tingkat inflasi dunia, perubahan dalam ekspektasi konsumen dan meningkatnya ketidakpastian dalam permintaan karet dunia

dokumen-dokumen yang mirip
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN

1.1. Latar Belakang. dengan laju pertumbuhan sektor lainnya. Dengan menggunakan harga konstan 1973, dalam periode

I. PENDAHULUAN. menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik khususnya pada hasil perkebunan.

PENDAHULUAN. Latar Belakang

IV. GAMBARAN UMUM KARET ALAM INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

VI. PERKEMBANGAN EKSPOR KARET ALAM INDONESIA Perkembangan Nilai dan Volume Ekspor Karet Alam Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Proses globalisasi yang bergulir dengan cepat dan didukung oleh kemajuan

111. POLA OPTIMAL PEMABARAN XARET INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Produk Domestik Bruto (PDB) yang cukup besar, yaitu sekitar 14,43% pada tahun

KEUNGGULAN KARET ALAM DIBANDING KARET SINTETIS. Oleh Administrator Senin, 23 September :16

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

IV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI KARET REMAH (CRUMB RUBBER) INDONESIA. Karet merupakan polimer hidrokarbon yang bersifat elastis dan terbentuk

BAB I PENDAHULUAN. ukuran dari peningkatan kesejahteraan tersebut adalah adanya pertumbuhan

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

V. GAMBARAN UMUM. 5.1 Luas Areal Perkebunan Kopi Robusta Indonesia. hektar dengan luas lahan tanaman menghasilkan (TM) seluas 878.

BAB 1 PENDAHULUAN. Karet merupakan komoditi ekspor yang mampu memberikan kontribusi di dalam

IV. GAMBARAN UMUM KARET INDONESIA. Di tengah masih berlangsungnya ketidakpastian perekonomian dunia dan

IV. GAMBARAN UMUM. Sumber : WTRG Economics

I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Produksi Karet Indonesia Berdasarkan Kepemilikan Lahan pada Tahun Produksi (Ton)

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

A. peranan Komoditas Karet Dalam Perekonomian Nasional

BAB 1 PENDAHULUAN. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan memberikan

V. GAMBARAN UMUM EKONOMI KELAPA SAWIT DAN KARET INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. dalam perekonomian suatu negara. Terjalinnya hubungan antara negara satu

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Badan Pusat Statistik, mencapai 6,23%. Meskipun turun dibandingkan pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

pennasalahan-permasalahan yang diteliti.

I. PENDAHULUAN. perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Peran ekspor non migas sebagai penggerak roda perekonomian. komoditas perkebunan yang mempunyai peran cukup besar dalam

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Saat ini pengembangan sektor pertanian di Indonesia masih tetap strategis.

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 2010), tetapi Indonesia merupakan negara produsen karet alam terbesar ke dua di

V. PERKEMBANGAN PRODUKSI DAN EKSPOR KOMODITI TEH INDONESIA. selama tahun tersebut hanya ton. Hal ini dapat terlihat pada tabel 12.

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sistem ekonomi dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sektor perkebunan merupakan salah satu upaya untuk

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara agraris yang mengandalkan sektor pertanian

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki potensi pertanian yang dapat dikembangkan. Kinerja ekspor

PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Karet (Hevea brasiliensis) berasal dari Brazil. Negara tersebut mempunyai

I. PENDAHULUAN. di bidang pertanian. Dengan tersedianya lahan dan jumlah tenaga kerja yang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KINERJA DAN POTENSI INDUSTRI BAN DALAM NEGERI

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA - THAILAND PERIODE : JANUARI JULI 2014

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN EKONOMI TERHADAP DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM

PELUANG INVESTASI BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA. Makalah. Disusun Oleh : Imam Anggara

I. PENDAHULUAN. diarahkan pada berkembangnya pertanian yang maju, efisien dan tangguh.

BAB 1 PENDAHULUAN. sehari-hari. Banyak penduduk yang hidup dengan mengandalkan komoditas

I. PENDAHULUAN. yang prospektif. Komoditas karet alam memiliki berbagai macam kegunaan

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan pembangunan pertanian periode dilaksanakan melalui tiga

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan Judul

Karet mempakan salah satu komoditi non migas yang mempunyai peranan. penting dalam perekonomian Indonesia. Peranan penting itu antara lain sebagai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. keberlangsungan suatu negara dan diyakini merupakan lokomotif penggerak dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. sehingga terjamin mutu teknisnya. Penetapan mutu pada karet remah (crumb

I. PENDAHULUAN. secara umum oleh tingkat laju pertumbuhan ekonominya. Mankiw (2003)

V. EKONOMI GULA. dikonsumsi oleh masyarakat. Bahan pangan pokok yang dimaksud yaitu gula.

II TINJAUAN PUSTAKA. Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian [16 Juli 2010]

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA- SAUDI ARABIA BULAN : JUNI 2015

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. diperbaharui, dalam kata lain cadangan migas Indonesia akan semakin menipis.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor andalan dalam mengembangkan

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA - THAILAND PERIODE : JANUARI AGUSTUS 2014

l. PENDAHULUAN Karel alam adalah salah satu komoditi perkebunan yang stralegis dalam

VI. POLA OPTIMAL PRODUKSI KARET INDONESIA Pola optimal Produksi Perkebunan Karet.

STRATEGI PENGEMBANGAN INDUSTRI HILIR KARET ALAM DI PROVINSI RIAU

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA - THAILAND PERIODE : JANUARI MARET 2014

Perkembangan Ekspor Indonesia Biro Riset LMFEUI

Ekspor Nonmigas 2010 Mencapai Rekor Tertinggi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang

Pe n g e m b a n g a n

MEDIA BRIEFING Pusat HUMAS Departemen Perdagangan Jl. M.I Ridwan Rais No. 5, Jakarta Tel: /Fax:

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA - THAILAND PERIODE : JANUARI DESEMBER 2014

Jurnal Ilmiah INOVASI, Vol.14 No.1, Hal , Januari-April 2014 ISSN

I. PENDAHULUAN. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas.

BPS PROVINSI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SIARAN PERS Pusat Hubungan Masyarakat Gd. I Lt. 2, Jl. M.I Ridwan Rais No. 5, Jakarta Telp: /Fax:

I. PENDAHULUAN , , , ,3 Pengangkutan dan Komunikasi

I. PENDAHULUAN. melimpah, menjadikan negara ini sebagai penghasil produk-produk dari alam

PROVINSI JAWA BARAT MARET 2016

BAB I PENDAHULUAN. opportunity cost. Perbedaan opportunity cost suatu produk antara suatu negara

I. PENDAHULUAN. kebutuhan akan minyak nabati dalam negeri. Kontribusi ekspor di sektor ini pada

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS KINERJA EKSPOR 5 KOMODITAS PERKEBUNAN UNGGULAN INDONESIA TAHUN

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010.

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan sudut pandang ilmu ekonomi, motivasi hubungan antar negara

Transkripsi:

IV. EKONOXI KARET DUNIA 4.1. Struktur Industri Barang Jadi Karet Peningkatan produksi karet dunia terutama sebagai akibat dari semakin meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor yang terjadi di negara-negara Eropa Barat dan Jepang, bersamaan dengan berkembangnya produksi kendaraan bermotor di Amerika Utara. Demikian juga halnya dengan peningkatan industri barang jadi karet lainnya, yang membantu mendorong pertumbuhan industri karet secara keseluruhan, sehingga selama periode 1950-an sampai awal tahun 1970-an konsumsi karet (alam dan sintetik) mengalami peningkatan rata-rata 6,3% setiap tahun (Grilli,et al., 1980). Berbagai krisis perekonomian, termasuk krisis minyak bumi dengan peningkatan harganya pada tahun 1973-1974, mengakibatkan produsen-produsen karet sintetik mengalami kesulitan, karena bahan baku utama karet sintetik adalah minyak bumi. Kesulitan yang dihadapi industri karet sintetik ini juga secara tidak langsung disebabkan oleh laju tingkat inflasi dunia, perubahan dalam ekspektasi konsumen dan meningkatnya ketidakpastian dalam permintaan karet dunia t.: dari sektor otomotif yang llenergi-intensive". Hal ini dapat dilihat dari penurunan produksi, impor, dan konsumsi karet, terutama pada tahun 1975, dan terjadinya peningkatan harga karet secara tajam pada tahun yang sama. Setelah beberapa

tahun kemudian keadaan ekonomi perkaretan kembali terlihat normal dengan fluktuasi yang tidak mencolok. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam peranan dari karet sintetik dan karet alam menunjukkan kecenderungan semakin meningkatnya peran karet sintetik dalam penggunaannya, walaupun konsumsi karet alam itu sendiri nampak terus meningkat akibat semakin berkembangnya teknologi pembuatan ban otomotif yang relatif lebih banyak membutuhkan karet alam. Faktor ini juga yang nampaknya merupakan penyebab agak tertahannya laju peranan karet sintetik, terutama dalam industri ban otomotif, seperti yang terlihat pada tahun 1979, di mana pangsa karet sintetik yang dikonsumsi di dunia telah mencapai 70.2% dari seluruh konsumsi karet, ternyata tahun 1989 menurun menjadi 66,2%. Alasan semula dari penggunaan karet sintetik sebagai pengganti karet alam adalah tidak semata-mata masalah teknologi, melainkan lebih karena usaha untuk mengatasi kemungkinan menjadi langkanya karet alam akibat blokade dalam Perang Dunia kedua. Tetapi dalam perkembangan lebih lanjut ternyata masalah teknologi industri lebih banyak mendominasi alasan dipergunakannya karet sintetik sebagai bahan baku, di samping alasan ekonomis yang rnasih tetap merupakan salah satu pertimbangan penting. Seringkali terjadi dalam suatu industri barang jadi *: karet, karet sintetik lebih dominan di dalam penggunaannya, sedangkan dalam industri barang jadi karet lainnya lebih banyak menggunakan karet alam. Memang dalam industri barang jadi karet pada mulanya banyak digunakan karet alam sebagai

bahan bakunya, tetapi dengan perkembangan teknologi, ternyata ada beberapa persyaratan bahan baku yang hanya dapat dipenuhi oleh karet sintetik. Oleh karena itu peran karet sintetik., yang ditunjukkan oleh tingkat konsumsinya, terus berkembang dari tahun ke tahun. Pada tahun-tahun terakhir ini peran dari karet sintetik rata-rata telah mencapai di atas 60% dari total konsumsi elastomer dunia. Seperti dikemukakan terdahulu bahwa konsumen utama dari karet, baik karet alam maupun karet sintetik, adalah industri ban otomotif. Jika dilihat konsumsi karet alam di setiap negara, ternyata bahwa industri ban juga merupakan sektor yang dominan di dalam mengkonsumsi karet alam, walaupun pangsa karet alam yang dikonsumsi sektor tersebut di setiap negara itu berlainan, seperti yang dapat dilihat dalam Tabel 4.1. Amerika Serikat yang merupakan konsumen karet terbesar di dunia, pada tahun 1969 konsumsi karet alam untuk sektor bannya mencapai 71,67% dari seluruh konsumsi karet alamnya. Berarti karet alam yang dikonsumsi sektor lain hanya mencapai 28,33%. Pada tahun yang sama negara-negara konsumen karet utama di Eropa Barat (Inggris, Jerman Barat, Perancis, dan Itali) sektor bannya mengkonsumsi 55,29% dari total konsumsi karet alamnya, sedangkan sektor ban di Jepang

-it. Serilret T&,... I(msusi OaLa Pspu Karet Sdrta sekta Aka Bar la*l)... Empa Bare) I[onari Oala P- ram Sekta sekta Al- Em Ben(Z> Catatm :'ITerdiri deri Imris, J- Barat, Permis, dm Itali C..,.) = P- terhadapdi tsret aladmia n-a. = ti* ado data S&er : IRSG. Statistical Bulletin. berbsgai mru Cdiolh) I-: mengkonsumsi karet alam sebanyak 52,05%. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa jika dibandingkan dengan di negara-negara lain, pada mulanya sektor ban di Amerika

Serikat paling banyak menyerap karet alam, baik secara absolut maupun pangsanya. Dalam tahun-tahun berikutnya konsumsi karet alam dari masing-masing negara tersebut mengalami perkembangan yang berbeda dan sekaligus mengubah pangsa konsumsinya masing- masing. Konsumsi karet alam Amerika Serikat menunjukkan peningkatan rata-rata 1,11% per tahun selama periode 1970-1988, dan demikian juga karet alam yang dikonsumsi sektor ban meningkat rata-rata 1,42% per tahun. Dengan pertumbuhan konsumsi karet alam dalam sektor ban yang lebih tinggi dari konsumsi karet alam secara keseluruhan, maka pangsa konsumsi karet alam dalam sektor ban cenderung untuk mengalami peningkatan, seperti dapat dilihat dari pangsa pada tahun 1988 yang menjadi 76,58%. Walaupun pangsa pada tahun 1989 mengalami penurunan menjadi 74,63%, tetapi secara absolut konsumsi karet alam dalam sektor ban di negara ini tetap mengalami peningkatan. Demikian juga halnya dengan yang terjadi di negaranegara konsumen lainnya seperti Eropa Barat dan Jepang. Dalam periode 1970-1988 konsumsi sektor bannya masing-masing mengalami peningkatan sebesar 0,26% dan 6,85%. Dengan demikian konsumsi sektor ban di Jepang mempunyai pertumbuhan yang paling tinggi dibandingkan dengan di negara-negara - lainnya. Oleh karena itu juga pangsa karet alam yang dikonsumsi sektor ban di negara ini menunjukkan peningkatan yang cukup besar setiap tahunnya, sehingga pada tahun 1988 pangsanya menjadi 83,24%. Artinya barang jadi karet di luar sektor ban Jepang hanya mengkonsumsi karet alam sebanyak

16,76% dari total konumsi karet alamnya. Besarnya pangsa konsumsi sektor ban di Jepang ini juga memperkuat perkiraan akan lebih lambatnya pertumbuhan konsumsi karet alam Jepang di masa datang dibandingkan dengan tahun 70-an, karena adanya beberapa industri bannya yang pindah atau mengadakan perluasan ke negara-negara lain, seperti ke Amerika Utara, Korea Selatan, Taiwan dan Cina atau ke negara-negara produsen karet alam itu sendiri. Di pihak lain, konsumsi karet alam di negara-negara lain tersebut dengan sendirinya akan meningkat karena ada peningkatan aktifitas dan kapasitas industri bannya. Perubahan teknologi di dalam industri barang jadi karet berkembang lebih cepat dengan adanya perubahan dari sfcrossply tirew menjadi "bias belted tireqf. Namun perubahan yang sangat besar pengaruhnya terhadap konsumsi dan perdagangan karet alam dunia terutama terjadi dengan dilaksanakannya proses radialisasi dari ban otomotif, yang dimulai di Eropa Barat sejak tahun 1950-an. Perubahan teknologi ini secara langsung memberikan dampak terhadap laju penggantian ban, dimana ban radial mempunyai keunggulan (1) mempertinggi jarak yang dapat ditempuh, (2) mempertinggi daya cengkeram (traction), (3) menghemat bahan bakar, dan (4) lebih tahan *: terhadap tusukan. Bahkan dalam perkembangan radialisasi lebih lanjut ternyata bahwa ban radial generasi baru (high performance radial tire) cenderung untuk semakin awet di dalam pemakaiannya dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Kecenderungan perubahan struktur industri barang jadi ini terlihat dari pangsa produksi ban radial yang terus

meningkat, seperti dapat dilihat dalam Tabel 4.2 berikut. Tabel 4.2. Persentase produksi ban radial di Amerika Serikat, Inggeris, dan Jepang, tahun 1976-1989 ----------- -----------=i======================== Amerika Serikat Inggeris Jepang Tahun ---------------- --------------- ---------------- Car Total Car Total Car Total...... Catatan : Car = ban untuk kendaraan penumpang Total = ban untuk seluruh jenis kendaraan Nampak bahwa perkembangan radialisasi di Inggeris telah jauh dilaksanakan, sehingga pada tahun 1976 saja telah mencapai 81,18% untuk ban kendaraan penumpang dan 79,70% untuk ban seluruh jenis kendaraan. Sedangkan dalam waktu )I: yang sama di Amerika Serikat masing-masing baru mencapai 39,32% dan 34,76% serta di Jepang 56,06% dan 38,68%. Posisi seperti itu terus bertahan, sehingga sampai dengan tahun 1989 proses radialisasi di Inggeris boleh dikatakan tuntas

karena hampir mendekati 100%, artinya hampir seluruh jenis ban yang diproduksi dan digunakan di negara tersebut terdiri dari ban radial. Dampak dari perkembangan proses radialisasi ini akan terlihat dari perkembangan permintaan terhadap jenis mutu karet alam, karena untuk memproduksi ban radial, dengan berbagai keunggulannya dibandingkan ban non-radial, diperlukan teknologi dan bahan baku yang relatif lebih tinggi. Oleh karena itu pemakaian karet alam dengan kualitas yang lebih tinggi cenderung semakin meningkat, terutama pemakaian karet jenis mutu RSS, di samping TSR grade dan kualitas tertentu, seperti misalnya TSR grade 20 yang menggunakan bahan olah karet kualitas baik. 4.2. Perubahan Struktur Pasar Karet Alam Dunia Pada umumnya jika ada perubahan teknologi yang digunakan dalam suatu industri pengolahan, paling tidak akan membawa dampak langsung terhadap perubahan penggunaan bahan bakunya, baik secara kuantitas atau secara kualitas. Pada tahapan lebih lanjut, sebagai akibat perubahan yang terjadi dalam penggunaan bahan baku tersebut, akan memberikan pengaruh terhadap permintaannya. Jika penggunaan bahan baku I-: di dalam setiap unit atau seluruh produk bertambah maka permintaan terhadap bahan bakunya sudah dapat diduga akan meningkat, vice versa. Secara umum komposisi jenis mutu karet alam yang

)I: diperjual belikan di pasar, atau dikatakan sebagai struktur pasar karet alam dunia didominasi oleh dua jenis mutu, yaitu jenis mutu karet konvensional dan jenis mutu karet spesifikasi teknis (TSR). Masing-masing negara produsen memproduksi dan mengekspor jenis-jenis mutu karet alam tersebut dalam komposisi yang berlainan. Malaysia dalam tahun 1989 mengekspor lebih kurang 66,578 karet jenis mutu TSR, sedangkan sisanya adalah karet jenis mutu konvensional. Jumlah TSR Indonesia yang diekspor dalam tahun yang sama mencapai 83,25%, dan ekspor TSR Thailand sebanyak 11,88% dari total ekspor karet alamnya. Dengan demikian secara keseluruhan, pada tahun 1989 ekspor karet alam jenis mutu TSR mencapai 50,62% dari total ekspor karet alam pada waktu itu. Dilihat dari harga rata-rata yang diterima dari ekspor karet kedua jenis mutu tersebut, maka karet konvensional, rata-rata harganya lebih tinggi dibandingkan dengan jenis mutu karet TSR (Lampiran 9). Dampak dari perubahan teknologi di dalam industri pengolahan barang jadi karet tidak saja terhadap komposisi antar karet sintetik dengan karet alam yang dikonsumsi dan diperdagangkan, seperti yang dikemukakan oleh Grilli & (1980), tetapi terlihat juga dampaknya dalam pangsa dari masing-masing jenis mutu karet alam. Jika teknologi baru menginginkan adanya peningkatan pemakaian karet kualitas relatif tinggi, maka permintaan terhadap karet tersebut akan meningkat. Dalam ha1 produsen karet mau mengantisipasi peningkatan permintaan tersebut,

maka peningkatan kualitas karet konvensional tidak diperlukan lagi, karena jenis-jenis mutu (grade) tertentu sudah bisa memenuhi segala yang dipersyaratkan oleh industri pemakainya. Hanya saja masalah yang mungkin timbul adalah dalam ha1 kapasitas produksinya yang tidak secara cepat bisa menyesuaikan dengan peningkatan permintaannya. Namun bagi produsen TSR, untuk menyesuaikan dengan peningkatan permintaan terhadap karet kualitas tinggi tersebut, diperlukan beberapa usaha tambahan, khususnya untuk produsen TSR yang mempunyai beberapa hambatan dalam ha1 rendahnya kualitas bahan baku untuk pembuatan TSR-nya, seperti halnya Indonesia. Oleh karena itu jika pada mulanya laju peningkatan penawaran karet konvensional dapat menyesuaikan diri dengan peningkatan permintaannya, tetapi dalam jangka panjang peningkatan penawarannya akan lebih lambat dari kenaikan permintaanya, sehingga harga karet jenis mutu konvensional yang pada mulanya cenderung menurun akan meningkat kembali. Di lain pihak TSR kualitas tinggi yang memenuhi persyaratan industri karet, khususnya industri ban "high performancett, relatif terbatas jumlahnya, sehingga harga rata-rata TSR secara keseluruhan adalah rendah. Di samping itu walaupun penambahan suplainya relatif terbatas tetapi karena laju pertumbuhan permintaannya lebih kecil, maka harganya akan tetap lebih *: rendah jika dibandingkan dengan harga karet konvensional. Jika laju permintaan terhadap RSS lebih cepat dibandingkan dengan TSR, sedangkan pasoknya meningkat dengan laju yang relatif sama, maka harga RSS akan semakin jauh

, I-; jaraknya dari harga TSR. Tetapi dari banyak penelitian terbukti bahwa karet RSS dan TSR merupakan barang subsitusi yang cukup dekat, maka peningkatan harga RSS akan juga merangsang peningkatan harga TSR selama produsen TSR dapat memenuhi berbagai persyaratan kualitas yang diperlukan oleh industri pengolahan yang merupakan pemakainya. Perubahan dari jenis mutu tersebut pada awalnya banyak dipengaruhi oleh usaha menyamakan penyajian karet alam dengan karet sintetik dalam rangka persaingan di antara keduanya. Karena kemasan dari karet sintetik dan karet alam dari jenis mutu TSR, yang dikemas seperti karet sintetik ternyata memudahkan di dalam penanganannya, baik di pelabuhan-pelabuhan muat dan tujuan, maupun ketika jenis- jenis karet itu diproses oleh industri pengolahan, terutama dalam industri ban yang paling banyak mengkonsumsinya. Jika dilihat dari jenis mutu bahan baku karet alam yang digunakan dalam industri ban otomotif, secara umum dapat dilihat adanya dua kelompok teknologi.. Kelomwok ~ertama adalah industri ban yang mayoritas menggunakan jenis mutu TSR, yaitu industri-industri ban di Amerika Serikat dan sebagian di Eropa Barat. dari kualitas dan asal bahan bakunya, ternyata Jika dilihat dalam kelompok ini pun ada perbedaan. Kebanyakan industri ban Amerika Serikat, yang dipelopori oleh Goodyear dan Firestone, menggunakan bahan baku TSR dari Indonesia yang kualitasnya dinilai relatif lebih rendah dibandingkan dengan TSR dari Malaysia. Sedangkan industri-industri ban di Eropa Barat yang menggunakan TSR, seperti Michelin dan Pirelli,

kebanyakan membelinya dari Malaysia atau Thailand. Relatif rendahnya jenis mutu TSR yang digunakan industri ban Amerika Serikat tidak merupakan masalah bagi industriindustri tersebut, karena ternyata secara teknis dapat diatasinya. Hal ini terbukti dari tetap dihasilkannya banban otomotif dengan kualitas yang relatif baik. 4 Xelom~ok kedua adalah industri-industri ban yang mayoritas menggunakan bahan baku karet alam dari jenis RSS. Xelompok industri ini dipelopori oleh teknologi Jepang dan sebagian dari industri ban di Eropa Barat. Memang pabrikpabrik ban di Jepang dirancang untuk menangani bentuk-bentuk bahan baku jenis mutu RSS, yang sebagian besar bahan bakunya didatangkan dari Thailand. Dalam perkembangan terakhir, dengan usaha yang mengarah ke otomatisasi dari pabrik-pabrik ban, ada kecenderungan untuk lebih banyak lagi pabrik yang memerlukan bahan baku karet alam jenis TSR, atau paling tidak, bahan baku dengan kemasan seperti TSR. Hal ini antara lain terlihat dari semakin meningkatnya karet alam jenis mutu TSR yang memasuki pasaran Jepang, terutama jenis mutu SIR 20 dari Indonesia, khususnya yang berasal dari Pontianak dan Medan. Di samping itu terlihat dari relatif tetap bertahannya pangsa dari karet jenis mutu TSR yang diproduksi dan diperdagangkan di dunia, walaupun telah terjadi ekspansi dan pemindahan * beberapa industri ban yang dimiliki Jepang. Dari pengamatan yang dilakukan ternyata bahwa yang biasanya dijadikan bahan pertimbangan oleh industri ban di setiap negara dalam memilih bahan baku karet alam, selain

masalah kualitas, terutama adalah tingkat harganya. Walaupun dari berbagai penelitian terbukti bahwa kualitas RSS relatif lebih baik dari kualitas TSR, tetapi karena seringkali harga TSR lebih rendah dari RSS dengan jenis mutu yang setara, maka beberapa industri ban lebih memilih TSR sebagai bahan baku utamanya, meskipun beberapa pabrik masih mencampur TSR tersebut dengan RSS atau dengan Crepe. Dalam kasus ini industri ban di Jepang terlihat mulai mencampur RSS yang biasa digunakanya dengan TSR, baik dalam bentuk SIR, SMR maupun TTR. Hal ini berkaitan erat dengan masalah harga TSR yang biasanya lebih bersaing, selain alasan-alasan teknis dalam ha1 penanganannya, yang ternyata kemasan TSR lebih sesuai dengan usaha otomatisasi dari pabrik-pabriknya. Namun demikian dampak dari usaha dan rencana otomatisasi ini juga telah menjangkau beberapa eksportir produsen karet alam jenis mutu RSS, yaitu dengan berusaha menyajikan RSS dalam bentuk kemasan seperti halnya dengan TSR, dengan apa yang disebut RSS-OTP (One Ton Pallet) yang bisa ditangani secara mekanis. Dengan kenyataan bahwa selain kualitasnya, ternyata kemasan dan harga bahan baku sangat menentukan digunakan atau tidaknya suatu jenis mutu karet alam dalam produksi barang jadi, terutama produksi ban otomotif. Oleh karena itu produsen karet alam harus selalu mengadakan penyesuaian * antara pola produksinya dengan permintaan pasar yang kelihatan sangat dipengaruhi perkembangan teknologi produksi barang jadinya. Penyesuaian dimaksud terutama menyangkut masalah kualitas, kemasan dan harga yang bersaing.

4.3. Produksi dan Konsumsi Karet Alam Dunia Selama periode 1969-1989 pangsa produksi karet alam dari tiga negara produsen dan eksportir utama (Malaysia, Indonesia, dan Thailand) terlihat mengalami penurunan dari 81,2% menjadi 75,3%, walaupun selama periode tersebut t tingkat produksinya selalu mengalami peningkatan. Penurunan pangsa tersebut antara lain disebabkan oleh meningkatnya produksi karet alam dari negara-negara produsen lainnya, seperti Cina, India dan negara-negara di Afrika Barat. Di samping itu laju perkembangan produksi dari ketiga negara produsen utama tersebut memang tidak terlalu cepat seperti pada periode-periode sebelumnya, antara lain disebabkan oleh beberapa hambatan yang dihadapi. Seperti misalnya penurunan pangsa pasar karet alam Malaysia dari 22% pada tahun 1966 menjadi 11% pada tahun 1986, dan penurunan pangsa perkebunan rakyat di Indonesia dari 22% pada tahun 1966 menjadi 17% pada tahun 1986, antara lain disebabkan oleh adanya konversi dari pertanaman karet yang dijadikan areal tanaman tahunan lainnya, seperti halnya pertanaman cokelat dan kelapa sawit. Penurunan tersebut memberikan imbangan pada meningkatnya pangsa perkebunan karet rakyat Malaysia dari 16% pada tahun 1966, menjadi 24% pada tahun 1986. Demikian juga halnya dengan pangsa I- i perkebunan karet di Thailand yang meningkat dari 9% pada tahun 1966, menjadi 17% pada tahun 1986 (World Bank, 1988). Jika dilihat dari laju pertumbuhan tingkat produksinya masing-masing, di mana dalam periode 1969-1989 produksi

karet Malaysia hanya mengalami pertumbuhan yang relatif kecil, yaitu sebesar 0,76% dan Indonesia 2,15%. Hanya Thailand yang pertumbuhan produksinya cukup mengesankan, yaitu sebesar 6,58% per tahun. Maka perkembangan produksi karet alam di masa yang akan datang mungkin dapat juga digambarkan oleh pertumbuhan produksi dari ketiga produsen I utama tereebut di masa yang lalu. Jika prospek konsumsi karet alam di masa yang akan datang seringkali dikatakan sebagai sulit ditentukan karena adanya ketidakpastian dalam perkembangan ekonomi dan politik yang sangat besar pengaruhnya terhadap industri pemakai karet alam. Maka hasil perkiraan untuk jangka pendek dari prospek suplainya sendiri relatif lebih bisa diyakini orang, karena prospek suplai ini akan sangat ditentukan oleh prospek produksinya. Sedangkan prospek produksi karet alam di masa datang akan lebih bisa diperkirakan, mengingat bahwa pertanaman karet merupakan tanaman tahunan yang produksinya relatif inelastis., John D. Carr, Sekretaris Jenderal IRSG (International Rubber Study Group) menyampaikan proyeksi tentang produksi dan konsumsi karet alam, yang disampaikan dalam "International Seminar on CommoditiesM di Kuala Lumpur, Malaysia pada bulan Juli 1986. Secara keseluruhan produksi karet alam diproyeksikan akan meningkat sampai 5.636 ribu r: ton pada tahun 1995 dan 6.367 ribu ton pada tahun 2000, seperti dapat dilihat dalam Tabel 4.3 (Budiman, 1988).

Tabel 4.3. Proyeksi produksi karet alam, menurut negara --E-------------E-----------------... Negara Satuan :,000 Ton... Realisasi- Proveksi 1985 1989*) 1990 1995 2000 ASIA : Malaysia Indonesia Thailand India Srilanka Philippina Myanmar PNG China Kambo ja Vietnam AFRIKA 209 275 232 265 295 AMERIKA LATIN 6 3 125 8 5 110 125... Total Dunia 4.340 5.125 4.922 5.636 6.367... Sumber : Carr,J. Juli 1986 dalam Budiman, AFS. 1988. ibid. ha1 14. *)IRSG. Rubber Statistical Bulletin. July i990. Menurut perkiraan tersebut dalam tahun 1995 produsen terbesar masih diduduki oleh Malaysia dengan tingkat I-: produksi sebesar 1.634 ribu ton atau 28,99% dari total produksi dunia, disusul Indonesia dengan produksi sebesar 1.550 ribu ton (27,5%). Tetapi pada tahun 2000 Indonesia mengambil alih posisi sebagai produsen terbesar dengan perkiraan produksi sebesar 1.800 ribu ton (28,27%), dan Malaysia digeser menjadi produsen nomor dua dengan produksi sebesar 1.735 ribu ton (27,25%). Dalam proyeksi ini pangsa karet Thailand diperkirakan tetap menduduki posisi ketiga sampai tahun 2000. Padahal dalam kenyataannya, sampai tahun

1989 laju pertumbuhan produksi karet alam Thailand jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kedua negara produsen utama lainnya. Sedangkan total produksinya tidak berbeda banyak dengan Indonesia, yaitu Thailand sebanyak 22,9% dari total produksi dunia, Indonesia 24,6% dan Malaysia 27,7%. Di pihak lain Indonesia diperkirakan dapat melampaui produksi Malaysia dalam tahun 2000, padahal pangsa Indonesia dengan Malaysia pada tahun 1989 tersebut berbeda cukup banyak. Dari perkembangan produksi karet sampai dengan 1989 terlihat bahwa kebanyakan perkiraan tentang produksi setiap negara tersebut meleset. Pada tahun tersebut produksi karet Thailand, India, dan Kamboja sudah melampaui perkiraan produksi untuk tahun 1990. Bahkan perkiraan produksi Thailand tahun 2000 lebih rendah dibandingkan dengan realisasi produksi tahun 1989. Dengan demikian produksi negara ini jauh di luar perkiraan tersebut. Proyeksi produksi karet alam dunia yang dilakukan oleh World Bank pada tahun 1988 menunjukkan bahwa produksi karet * t alam dunia pada tahun 1995 akan berjumlah 5.396 ribu ton, dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 6.460 ribu ton. Berarti selama periode 1987-2000 meningkat rata-rata 2,6% per tahun (lihat Tabel 4.4). Perkiraan ini didasarkan atas hubungan tradisional antara permintaan terhadap karet alam dengan produksi barang jadi karet di negara-negara industri, di samping semakin meningkatnya permintaan dari negaranegara sedang berkembang dan permintaan baru terhadap produk-produk yang menggunakan lateks sebagai bahan bakunya (World Bank, 1988).

Berdasarkan perkiraan pada Tabel 4.4 tersebut laju pertumbuhan produksi karet alam yang besar akan terjadi pada periode 1995-2000, di mana peremajaan dan penanaman baru (replanting and newplanting) yang dilaksanakan sesudah tahun 1987 akan mulai meningkatkan produksi setelah tahun 1995, sehingga pertumbuhan produksi akan menjadi 3,9% per tahun. Tabel 4.4. Realisasi dan proyeksi produksi karet alam, menurut negara dan wilayah ekonomi ('000 Ton)... Negara/ Realisasi Proyeksi Growth (%) Wilayah 1986 1987 1990 1995 2000 1987-2000... ASIA : Malaysia 1.539 1.577 1.585 1.620 1.804 1,o Indonesia 1.034 1.096 1.155 1.310 1.645 3 ~ 2 Thailand 782 830 870 913 1.200 2,9 Srilanka 138 138 145 154 196 2,7 India 219 220 265 300 350 3,6 China 211 202 240 311 383 580 AFRIKA : Liberia Nigeria 55 59 7 0 8 0 85 2,s Ivory Coast 4 9 57 99 130 132 6,7 AMERIKA LATIN : Braz i 1 33 23 34 43 5 2 685... DUNIA 4.435 4.648 4.970 5.396 6.460 2.6... Sumber : World Bank. 1988. && ha1.310 Di antara negara-negara produsen karet alam ternyata Ivory Coast dan Brazil diperkirakan mempunyai pertumbuhan 8.: produksi yang paling tinggi, yaitu masing-masing 6,7% dan 6,5% per tahun dalam periode 1987-2000, disusul oleh China (5%), India (3,6%), dan Indonesia (3,2%). Sedangkan Thailand dan Malaysia diperkirakan akan mempunyai laju

pertumbuhan produksi sebesar 2,9% dan 1,0%. Dengan laju pertybuhan yang demikian maka sampai tahun 2000 pun Malaysia diperkirakan akan'tetap menduduki posisi sebagai produsen terbesar karet alam di dunia, yaitu dengan tingkat produksi 1.804 ribu ton atau 27,92% dari total produksi dunia. Disusul oleh Indonesia 1.645 ribu ton c (25,46%), Thailand 1.200 ribu ton (18,58%). Sedangkan negara-negara lainnya mempunyai tingkat produksi yang ratarata masih di bawah 400 ribu ton. Adanya dorongan harga dan peningkatan permintaan terhadap lateks diperkirakan akan mendorong perkebunanperkebunan besar di Malaysia untuk mengadakan diversifikasi jenis mutu produknya dan meningkatkan pangsa sektor perkebunan besarnya dari 28% pada tahun 1988 menjadi 33% pada tahun 2000. Di sektor perkebunan rakyat adanya peningkatan harga alcan mendorong usaha peremajaan sehingga akan meningkatkan produksinya setelah tahun 1995. Tetapi secara keseluruhan, tenaga ker ja akan tetap merupakan kendala dalam rangka merealisasikan potensi produksi karet alam di Malaysia tersebut. Sama halnya dengan di Malaysia, maka adanya penanaman (peremajaan dan penanaman baru) karet di Indonesia sesudah tahun 1987 merupakan respons terhadap keadaan pasar pada tahun 1987-1988. Tetapi karena perluasan areal dalam skala *; besar di Indonesia relatif lebih mungkin untuk dilakukan dibandingkan dengan di Malaysia, maka laju pertumbuhan produksi karet alam Indonesia dalam periode 1987-2000 diperkirakan lebih besar, yaitu 3,2% per tahun dibandingkan

dengan di Malaysia yang hanya 1% per tahun. Walaupun demikian proporsi antara perkebunan besar dan perkebunan rakyat di Indonesia pada tahun 2000 diperkirakan akan tetap stabil dalam perbandingan 29% dan 71%. Dengan asumsi bahwa peremajaan dan penanaman baru yang dilaksanakan di Thailand berjalan dengan normal (perkiraan saat ini), maka diperkirakan laju pertumbuhan produksinya sebesar 2,9% per tahun sehingga pada tahun 2000 produksinya menjadi 1.200 ribu ton. Tetapi jika kombinasi antara strategi pengembangan dengan perluasan areal yang akhirakhir ini sedang giat dilaksanakan berhasil, maka bukan tidak mungkin di masa datang tingkat produksinya akan berkembang lebih cepat lagi dan akan menjadi saingan berat bagi karet alam dari Indonesia. Jika pola pengembangan industri ban tetap berjalan seperti di waktu-waktu yang lalu, maka segmentasi pasok pun diperkirakan akan tetap terjadi, walaupun polanya agak berbeda. Dimana pada saat ini Malaysia, dengan kualitas kar.et yang relatif lebih baik, kebanyakan memasok industriindustri ban di Eropa Barat, Indonesia yang mayoritas memproduksi TSR memasok industri ban di Amerika Serikat, dan Thailand sebagian besar produksinya (dalam bentuk RSS) memasok industri ban Jepang. Tetapi di masa mendatang diperkirakan karet alam mutu rendah hanya akan digunakan *: oleh industri ban konvensional (cross-ply tires) di negaranegara sedang berkembang. Dengan lain perkataan, karena laju perkembangan teknologi industri ban di negara-negara maju yang lebih banyak memerlukan karet dengan mutu baik,

F? maka negara-negara industri akan lebih banyak mengimpor karet mutu baik ini. Dari berbagai argumentasi yang menjadi dasar bagi proyeksi yang dilakukan oleh John D. Carr maupun oleh World Bank, maka nampaknya Carr terlampau pesimistik dalam membuat perkiraan produksi karet alam Malaysia, sehingga pada tahun 2000 produksi karet alam Malaysia menurut perkiraanya lebih rendah dibandingkan perkiraan World Bank. Bahkan Malaysia diperkirakan rnempunyai produksi karet alam yang lebih rendah dari Indonesia. Di pihak lain dalam memproyeksikan produksi karet alam Indonesia terlihat sangat optimistik sehingga dibandingkan dengan hasil perkiraan World Bank maka perkiraan Carr untuk tahun 2000 jauh lebih tinggi dan dapat melampaui produksi karet alam Malaysia. Melihat berbagai argumentasi World Bank seperti dikemukakan terdahulu dan dari berbagai fakta tentang produksi serta kondisi areal pertanaman karet di setiap negara, maka hasil perkiraan dari World Bank nampaknya lebih dapat dipakai untuk dijadikan pedoman di masa yang akan datang, walaupun perkiraan produksi karet Thailand tetap masih lebih rendah jika dilihat realisasi produksinya pada tahun 1989. Dengan demikian perlu selalu diingat bahwa revisi dan penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan secara terus menerus akan sangat membantu di dalam menentukan tingkat akurasi hasil-hasil proyeksi tersebut. Namun demikian melihat perkembangan produksi karet alam Indonesia di masa lalu yang sejak tahun 1976 laju pertumbuhannya jauh lebih tinggi dari perkiraan World Bank

dalam periode 1987-2000, maka bukan tidak mungkin bahwa laju pertumbuhan produksi karet alam Indonesia di masa mendatang akan lebih besar dari perkiraan tersebut. Apalagi jika program-program konservasi lahan di kawasan hutan di masa mendatang menggunakan pertanaman karet seperti yang direncanakan di beberapa lokasi, maka laju pertumbuhan karet alam Indonesia akan tetap menjaga posisinya sebagai salah satu penghasil karet alam terbesar di dunia. Berbagai pihak atau lembaga telah melakukan perkiraanperkiraan tentang konsumsi atau permintaan dari karet alam di dunia ini. Namun dengan semakin lamanya perkiraan itu dilakukan, seringkali makin perlu untuk mengadakan penyesuaian-penyesuaian agar perkiraan tersebut tidak terlalu melenceng jauh. Penyesuaian tersebut perlu dilakukan karena memang semakin lama waktu perkiraan maka akan semakin penuh ketidak pastian, mengingat berbagai faktor yang mempengaruhinya pun (terutama politik, sosial dan ekonomi) selalu berkembang di dalam ketidak pastian.. Oleh karena itu perkiraan yang paling akhir adalah merupakan perkiraan yang seringkali dipakai untuk berbagai keperluan. Salah satu di antaranya adalah perkiraan dari Carr tersebut. Xebutuhan karet dunia sampai dengan tahun 2000 diperkirakan mencapai 20.630 ribu ton, di mana 6.220 ribu ton di antaranya adalah karet alam. Dengan demikian * i dalam periode 1990-2000 kebutuhan karet alam akan meningkat rata-rata 3,9% per tahun.

Tabel 4.5. Proyeksi produksi dan konsumsi karet alam dunia sampai tahun 2000, menurut Carr. ('000 Ton)... Tahun...... 1985*) 1990 1995 2000 - Produksi 4.340 4.922 5.636 6.367 - Xonsumsi 4.355 5.100 5.650 6.220... Imbangan -15-178 -14 +I47 ------------- -------------I------... *) realisasi Sumber : Carr, J.D. Juli 1986. dalam Budiman, AFS. 1989. u. hal. 13. Data pada Tabel 4.5 tersebut menunjukkan perkiraan konsumsi karet alam sampai tahun 1995 yang selalu lebih tinggi daripada- perkiraan produksinya. Sesudah mencapai tahun 2000 diperkirakan baru akan terjadi kelebihan suplai di pasaran karet alam dunia. Perkiraan yang lebih baru lagi dilakukan oleh Bank Dunia yang dikemukakan pada bulan November 1988. Sampai dengan tahun 2000 konsumsi karet alam dunia diperkirakan mencapai 6.460 ribu ton, atau selama periode 1987-2000 meningkat rata-rata 2,6% per tahun. Berdasarkan Perkiraan Bank Dunia kekurangan pasok karet *? alam di pasar dunia akan terjadi pada tahun 1990 dan 1995. Memang produksinya pada tahun 2000 diperkirakan lebih tinggi dari perkiraan Carr karena adanya laju pertumbuhan produksi yang relatif besar di beberapa negara produsen sebagai

akibat dari meningkatnya penanaman sesudah tahun 1987. Tabel 4.6. Proyeksi produksi dan konsumsi karet alam dunia sampai tahun 2000, menurut Bank Dunia. ('000 Ton)... Tahun... 1987*) 1990 1995 2000... - Produksi 4.648 4.970 5.396 6.460 - Konsumsi 4.648 4.990 5.715 6.460 Imbangan 0-20 - 319 0... *) realisasi Sumber : World Bank. 1988. w. hal. 310-311. Di samping itu tingkat konsumsinya juga diperkirakan lebih tinggi karena adanya kenaikan konsumsi yang cukup besar di negara-negara sedang berkembang, negara-negara industri baru (NICrs) dan Amerika Serikat. Negara-negara sedang berkembang di Asia, seperti Cina dan India, konsumsi karet alamnya terlihat semakin meningkat dengan laju pertumbuhan yang cukup tinggi, yaitu masing- masing 4,7% dan 5,4% per tahun. Peningkatan ini terjadi karena diperkirakan akan semakin berkembangnya usaha perbaikan dan perluasan sarana transportasi jalan raya. -? Negara-negara lainnya di Asia yang akan mengalami peningkatan konsumsi cukup besar adalah Korea Selatan dan Taiwan, yang sampai tahun 2000 masing-masing diperkirakan akan mengkonsumsi sebanyak 280 dan 220 ribu ton.

Tabel 4.7. Realisasi dan Proyeksi Konsumsi Karet Alam, menurut Negara dan Wilayah Ekonomi ('000 Ton)... Negara/ Realisasi Proyeksi Growth (%) Wilayah 1986 1987 1990 1995 2000 1987-2000... MEE - 820 l.36-763 - 790 840 ld2 -Jerman Barat 199 195 215 225 255 2,1 -Perancis 159 173 170 170 176 011 JEPANG - 540-535 - 576-666 - 640 J&& NON-MARKET 3 5 0 3 6 3-400 &x! 43.2 u AFRIKA - 95-138 150-170 195 AMERIKA LATIN 250 320-335 - 440 595 49 -Brazil 106 115 126 250 290 7t4... DUNIA 4.406 4.648 4.990 5.715 6.460 216...... *)tidak temasuk Taiwan Sumber : World Bank. 1988. u. hal. 311 *: Laju pertumbuhan konsumsi karet alam di Jepang dipbrkirakan tidak terlalu besar, yaitu hanya 1,4% per tahun, antara lain karena adanya pemindahan (transplants) beberapa pabrik kendaraan bermotornya ke Amerika Serikat dan Eropa, serta pemindahan pabrik-pabrik ban-nya ke Amerika Utara, Korea Selatan, Taiwan dan Cina. Tetapi karena penguasaan Jepang di dalam industri ban dan kendaraan bermotor di berbagai negara tersebut itu jugalah yang akan merupakan faktor yang menjadikan semakin besarnya peranan Jepang di dalam menentukan pola permintaan terhadap karet

alam di masa yang akan datang. Seperti diketahui adanya pengembangan produksi ban radial belum tentu menjadi penyebab dari peningkatan permintaan terhadap karet alam. Peningkatan penggunaan karet alam dalam setiap unit ban radial dihilangkan dengan usia pakainya yang lebih lama sehingga memperlambat t penggunaan ban pengganti (replacement tires). Oleh karena itu peningkatan konsumsi karet alam di Amerika Serikat yang diperkirakan cukup tinggi lebih banyak bukan aisebabkan radialisasi, tetapi karena adanya berbagai investasi baru dalam industri ban, terutama yang dilakukan Jepang, Jerman *; Barat dan negara-negara Eropa Barat Lainnya. Di samping itu adanya pengalihan pemilikan beberapa pabrik ban, seperti Firestone di Amerika Serikat yang dibeli Bridgestone (Jepang), dan terutama karena adanya pemindahan industri kendaraan bermotor Jepang ke Amerika Serikat, sedikit banyak membantu meningkatkan konsumsi karet alam Amerika Serikat. Dengan perkiraan akan meningkatnya kapasitas produksi industri karet sintetik dari 12,5 juta ton pada tahun 1987 menjadi 17,l juta ton pada tahun 2000, akan memperkuat daya saingnya terhadap karet alam. Dengan kapasitas produksi industri karet sintetik yang baru pada tahun 1989/1990, pangsa suplai karet alam akan menurun dari 32,5% pada tahun 1987 menjadi 29% pada tahun 1995. Tetapi dengan adanya peningkatan yang pesat dalam produksi karet alam sesudah 1995 akan menurunkan harga relatifnya sehingga pangsa karet alam ini akan meningkat kembali menjadi 32% pada tahun 2000 (World Bank, 1988).

Adanya perkembangan industri barang jadi karet di negara-negara sedang berkembang membawa perubahan dalam pola perdagangan dari karet alam ini. Jenis mutu tinggi dari RSS dan TSR (khususnya dari Malaysia dan Indonesia) akan diekspor ke negara-negara industri yang memproduksi ban radial dengan kualitas tinggi dan terintegrasi (highperformance radial and integrated tires). Demikian juga halnya dengan produk-produk latek pekat kualitas tinggi akan banyak diekspor ke negara-negara industri untuk produkproduk bernilai tinggi, dan produk-produk yang hanya bisa diproduksi dengan bahan baku lateks karet alam. Sebaliknya jenis-jenis mutu rendah dari RSS dan TSR (terutama dari Indonesia dan Thailand) akan banyak diekspor ke negara-negara industri baru (NIC's) seperti Korea Selatan, Taiwan, Cina dan Brazil serta beberapa negara di Timur Tengah dan Eropa Timur. Dengan perkiraan seperti tersebut di atas berarti di masa yang akan datang masing-masing negara produsen akan dan harp berusaha untuk selalu mengadakan penyesuaian diri dengan pola permintaan pasar yang strukturnya sangat dipengaruhi oleh negara konsumen maupun jenis-jenis barang yang diproduksinya.

4.4. Pola Produksi dan Pemasaran Karet Alam Indonesia 4.4.1. sub sistim ~roduksi dan vemasaran bahan olah karet - 7 Tanaman karet (Hevea braziliensis), pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1876 dibawa oleh orang Belanda dan ditanam di Kebun Raya Bogor. Selanjutnya disebarluaskan dan dikembangbiakkan di berbagai daerah, serta diusahakan sebagai perkebunan mulai tahun 1902 di Sumatera Utara. Sampai dengan tahun 1989 tanaman karet ini sudah mencapai lebih kurang 3 juta hektar yang tersebar di tiga belas propinsi, dengan 2,5 juta hektar (82,742) di antaranya adalah perkebunan rakyat (PR), 286 ribu (9,32%) perkebunan negara (PTP), dan 244 ribu (7,94%) perkebunan besar swasta (PBS). Dengan areal perkebunan rakyat yang lebih dari 80% maka produk karet yang dihasilkan kebanyakan merupakan produk yang berasal dari perkebunan rakyat. Hal ini terlihat dari produksi karet tahun 1988, dari perkebunan rakyat sebanyak 835 ribu ton (71,48%), PTP 200 ribu ton (17,14%), dan PBS 133 ribu ton (11,38%). sebagian besar karet rakyat terdiri dari tanaman tua, oleh karena itulah produktifitasnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan perkebunan besar, baik PTP maupun PBS. Hal ini dapat dilihat dari pangsa produksi karet rakyat yang lebih kecil dibandingkan dengan pangsa luas arealnya. Jika dilihat dari produktifitas di setiap propinsi pun ternyata bahwa hampir di semua daerah produksi utama karet rakyat, produktifitas rata-ratanya relatif rendah.

Beberapa program pemerintah yang ditujukan untuk meningkatkan produktifitas perkebunan rakyat ini telah dijalankan, walaupun terkait dengan tujuan lainnya yang jauh lebih luas. Program pemerintah dimaksud dapat dikelompokkan menjadi dual yaitu yang termasuk pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR berbantuan, PIR khusus, PIR lokal) dan Unit Pelaksana Q Proyek (UPP) yang antara lain terdiri dari Proyek Rehabilitasi dan Peremajaan Tanaman Ekspor (PRPTE), Proyek Pengembangan Karet Rakyat (PPKR) atau Smallholder Rubber Development Project (SRDP), dan proyek-proyek lainnya. Namun demikian usaha yang telah dilakukan sejak beberapa tahun yang lalu tersebut baru menjangkau luas areal yang relatif terbatas, yaitu baru mencapai lebih kurang 10% dari luas areal perkebunan karet rakyat yang ada. Oleh karena itu sampai saat ini secara keseluruhan luas areal karet rakyat masih tergolong ke dalam areal yang mempunyai produktifitas rendah. Banyaknya hasil perkebunan rakyat yang mendominasi karet Indonesia sudah barang tentu mempunyai konsekuensi bahwa produk-produk yang dihasilkannya merupakan produk yang kualitasnya relatif rendah, karena hanya dilakukan dengan mengolah lateksnya secara sederhana menjadi ojol (lump), slab, dan atau skrep (scrap). Jenis-jenis tersebut dikelompokkan ke dalam apa yang disebut sebagai bahan olah karet rakyat (bokar), yang merupakan bahan baku bagi L-: industri-industri pengolahan karet remah (crumb rubber). Sangat sederhananya cara pengolahan dan didesak oleh kebutuhan ekonominya, maka para petani karet rakyat biasanya

menghasilkan bahan olah yang mutunya sangat rendah. Bahkan di beberapa daerah produksi, kadar karet kering (kkk) dari bahan olah yang dihasilkannya hanya mencapai 40-45%. Namun demikian ada juga petani di beberapa daerah yang menghasilkan bokar dengan kualitas relatif baik, yaitu sit angin (air dried sheet) dan sit asap (ribbed smoked sheet) yang masih tergolong kualitas rendah, seperti RSS-4 dan RSS- 5, walaupun jumlahnya relatif sedikit. Jika hasil akhir petani karet rakyat biasanya dalam bentuk bokar yang merupakan bahan baku dari industri pengolahan lebih lanjut, maka perkebunan besar, baik perkebunan negara maupun perkebunan besar swasta, pada umumnya memproduksi lateks yang oleh masing-masing pabrik miliknya sendiri diproses lebih lanjut menjadi bahan mentah, baik dalam bentuk karet konvensional, karet spesifikasi teknis, maupun lateks pekat. Namun sebagian besar bahan olah karet yang dihasilkan perkebunan besar ini dijadikan bahan baku untuk pembuatan sheet, terutama yang meliputi sheet grade tinggi seperti RSS-1 dan RSS-2. Dengan demikian kualitas bahan mentah yang dihasilkan dari bahan olah karet perkebunan besar akan lebih baik jika dibandingkan dengan bahan mentah yang dihasilkan dari bahan olah karet rakyat. Bahan olah karet yang dihasilkan oleh rakyat hampir seluruhnya dijual kepada para pedagang perantara, baik *: tingkat desa, kecamatan, maupun kabupaten. Ada di antaranya yang dijual langsung ke pabrik, khususnya bahan olah karet milik rakyat yang lokasi perkebunannya dekat dengan pabrik pengolahan. Di samping itu ada juga yang cara penjualannya

t dilakukan dengan melalui pasar lelang. Namun kedua cara terakhir ini hanya meliputi sebagian kecil saja dari karet rakyat yang dihasilkan, dan hanya terletak di beberapa lokasi yang pada umum'nya mendapat pembinaan langsung dari petugas-patugas pemerintah. Seperti misalnya yang terjadi di daerah Prabumulih, Sumatera Selatan, para petani peserta proyek PPKR menjual hasil produksinya dalam bentuk sit angin * 7 dengan melalui lelang yang diikuti para pedagang perantara, yang biasanya terdiri dari agen-agen dari pabrik pengolahan. Tetapi bahan olah karet yang dilelang atau dijual langsung, tanpa melalui pedagang perantara, jumlahnya masih sangat terbatas dibandingkan dengan seluruh hasil produksi karet rakyat di daerah tersebut. Bahan olah karet rakyat tersebut yang kualitasnya jauh lebih baik dibandingkan dengan kualitas bahan olah karet rakyat pada umumnya, oleh para agen tersebut dikirim atau dijual kembali kepada pabrikpabrik pengolahan yang akan memprosesnya lebih lanjut menjadi TSR dengan grade yang relatif tinggi, seperti SIR-5 atau SIR-10. Tetapi karena jumlahnya yang tidak banyak, maka adanya usaha perbaikan sistim produksi dan pemasaran bahan olah karet tersebut belum membawa dampak luas bagi perbaikan yang menyeluruh. Sedangkan para pengusaha perkebunan besar, karena masing-masing mempunyai luas areal yang jauh lebih besar, maka hampir seluruhnya mempunyai unit-unit pengolahan lebih lanjut, sehingga barang akhir yang dihasilkan dan dijual oleh perkebunan besar tidak dalam bentuk bahan olah karet, melainkan sudah merupakan bahan mentah, untuk dijual

langsung ke luar negeri. 4.4.2. Sub sistim vroduksi dan Demasaran bahan mentah Bahan mentah karet adalah merupakan hasil pengolahan t lebih lanjut dari bahan olah karet yang dihasilkan oleh perkebunan rakyat maupun perkebunan besar, dan merupakan bahan baku dari industri-industri barang jadi karet. Secara umum bahan mentah ini dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu (1) karet konvensional atau "visually grade", (2) karet spesifikasi teknis (technically specified rubber), dan (3) lateks pekat. Perkebunan karet negara (PTP) dan perkebunan swasta (PBS) sebagian besar hasil produksi akhirnya berupa karet konvensional, yang terdiri dari jenis-jenis RSS, mulai dari RSS-1, 2, 3, dan 4 serta Crepe yang semuanya itu dikelompokkan sebagai karet tlvisually graden, karena penetapan mutunya hanya ditentukan secara visual. Selain it^ beberapa perke-bunan besar ini juga memproduksi lateks pekat. Dengan demikian karet konvensional dan lateks pekat hampir semuanya dihasilkan langsung oleh produsen bahan olahnya, atau pemilik-pemilik perkebunan karetnya. Ada beberapa perkebunan besar yang juga menghasilkan karet spesifikasi teknis atau yang lebih dikenal sebagai karet L.: remah (crumb rubber) dari mutu yang tinggi, seperti SIR 5 CV, SIR 5 LV, SIR 5 L, SIR 5% SIR 10, dan SIR 20, walaupun sebagian besar karet remah ini sihasilkan oleh industri pengolahan swasta yang pada umumnya tidak memiliki kebun

karet. Oleh karena itu biasanya industri-industri pengolahan karet remah ini memperoleh sebagian besar bokarnya dari perkebunan-perkebun-an rakyat. Karet remah yang umwnnya dihasilkan oleh industri pengolahan ini sebagian besar terdiri dari jenis mutu SIR 20 dan SIR 50, di mana dalam perkembangan terakhir jenis mutu SIR 50 dimasukkan ke dalam jenis yang tidak boleh diekspor. Karet remah yang dihasilkan oleh industri pengolahan dengan menggunakan bahan baku berasal dari bokar, kebanyakan merupakan karet remah dengan tingkat konsistensi yang seringkali dipemasalahkan oleh para pemakainya, terutama dari kalangan industri ban otomotif. Keberatan-keberatan yang diajukan oleh konsumen karet remah Indonesia di luar negeri pada umumnya menyangkut masalah keragaman mutu teknisnya serta adanya berbagai kontaminan yang seringkali ditemukan. Hal ini bisa dimengerti jika dilihat dari sangat beragamnya bahan baku yang digunakan untuk pembuatan karet remah tersebut, Kebanyakan karet remah Indonesia berasal dari bokar yang mutu teknisnya beragam, dengan kandungan kontaminan seperti tanah, pasir, serpihan kayu, seratltali plastik, sandal jepit karet, bahkan pernah ditemukan kunci pas yang tentu semuanya akan menghambat proses produksi lebih lanjut. Pada mulanya karet yang dihasilkan Indonesia terdiri r; dari jenis-jenis mutu karet visual, seperti halnya yang dihasilkan oleh negara-negara produsen lainnya. Tetapi dengan diperkenalkannya karet alam dengan kemasan yang relatif lebih baik (menyerupai karet sintetik) dan penentuan

mutunya dapat dilakukan secara teknis, serta semakin meningkatnya permintaan terhadap karet jenis mutu TSR tersebut, maka para produsen karet di Indonesia sejak tahun 1968 mulai mempro-duksinya. Hal ini yang oleh kalangan industriawan barang jadi karet di Jepang dikatakan sebagai "Goodyear revolution" karena memang yang paling banyak mengkonsumsi TSR dari Indonesia adalah perusahaan ban Goodyear, atau paling tidak perusahaan ban Amerika Serikat. Sejak tahun 1969 Indonesia melakukan ekspor TSR, yang lama kelamaan semakin meningkat volumenya. Sampai tahun 1989 komposisi produksi dan ekspor karet alam Indonesia lebih kurang dapat digambarkan oleh perkembangan ekspornya. Pada tahun 1969 ekspor jenis mutu TSR dari Indonesia baru mencapai 8,4 ribu ton, atau 1,0% dari total ekspor karetnya, maka pada tahun 1989 ekspor TSR meningkat dengan pesat menjadi 958,89 ribu ton atau 85,83%-nya. Namun demikian dari seluruh TSR yang diekspor Indonesia pada setiap tahunnya ternyata rata-rata pangsa TSR dari jenis mutu yang relatif rendah cukup besar, seperti misalnya untuk tahun 1989 ekspor TSR dari jenis mutu terendah (SIR-20) mencapai 69,47% dari total ekspor karet (lihat Lampiran 5). Adanya produksi TSR yang terus meningkat sampai saat ini kelihatannya tidak merupakan masalah, terutama di dalam pemasarannya, karena ternyata setiap kilogram TSR yang -: diproduksi dan dijualnya tetap laku di pasaran. Namun demikian di dalam kenyataannya ada beberapa ha1 yang mengakibatkan kurang optimalnya pemasaran karet dari Indonesia tersebut, terutama yang berkaitan dengan

perkembangan permintaan karet akibat adanya perkembangan teknologi industri ban otomotif di berbagai negara konsumen. Keadaan ini dapat dilihat dari perkembangan harga karet alam yang terjadi di pasaran (lihat Lampiran 9). Jika dilihat dari perkembangan harga antar jenis karet alam, maka untuk grade yang relatif sama (misalnya antara RSSl dengan TSR 10, dan RSS 3 dengan TSR 20) jenis mutu RSS selalu lebih tinggi daripada jenis mutu TSR. Oleh karena itu dalam perkembangan persaingan antar industri ban, selain masalah kualitas dari ban dan bahan bakunya, juga persaingan dalam ha1 harga ban. Hal ini diartikan oleh bebeberapa industri ban (terutama di Jepang) dengan menggantikan bahan baku karet alam jenis mutu RSS dengan jenis mutu TSR, atau paling tidak mengadakan pencampuran di antara keduanya, dalam rangka menurunkan biaya bahan bakunya. Bagi negara produsen sendiri perbedaan antara harga karet alam jenis mutu RSS dengan TSR yang setara adalah sangat berarti, terutama negara produsen utama yang pangsa ekspor karet alamnya cukup besar dalam total ekspornya. Negara produsen yang mayoritas mengekspor jenis mutu RSS (seperti Thailand) seringkali memperoleh nilai per unit karet alam yang diekspor lebih tinggi dibandingkan dengan produsen yang mayoritas mengekspor jenis mutu TSR, seperti Indonesia (lihat Tabel 4.8). Dari data ekspor karet alam *: Indonesia dan Thailand periode 1981-1987 terlihat bahwa nilai per unit karet alam yang diekspor Indonesia lebih tinggi dari Thailand hanya pada tahun-tahun 1984 dan 1986, di mana perbedaannyapun sangat kecil sekali.

Tabel 4.8. Volume dan Uilai Ekapor li[ara+ Alam Indonesia dan Thailand 1981-1987. Indonesia Thailand Tahun -- (Ton) ('000 us$) (us$/lbg) (-I (.OOO us$) sumbet : 1) BPS 2) Thailand Rubber Statistics, Vo1.17(1988)Uo.l-2 (diolah) Sedangkan tahun-tahun lainnya Indonesia selalu mengekspor karet alamnya dengan nilai per unit yang lebih rendah dari ekspor karet alam Thailand. Hal ini dapat dimengerti mengingat bahwa harga karet jenis mutu RSS yang selalu lebih tinggi dari TSR (lihat Lanpiran 9), sedangkan ekspor karet alam Indonesia kebanyakan dari jenis mutu TSR, dan sebaliknya yang terjadi dengan ekspor dari Thailand. Di samping itu untuk jenis mutu yang samapun seringkali para pembeli menghargai dengan harga yang berbeda, terutama karena perbedaan dalam sifat fisik dan konsistensinya. Seperti misalnya untuk karet alam Indonesia yang *: diekspor ke Amerika Serikat ternyata selalu memperoleh harga yang lebih rendah jika dibandingkan dengan harga karet alam dari Thailand dan Malaysia (lihat Lampiran 4). Pada tahun 1988 TSR 20 yang diekspor Indonesia harganya mencapai US$