BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik. Sedangkan Diener, dkk (2003) menerjemahkan subjective well-being

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah

BAB II. 1. Pengertian Kepuasan Hidup Lanjut Usia. pengalaman - pengalaman yang disertai dengan tingkat kegembiraan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Individu pada hakikatnya selalu mengalami proses pertumbuhan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. Kanker adalah istilah umum yang digunakan untuk satu kelompok besar penyakit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG MASALAH. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. kebahagiaan mengaitkan kebahagiaan sebagai bagian dari kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk lansia sebanyak jiwa (BPS, 2010). dengan knowledge, attitude, skills, kesehatan dan lingkungan sekitar.

Subjective Well-Being Pada Istri yang Memiliki Pasangan Tunanetra

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. usahanya tersebut. Profesi buruh gendong banyak dikerjakan oleh kaum

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. emosional yang positif karena telah terpenuhinya kondisi-kondisi yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup individu, yaitu suatu masa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well-Being. kebermaknaan ( contentment). Beberapa peneliti menggunakan istilah well-being

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan.

BAB 1 PENDAHULUAN. Saat ini jumlah kelompok lanjut usia (usia 60 tahun menurut Undang-

Usia yang Tinggal di Panti Werdha

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menciptakan manusia sebagai makhluk hidup-nya, akan tetapi makhluk hidup

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Abdi dalem merupakan orang yang mengabdi pada Keraton, pengabdian abdi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. umur harapan hidup tahun (Nugroho, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sifatnya subjektif. Kebahagiaan, kesejahteraan, dan rasa puas terhadap hidup yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap individu di dalam hidupnya selalu berusaha untuk mencari

BAB I PENDAHULUAN. Dampak perubahan tersebut salah satunya terlihat pada perubahan sistem keluarga dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tidak setiap anak atau remaja beruntung dalam menjalani hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. perkembangan pada masa dewasa akhir. Kehidupan pada fase perkembangan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tersebut, Diener, dkk (2003) menerjemahkan subjective well-being sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis.

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB ll TINJAUAN TEORI. A. Kebahagiaan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tahap-tahap perkembangan mulai dari periode pranatal sampai pada masa usia lanjut

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Konsep Subjective well-being. juga peneliti yang menggunakan istilah emotion well-being untuk pengertian yang

BAB I PENDAHULUAN. kebahagiaan seperti firman Allah dalam Qur`an Surat Al- Baqarah ayat 36

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. jenis kelamin, status ekonomi sosial ataupun usia, semua orang menginginkan

BAB I PENDAHULUAN. diulang kembali. Hal-hal yang terjadi di masa awal perkembangan individu akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berpasang-pasangan. Allah SWT telah menentukan dan memilih jodoh untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. bahasan dalam psikologi positif adalah terkait dengan subjective well being individu.

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Menurut Hariandja dalam Tunjungsari (2011) stres adalah ketegangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. manusia terutama para peneliti. Hal ini dikarenakan semuanya menginginkan

BAB I PENDAHULUAN. Kebahagiaan merupakan salah satu hal yang penting dalam kehidupan, karena pada

BAB I PENDAHULUAN. fungsi kehidupan dan memiliki kemampuan akal dan fisik yang. menurun. Menurut World Health Organization (WHO) lansia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective wellbeing

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. strategis di era globalisasi. Dengan adanya kemajuan tersebut, sesungguhnya

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia tidak terlepas dari interaksi dengan orang

para1). BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. mereka kelak. Salah satu bentuk hubungan yang paling kuat tingkat. cinta, kasih sayang, dan saling menghormati (Kertamuda, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. untuk kebahagiaan dirinya dan memikirkan wali untuk anaknya jika kelak

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Perasaan tenang dan tentram merupakan keinginan yang ada dalam diri setiap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tidak hanya dilihat secara obyektif, tapi kebahagiaan juga bisa di lihat secara

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam menjalani kehidupan manusia memiliki rasa kebahagiaan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat penting serta mahal nilainya. 2011). Cahyono (2008) menambahkan penyakit jantung koroner, stroke sebagian

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa kini banyak pola hidup yang kurang sehat di masyarakat sehingga

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA PENYANDANG KANKER PAYUDARA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Ada banyak definisi mengenai lanjut usia (lansia), namun selama ini

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

atau kecanduan obat (Akhmadi, 2006). Ketidakmampuan keluarga lansia dalam mengatasi masalah masalah yang dihadapai para lansia, dapat menyebabkan para

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hipertensi merupakan suatu kondisi apabila individu memiliki tekanan

BAB I PENDAHULUAN. penduduk lanjut usia bertambah, sedangkan proporsi penduduk berusia muda

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Studi Deskriptif Children Well-Being pada Korban Pelecehan Seksual yang Berusia 8-12 Tahun di Sukabumi

BAB 1 PENDAHULUAN. A Latar Belakang Mahasiswa dipersiapkan untuk menjadi agen perubahan, salah

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan interaksi tersebut dalam berbagai bentuk. Manusia. malam harinya. Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan hubungan

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan perkembangan seseorang, semakin meningkatnya usia

BAB I PENDAHULUAN. Kehamilan merupakan episode dramatis terhadap kondisi biologis seorang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. PT. Permata Finance Indonesia (PT. PFI) dan PT. Nusa Surya Ciptadana

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well Being. Menurut Diener (2009) definisi dari subjective well being (SWB) dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PENGANTAR. kebiasaan, visi hidup, maupun strata pendidikan. Perbedaan dan keunikan masingmasing

BAB I PENDAHULUAN. perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk,

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. Semua orang menginginkan kebahagiaan dalam hidupnya. Kebahagiaan

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Pinquart & Sorenson (2000) mendefinisikan subjective well-being sebagai evaluasi positif dari kehidupan individu terkait dengan perasaan yang baik. Sedangkan Diener, dkk (2003) menerjemahkan subjective well-being sebagai suatu bidang dalam ilmu perilaku mengenai evaluasi individu terhadap kehidupan yang dipelajarinya. Diener, dkk (2003) menjelaskan lebih lanjut bahwa subjective well-being merupakan suatu analisis ilmiah tentang bagaimana individu mengevaluasi kehidupan, baik pada saat ini dan pada masa lalunya, seperti kehidupannya di tahun lalu. Evaluasi ini meliputi reaksi emosional individu terhadap peristiwa, suasana hati individu, dan penilaian individu tentang kepuasan hidup mereka, pemenuhan, dankepuasan dengan domain seperti perkawinan dan pekerjaan. Compton (2005) menjelaskan subjective well-being merupakan suatu proses kognitif individu mengenai penilaian yang global tentang penerimaan hidup individu. Sedangkan Diener ( dalam Eid, &Larnsen 2008)subjective well-being adalah penilaian individu terhadap kehidupan yang positive dan berjalan dengan baik. Individu dikatakan memiliki subjective well-being tinggi jika individu tersebut memiliki kepuasan hidup dan lebih sering merasakan kebahagiaan, serta jarang mengalami emosi yang tidak 14

15 menyenangkan seperti kesedihan atau kemarahan. Sebaliknya, individu dikatakan memiliki subjective well-being rendah jika individu merasa tidak puas dengan kehidupannya, mengalami sedikit kebahagiaan dan kasih sayang serta lebih sering merasakan emosi yang negatif seperti kemarahan atau kecemasan. Diener, dkk (dalam Snyder & Lopez, 2008) subjective well-being diartikan sebagai evaluasi kognitif dan afektif individu dari dirinya sendiri. Evaluasi ini meliputi reaksi emosional terhadap kejadian serta penilaian kognitif terhadap kepuasan dan pemenuhan kebutuhan. Dengan demikian, subjective well-being merupakan suatu konsep umum yang mencakup pengalaman emosi yang menyenangkan, rendahnya tingkat pengalaman negatif yang terdapat dalam tingkat subjective well-being yang tinggi adalah konsep inti dari psikologi positif karena mereka membuat hidupnya bermanfaat. Diener (2009) mendefinisikan subjective well-being sebagai penilaian global dari semua aspek kehidupan individu. Sedangkan Diener, Oishi, & Lucas (dalam Utami, 2009) kesejahteraan subjektif merupakan salah satu kajian psikologi positif, didefinisikan sebagai suatu fenomena yang meliputi evaluasi kognitif dan emosional individu terhadap kehidupa mereka, seperti apa yang disebut orang awam sebagai kebahagiaan, ketentraman, berfungsi penuh, dan kepuasan hidup. Berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa subjective well-being adalah suatu penilaian umum individu terhadap

16 kehidupannya yang penuh dengan kepuasan dan kebahagiaan sehingga individu mampu merasakan emosi yang positif yang melimpah dan sedikit emosi yang negatif. 2. AspekSubjective Well-Being Aspek-aspek subjective well-being menurut Diener (dalam Lopez & Snyder, 2008) adalah sebagai berikut: a. Kepuasan Hidup Kepuasan merupakan kondisi subyektif dari keadaan pribadi seseorang sehubungan dengan perasaan senang atau tidak senang sebagai akibat dari adanya dorongan atau kebutuhan yang ada pada dirinya dan dihubungkan dengan kenyataan yang dirasakan (Chaplin, 1999). Kepuasan hidup merupakan kemampuan seseorang untuk menikmati pengalaman - pengalaman yang disertai dengan tingkat kegembiraan. Kepuasan hidup timbul dari pemenuhan kebutuhan atau harapan dan merupakan penyebab atau sarana untuk menikmati. Seorang individu yang dapat menerima diri dan lingkungan secara positif akan merasa puas dengan hidupnya (Hurlock, 2000). Faktor Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Hidup Lanjut Usia Menurut Harlock (2000) ada beberapa faktor yang relatif penting untuk menunjang kepuasan hidup yaitu : 1) Kesehatan Kesehatan yang baik memungkinkan orang pada usia berapa pun melakukan apa yang hendak dilakukan. Sedangkan kesehatan yang buruk

17 akan menjadi halangan untuk mencapai kepuasan bagi keinginan dan kebutuhan mereka. 2) Daya tarik fisik Daya tarik fisik menyebabkan individu dapat diterima dan disukai oleh masyarakat dan sering merupakan penyebab dari prestasi yang lebih besar daripada apa yang mungkin dicapai individu kalau kurang mempunyai daya tarik. 3) Tingkat Otonomi Semakin besar otonomi yang dicapai, semakin besar kesempatan untuk merasa bahagia. 4) Kesempatan kesempatan Interaksi di luar keluarga Karena nilai sosial yang tinggi ditekankan pada popularitas, maka tingkat usia berapa pun orang akan merasa bahagia apabila mereka mempunyai kesempatan untuk mengadakan hubungan sosial dengan orang orang di lingkungan luar keluarga seperti dengan masyarakat sekitar, teman seusia baik sesama jenis maupun berbeda jenis kelamin dengan cara mengikuti kegiatan yang diadakan di lingkungan atau di masyarakat sekiatar tempat tinggal lansia seperti arisan, pengajian, kerja bhakti, maka lansia tersebut akan mendapat lebih banyak kesempatan untuk berinteraksi dengan lingkungannya. 5) Jenis Pekerjaan Semakin rutin sifat pekerjaan dan semakin sedikit kesempatan untuk otonomi dalam pekerjaan, semakin kurang memuaskan.

18 6) Status Kerja Semakin berhasil seseorang melaksanakan tugas semakin hal itu dihubungkan dengan prestise, maka semakin besar kepuasan yang ditimbulkan. 7) Kondisi Kehidupan Kalau pola kehidupan memungkinkan seseorang untuk berinteraksi dengan orang di lingkungan keluarga maupun luar keluarga, maka kondisi demikian akan memperbesar kepuasan hidup. 8) Pemilikan Harta Benda Pemilikan harta benda yaitu cara orang merasakan pemilikan benda. Dengan memiliki harta benda orang akan merasa tercukupi kebutuhannya sehingga orang akan merasa puas. 9) Keseimbangan antara Harapan dan Pencapaian Jika tujuan seseorang tercapai maka orang akan puas. 10) Penyesuaian Emosional Seseorang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik, tidak secara intensif mengungkapkan perasaan negatif seperti takut, marah dan iri hati. 11) Sikap terhadap Periode Usia Tertentu Perasaan bahagia yang akan dialami pada usia tertentu sebagian ditentukan oleh pengalaman pengalaman pribadi bersama orang lain.

19 12) Realisme dari Konsep Diri Seseorang yang yakin bahwa kemampuannya lebih besar dari yang sebenarnya akan merasa tidak bahagia apabila tujuan mereka tidak tercapai. 13) Realisme dari Konsep Peran Seseorang cenderung mengangankan peran yang akan dimainkan pada usia mendatang. Apabila peran yang baru tidak sesuai dengan yang diharapkan maka mereka merasa tidak bahagia. b. Afeksi Positif Individu dapat dikatakan memiliki subjective well-being yang tinggi jika individu sering kali merasakan emosi yang positif seperti penuh perhatian, tertarik, waspada, bersemangat, antusias, terinspirasi, bangga, ditentukan, kuat dan aktif. c. Afeksi Negatif Individu dapat dikatakan memiliki subjective well-being yang tinggi jika individu jarang sekali mengalami emosi yang negatif seperti sedih, bermusuhan, mudah marah-marah, takut, malu, bersalah, dan gelisah. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa subjective well-being memiliki 3 aspek yakni kepuasan hidup,afeksi positif, dan afeksi negatif. 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Subjective Well-Being Eddington & Shuman (2005) menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being individu yang meliputi faktor

20 demografis dan faktor lingkungan. Adapun uraian faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut: a. Perbedaan Jenis Kelamin Wanita lebih banyak mengungkapkan afek negatif dan depresi dibandingkan dengan pria, dan lebih banyak mencari bantuan terapi untuk mengatasi gangguan ini; namun pria dan wanita mengungkapkan tingkat kebahagiaan global yang sama. b. Usia Usia diketahui mempunyai hubungan dengan keadaan sekitar dengan subjective well-being yang dimeditasi oleh harapan-harapan. Meskipun demikian, beberapa studi sepakat bahwa usia hanya sedikit mempengaruhi kepuasan hidup. c. Pendidikan Hubungan antara pendidikan dan subjective well-being merupakan hasil dari korelasi antara pendidikan dengan status pekerjaan dan pendapatan. Namun pengaruh antara pendidikan dan subjective well-being adalah kecil meskipun signifikan. d. Pendapatan Pendapatan dengan standar pendapatan nasional dan strata individu, menunjukkan sangat sedikit pengaruh subjective well-being. Beberapa teori mencoba menjelaskan mengapa materi merupakan prediktor negatif subjective well-being, dalam pencapaian materi terkadang menjadi tidak produktif karena mengganggu tindakan pro-sosial dan aktualisasi diri.

21 e. Perkawinan Individu yang menikah memiliki subjective well-being lebih tinggi dibandingkan dnegan individu yang tidak pernah menikah, bercerai, berpisah, atau janda. f. Kepuasan kerja Individu yang bekerja akan mempunyai subjective well-being dibandingkan dengan individu yang tidak bekerja. Individu yang tidak bekerja memiliki tingkat stress yang lebih tinggi, kepuasan hidup yang lebih rendah dan kemungkinan bunuh diri yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang bekerja. g. Kesehatan Hubungan yang kuat antara kesehatan dan subjective well-being muncul pada pengukuran kesehatan melalui self-report, tidak pada penilaian secara objectif oleh ahli. Maka dapat disimpulkan bahwa persepsi akan kesehatan menjadi lebih penting daripada kesehatan secara objektif dalam mempengaruhi subjective well-being. h. Agama Banyak survey yang menunjukkan bahwa subjective well-being berkorelasi secara signifikan dengan agama, hubungan individu dengan Tuhan, pengalaman doa dan partisipasi di dalam aspek keagamaan. i. Waktu Luang Veenhoven (dalam Eddington & Shuman, 2005) menunjukkan bahwa kebahagiaan berkorelasi cukup tinggi dengan kepuasan waktu luang dan

22 tingkatan aktifitas di waktu luang. Kegiatan yang dilakukan di waktu luang dapat meningkatkan subjective well-being, seperti aktifitas menyenangkan bersama teman, kegiatan olah raga, dan hiburan. Sedangkan kegiatan menonton televisi di waktu luang terutama tontonan yang berat kurang dapat meningkatkan kebahagiaan (Eddington & Shuman, 2005). Berbagai penelitian lain telah menemukan beberapa faktor-faktor subjective well-being, faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut: a. Kepribadian Di dalam penelitian yang dilakukan oleh Lucas (dalam Eid & Lanrsen, 2008) menemukan faktor internal yang stabil jelas memainkan peran penting dalam subjective well-being. Pengaruh positif, pengaruh negatif, dan kepuasan hidup yang cukup stabil dari waktu ke waktu sangat berkorelasi dengan indikator psikofisiologis dan ciri-ciri kepribadian seperti sebagai extraversion dan neurotisisme. Hal ini didukung oleh Diener (2009) beberapa variabel kepribadian menunjukkan hubungan yang konsisten dengan subjective well-being. Harga diri yang tinggi adalah salah satu prediktor terkuat subjective well-being. b. Penerimaan Diri Studi yang dilakukan yang dimulai di akhir tahun 1940-an, sebagian besar di bawah pengaruh perspektif humanistik pada penerimaan diri, telah menegaskan bahwa tingkat penerimaan diri yang tinggi terkait dengan emosi positif, memuaskan hubungan sosial, prestasi, dan penyesuaian terhadap peristiwa kehidupan negatif (Szentagotai & David dalam Bernard, 2013).

23 Ryff, dkk (2002) menjelaskan penerimaan diri adalah faktor yang terkait dengan subjective well-being. Apabila individu menerima dirinya maka dapat menyesuaikan diri dan merasa diri berharga sehingga merasakan emosi negatif yang sedikit, dapat merasakan emosi positif yang lebih banyak sehingga individu merasa puas dengan kehidupannya dan mendukung kesejahteraan. c. Status Pekerjaan Winkelmann dan Winkelmann (dalam OECD, 2013) menyatakan status pekerjaan dikenal memiliki pengaruh besar pada subjective well-being, pada pengangguran khususnya memiliki kaitan yang kuat dengan dampak negatif pada ukuran kepuasan hidup individu. d. Status kesehatan Dolan, Peasgood dan Putih (dalam OECD, 2013) mengemukakan Status kesehatan baik kesehatan fisik dan mental berkorelasi dengan ukuran subjective well-being, dan ada bukti bahwa perubahan status kecacatan menyebabkan perubahan dalam kepuasan hidup individu (Lucas dalam OECD, 2013). e. Hubungan sosial Kontak sosial adalah salah satu pengendali yang paling penting untuk subjective well-being, karena kontak sosial individu memiliki dampak yang besar baik pada evaluasi hidup maupun afek positif dan afek negatif (Helliwell Dan Wang; Kahneman Dan Krueger; Boarini dkk, dalam OECD, 2013).

24 Berdasarkan uraian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempergaruhi subjective well-being adalah perbedaan jenis kelamin, usia, pendidikan, pendapatan, perkawinan, kepuasan kerja, kesehatan, agama, waktu luang, kepribadian, penerimaan diri, status pekerjaan, dan hubungan sosial. Penerimaan diri merupakan faktor penting dalam meningkatkan subjective well-being karena tingkat penerimaan diri yang tinggi terkait dengan emosi positif, memuaskan hubungan sosial, prestasi, dan penyesuaian terhadap peristiwa kehidupan negatif, sehingga individu akan memiliki subjective well-being. B. Lanjut Usia 1. Pengertian Lanjut Usia Tahap terakhir dalam rentang kehidupan sering dibagi menjadi usia lanjut dini, yang berkisar antara usia 60 tahun sampai 70 tahun dan usia lanjut yang mulai pada usia 70 sampai akhir kehidupan seseorang. Orang dalam usia 60 tahunan biasanya digolongkan sebagai usia tua, yang berarti antara sedikit lebih tua atau setelah usia madya dan usia lanjut setelah mereka mencapai usia 70 tahun, yang menurut standar beberapa kamus berarti makin lanjut usia seseorang dalam periode hidupnya dan telah kehilangan kejayaan masa mudanya (Hurlock, 1980). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia Bab I Pasal 1ayat 2 menyebutkan, yang dimaksud dengan lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun

25 keatas. Pasal tersebut juga menerangkan bahwa lanjut usia dibagi menjadi 2, yaitu lanjut usia potensial (ayat 3) dan lanjut usia tidak potensial (ayat 4). Lanjut usia potensial adalah lanjut usia yang masih mampu melakukan pekerjaan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa. Sedangkan lanjut usia tidak potensial adalah lanjut usia yang tidak berdaya untuk mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain (Saputri & Indrawati, 2011). Hurlock (2001) mengemukakan bahwa yang disebut lanjut usia adalah orang yang berusia 60 tahun keatas. Menurut Hurlock, lanjut usia merupakan tahap akhir siklus perkembangan manusia, masa dimana semua orang berharap akan menjalani hidup dengan tenang, damai, serta menikmati masa pensiun bersama anak dan cucu tercinta dengan penuh kasih sayang. Masa lanjut usia dimulai ketika seseorang mulai memasuki usia 60 tahun Santrock (dalam Saputri & Indrawati, 2011). Lansia merupakan periode akhir dari sebuah rentan kehidupan manusia. Usia yang dapat digolongkan sebagai lansia dalam rentang kehidupan adalah antara 60-65 tahun keatas. Batasan usia ini masih relatif berbeda diantara para ahli. Ada yang menggolongkan usia pensiun adalah usia lansia, tetapi ada juga lansia adalah usia setelah pensiun. Namun menurut ahli psikologi perkembangan Neugarten (1969) menyebutkan bahwa usia lansia adalah usia 65 tahun. Usia lansia adalah usia 60 tahun ketika kehidupan seseorang memasuki masa dewasa akhir Santrock (dalam Hamidah & Wrastari, 2012).

26 Masa lanjut usia adalah dimana lansia mengalami suatu kehilangan yang bersifat, misalnya berkurangnya fungsi pendengaran, penglihatan, kekuatan fisik dan kesehatan, menatap kembali kehidupan, pensiun, dan penyesuaian diri dengan peran sosial yang baru. Pada masa perkembangan manusia memiliki tahapan atau tugas perkembangannya tersendiri dan sesuai dengan fase pertumbuhannya, demikian halnya dengan lansia, ketika seseorang memasuki fase lansia, seseorang tersebut memiliki tugas perkembangan yang berbeda dengan sebelumnya Papalia & Olds (dalam Napitupulu, 2013) Menurut Levinson dalam fase perkembangan usia lanjut itu berada dalam fase masa dewasa akhir berusia antara 60 tahun keatas. Thomae berpendapat bahwa proses menjadi tua merupakan suatu struktur perubahan yang mengandung berbagai macam dimensi, yaitu proses biokemis dan fisiologis yang oleh Burger disebut sebagai proses penuaan yang primer, proses fisiologis atau timbulnya penyakit-penyakit, perubahan fungsionalpsikologis, perubahan kepribadian, penstrukturan kembali dalam hal sosial psikologis yang berhubungan dengan bertambahnya usia, dan perubahan yang berhubungan dengan kenyataan bahwa orang tidak hanya mengalami keadaan menjadi tua melainkan bahwa seseorang juga mengambil sikap terhadap keadaan. Birren dan Schroots membedakan tiga proses sentral pada masa dewasa lanjut, yaitu penuaan sebagai proses biologis, menjadi senior dalam masyarakat atau penuaan sosial, penuaan psikologis subjektif. Lanjut usia adalah seseorang yang berusia 60 tahun (di negara berkembang) atau 65 tahun

27 (dinegara maju) yang telah mengalami proses menjadi tua dan karena faktorfaktor tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya baik secara jasmani, rohani, maupun sosial (Monks, 2002). Berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa lanjut usia adalah kelompok usia 60 tahun keatas, yang ditandai dengan adanya perubahan yang bersifat fisik dan psikologis yang semakin menurun. 2. Lanjut Usia Yang Tinggal Sendiri Individu sebagai bagian dari masyarakat, merupakan makhluk sosial yang selalu bertemu, saling berinteraksi dan saling membutuhkan. Interaksi sosial yang terkecil, yaitu didalam keluarga, bagi kaum lanjut usia tampaknya telah mengalami perubahan. Salah satu efek dari keberhasilan program Keluarga Berencana yang membuat keluarga hanya terdiri dari beberapa anggota dan masing-masing memiliki kesibukan, membuat interaksi antara mereka berkurang apalagi menjadi care provider bagi kaum lanjut usia (Kusumiati, 2009). Monks, dkk (dalam Kusumiati, 2009) menemukan bahwa di Indonesia telah terjadi pergeseran perubahan keadaan dalam hidup orang tua. Jika semula anak-anak tinggal bersama dengan orang tua maka sekarang kesempatan untuk bersama sangat langka karena mobilitas yang tinggi. Sistem keluarga yang semula extended family telah bergeser menjadi nuclear family. Keadaan ini dapat menimbulkan alternatif lain bagi para lanjut usia untuk memilih tinggal sendiri dan terpisah dari keluarganya. Mereka tidak

28 ingin tergantung kepada anak-anak atau keluarganya bahkan ketika mereka sudah tidak memiliki pasangan hidup. Kusumiati (2009) menyatakan tinggal sendiri bisa karena keputusan sendiri yang diambil atau karena keterpaksaan yang membuat individu lanjut usia akhirnya memutuskan untuk tinggal sendiri. Banyak pertimbangan yang diambil sehingga individu harus tinggal sendiri terutama bagi kaum lanjut usia di Indonesia yang sistem sosialnya bersifat kolektif, serta sebagian besar juga masih mennganut sistem extended family. Faktor budaya, latar belakang keluarga, dan juga kepribadian turut mempengaruhi pengambilan keputusan itu. Semakin tua seseorang, semakin besar hambatan mereka untuk tinggal sendirian. Mayoritas orang dewasa lanjut yang tinggal sendiri adalah janda. Sebagaimana halnya dengan orang-orang dewasa muda, tinggal sendirian sebagai orang dewasa lanjut tidaklah berarti kesepian Kasper (dalam Santrock, 2002). Orang-orang dewasa lanjut yang dapat menopang dirinya sendiri ketika hidup sendiri seringkali memiliki kesehatan yang baik dan sedikit ketidakmampuan, dan mereka selalu memiliki hubungan sosial dengan sanak keluarga, teman-teman, dan para tetangga (Santrock, 2002). Papalia, Feldman, & Martorell (2014) menyatakan bahwa karena perempuan hidup lebih lama dibandingkan laki-laki dan lebih mungkin untuk manjadi janda, maka lansia perempuan lebih mungkin untuk tinggal sendirian dibandingkan dengan laki-laki, dan kemungkinan ini meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Lansia yang hidup sendiri lebih mungkin

29 dibandingkan lansia dengan pasangan menjadi miskin dan berakhir di panti wredha. Gambaran yang hampir sama juga terjadi dikebanyakan negara maju, perempuan usia lanjut akan lebih mungkin untuk tinggal sendiri dibandingkan lansia laki-laki, yang biasanya tinggal dengan pasangan atau sanak keluarga. Pertumbuhan keluarga yang terdiri dari lansia tunggal telah melonjak dengan usia panjang lansia, peningkatan pemasukan dan pensiun, peningkatan kepemilikan rumah, lebih banyak rumah yang bersahabat bagi lansia, ketersediaan dukungan lebih dari masyarakat, dan penurunan biaya perawatan pendampingan panti wredha dari pemerintah Kinsella & Philips (dalam Papalia, Fieldman, & Martorell, 2014). Sepertinya lansia yang tinggal sendiri, terutama lansia tertua, akan merasa kesepian. Meskipun demikian, faktor-faktor seperti kepribadian, kemampuan kognitif, kesehatan fisik, dan jaringan sosial yang berkurang mungkin memainkan peran yang lebih besar terhadap perasaan kesepian. Aktivitas sosial seperti pergi ke pusat lansia atau melakukan pekerjaan sukarela, dapat membantu lansia yang tinggal sendiri untuk tetap terhubung dalam masyarakat (Papalia, Fieldman, & Martorell, 2014). Berdasarkan teori diatas dapat disimpulkan bahwa telah terjadi pergeseran perubahan keadaan dalam hidup orang tua. Sistem keluarga yang semula extended family telah bergeser menjadi nuclear family. Keadaan ini membuat para lanjut usia untuk memilih tinggal sendiri dan terpisah dari keluarganya. Mereka tidak ingin tergantung kepada anak-anak atau

30 keluarganya bahkan ketika mereka sudah tidak memiliki pasangan hidup. Masalah yang sering muncul pada lanjut usia yang tinggal sendiri adalah kesepian. Meskipun demikian, faktor-faktor seperti kepribadian, kemampuan kognitif, kesehatan fisik, kesehatan fisik, dan jaringan sosial yang berkurang akan memainkan peran yang lebih besar terhadap perasaan kesepian. C. Subjective Well-Being Pada Lanjut Usia Secara umum, usia lanjut dibatasi oleh rentang usia antara 60-70 tahun mana pada masa tersebut ditandai oleh berbagai perubahan baik secara fisik maupun mental (Hurlock, 1980). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia Bab I Pasal 1 ayat 2 menyebutkan, yang dimaksud dengan lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas (dalam Erlangga, 2011). Lanjut usia merupakan suatu periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode dimana seseorang telah beranjak jauh dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan, atau beranjak dari waktu yang penuh dengan manfaat (Tjahyo & Eli, 2010) Saat memasuki usia lanjut, lanjut usia dihadapkan pada berbagai tantangan baru seperti pensiun, kehilangan pasangan, tiinggal jauh dari anakanakmaupun cucu, dan penurunan fungsi fisik. Hal tersebut merupakan stressor utama bagi lansia, yang menyebabkan lansia merasa tidak berguna dan tidak mampu berbuat apa-apa. Disfungsi yang dialami oleh lansia memungkinkan lansia akan merasa sedih, cemas, dan tidak berharga.

31 Apabila individu mampu menyelesaikan suatu tahap perkembangan dengan penyesuaian diri yang baik, maka individu tersebut akan lebih mudah dalam menempuh tahap perkembangan selanjutnya. Kemampuan individu dalam menyesuiakan diri terhadap kondisi yang berubah tersebut pada akhirnya membawa pengaruh terhadap penilaian mengenai kesejahteraan kesejahteraan hidup (well-being) mereka. Melakukan penyesuaian diri ini bukanlah merupakan hal yang mudah bagi lanjut usia. Lanjut usia memerlukan berbagai dukungan agar tetap melakukan segala hal dengan baik. Kemunduran fungsi tubuh dan berkurangnya peran di masyarakat bagi lanjut usia dapat membuat emosi yang labil, mudah tersinggung, gampang merasa dilecehkan, kecewa, tidak bahagia, perasaan kehilangan dan tidak berguna. Lanjut usia dengan problem tersebut menjadi rentan terhadap gangguan psikiatrik seperti depresi, ansietas (kecemasan), psikosis (kegilaan) atau kecanduan obat. Ada bebebrapa masalah yang biasa dialami oleh lanjut usia diantaranya adalah kesepian, keterasingan dari lingkungan, ketidakberdayaan, ketergantungan, kurang percaya diri, keterlantaran terutama bagi lanjut usia yang miskin serta kurangnya dukungan dari anggota keluarga. Hal tersebut dapat mengakibatkan depresi yang dapat menghilangkan kebahagiaan, hasrat, harapan, ketenangan pikiran, kemampuan untuk merasakan ketenangan hidup, hubungan yang bersahabat, dan bahkan menghilangkan keinginan menikmati kehidupan sehari-hari. Perasaan tersebut muncul dikarenakan rendahnya tingkat subjective well-being pada diri lansia tersebut sehingga.

32 Subjective well-being adalah suatu penilaian umum individu terhadap kehidupannya yang penuh dengan kepuasan dan kebahagiaan sehingga individu mampu merasakan emosi yang positif yang melimpah dan sedikit emosi yang negatif. Aspek-aspek subjective well-being menurut Diener (dalam Lopez & Snyder, 2008) adalah sebagai berikut: a. Kepuasan Hidup Kepuasan hidup merupakan penilaian individu mengenai kehidupannya, apakah kehidupan yang diajalaninya berjalan dengan baik. kepuasan hidup dapat diukur dengan melihat derajat kepuasan individu terhadap hidupnya. b. Afeksi Positif Individu dapat dikatakan memiliki subjective well-being yang tinggi jika individu sering kali merasakan emosi yang positif seperti penuh perhatian, tertarik, waspada, bersemangat, antusias, terinspirasi, bangga, ditentukan, kuat dan aktif. c. Afeksi Negatif Individu dapat dikatakan memiliki subjective well-being yang tinggi jika individu jarang sekali mengalami emosi yang negatif seperti sedih, bermusuhan, mudah marah-marah, takut, malu, bersalah, dan gelisah. Berdasarkan dari aspek subjectivewell-being diatas, dapat disimpulkan bahwa lanjut usia yang memiliki subjekctive well-being yang baik itu apabila lanjut usia tersebut lebih banyak memiliki afeksi positif dibanding afeksi negatif. Lanjut usia yang lebih banyak memiliki afek positif akan memiliki

33 perasaanpenuh perhatian, tertarik, waspada, bersemangat, antusias, terinspirasi, bangga, ditentukan, kuat dan aktif, maka kehidupannya akan sejahtera. Sedangkan lanjut usia yang lebih banyak memiliki afeksi negatifseperti perasaan sedih, bermusuhan, mudah marah-marah, takut, malu, bersalah, dan gelisah, maka kehidupannya tidak akan sejahtera. D. Kerangka Berfikir Adapun gambar kerangka berfikir penelitian yaitu sebagai berikut: Lanjut Usia Yang Tinggal Sendiri Laki-laki Perempuan Permasalahan: - Kesepian - Depresi - Penghasilan - Ketakutan menjadi korban kejahatan - Dukungan sosial Subjective Well-Being: - Kepuasan Hidup - Afeksi Positif - Afeksi Negatif Gambar 1. Kerangka Berpikir