dan ~erkembangnya berbagai ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu

Transkripsi

1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan suatu daerah peralihan antara ekosistem daratan dan lautan yang memiliki produktivitas hayati tinggi. Adanya pasokan unsur hara dari daratan melalui aliran air sungai dan aliran air permukaan ketika hujan, serta tumbuh dan ~erkembangnya berbagai ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan estuaria, menyebabkan wilayah pesisir sangat subur. Dengan potensi tersebut dan aksesibilitas yang mudah, wilayah pesisir dimanfaatkan untuk berbagai tujuan. Provinsi Nusa Tenggara Barat merupakan daerah tujuan wisata bahari kedua terbesar di Indonesia setelah Bali. Berdasarkan Perda No kawasan Gili Sulat (yang meliputi Gili Lawang, Gili Lampu dan Gili Petagan) ditetapkan sebagai salah satu kawasan wisata andalan. Kawasan ini mengandalkan ekosistem terumbu karang, hutan mangrove dan keindahan pantai sebagai daya tzrik wisata. Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir yang unlk dan terdapat hampir di seluruh pznh pulau-pulaa c!i Indonesia. Ekosistem ini mempunyai sifat dac bentuk yang khas serta mempunyai bgsi dan manfaat yang beraneka ragam bagi mmsia serta makhluk hidup lainnya. Oleh karenanya, ekosistem mangrove dimasukkan dalam satu ekosistem pendukung kehidupan yang penting dan perlu ddestarikan keberadamya. Ekosistem mangrove mengalami tingkat degradasi yang cukup tinggi akibat pola pemanfaatan yang cenderung tidak memperhatkan aspek kelestarian. Adanya

2 pengembangan areal pantai menyebabkan hutan mangrove di seluruh dunia berkurang 200 ribu ha setiap tahun. Sedangkan luas hutan mangrove Indonesia menurut Departemen Kehutanan pada tahun 1982 adalah seltar 4,25 juta ha. Hasil Inventarisasi Hutan Nasional yang dilakukan oleh departemen yang sama menyebutkan bahwa luas hutan mangrove Indonesia pada tahun 1996 tinggal selutar 333 juta ha. Dengan demikian dalam kurun waktu 14 tahun Indonesia telah kehilangan hutan mangrove sekitar 700 ribu ha dan ha1 ini terjadi hampir di seluruh kepulauan Indonesia. Luas hutan mangrove yang ada di Pulau Lombok adalah sekitar 2.426,16 ha dengan penyebaran di Kabupaten Lombok Barat seluas 606,81 ha; Kabupaten Lombok Tengah seluas 325,79 ha dan Kabupaten Lombok Tirnur mencapai 1.493,56 ha (Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Nusa Tenggara Barat, 1999). Dengan penyebaran yang demiluan, berarti 61% luasan mangrove berada di Kabupaten Lombok Timur. Penyebaran hutan mangrove di Kabupaten Lombok Timur meliputi Kecamatan Keruak dan Kecamatan Sarnbelia. Luasan hutan mangrove di Kecamatan Sambelia mencapai 76,32 % (1.139,86 ha) dengan wilayah meliputi pulau-pulau kecil Gdi Petagan, Gili Sulat clan Gili Lawang. Menurut Kanwil Kehutanan (1999) kondisi hutan mangrove di Gili Petagan dalam keadaan rusak sedangkan di Gili Lawang dan Gili Sulat dalam keadaan sedang. Ekosistem yang ada pada pulau-pulau kecil tersebut merupakan salah satu obyek yang sangat h a t i wisatawan terutama wisatawan mancanegara, bak untuk keperluan riset maupun untuk kegiatan wisata. Selain dimadaatkan untuk kegiatan

3 pariwisata, ekosistem mangrove juga dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Rusaknya hutan mangrove di Gili Petagan lebih banyak disebabkan karena adanya penebangan liar kayu mangrove yang dilakukan oleh manusia. Akibat dari itu semua baru dirasakan oleh masyarakat akhir-akhir ini. Sejak tahun 1992, pemerintah Indonesia bersama Japan International Cooperation Agency (JICA) melakukan program pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan (The Project for the Development qf Sustarr?ahle Mangrove Forest Management). Program ini berakhir pada bulan November tahun 1997 dengan masa perpanjangan 2 tahun untuk tahap follow up. Program ini terkonsentrasi pada 2 (dua) kawasan gili yang ada di vvllayah Sambelia yaitu Gili Petagan dan Gili Sulat. Titik pokok program di Gili Petagan adalah rehabilitasi hutan mangrove sedangkan di Gili Sulat adalah mempertahankan dan melindungi ekosistem mangrove yang ada. Mengingat rentannya keberadaan hutan mangrove dan peranan masyarakat yang tinggal di selutar hutan mangrove dalam menjaga sumberdaya alamnya maka timbul pertanyaan tentang pengelolaan sumberdaya alarn yang dikembangkan oleh masyarakat Desa Sambelia sehingga kajian mengenai ha1 tersebut perlu dakukan Perurnusan Masalah Pada beberapa tahun yang lalu, daerah Gili Petagan merupakan daerah hutan mangrove dengan tutupan rapat. Akibat pemanfaatan kayu mangrove yang berlebihan, kondisi hutan mangrove di Gili Petagan berada dalam keadaan rusak pada waktu tahun yang lalu. Penyebab utama dari kerusakan hutan mangrove ini

4 adalah karena ulah manusia, yang tidak peduli pada fungsi ekologis maupun ekonomis hutan mangrove. Peetan kayu dan kulit batang pohon mangrove secara berlebihan menyebabkan kerusakan hutan mangrove di kawasan ini. Keadaan ini mendorong dilakukannya program rehabilitasi hutan mangrove yang dilakukan oleh JICA sejak tahun 1992 dan berakhir pada tahun Dari orientasi lapangan proyek merencanakan 50 ha kawasan Gili Petagan untuk direhabilitasi. Pada akhir proyek luas kawasan yang direhabilitasi (ditanam kembali) mencapai 64 ha (JICA, 1999). Ini berarti 27 % dari luas kawasan Gili Petagan telah ditanami oleh mangrove kembali. Jenis mangrove yang ditanam di Gili Petagan adalah Rhizophora mucronata, Bruguiera gymnorrhiza, Rhizophora apiculata dan Rhizophora stylosa (JICA, 1999). Masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah hutan mangrove tersebut mempunyai peranan penting dalam upaya pelestarian hutan mangrove. Mereka sangat menentukan baik clan buruknya kondisi hutan mangrove. Masyarakat Desa SambeIia lkut terlibat dalam proyek rehabilitasi mangrove yang dilaksanakan oleh JICA Unit Kerja Lombok sejak tahun Sampai dengan saat penelitian ini dilakukan, keadaan hutan mangrove yang berhasil direhabilitasi di Gili Petagan mih terjaga dan terpelihara dari kerusakan, sehmgga timbul pertanya~n yang mendorong dilakukannya studi ini, yaitu : Apa yang menyebabkan hutan mangrove di Gili Petagan tetap terjaga dari kerusakan? = Apakah masyarakat desa Sambelia membangun dan mengembangkan pengelolaan hutan mangrove yang berbasis pada masyarakat?

5 Faktor-faktor apa sajakah yang mendorong masyarakat untuk mewujudkan pengelolaan hutan mangrove yang berbasis masyarakat di desa Sambelia? Manfaat apa saja yang hasakan masyarakat dengan adanya pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat? 1.3. Tujuan Penelitian Dari uraian pernasalahan di atas maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui proses pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat yang berkembang di desa Sambelia. 2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di Desa Sambelia Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Sebagai bahan masukan bagi pengambil kebijakan dalarn pengembangan dan pembinaan pengelolaan hutan mangrove berbasis pada masyarakat. 2. Sebagai bahan untuk melengkapi informasi yang ada mengenai kajian community-based management pada pengelolaan hutan mangrove.