0 2,0 2,0 2,5 - > 1000-2,0 2,5 2,5 2,5 Catatan : Pada proyek-proyek penunjang jalan, jalan murah, atau jalan darurat maka Ip dapat diambil 1,0 Sumber : SNI-1732-1989-F Tabel 2.11 : Kinerja struktur perkerasan jalan di akhir umur rencana IPt Kinerja Struktur Perkerasan 1,0 Menyatakan permukaan jalan dalam keadaan rusak berat sehingga sangat menganggu lalu lintas kendaran 1,5 Tingkat pelayanan terendah yang masih mungkin (jalan tidak terputus). 2,0 Tingkat pelayanan rendah bagi jalan yang masih cukup stabil dan baik. 2,5 Menyatakan permukaan jalan masih cukup stabil dan baik > 2,5 Menyatakan permukaan jalan masih stabil dan baik Sumber : CER:04 2.8.6. Indeks Tebal Perkerasan ( ) Adalah besaran yang menyatakan nilai konstruksi perkerasan yang besarnya tergantung pada tebal masing-masing lapisan serta kekuatan relative dari lapisanlapisan tersebut. = a1.d1 + a2.d2 + a3.d3...(2.3) a = Koefisien Lapisan D = Tebal lapisan (cm) II-27

Tabel 2.12 : Koefisien Kekuatan Relatif Koefosien Kekuatan Kekuatan Bahan Relatif Ms Kt CBR a1 a2 a3 (Kg) (Kg/cm) (%) Jenis Bahan 0,40 744 0,35 590 0,32 454 Laston 0,30 340 0,35 744 0,31 590 0,28 454 Latsubag 0,26 340 0,30 340 HRA 0,26 340 Aspal Macadam 0,25 Lapen (Mekanis) 0,20 Lapen (Manual) 0,28 590 0,26 454 Laston Atas 0,24 340 0,23 Lapen (Mekanis) 0,29 Lapen (Manual) 0,15 22 Stabilitas Tanah 0,13 18 Dengan Semen 0,15 22 Stabilitas Tanah 0,13 18 Dengan Kapur 0,14 100 Batu Pecah (kelas A) 0,13 80 Batu Pecah (kelas B) 0,12 60 Batu Pecah (kelas C) 0,13 70 Sirtu/Pitrun (kelas A) 0,12 50 Sirtu/Pitrun (kelas B) 0,11 20 Sirtu/Pitrun (kelas C) 0,10 20 Tanah/ Lempung Kepasiran Catatan : Kuat tekan stabilitas tanah dengan semen diperiksa pada hari ke 7. Kuat tekan stabilitas tanah dengan kapur diperiksa pada hari ke 21. Sumber : SNI-1732-1989 II-28

Tebal Lapis Permukaan Tabel 2.13 : Tebal minimum lapis permukaan Tebal Minimum Bahan (cm) < 3,00 5 Lapis pelindung : (Buras/Burtu/Burda) 3,00 6,70 5 Lapen/Aspal macadam/hra, Lasbutag, Laston 6,71 7,49 7,5 Lapen/Aspal macadam/hra, Lasbutag, Laston 7,50 9,99 7,75 Lasbutag, Laston 10,00 10 Laston Sumber : SNI 1732-1989-F Tebal Lapis Pondasi Atas Tabel 2.14 : Batas-batas minimum tebal lapis pondasi atas Tebal Minimum (cm) Bahan < 3,00 15 Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur. 3,00 7,49 20 *) Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur 10 Laston Atas 7,50 9,99 20 Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur, pondasi macadam. 15 Laston Atas 10 12,14 20 Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur, pondasi macadam, Lapen, Laston Atas 12,25 25 Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur, pondasi macadam, Lapen, Laston Atas. Sumber : SNI-1732-1989-F *) Batas 20 cm tersebut dapat diturunkan menjadi 15 cm bila untuk pondasi bawah digunakan material berbutir kasar II-29

Tebal Lapis Pondasi Bawah Untuk nilai setiap indeks tebal perkerasan (ITP) bila digunakan pondasi bawah, tebal minimum adalah 10 cm. 2.9. Perencanaan Perkerasan Lentur Metode Pt T-01-2002-B Metode Pt T-01-2002-B mengacu kepada metode AASHTO 1993 (American Association of State Highway and Transportation Official) road test adalah dengan menggunakan grafik-grafik berdasarkan analisa lalu-lintas selama umur rencana 20 tahun sedangkan untuk perencanaan kurang dari 20 tahun grafik-grafik tersebut memerlukan suatu koreksi sebesar UR/20. Hampir keseluruhan data parameter yang digunakan dalam metode Pt T-01-2002-B merupakan adopsi identik dengan metode AASHTO 1993. Disamping hal tersebut ada pula parameter yang digunakan dari metode SNI 1732-1989-F digunakan juga dalam metode ini. 2.9.1. Indeks Permukaan Indeks Permukaan Awal (IP 0 ) Tabel 2.15 : Indeks Permukaan pada awal umur rencana (IPo) Jenis Lapisan Roughness *) (IRI, IPo Perkerasan m/km) Laston 4 1,0 3,9 3,5 > 1,0 Lasbutag 3,9 3,5 2,0 3,4 3,0 > 2,0 Lapen 3,4 3,0 3,0 2,9 2,5 > 3,0 *) Alat pengukur ketidakrataan yang dipergunakan dapat berupa roughometer NAASRA, Bump Integrator, dll. Sumber : Pt T-01-2002-B II-30

Indeks Permukaan Akhir (IP t ) Tabel 2.16 : Indeks Permukaan pada akhir umur rencana (IPt) Fungsi Jalan Lokal Kolektor Arteri Tol 1,0 1,5 1,5 1,5 2,0-1,5 1,5 2,0 2,0-1,5 2,0 2,0 2,0 2,5 - - 2,0 2,5 2,5 2,5 Sumber : Pt T-01-2002-B 2.9.2. Faktor Distribusi Faktor Distribusi Arah (D A ) Faktor distribusi arah digunakan untuk menunjukan distribusi kendaraan ke masing-masing arah. Jika data lalu lintas yang digunakan adalah data untuk satu arah, maka D A =1. Jika data lalu lintas yang digunakan adalah data untuk dua arah DA=0,3 07. Untuk perencanaan umumnya diambil D A = 0,5 kecuali pada kasus khusus dimana kendaraan berat cenderung menuju satu arah tertentu atau pada kasus dimana diperoleh data volume lalu lintas untuk masing-masing arah. Faktor Distribusi Lajur (D L ) Digunakan untuk menunjukan distribusi kendaraan ke lajur rencana. Tabel 2.17 : Faktor Distribusi Lajur (D L ) Persen sumbu standar Jumlah lajur per arah dalam lajur rencana 1 100 2 80 100 3 60 80 4 50 75 Sumber : Pt T-01-2002-B II-31

2.9.3. Lintas Ekivalen Permulaan Adalah jumlah lintasan kendaraan rata-rata pada tahun permulaan pada jalur rencana dengan satuan as tunggal 8,16 ton (18.000 lbs = 18 kips) atau 18 KSAL (15 Kips Single Axle Load) Dimana : i=n Rumus : LEP = Σ A j x E j x C j x ( 1 + i ) n...(2.4) j=1 A j E j C j i n = Jumlah kendaraan untuk 1 jenis kendaraan = Angka ekivalen beban sumbu untuk 1 jenis kendaran = Koefisien distribusi kendaraan pada lajur rencana = Faktor pertumbuhan lalu-lintas tahunan = Jumlah tahun dari saat diadakan pengamatan sampai jalan tersebut dibuka Catatan : Pada perencanaan tebal perkerasan, mobil penumpang atau kendaraan ringan (berat kosong < 1500 kg) tidak diperhitungkan. 2.9.4. Lintas Ekivalen Selama Umur Rencana (AE 18 KSAL) AE 18 KSAL (Acumulative Ekivalen 18 Kips Single Axle Load) adalah jumlah kendaran yang lewat pada jalan tersebut selama masa pelayanan. Rumus AE 18 KSAL = 365 x LEP x N...(2.5) Dimana : AE 18 KSAL = Lintas Ekivalen Selama Umur Rencana 365 = Jumlah hari dalam setahun II-32

LEP = Lintas Ekivalen Awal Umur Rencana untuk setiap kendaraan kecuali kendaraan ringan N = Faktor Umur Rencana yang disesuaikan dengan perkembangan lalu lintas Tabel 2.18 : Nilai N untuk perhitungan AE 18 KSAL Umur Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas (i) Rencana 2% 4 % 5 % 6 % 7% 8 % 10 % 1 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 2 2,02 2,04 2,05 2,06 2,07 2,08 2,10 3 3,06 3,12 3,15 3,18 3,21 3,25 3,31 4 4,12 4,25 4,31 4,37 4,44 4,51 4,64 5 5,20 5,42 5,53 5,64 5,75 5,87 6,11 6 6,31 6,63 6,80 6,98 7,15 7,34 7,72 7 7,43 7,90 8,14 8,39 8,65 8,92 9,49 8 8,58 9,21 9,55 9,90 10,26 10,64 11,44 9 9,75 10,58 11,03 11,49 11,98 12,49 13,58 10 10,95 12,01 12,58 13,18 13,82 14,49 15,94 15 17,29 20,02 21,58 23,28 25,13 27,15 31,77 20 24,30 29,78 33,07 36,79 41,00 45,76 57,27 Sumber : AASHTO, 1993 2.9.5. Penetapan Faktor Ekivalen Untuk Perkerasan Lentur Perencanaan perkerasan lentur berdasarkan pada berbagai jenis kendaraan, baik kendaraan bersumbu tunggal maupun yang bersumbu ganda, dimana sumbu tunggal mempunyai berat 2 sampai 40 kips dan sumbu ganda mempunyai 10 sampai 48 kips maka harus diekivalenkan dengan sumbu beban standar sumbu II-33

tunggal yaitu 18 kips. Faktor ekivalen untuk struktur number dari 1 sampai 6 serta IPt = 2,5 dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 2.19 : Faktor ekivalen jalan untuk beban tunggal IPt = 2,5 Axle Load Structural Number (SN) Kips KN 1 2 3 4 5 6 2 8,9 0,0004 0,0004 0,0003 0,0002 0,0002 0,0002 4 17,8 0,003 0,004 0,004 0,003 0,003 0,002 6 26,7 0,011 0,017 0,017 0,013 0,010 0,010 8 35,6 0,032 0,047 0,051 0,041 0,0034 0,031 10 44,5 0,078 0,102 0,118 0,102 0,088 0,080 12 53,4 0,168 0,198 0,229 0,213 0,189 0,176 14 62,3 0,328 0,358 0,399 0,388 0,360 0,342 16 71,2 0,591 0,613 0,646 0,645 0,623 0,606 18 80,1 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 20 89,1 1,61 1,57 1,49 1,47 1,51 1,55 22 97,9 2,48 2,38 2,17 2,09 2,18 2,30 24 106,8 3,69 3,49 3,09 3,89 3,03 3,27 26 115,7 5,33 4,99 4,31 3,91 4,09 4,48 28 124,6 7,49 6,98 5,90 5,21 5,39 5,98 30 133,4 10,3 9,5 7,9 6,80 7,00 7,80 32 142,3 13,90 12,8 10,5 8,80 8,90 10,00 34 151,2 18,4 16,9 13,7 11,3 11,2 12,5 36 160 24,00 22,00 17,70 14,40 13,90 15,50 38 169 30,90 28,30 22,60 18,10 17,20 19,00 40 177,9 39,30 35,90 28,50 22,50 21,10 23,00 Sumber : AASHTO, 1993 II-34

Tabel 2.20 : Faktor ekivalen jalan untuk beban ganda IPt = 2,5 Axle Load Structural Number (SN) Kips KN 1 2 3 4 5 6 10 44,5 0,008 0,0013 0,011 0,009 0,007 0,006 12 53,4 0,015 0,024 0,023 0,018 0,014 0,013 14 62,3 0,026 0,041 0,042 0,033 0,027 0,024 16 71,2 0,044 0,065 0,070 0,057 0,047 0,043 18 80,1 0,070 0,097 0,109 0,092 0,077 0,070 20 89,1 0,107 0,141 0,162 0,141 0,121 0,110 22 97,9 0,160 0,198 0,229 0,207 0,180 0,166 24 106,8 0,231 0,273 0,315 0,292 0,260 0,242 26 115,7 0,327 0,370 0,420 0,401 0,364 0,342 28 124,6 0,451 0,493 0,548 0,534 0,495 0,470 30 133,4 0,611 0,648 0,703 0,695 0,658 0,633 32 142,3 0,813 0,843 0,889 0,887 0,857 0,834 34 151,2 1,06 1,08 1,11 1,11 1,09 1,08 36 160,1 1,38 1,38 1,38 1,38 1,38 1,38 38 169,0 1,75 1,73 1,69 1,68 1,70 1,73 40 177,9 2,21 2,16 2,06 2,03 2,08 2,14 42 186,8 2,76 2,67 2,49 2,43 2,51 2,61 44 195,7 3,41 3,27 2,99 2,88 3,00 3,16 46 204,6 4,18 3,98 3,58 3,40 3,55 3,79 48 213,5 5,08 4,80 4,25 3,98 4,17 4,49 Sumber : AASHTO, 1993 2.9.6. Soil Support (S) Persamaan dasar yang dikembangkan AASHTO (American Association of State Highway and Transportation Officials) hanya berlaku satu nilai daya dukung tanah yang mewakili keadaan tanah dasar sebagai badan jalan yang terletak II-35

disekitar lokasi pengetesan. Untuk tujuan perencanaan tebal perkerasan perlu mengasumsikan nilai daya dukung tanah yang diambil dari macam variasi density dan kelembaban yang dapat diharapkan pada konstruksi normal. Variasi ini akan berpengaruh dengan kualitas control pengunaan, agar prosedur perencanaan mengenai berbagai macam tanah badan jalan, perlu pengumpamaan tingkat daya dukung tanah untuk dapat mewakili variasi tanah dilokasi yang berbeda. AASHTO road test, daya dukung tanah dinyatakan dalam Soil Support Value (S), karenanya diperlukan grafik yang menyatakan hubungan antara Soil Support Value dengan bersaran lain yang menyatakan daya dukung tanah, misalnya CBR, Ressistance Value (R), Group Index, dan lain-lain. 2.9.7. Reliability (R) Konsep reability untuk perencanaan perkerasan didasarkan pada beberapa ketidaktentuan dalam proses perencanaan untuk meyakinkan alternatif-alternatif berbagai perencanaan. Tingkatan reliability ini digunakan tergantung pada volume lalu- lintas, klasifikasi jalan yang akan direncanakan maupun ekspetasi dari pengguna jalan. Reliability didefinisikan sebagai kemungkinan bahwa tingkat pelayanan dapat tercapai pada tingkatan tertentu dari sisi pandangan para pengguna jalan sepanjang umur yang direncanakan. Hal ini memberikan implikasi bahwa repetisi beban yang direncanakan dapat tercapai hingga mencapai tingkatan pelayanan tertentu. Pengaplikasian dari konsen reliability ini diberikan juga dalam parameter standar deviasi yang mempresentasikan kondisi-kondisi local dari ruas jalan yang direncanakan serta type perkerasan antara lain perkerasanlentur ataupun II-36

perkerasan kaku. Secara garis besar pengaplikasian konsep reliability adalah sebagai berikut : 1. Menentukan klasifikasi ruas jalan yang direncanakan. Klasifikasi ini mencakup apakah jalan tersebut adalah jalan dalam kota (urban) atau jalan antar kota (Rural). 2. Menentukan tingkat reliability yang dibutuhkan dengan menggunakan tabel yang ada pada metode AASHTO. Semakin tinggi tingkat reliability yang dipilih maka akan semakin tebal lapisan perkerasan yang dibutuhkan. 3. Memilih standar deviasi (So). Nilai ini mewakili dari kondisi- kondisi lokal yang ada. Berdasarkan data dari jalan percobaan AASHTO ditentukan nilai S 0 sebesar 0,25 untuk rigid pavement dan 0,35 untuk flexible pavement. Hal ini berhubungan dengan total standar deviasi sebesar 0,35 dan 0,45 untuk lalu lintas untuk jenis perkerasan rigid dan flexible. Reabilitas, R, % Tabel 2.21 : Nilai reliability,z R dan F R Standard Normal Deviate (Z R ) F R untuk S 0 = 0,4 F R untuk S 0 = 0,45 F R untuk S 0 = 0,5 50 0,000 1,00 1,00 1,00 60-0,253 1,26 1,30 1,34 70-0,524 1,62 1,72 1,83 75-0,674 1,86 2,01 2,17 80-0,841 2,17 2,39 2,63 85-1,037 2,60 2,93 3,30 90-1,282 3,26 3,77 4,38 91-1,340 3,44 4,01 4,68 92-1,405 3,65 4,29 5,04 93-1,476 3,89 4,62 5,47 94-1,555 4,19 5,01 5,99 95-1,645 4,55 5,50 6,65 96-1,751 5,02 6,14 7,51 II-37

97-1,881 5,65 7,02 8,72 98-2,054 6,63 8,40 10,64 99-2,327 8,53 11,15 14,57 99,9-3,090 17,22 24,58 35,08 99,99-3,750 31,62 48,70 74,99 Sumber : WSDOT Tabel 2.22 : Nilai reliability untuk tiap klasifikasi jalan Nilai Reliability Klasifikasi Ruas Jalan Jalan Dalam Kota (Urban) Jalan Antar Kota (Rural) Jalan Lintas 85 99,9 80 99,9 Arteri 80 99 75 95 Kolektor 80 95 75 95 Lokal 50 80 50 80 Sumber : AASHTO, 1993 2.9.8. Serviceability Index Serviceability merupakan tingkat pelayanan yang diberikan oleh sistem perkerasan yang kemudian dirasakan oleh pengguna jalan. Untuk Serviceability ini parameter utama yang dipertimbangkan adalah nilai Present Serviceability Index (PSI). Nilai Serviceability ini merupakan nilai yang menjadi penentu tingkat pelayanan fungsional dari suatu system perkerasan jalan. Secara numeric Serviceability ini merupakan fungsi dari beberapa parameter antara lain ketidakrataan, jumlah lobang, luas tambalan, dll. Nilai Serviceability ini diberikan dalam beberapa tingkatan antara lain : 1. Untuk perkerasan yang baru dibuka (Open traffic) nilai Serviceability ini diberikan sebesar 4,0 4,2. Nilai ini dalam terminology perkerasan diberikan sebagai nilai initial Serviceability (Po). II-38

2. Untuk perkerasan yang harus dilakukan perbaikan pelayanannya, nilai Serviceability ini diberikan sebesar 2,0. Nilai ini dalam terminology perkerasan sebagai nilai terminal Serviceability (Pt). 3. Untuk perkerasan yang sudah rusak dan tidak bias dilewati, maka nilai Serviceability ini akan diberikan sebesar 1,5. Nilai ini dalam terminology perkerasan diberikan sebagai nilai Failure Serviceability (Pt). 2.9.9. Kualitas Drainase Sistem drainase dari jalan sangat mempengaruhi kinerja jalan tersebut. Tingkat kecepatan pengeringan air yang jatuh/terdapat pada konstruksi jalan raya bersama-sama dengan beban lalu lintas dan kondisi permukaan jalan sangat mempengaruhi umur pelayanan jalan. Tabel 2.23 : Definisi Kualitas Drainase Kualitas Drainase Baik Sekali Baik Sedang Kurang Baik Tidak Baik Sumber : AASHTO, 1993 Pergerakan Air 2 Jam 1 Hari 1 Minggu 1 Bulan Air tidak mengalir Kualitas drainase pada perkerasan lentur diperhitungkan dalam perencanaan dengan menggunakan koefisien kekuatan relatif yang dimodifikasi. Faktor untuk memodifikasi koefisien relatif ini adalah koefisien drainase dan disertakan ke dalam persamaan Indeks Tebal Perkerasan (ITP) bersama-sama dengan koefisien kekuatan relatif dan ketebalan. II-39

Tabel dibawah ini memperlihatkan nilai koefisien drainase yang merupakan fungsi dari kualitas drainase dan persen waktu selama setahun struktur perkerasan akan dipengaruhi oleh kadar air yang mendekati jenuh. Tabel 2.24 : Rekomendasi nilai m 1 Kualitas Drainase Persen waktu struktur perkerasan dipengaruhi oleh kadar air yang mendekati jenuh 1 % 1-5 % 5 25 % 25 % Baik Sekali 1.40 1.35 1.35 1.30 1.30 1.20 1.20 Baik 1.35 1.25 1.25 1.15 1.15 1.00 1.00 Sedang 1.25 1.15 1.15 1.05 1.00 0.80 0.80 Kurang Baik 1.15 1.05 1.05 0.80 0.80 0.60 0.60 Tidak Baik 1.05 0.95 0.95 0.75 0.75 0.40 0.40 Sumber : AASHTO, 1993 2.9.10. Structure Number ( SN ) Merupakan harga yang berhubungan dengan penentuan tebal perkerasan, yang besarnya tergantung kepada analisa lalu lintas yang diekivalenkan terhadap beban gandar tunggal 18 kips dan kondisi jalan. Hubungan ini dinyatakan dalam rumus : SN = a 1.D 1 + a 2.D 2.m 2 + a 3.D 3.m 3...(2.6) Dimana : a 1.a 2.a 3 = merupakan koefisien kekuatan relative bahan untuk masing masing lapisan. D 1.D 2.D 3 m 2.m 3 = merupakan tebal untuk masing-masing lapisan. = koefisien Drainase masing-masing lapisan II-40

2.9.11. Koefisien Lapisan Perkerasan ( a ) Material untuk lapisan perkerasan mempunyai kekuatan yang berbeda sesuai dengan fungsi dari masing-masing lapisan. Karena pada lingkungan yang bermacam-macam lalu lintas dan pelaksanaan konstruksi, disarankan didalam perencanaan menggunakan koefisien lapisan berdasarkan percobaan sendiri. Tabel 2.25 : Koefisien lapisan perkerasan Material Koefisien Lapisan Perkerasan ( a ) Surface Course Asphalt Concrete 0,44 Base Course Crushed Stone 0,14 Stabilized Base Material 0,30 0,40 Sub Base Course Crushed Stone 0,11 Sumber : AASHTO, 1993 2.9.12. Tebal Minimum Setiap Lapis Tebal minimum setiap lapis perkerasan ditentukan berdasarkan mutu daya dukung lapis dibawahnya. Gambar 2.4 : Ilustrasi penentuan tebal minimum setiap lapis perkerasan D 1 * SN1...(2.7) a 1 SN 1 * = a 1. D 1 * SN 1...(2.8) II-41

D 2 * SN2 SN1...(2.9) a 2. m 2 SN 2 * = a 2.m 2 D 2 *...(2.10) SN 1 * + SN 2 * SN 2...(2.11) D 3 * SN3 SN1 + SN2...(2.12) a 3. m 3 catatan : *) menunjukan tebal minimum yang digunakan untuk tiap lapisan Untuk menghindari perencanaan yang terlalu ekonomis dan tidak bermanfaat maka ketebalan didalam perencanaan lapisan perkerasan perlu diperhatikan. Setiap lapisan perkerasan mempunyai batas ketebalan minimum yaitu : 1. Lapisan Permukaan = 5 cm 2. Lapis Pondasi Base = 10 cm 3. Lapis Pondasi Subbase = 10 cm Selain berdasarkan rumus 2.7 sampai dengan rumus 2.12, tebal minimum lapis permukaan dari beton aspal dan lapis pondasi batu pecah dapat juga ditentukan dengan tabel 2.26. Tabel 2.26 : Tebal minimum lapis permukaan dan lapis pondasi ESAL Beton Aspal Tebal minimum lapisan Pondasi Batu Pecah inci cm inci cm < 50.000 1 2,54 4 10,16 50.001 150.000 2 5,08 4 10,16 150.001 500.000 2,5 6,35 4 10,16 500.001 2.000.000 3 7,62 6 15,24 2.000.001 7.000.000 3,5 8,89 6 15,24 > 7.000.000 4 10,16 6 15,24 Sumber : WSDOT II-42

2.10. Rencana Anggaran Biaya (RAB) Secara umum pengertian RAB adalah nilai estimasi biaya atau anggaran yang diperlukan untuk pelaksanaan sebuah kegiatan proyek. Untuk mendapatkan nilai berapa banyak jumlah biaya yang harus disiapkan dapat digunakan metode yaitu : 1. Rencana Anggaran Biaya Kasar/ Penafsiran Merupakan rencana anggaran biaya sementara dimana pekerjaan dihitung berdasarkan ukuran atau luasan yang akan dikerjakan. Dalam hal ini pengalaman kerja sangat mempengaruhi penafsiran berapa besar biaya secara kasar, hasil dari penafsiran ini apabila dibandingkan dengan rencana anggaran yang dihitung secara teliti akan didapat selisih. 2. Rencana Anggaran Biaya Terperinci Dilaksanakan dengan menghitung volume dan harga dari seluruh pekerjaan yang dilaksanakan agar pekerjaan dapat diselesaikan secara memuaskan. Perhitungan ini dapat dilakukan dengan cara : Dengan harga satuan, dimana semua harga satuan dan volume tiap jenis pekerjaan dihitung. Dengan harga seluruhnya, kemudian dikalikan dengan harga, serta dijumlahkan seluruhnya. Untuk menghitung besar biaya pekerjaan, penulis mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang cara perhitungan harga satuan pekerjaan jalan untuk konstruksi jalan raya sebagai acuan dasar untuk menentukan biaya yang digunakan dari suatu konstruksi jalan yang meliputi indeks bahan dan indeks II-43

tenaga kerja yang dibutuhkan untuk tiap satuan pekerjaan sesuai dengan spesifikasi teknis pekerjaan. Dari uraian analisa harga satuan harus mengacu pada spesifikasi teknis sebagai berikut : 1. Pelaksanaan perhitungan satuan pekerjaan harus didasarkan kepada gambar teknis dan rencana kerja dan syarat-syarat (RKS) 2. Perhitungan koefisien bahan telah ditambahkan toleransi sebesar 5% s/d 20% dimana didalamnya termasuk angka susut, yang besarnya tergantung dari jenis bahan dan material. 3. Untuk analisa biaya yang tercantum dalam SNI, analisa biayanya dapat disesuaikan dengan kondisi material setempat. 4. Untuk analisa biaya yang tidak tercantum di dalam SNI, harus mengacu pada hasil rancangan yang sudah direncanakan. 5. Tenaga kerja harus memiliki ketrampilan di bidangnya. 6. Jam kerja efektif untuk para pekerja diperhitungkan 8 jam per-hari. II-44