PERTUMBUHAN SEMAI Rhizophora Apiculata DI AREA RESTORASI MANGROVE TAMAN NASIONAL SEMBILANG SUMATERA SELATAN

dokumen-dokumen yang mirip
STRUKTUR VEGETASI MANGROVE ALAMI DI AREAL TAMAN NASIONAL SEMBILANG BANYUASIN SUMATERA SELATAN

Perubahan Luasan Mangrove dengan Menggunakan Teknik Penginderaan Jauh Di Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan

A. LAPORAN HASIL PENELITIAN

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

ZONASI TUMBUHAN UTAMA PENYUSUN MANGROVE BERDASARKAN TINGKAT SALINITAS AIR LAUT DI DESA TELING KECAMATAN TOMBARIRI

FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2016

DEGRADASI DAN PERTUMBUHAN MANGROVE PADA LAHAN BEKAS TAMBAK DI SOLOK BUNTU TAMAN NASIONAL SEMBILANG SUMATERA SELATAN

BAB III METODE PENELITIAN

Kata kunci: rehabilitasi, mangrove, silvofhisery

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

RESPON PERTUMBUHAN DAN BIOMASSA SEMAI Bakau Minyak (Rhizopora apiculata BI) TERHADAP SALINITAS DAN KANDUNGAN LIPIDNYA PADA TINGKAT POHON

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

KORELASI ANTARA KERAPATAN AVICENNIA DENGAN KARAKTERISTIK SEDIMEN DI KAWASAN HUTAN MANGROVE DESA SUNGAI RAWA KABUPATEN SIAK, RIAU

Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Di Pulau Mantehage

ANALISIS FINANSIAL USAHA BUDIDAYA TAMBAK SISTEM TRADISIONAL DAN SILVOFISHERY DI AREA RESTORASI TAMAN NASIONAL SEMBILANG SUMATERA SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Peta lokasi

PEMANFAATAN PERSEMAIAN BERTINGKAT UNTUK PRODUKSI BIBIT DALAM KERANGKA REHABILITASI HUTAN MANGROVE SPESIFIK LOKASI. Bau Toknok 1 Wardah 1 1

PENDAHULUAN Latar Belakang

ANALISIS VEGETASI DAN STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI TELUK BENOA-BALI. Dwi Budi Wiyanto 1 dan Elok Faiqoh 2.

VI. SIMPULAN DAN SARAN

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2011

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan erat. Selain keunikannya, terdapat beragam fungsi yang dapat dihasilkan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove

PENYELAMATAN DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI DARI BAHAYA EROSI

RESPON PERTUMBUHAN BIBIT BAKAU (Rhizophora apiculata Bl.) TERHADAP PEMBERIAN AIR KELAPA PADA BERBAGAI KONSENTRASI E JURNAL

PROPOSAL PRAKTEK KERJA LAPANGAN BALAI TAMAN NASIONAL KARIMUN JAWA ANALISA VEGETASI MANGROVE DI PULAU KEMUJAN, KEPULAUAN KARIMUN JAWA, JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Mangrove/bakau adalah tanaman alternatif terbaik sebagai

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU Scylla paramamosain Estampador DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG.

UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN BIBIT

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. V, No. 1 : (1999)

Gambar 3. Peta lokasi penelitian

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN

Laju Pertumbuhan Rumput Laut Gracilaria sp dengan Metode Rak Bertingkat di Perairan Kalianda, Lampung Selatan

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. dipengaruhi pasang surut air laut. Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan

STRUKTUR VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DI KECAMATAN MERBAU KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI

TEKNIK REHABILITASI (REVEGETASI) LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI Sumbangsih Pengalaman dan Pembelajaran Restorasi Gambut dari Sumatera Selatan dan Jambi

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2013

dan ~erkembangnya berbagai ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB I PENDAHULUAN. bantu yang mampu merangsang pembelajaran secara efektif dan efisien.

Community Structure of Mangrove in Sungai Alam Village Bengkalis Sub Regency, Bengkalis Regency, Riau Province

Analisis Vegetasi Mangrove di Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3. No. 1, Maret 2012: ISSN :

Tingkat Keberhasilan Penanaman Mangrove pada Lahan Pasca Penambangan Timah di Kabupaten Bangka Selatan

Struktur dan Komposisi Mangrove di Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara Jamili

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR

Spacing Effect on the Percentage of Life and Growth of Rhizophora Apiculata in Mangrove Education Center Marine Station University of Riau

Struktur Vegetasi Mangrove di Desa Ponelo Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian. Kabupaten Gorontalo Utara merupakan wilayah administrasi yang

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Dudepo merupakan salah satu pulau kecil berpenduduk yang berada

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013.

BAB I PENDAHULUAN. dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan

BAB III METODE PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2016

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

Keanekaragaman Jenis dan Indeks Nilai Penting Mangrove di Desa Tabulo Selatan Kecamatan Mananggu Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo

ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS

PENGARUH SALINITAS TERHADAP PERTUMBUHAN DAN BIOMASSA SEMAI NON-SEKRESI Ceriops tagal DAN KANDUNGAN LIPID PADA TINGKAT POHON

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, April 2010, hlm ISSN

IDENTIFIKASI POPULASI MAKROZOOBENTOS DI KAWASAN EKOSISTEM MANGROVE DESA LADONG ACEH BESAR. Lili Kasmini 11 ABSTRAK

4 KERUSAKAN EKOSISTEM

TINJAUAN PUSTAKA. dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, NOMOR : 201 TAHUN 2004 TENTANG KRITERIA BAKU DAN PEDOMAN PENENTUAN KERUSAKAN MANGROVE

KOMPOSISI VEGETASI HUTAN MANGROVE DI PANTAI MOJO KECAMATAN ULUJAMI KABUPATEN PEMALANG PROVINSI JAWA TENGAH

STRATIFIKASI HUTAN MANGROVE DI KANAGARIAN CAROCOK ANAU KECAMATAN KOTO XI TARUSAN KABUPATEN PESISIR SELATAN

Taman Nasional Sembilang

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Muhammadiyah Yogyakarta di Desa Tamantirto, Kecamatan Kasihan, Kabupaten

Transkripsi:

MASPARI JOURNAL Juli 2015, 7(2):11-18 PERTUMBUHAN SEMAI Rhizophora Apiculata DI AREA RESTORASI MANGROVE TAMAN NASIONAL SEMBILANG SUMATERA SELATAN SEEDLING GROWTH OF Rhizophora apiculata AT MANGROVE RESTORATION AREA SEMBILANG NATIONAL PARK SOUTH SUMATERA Dian Rahmat 1), Fauziyah 1), dan Sarno 2) 1) Program Studi Ilmu Kelautan, FMIPA, Universitas Sriwijaya, Indralaya, Indonesia 2) Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Sriwijaya, Indralaya, Indonesia Email: dianrahmat452@yahoo.com Registrasi: 23 November 2013; Diterima setelah perbaikan: 25 Maret 2014; Disetujui terbit: 13 Mei 2014 ABSTRAK Mangrove merupakan suatu komunitas vegetasi pantai yang di dominasi oleh beberapa spesies pohon pohonan yang khas. Salah satu kerusakan mangrove disebabkan oleh kegiatan manusia yaitu penebangan liar dan konversi lahan menjadi tambak. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pertumbuhan semai Rhizophora apiculata serta menentukan tingkat keberhasilan semai Rhizophora apiculata pada usia 1,5 tahun di area restorasi Taman Nasional Sembilang, Banyuasin. Metode yang digunakan adalah eksperimen lapangan dengan kombinasi perlakuan antara jarak tanam (4 x 4 dan 5 x 5) dengan cara tanam polibag dan propagul. Hasil analisis sidik ragam ANOVA memperlihatkan, tidak ada pengaruh nyata pertumbuhan semai mangrove Rhizhophora apiculata, yang ditunjukkan dengan pertumbuhan tinggi tunas, diameter tunas, dan jumlah akar pada setiap kombinasi perlakuan. Rata- rata laju pertumbuhan tinggi tunas adalah 16 cm, diameter tunas adalah 1 cm, dan rata-rata jumlah akar adalah 10. Akan tetapi, Persentase kelulusan hidup dengan cara tanam propagul lebih baik yaitu 75% di bandingkan dengan propagul yaitu 61,5 %. KATA KUNCI: Pertumbuhan, restorasi, Rhizophora apiculata, semai, TNS. ABSTRACT Mangrove is a vegetation community which has dominated by a few species of typical trees. Mangrove destruction can be by human activity, such as illegal logging and conversion of land to fish ponds. The aims of this reasearch are to assess the growth of Rhizophora apiculata and Determining the survival rate of Rhizophora apiculata seedlings at the age of 1,5 years in restoration area of Nasional Sembilang Park, South Sumatera. The method used was a field experiment with treatments combination were spacing (4 x 4 and 5 x 5) with polybag s planting and propagule's planting. the Results of ANOVA (analysis of variance) showed no real effect to growth up of mangrove seedlings Rhizhophora apiculata, indicated by high growth, diameter, and number of roots that exist in each treatment combination. Average growth rate of buds high was 16 cm, diameter of the buds was 1 cm, and the average number of roots was 10. However, the percentage of propagules s live was 75% better when it compared with propagules which has 61.5 %. KEYWORDS: Growth, restoration, Rhizophora apiculata, seedlings, TNS.

Dian Rahmat et al. 1. PENDAHULUAN Taman Nasional Sembilang (TNS) yang terletak di pesisir timur Provinsi merupakan kawasan lahan basah yang sebagian besar terdiri dari hutan mangrove dengan hutan rawa air tawar dan hutan rawa gambut yang terletak di belakangnya. Hutan mangrove yang meluas hingga 35 km ke arah darat (hulu) dikawasan ini merupakan sebagian kawasan hutan mangrove terluas yang tersisa disepanjang pantai timur pulau Sumatera. Ekosistem mangrove adalah habitat terbesar di TNS Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan dan merupakan kawasan mangrove terluas di Indonesia Bagian Barat. Jumlah mangrove di Kabupaten Banyuasin yaitu dari 91.679 ha pada tahun 2003 menyusut menjadi 83.447 ha pada tahun 2009. Perubahan luasan mangrove dalam kurun waktu 6 tahun 2003-2009 yaitu sebesar 8.232 ha. Hal ini menandakan bahwa luasan mangrove di Kabupaten Banyuasin terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun, sehingga perlu adanya tindakan pelestarian di kawasan konservasi tersebut. (Indica et al. 2009) Menurut Suwignyo et al (2011) penyebab kerusakan mangrove di kawasan TNS antara lain ilegal logging, kegiatan budidaya atau pembuatan tambak khususnya di Semenanjung Banyuasin. Adanya aktifitas tambak tersebut telah mengakibatkan terjadinya degradasi mangrove khususnya di area greenbelt (sabuk hijau) Penelitian ini dilakukan untuk Menganalisa pertumbuhan semai Rhizophora apiculata pada area restorasi mangrove dan Menentukan tingkat keberhasilan semai Rhizophora apiculata di area restorasi TNS Banyuasin. 2. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2012 Oktober 2013 di kawasan restorasi mangrove TNS. Gambar 1. Lokasi Penelitian Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :GPS, Hand Refraktometer, ph Meter, Termometer Digital, Lux Meter, Meteran, Jangka Sorong, Kamera, Sheet Pengamatan, serta Petakan tambak yang telah ditanami Bibit mangrove Rhizophora apiculata yang telah berumur kurang lebih 1 tahun 5 bulan yang telah memasuki fase Semai untuk tingkat mangrove. Metode yang digunakan pada pengamatan ini adalah metode field eksperiment (eksperimen lapangan) dengan melakukan pengamatan di 4 tambak berukuran masing- masing 2 ha tambak. Pada masing- masing stasiun ( tambak berukuran 2 hektar) di bagi menjadi 9 plot. Hal ini di lakukan agar dapat di tentukan berapa banyak pengambilan sampel yang harus di lakukan, sehingga dapat mewakili setiap area, Liemas (1991) menyatakan bahwa penetapan jumlah sampel di setiap stasiun dengan taraf nyata percobaan 5 % dari bibit yang ada pada setiap stasiun, dapat di tentukan jumlah pengambilan sampel di setiap stasiun. 12

Dian Rahmat et al. Metode Pengukuran dan pengambilan sampel adalah sebagai berikut: 1. Jarak tanam 4x4 m jumlah tanaman sebanyak 1250 batang, dengan taraf nyata percobaan 5 %, sehingga di dapatkan 63 sampel yang harus di bagi ke 9 plot yaitu 7 sampel per plot. 2. Jarak tanam 5x5 m jumlah tanaman sebanyak 800 batang, dengan taraf nyata percobaan 5 %, sehingga di dapatkan 45 sampel yang harus di bagi ke 9 plot yaitu 5 sampel per plot. Pengukuran Pertumbuhan Rhizophora apiculata a. Pertumbuhan tinggi tunas di ukur menggunakan meteran kain, yang di ukur mulai dari pangkal tunas sampai titik tumbuh tanaman b. Pengukuran diameter tunas dilakukan dengan menggunakan jangka sorong, yang di ukur di pangkal tunas. c. Pengukuran jumlah akar di lakukan dengan cara mengukur secara langsung dengan melihat berapa banyak akar yang terdapat pada sampe tersebut. Jumlah akar pada seluruh semai dihitung selama pengamatan Analisis Data Analisa data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan 2 cara yaitu : 1. Data Pertumbuhan dan kelangsungan hidup dilakukan dengan menggunakan perhitungan Khazali(2005) serta mendeskripsikan hasil yang di dapat, dengan cara memberikan gambaran objek yang di teliti melaui data sampel sebagaimana adanya. 2. Pengaruh kombinasi pertumbuhan yaitu dilakukan dengan menggunakan analisa statistik. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Masyarakat Area Tambak di TNS Berdasarkan baku mutu, dapat terlihat bahwa kondisi lingkungan di lokasi penelitian dapat dikatakan sesuai untuk area pertumbuhan mangrove karena masuk dalam kriteria baku mutu. Tabel 4. Hasil pengukuran parameter lingkungan Parameter Rata-rata Baku Mutu Suhu 29,5 23-32 C (Permen LH No. 51 Tahun 2004) Salinitas 16 10-30 ppt (Kusmana (2005) 10-30 ppt) ph 8 7-8,5 (Permen LH No.51 Tahun Cahaya 700 2004) 650 lux (Syamsuwida dan Aminah. (2010)) Suhu perairan di lokasi pengamatan di Taman Nasional Sembilang memiliki rata- rata 29,5 C. Berdasarkan baku mutu yang ditetapkan, suhu yang baik untuk pertumbuhan mangrove berkisar antara 28-32 C. Salinitas air merupakan faktor penting dalam pertumbuhan, daya tahan dan zonasi spesies mangrove. Menurut Kusmana (1993) berdasarkan Tabel 3, kisaran salinitas antara 16 ppt. Hal ini menunjukkan tingkat salinitas di lokasi pengamatan sudah sesuai untuk pertumbuhan mangrove. Derajat keasaman menunjuk kan bahwa derajat keasaman di lokasi pengamatan pada keadaan basa yaitu 8, Hasil ini merupakan derajat keasaman yang layak bagi keberlangsungan hidup 13

tinggi (cm) Dian Rahmat et al. bagi biota laut yang sesuai dengan baku mutu berkisar antara 7-8,5. Hal ini dapat dikatakan sesuai untuk area pertumbuhan mangrove yang di butuhkan. Intensitas cahaya matahari rata - rata 700 lux. Intensitas yang masuk ke lokasi pengamatan cukup untuk tanaman bertumbuh. Hal ini sesuai dengan Syamsuwida dan Aminah (2010) yang menyatakan bahwa tanaman bakau pada tingkat semai dapat di hambat pada kondisi cahaya tinggi dengan intensitas cahaya antara sedang (8935 lux) dan berat (17.593 lux) dibandingkan dengan naungan ringan (650 lux). Tabel 2. Persentase hidup semai mangrove Rhizophora apiculata Jumlah Persentase Stasiun Kombinasi Hidup Mati semai (%) Keterangan 1 (4x4 Propagu) 1250 905 345 72,4 Berhasil 2 (5x5 propagul) 800 625 175 78,1 Berhasil 3 (4x4 polibek) 1250 790 460 63 Berhasil 4 (5x5 polibek) 800 475 325 60 Berhasil Tingkat Kelangsungan Hidup Semai Mangrove Rhizophora apiculata Pengamatan terhitung mulai bulan Oktober 2012 sampai Oktober 2013. Jumlah bibit mangrove pada awal sampai akhir penelitian ini mengalami perubahan. Pengamatan ini dianggap berhasil karena memiliki tingkat kelangsungan hidup yang lebih dari 55%. Hal ini sesuai dengan pendapat Elly (2008 yang menyatakan tingkat kelulushidupan mangrove yang melebihi 55% dianggap berhasil. Pertumbuhan Mangrove Tinggi tunas Berdasarkan hasil pengamatan tinggi tunas Rhizophora apiculata di TNS yang menggunakan kombinasi perlakuan yaitu antara cara tanam dan jarak tanam, tidak terlihat pertumbuhan yang signifikan antar stasiun yang menggunakan kombinasi perlakuan yang berbeda, yaitu antara propagul dan polibek serta jarak tanam 4 x 4 dan 5 x 5. 50 0 A1 B1 A1 B2 A2 B1 A2 B2 Perlakuan Gambar 2. Rata rata tinggi tunas Mengacu pada data diatas, Pada pengukuran ke tiga dan ke empatlah di setiap stasiun mulai terjadi penambahan rata- rata tinggi yang signifikan antar stasiun. Perubahan musim antara musim kemarau ke musim penghujan yaitu bulan Juli - Oktober menyebabkan serangan hama pada periode ini semakin membuat pertumbuhan tidak merata dengan baik, banyak kondisi bibit yang mengalami pertumbuhan yang stuck ataupun lambat tetapi mengingat kondisi yang ada, pertumbuhan menjadi rata- rata di setiap pertumbuhannya. Hama yang ada di lokasi penelitian adalah ulat bulu, ulat bulu biasanya menyerang bagian daun serta 14

tdiameter (cm) Dian Rahmat et al. bagian tunas sehingga kondisi ini akan membuat tanaman akan sulit untuk beradaptasi dengan lingkungan. Untuk A1 B1 dan A1 B2 yang berada pada blok 1 terlihat bahwa kemampuan bertahan lebih besar dari pada A2 B1 dan A2 B2 yang berada pada blok 2 penelitian. Lokasi penelitian yang mempunyai jarak dapat menyebabkan penyebaran hama yang tidak merata. Kondisi ini terjadi pada blok 2 pada stasiun A2 B1 dan A2 B2 sehingga pertumbuhannya terhambat. Hama yang terdapat pada lokasi blok 2 lebih besar di bandingkan dengan blok 1. Tanaman yang terserang hama dapat ditandai dengan adanya bekas gigitan dari serangga atau kepiting di propagul, Kemampuan bertahan tanaman merupakan faktor penting dalam pertumbuhan, hal ini terlihat pada A2 B2 yang rata- rata laju pertumbuhan antara pengukuran ke 3 dan 4 dapat bertahan hidup lebih baik di bandingkan dengan A2 B1 yang sama sama berada di lokasi penyebaran hama terbesar. Diameter tunas Melihat data pertumbuhan diameter semai, perbedaan terjadi di antara pengukuran pertama antara polibek dan propagul. Pada pengukuran pertama dan kedua terlihat bahwa laju pertumbuhan polibeg yaitu A1 B1 dan A1 B2 lebih lambat dari propagul dengan kombinasi A2 B1 dan A2 B2. Rata rata pertumbuhan polibeg lebih besar di bandingkan dengan propagul hal ini karena daya adaptasi lingkungan dari bibt berpengaruh, dengan kualitas lingkungan yang sama kemampuan menyesuaikan diri antara A1 B1 dan A1 B2 dengan A2 B1 dan A2 B2 menjadi penyebab utama untuk rata rata lingkar diameter tunas. 2 1.5 1 0.5 0 A1 B1 A1 B2 A2 B1 A2 B2 Perlakuan Gambar 3. Rata rata diameter tunas Pada pengukuran ke tiga dan ke empat terlihat bahwa interaksi penyesuaian dengan lingkungan sudah berjalan dengan baik rata rata laju pertumbuhan hampir sama. Dengan kondisi lingkungan yang sama serta kualitas perairan yang hampir sama antara suhu salinitas intensitas cahaya membuktikan bahwa setiap stasiun mempunyai pertumbuhan yang hampir sama serta menerima pasokan air yang cukup dari pengaruh pasang surut, sehingga pertumbuhan diameter tunas pada setiap stasiun mengalami pertumbuhan yang baik. Pertumbuhan pesat di tunjukkan oleh kombinasi perlakuan A1B1 dan A1B2 yang di awal pengukuran pertama dan kedua lebih kecil di bandingkan dengan A2B1 dan A2B2. Kemungkinan di karenakan bibit yang di tanam di keempat stasiun itu merupakan dari indukan yang sama ataupun di keempat stasiun tersebut sehingga kualitas bibit yang ada sama. Marsono et al. (1990) menambahkan bahwa pengaruh jarak tanam untuk tingkat semai tidak berpengaruh nyata kemungkinan perbedaan terjadi karena nutrisi yang ada di setiap lokasi penelitian. Di akhir pengukuran diameter tunas terlihat bahwa kombinasi perlakuan antara cara tanam dan jarak tanam untuk tingkat semai Rhizophora apiculata kombinasi perlakuan 4 x4 polibeg lebih baik di bandingkan dengan stasiun lain. Untuk 15

jumlah akar Dian Rahmat et al. keseluruhan hasil yang di dapatkan tidak ada beda nyata di antara keempat stasiun tersebut apabila melihat dari data statistik yang ada. Tabel 7 menjelaskan bahwa pengukuran tertinggi selama pengukuran. Jumlah akar 15 10 5 0 A1 B1 A1 B2 A2 B1 A2 B2 Perlakuan Gambar 4. Rata rata jumlah akar Berdasarkan data yang di dapat pada saat pengukuran dapat di tarik kesimpulan bahwa pertumbuhan ratarata jumlah akar mengalami fase pertumbuhan yang meningkat, kerapatan jarak tanam dan cara tanam tidak berpengaruh besar untuk pertumbuhan akar. Pada pengukuran pertama dan kedua, terlihat bahwa rata rata pertumbuhan jumlah akar relatif masih sama tetapi, pada pengukuran ketiga terlihat pada kombinasi perlakuan A2 dan B1 dan A2 dan B2 mengalami pertumbuhan yang lambat di bandingkan dengan kombinasi lain serta mengalami penurunan rata- rata jumlah akar. Pengaruh kemampuan semai dalam berinteraksi dengan lingkungan merupakan indikasi terbesar yaitu terhadap serangan hama. Pada pengukuran ke tiga dan keempat pengaruh perubahan musin yaitu pada bulan juli - Oktobe yang merupakan peralihan antara musim kemarau ke penghujan menjadi salah satu indikasi terjadinya penyesuaian akar dalam sistem keseimbangan untuk beradaptasi. Cara beradaptasi jika kadar oksigen rendah Rhizophora mempunyai akar yang banyak yang membantu pernapasan (Bengen, 2002). Akar-akar yang dangkal sering memanjang ke permukaan tanah yang memungkinkan untuk mendapatkan oksigen dalam lumpur dimana tumbuhan ini hidup (Nybakken, 1988) hal inilah yang menyebabkan pertumbuhan pada pengukuran ke empat terjadi sangat pesat. Terjadinya penambahan tinggi dan besar batang menjadikan akar beradaptasi untuk menopang batang yang ada di atasnya sehingga akarpun akan bertambah dan terjadi pertumbuhan yang sangat pesat antar stasiun. Analisis Statistik Pertumbuhan Tingkat Semai Mangrove Rhizophora apiculata Hasil analisa statistik menggunakan ragam anova pada pertumbuhan semai dengan pengaruh kombinasi perlakuan antara jarak tanam (4 x 4) dan cara tanam (langsung propagul dan polibeg) yaitu diantara ke tiga indikasi pertumbuhan tidak di temukan adanya pengaruh nyata di setiap indikasi pertumbuhan yaitu Tinggi tunas, diameter tunas dan jumlah akar hal ini terlihat dari perhitungan yang menyatakan dari ketiga indikasi tersebut f hitung kurang dari f tabel sehingga dapat dikatakan bahwa jarak tanam (4x4 dan 5x5) dan cara tanam (propagul dan propagul) tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan semai mangrove rizhophora apiculata di area TNS. 4. KESIMPULAN Rata- rata pertumbuhan semai Rhizophora apiculata pada usia 1,5 16

Dian Rahmat et al. tahun di area restorasi Taman Nasional Sembilang dengan menggunakan kombinasi perlakuan yaitu jarak tanam (4 x 4 dan 5 x 5) dan cara penanaman (polibeg dan propagul) tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan, dan Tingkat keberhasilan pertumbuhan mangrove di area restorasi Taman Nasional Sembilang, dipengaruhi antara lain oleh asal bibit, jenis bibit serta pengaruh lingkungan sekitar tempat persemaian. Rata rata persentase kelulusan hidup adalah lebih dari 50 % yaitu 60-78 %. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada JICA (Japan International Cooperation Agency) yang telah membantu dalam pendanaan dan fasilitas sampai penelitian selesai serta Kepala Taman Nasional Sembilang yang telah memberikan izin lokasi penelitian. DAFTAR PUSTAKA Kusmana C. 1993. Nilai ekologis ekosistem hutan mangrove. Media Konservasi. V(1):17-24. Liemas. 1991. Evaluasi Kerusakan Kawasan Mangrove dan Alternatif Rehabilitasnya. Medan: USU. Marsono D, S Sastrosumarto, HB Soewarno. 1990. Riap dan sebaran diameter pohon pada tegakan tinggal TPI setelah pemeliharaan di PT. STUD Jambi. Buletin Kehutanan. 6(1):37-348. SuwignyoRA, Munandar, Sarno, Surbakti H. 2011. Project on Capacity Building for Restoration of Ecosystems in Conservation Areas: Sembilang National Park I (Final Report). Palembang: JICA- UNSRI. Syamsuwida D, Aminah A. 2010. Metode penyimpanan semai bakau dengan berbagai kondisi tempat penyimpanan serta bahan pengambat. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan. 4(3):125-136. Indica M, Ulqodry TZ, Hendri M. 2009. Perubahan luasan mangrove dengan menggunakan teknik penginderaan jauh di Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan [Skripsi]. Indralaya: Universitas Sriwijaya. Jumiati E. 2008. Pertumbuhan Rhizophora mucronata dan Rhizophora apiculata di kawasan Berlantung. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. 14(3): 104-110. Khazali M. 2005. Panduan Teknis Penanaman Mangrove Bersama Masyarakat. Bogor: Wetland International Indonesia Programme. 17

Dian Rahmat et al. 18