KONDISI EMOSI PELAKU BULLYING (Studi Kasus Pada Siswa Kelas VIII di SMP DIPONEGORO 1 Jakarta)

dokumen-dokumen yang mirip
SELF ESTEEM KORBAN BULLYING (Survey Kepada Siswa-siswi Kelas VII SMP Negeri 270 Jakarta Utara)

BAB I PENDAHULUAN. yang kompleks yang merupakan hasil interaksi berbagai penyebab dari keadaan

STUDI KASUS DAMPAK PSIKOLOGIS BULLYING PADA SISWA TUNARUNGU DI SMK NEGERI 30 JAKARTA

Upaya Mengurangi Perundungan melalui Penguatan Bystanders di SMP B Yogyakarta

BULLYING. I. Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan sebuah lembaga atau tempat yang dirancang untuk

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakangMasalah. dalam mengantarkan peserta didik sehingga dapat tercapai tujuan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Maraknya kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada anak-anak usia sekolah

INTENSITAS TERKENA BULLYING DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT

BAB I PENDAHULUAN. kognitif, dan sosio-emosional (Santrock, 2007). Masa remaja (adolescence)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri.

BAB 1 PENDAHULUAN. lingkungan sekolah, banyak siswa yang melakukan bullying kepada siswa lainnya

BULLYING DALAM PENDIDIKAN. Oleh Ehan Raehan Miskyah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BULLYING & PERAN IBU Penyuluhan Parenting PKK Tumpang, 29 Juli 2017

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan periode baru didalam kehidupan seseorang, yang

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan, pendidikan dan mengasihi serta menghargai anak-anaknya (Cowie

BAB I PENDAHULUAN. aspek kehidupan terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya layanan

BAB I PENDAHULUAN. baik dari faktor luar dan dalam diri setiap individu. Bentuk-bentuk dari emosi yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang menunjukkan kebaikan dan perilaku yang terpuji. Akan tetapi, banyak kita

BAB I PENDAHULUAN. Hampir setiap hari kasus perilaku agresi remaja selalu ditemukan di media

BAB I PENDAHULUAN. mengatakan mereka telah dilukai dengan senjata. Guru-guru banyak mengatakan

H, 2016 HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI DAN KONTROL DIRI DENGAN PERILAKU BULLYING

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Bullying. ketidaknyamanan fisik maupun psikologis terhadap orang lain. Olweus

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap

BAB I PENDAHULUAN. meneruskan perjuangan dan cita-cita suatu negara (Mukhlis R, 2013). Oleh karena

BAB I PENDAHULUAN. Persija (singkatan dari Persatuan Sepak Bola Indonesia Jakarta) adalah sebuah

BAB I RENCANA PENELITIAN. formal, pendidikan dilakukan oleh sebuah lembaga yang dinamakan sekolah,.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. batas kewajaran. Kekerasan yang mereka lakukan cukup mengerikan, baik di

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanakkanak

BAB I PENDAHULUAN. hidup di zaman yang serba sulit masa kini. Pendidikan dapat dimulai dari

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakang. individu khususnya dibidang pendidikan. Bentuk kekerasan yang sering dilakukan

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA PENGEMBANGAN PROGRAM ANTI-BULLYING PADA INSTITUSI PENDIDIKAN DI INDONESIA PKM-GT. Diusulkan oleh :

I. PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa manusia menemukan jati diri. Pencarian. memiliki kecenderungan untuk melakukan hal-hal diluar dugaan yang

INSTRUMEN PENELITIAN PROFIL PROAKTIVITAS PESERTA DIDIK SMP PETUNJUK PENGISIAN

BAB I PENDAHULUAN. Anak usia sekolah (6-12 tahun) disebut juga sebagai masa anak-anak

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah pemberitaan di Jakarta menyatakan ham p ir 40% tindak

PENYESUAIAN SOSIAL SISWA TUNARUNGU (Studi Kasus di SMK Negeri 30 Jakarta)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan Kontrol..., Agam, Fakultas Psikologi 2016

BAB II TINJUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. terselenggara apabila dipengaruhi oleh suasana kondusif yang diciptakan oleh

DAMPAK PSIKOLOGIS BULLYING

BAB I PENDAHULUAN. dengan sebutan aksi bullying. Definisi kata kerja to bully dalam Oxford

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak

BENTUK AGRESIF REMAJA PELAKU KEKERASAN (SURVEY PADA SISWA KELAS 11 SMA NEGERI 2 KAB. TANGERANG)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dibicarakan, karena akibat negatif yang sangat mengkhawatirkan yang akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan generasi penerus bangsa di masa depan, harapanya

BAB I PENDAHULUAN. terjadi akhir-akhir ini sangat memprihatinkan. Perilaku Agresi sangat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan salah satu tempat bertumbuh dan berkembangnya

BAB I PENDAHULUAN. adalah kekerasan yang terjadi pada anak. Menurut data yang di dapat dari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pada hakikatnya manusia pasti mengalami proses perkembangan baik dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. 2010). Hal tersebut sejalan dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang

2016 HUBUNGAN ANTARA CYBERBULLYING DENGAN STRATEGI REGULASI EMOSI PADA REMAJA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. peserta didik. Banyak yang beranggapan bahwa masa-masa sekolah adalah masa

BAB I PENDAHULUAN. Individu sebagai makhluk sosial membutuhkan interaksi dengan lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan mental adalah keadaan dimana seseorang mampu menyadari

PENGARUH LAYANAN DISKUSI KELOMPOK DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA AUDIO VISUAL TERHADAP PERILAKU BULLYING SISWA KELAS XI (Studi di SMA Negeri 5 Sigi )

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menyajikan hal-hal yang menjadi latar belakang penelitian,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Saat ini berbagai masalah tengah melingkupi dunia pendidikan di

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan sekolah. Perkelahian tersebut sering kali menimbulkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja adalah periode perkembangan disaat individu mengalami

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sekolah merupakan lembaga formal yang dirancang untuk

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. memasuki masa dewasa (Rumini, 2000). Berdasarkan World Health. Organization (WHO) (2010), masa remaja berlangsung antara usia 10-20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. ukuran fisik, tapi bisa kuat secara mental (Anonim, 2008). Bullying di

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan manusia untuk mengubah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan salah satu institusi yang bertugas mendidik

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal small-group yang berupaya secara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga merupakan tempat utama dimana seorang anak tumbuh dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu kebijakan pemerintah di sektor pendidikan yang mendukung

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat

BAB I PENDAHULUAN. (usia 18 sampai 20 tahun) (WHO, 2013). Remaja merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. remaja (Hurlock, 2003). Di dalam masa remaja juga terdapat tahapan perkembangan yang

Skala Agresivitas Petunjuk Pengisian Skala

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diah Rosmayanti, 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kerugian yang ditimbulkan lebih besar dari pada manfaat yang akan terjadi,

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN. seorang individu mengalami peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Dimasa ini

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain. Untuk mewujudkannya digunakanlah media

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan ideologi, dimana orangtua berperan banyak dalam

BAB I PENDAHULUAN. siswa atau murid di lingkungan sekolahnya. Masalah yang sering muncul

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Masalah. Sadar akan hakikatnya, setiap manusia Indonesia di muka bumi ini selalu

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. berperilaku dan segala sifat yang membedakan antara individu satu dengan individu

BAB III METODE PENELITIAN. teori yang dikembangkan oleh Coloroso (2006:43-44), yang mengemukakan

BAB I PENDAHULUAN. masalah yang ringan seperti mencontek saat ujian, sampai pada perkelahian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

LAMPIRAN C SKALA STRES DAN AGRESIFITAS

I. PENDAHULUAN. Kata kekerasan sebenarnya sudah sangat sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari,

I. PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan suatu tahapan yang harus dilalui seorang individu untuk bergerak ke

Transkripsi:

57 KONDISI EMOSI PELAKU BULLYING (Studi Kasus Pada Siswa Kelas VIII di SMP DIPONEGORO 1 Jakarta) Junita 1 Dra. Michiko Mamesah, M.Psi 2 Dr. Dede Rahmat Hidayat, M.Psi 3 Abstrak Tujuan untuk memperoleh informasi lebih mendalam dan data empiris mengenai kondisi emosi siswa pelaku bullying di SMP DIPONEGORO 1 Jakarta. Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Penelitian ini dilaksanakan di SMP DIPONEGORO 1 Jakarta dengan tiga subjek, yaitu R, F dan D. Subjek dipilih berdasarkan angket perilaku bullying yang diberikan kepada seluruh siswa kelas VIII. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, observasi dan dokumentasi. Data hasil penelitian dianalisis secara deskriptif kualitatif melalui studi kasus, adapun penyajian data berupa narasi. Pemeriksaan keabsahan data dilakukan dengan triangulasi sumber dan triangulasi teknik. Hasil penelitian keseluruhan menunjukkan emosi yang dialami pelaku bullying mempengaruhi mereka dalam melakukan bullying. Subjek R, F, dan D mengalami emosi marah, tidak sabar dan benci saat sebelum melakukan bullying. Setelah melakukan bullying, mereka merasa senang dan puas karena dapat melakukan perlawanan terhadap tekanan yang mereka terima. Di sisi lain, mereka mengalami emosi sedih dan tertekan setelah melakukan bullying. Setelah melakukan bullying, pelaku merasa bersalah atau menyesal. Hasil penelitian ini menunjukkan kurangnya kemampuan pelaku dalam mengontrol emosi menjadi penyebab pelaku melakukan bullying. Perlunya penanganan konseling dengan teknik yang tepat untuk mengatasi emosi pelaku bullying seperti teknik relaksasi. Kata kunci : kondisi emosi, pelaku bullying. Pendahuluan Masa remaja dipandang sebagai masa dimana fluktuasi emosi (naik dan turun) berlangsung lebih sering atau dapat dikatakan remaja mengalami ketidakstabilan emosi. Ketidakstabilan emosi ini biasanya terjadi sebagai upaya penyesuaian diri remaja pada pola perilaku teman sebaya. Seringkali, remaja tidak mengetahui bagaimana caranya mengekspresikan perasaan mereka secara cukup, mereka tidak dapat mengelola emosinya secara efektif. Sebagai akibatnya, remaja rentan untuk mengalami depresi, kemarahan, dan sebagainya. Hal ini juga dapat memicu munculnya berbagai masalah dalam masa remaja dan dapat juga menyebabkan terjadinya kenakalan di masa remaja. Karena tidak dapat menyesuaikan diri, tidak mampu mengelola emosi dengan 1 Mahasiswa Jurusan Bimbingan dan Konseling FIP UNJ, junita.sirait19@gmail.com 2 Dosen Bimbingan dan Konseling FIP UNJ, michikomamesah@yahoo.com 3 Dosen Bimbingan dan Konseling FIP UNJ, d_r_hidayat@yahoo.com

58 Kondisi Emosi Pelaku Bullying baik, akhirnya beberapa remaja melakukan suatu tindakan agar dirinya dapat diterima dalam kelompoknya, seperti ikut melakukan tindakan tawuran, merokok, memakai narkoba, bahkan melakukan bullying untuk memperlihatkan kekuatan yang ia miliki. Bagi sebagian individu, bullying merupakan salah satu cara untuk menunjukkan kekuatan mereka pada orang lain yang mereka anggap lemah. Seperti yang diungkapkan oleh Coloroso bahwa bullying adalah suatu tindakan intimidasi yang dilakukan pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah. Perilaku bullying dapat terjadi di mana saja, bahkan dalam dunia pendidikan. Bullying di dalam dunia pendidikan sudah sering terjadi, mulai dari tingkat sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, bahkan sampai pada perguruan tinggi. Di Indonesia sendiri sudah sering terjadi kasus bullying, baik itu yang terungkap di media massa maupun yang tidak diungkap di media massa. Data yang tercatat oleh World Vision Indonesia, pada 2008, terjadi 1.626 kasus, tahun 2009 meningkat hingga 1.891 kasus, 891 di antaranya kasus di sekolah. Setelah itu, pada tahun 2012 Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait menyatakan bahwa tahun 2011 ada 139 kasus bullying di lingkungan sekolah, sedangkan pada tahun 2012 mengalami penurunan, yaitu terdapat 36 kasus. Data di tahun 2014, menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terdapat 19 kasus bullying di sekolah. Jumlah ini berdasarkan pengaduan langsung, melalui media dan melalui surat elektronik. Oleh karena itu, tujuan penulisan ini adalah untuk mendapatkan fakta-fakta yang berkaitan dengan bullying, terkhusus data tentang kondisi emosi siswa pelaku bullying di SMP DIPONE- GORO 1 Jakarta. Kajian Teori Definisi Bullying Bullying adalah tindakan intimidasi yang dilakukan pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah. Menurutnya, penindasan di sekolah lebih dikenal dengan istilah-istilah, seperti digertak atau ditekan (Coloroso, 2007). Bullying seringkali juga diidentikan dengan sebuah tindakan penindasan yang seringkali berbentuk penghinaan, sebuah perasaan tidak suka yang kuat terhadap seseorang yang dianggap layak mendapatkan hal tersebut. Coloroso juga menambahkan bahwa bullying merupakan aktivitas bermusuhan yang dilakukan secara sadar, disengaja, dan dimaksudkan untuk menyakiti, menginduksi rasa sakit melalui ancaman agresi lebih lanjut, dan meneror (Coloroso, 2004). Bullying biasanya dilakukan dengan sadar dan disengaja dari agresi atau manipulasi oleh satu atau beberapa orang terhadap orang lain (Sullivan, 2000: 80). Sementara, Olewus mendefinisikan bullying dari sudut pandang korban yaitu ketika seorang siswa secara terang-terangan mendapat perlakuan negatif secara berulang-ulang, dari waktu ke waktu atau secara terus menerus oleh seseorang atau sekelompok siswa lain (Krahe, 2001: 120). Dari berbagai macam penjelasan tentang bullying yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan secara garis besar bahwa tindakan bullying dilakukan secara sadar dan sengaja dalam waktu yang terus menerus atau dilakukan secara berulang-ulang oleh seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kekuatan kepada seseorang yang lebih lemah dengan tujuan untuk menyakiti atau melukainya. Bentuk Bullying Bullying dapat dikelompokkan menjadi tiga bentuk. Pertama, fisik, seperti memukul, menampar, dan memalak atau meminta dengan paksa apa yang bukan miliknya. Kedua, verbal, seperti memaki, menggosip, dan mengejek. Ketiga, psikologis, seperti mengintimidasi, mengucilkan, mengabaikan, dan mendiskriminasikan (Yayasan Semai Jiwa Amini, 2007: 2). Peran-peran dalam bullying Menurut Djuwita, peran-peran tersebut adalah: Bully, Asisten Bully, Reinforcer, Victim, Defender dan Outsider. Bully merupakan siswa yang dikategorikan sebagai pemimpin, yang berinisiatif dan aktif terlibat dalam perilaku bullying. Asisten Bully juga terlibat aktif dalam perilaku bullying, namun ia cenderung tergantung atau mengikuti perintah bully. Reinforcer adalah mereka yang ada ketika kejadian bully-

ing terjadi, ikut menyaksikan, mentertawakan korban, memprovokasi bully, mengajak siswa lain untuk menonton dan sebagainya. Victim merupakan orang yang menjadi sasaran dari tindakan bullying. Defender adalah orang yang berusaha membantu atau membela korban, tapi seringkali juga menjadi sasaran korban berikutnya. Outsider adalah orangorang yang tahu bahwa hal itu terjadi, namun tidak melakukan apapun, seolah-olah tidak peduli (Levianti, 2008). Pengertian Emosi Umumnya setiap individu memiliki emosi yang sama, tetapi dari hari ke hari emosi yang dirasakan tiap individu berbeda-beda, hal itu tergantung dari cara individu dalam menanggapi emosi yang ada pada dirinya. Dari segi etimologi, emosi berasal dari akar kata bahasa Latin movere yang berarti menggerakan, bergerak. Kemudian ditambahkan dengan awalan e- untuk memberi arti bergerak menjauh (Hude, 2006: 16). Hillman dan Drever sepakat mengatakan bahwa emosi adalah bentuk yang kompleks dari organisme, yang melibatkan perubahan fisik dari karakter yang luas dalam bernafas, denyut nadi, produksi kelenjar, dsb, dan dari sudut mental, adalah suatu keadaan senang atau cemas, yang ditandai adanya perasaan yang kuat, dan biasanya dorongan menuju bentuk nyata dari suatu tingkah laku (Hude, 2006: 16). Senada dengan Hillman dan Drever, Goleman mengatakan bahwa emosi adalah setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu, setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap, dan merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak (Mohammad Ali & Mohammad Asrori, 2005: 62). Berdasarkan beberapa definisi emosi yang telah dijelaskan, maka dapat disimpulkan bahwa emosi adalah suatu keadaan mental seseorang yang terjadi karena adanya rangsangan yang menyebabkan suatu perubahan psikologis dan fisiologis, serta adanya kemampuan seseorang untuk bertindak. Bentuk Emosi Plutchik mengategorikan emosi ke dalam beberapa segmen: bersifat positif dan negatif, primer 59 dan campuran, banyak yang bergerak ke kutub yang berlawanan, dan intensitasnya bervariasi. Selain itu ia juga menjelaskan bahwa terdapat beberapa emosi dasar, dan empat diantaranya selalu disebut para ahli, yakni: kegembiraan (joy), ketakutan (fear), kesedihan (sadness), dan kemarahan (anger), yang digambarkan dalam sebuah lingkaran (roda) bersama dengan emosi-emosi campuran yang bisa sangat beragam (Hude, 2006: 19). Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan studi kasus (case study). Penelitian ini dilakukan di SMP DIPONEGORO 1 Jakarta yang beralamat di Jalan Sunan Giri No.5 Rawamangun, Jakarta Timur. Penelitian diadakan pada bulan Agustus sampai bulan November 2014. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII yang menjadi pelaku bullying yang berjumlah 3 orang. Subjek dipilih berdasarkan angket perilaku bullying yang diberikan kepada seluruh siswa kelas VIII. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan wawancara, observasi dan dokumentasi. Wawancara dilakukan kepada subjek, teman subjek, wali kelas dan guru BK, pada saat jam istirahat. Proses analisis data mencakup tiga aktivitas yaitu reduksi data, display (penyajian data), dan pengambilan kesimpulan atau proses verifikasi. Dalam penelitian kualitatif ada beberapa cara yang ditempuh untuk memperoleh data yang kredibel, dalam penelitian ini menggunakan cara triangulasi dan pengecekan sejawat. Hasil dan Pembahasan Deskripsi Karakteristik Subjek Faktor Penyebab Perilaku Bullying pada Subjek R, F, dan D Tindakan bullying yang dilakukan oleh ketiga subjek memiliki faktor penyebab yang berbedabeda. Tindakan bullying yang dilakukan oleh R, F,

60 Kondisi Emosi Pelaku Bullying dan D berupa bullying fisik dan verbal, yaitu memukul, merusak benda orang lain, meminta uang secara paksa, gossip, mengucilkan, mengejek nama orang tua, serta menghina dengan kata-kata kasar dan kotor. Faktor penyebab perilaku bullying yang dilakukan oleh R, F, dan D seperti yang disampaikan oleh Smith & Thompson ada 2 faktor, yaitu faktor internal dan eksternal (Atkinson & Hornby, 2002: 190). Masing-masing subjek memiliki faktor internal yang sama dalam melakukan tindakan bullying yaitu emosi. Faktor emosi yang melatarbelakangi perilaku bullying ketiga subjek adalah emosi marah. Pada faktor eksternal, masing-masing subjek memiliki faktor yang berbeda. Faktor eksternal yang dialami oleh subjek R berasal dari faktor keluarga dan lingkungan. Faktor keluarga yang menyebabkan R melakukan bullying adalah sifat ayahnya yang temperamental dan hukuman fisik yang diberikan orang tuanya kepadanya, membuat R menjadi anak yang agresif dengan sering melakukan tindakan bullying, sesuai dengan yang disampaikan oleh Olewus. Sedangkan faktor lingkungan yang menyebabkan R melakukan bullying adalah lingkungan tempat tinggalnya yang terdahulu, yang selalu menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan suatu masalah. Faktor eksternal yang dialami oleh subjek F berasal dari faktor keluarga yaitu kurangnya kasih sayang dan perhatian dari kedua orang tuanya. Seperti yang disampaikan oleh Rigby bahwa orang tua yang kurang memberikan kasih sayang dan dukungan penuh kepada anaknya dapat memicu anak menjadi pelaku bullying. Subjek D pun mengalami faktor eksternal yang sama yaitu faktor keluarga. Faktor keluarga yang menyebabkan D melakukan bullying adalah kurangnya perhatian dari kedua orang tua dan statusnya sebagai anak angkat dalam keluarganya. Menurut Havighurst ada beberapa tugas perkembangan yang harus dicapai dalam masa remaja. Dalam hal ini, ketiga subjek belum mampu mencapai tugas perkembangan yaitu mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab. Hal ini karena tindakan bullying yang dilakukan oleh mereka menunjukkan mereka belum mampu bertanggung jawab dalam perilaku sosial mereka sehari-hari. Selain itu, mereka juga belum mampu mencapai tugas perkembangan kemandirian emosional. Hal ini karena mereka masih belum mampu mengontrol emosi mereka dalam tindakan bullying yang mereka lakukan. Kondisi Emosi Pelaku Bullying pada Subjek R Dari segi etimologi, emosi berasal dari akar kata bahasa Latin movere yang berarti menggerakkan atau bergerak. Hal yang menggerakkan R melakukan bullying adalah emosi tidak sabar. Ia melampiaskan ketidaksabarannya dengan marah kepada temannya dalam tindakan bullying. R mengakui bahwa dirinya merupakan orang yang mudah marah. Selain karena kurang sabar, ia juga marah terhadap sesuatu yang tidak ia sukai. Kemarahan R sering kali ditunjukkan dalam bentuk bullying verbal dan fisik. Selain itu yang menggerakan R dalam melakukan bullying adalah kebencian. Ia membenci beberapa orang temannya karena ia tidak menyukai sikap temannya tersebut. Ia cenderung menjauhi teman yang dibencinya. Hilman dan Drever mengatakan bahwa emosi adalah suatu dorongan menuju bentuk nyata dari suatu tingkah laku. Bentuk nyata dari suatu tindakan bullying yang dilakukan R adalah ia merasa senang dan puas ketika berhasil melakukan bullying kepada temannya. Ia merasa puas setelah dapat membalas perbuatan temannya. Hurlock mengatakan bahwa perkembangan emosi remaja dipengaruhi oleh beberapa faktor yang salah satunya adalah tekanan sosial. Selain merasa puas setelah melakukan bullying, R pun mengalami rasa sedih dan tertekan setelah melakukan bullying. Ia sangat merasa tertekan karena perilaku bullyingnya mengakibatkan ia dikeluarkan dari kepengurusan OSIS karena mendapat SP (Surat Peringatan) dari sekolah. R mengakui bahwa dirinya mengalami stress setelah kasus bullying yang ia lakukan. Akibatnya ia selalu murung dan sedih setelah kejadian tersebut. Selain itu, ia merasa tertekan karena masalah tersebut membuat ibunya kecewa kepadanya. Dalam tindakan bullying yang dilakukan R, ia pernah merasa sangat bersalah dan menyesal. Hal yang membuat R merasa bersalah karena dirinya telah membuat orang tuanya kecewa dan membuat

temannya terluka. Selain itu ia merasa menyesal karena akibat perilaku bullyingnya ia mendapat SP dan ia harus dikeluarkan dari kepengurusan OSIS. 61 Kondisi Emosi Pelaku Bullying pada Subjek F Soegarda berpendapat bahwa emosi adalah suatu respon terhadap perangsang yang menyebabkan perubahan psikologis disertai perasaan yang kuat dan biasanya mengandung kemungkinan untuk meletus. Dalam hal ini, F mendapatkan rangsangan ejekan dari teman-temannya. Respon F terhadap rangsangan tersebut merasa tidak sabar dan akhirnya melampiaskannya dalam bentuk kemarahan dan seringkali kemarahan tersebut menjadi tindakan bullying kepada teman-temannya. F merasa dirinya cepat tersinggung. Hal ini juga dikatakan oleh teman dan guru BK. Ia marah dan melawan teman yang mengganggunya. Meskipun terkadang ia sendiri yang memulai mengganggu temannya. Namun, saat dirinya diganggu ia akan marah dan membalas temannya. Sebelum F melakukan bullying, ia juga mengalami emosi benci. Ia membenci beberapa temannya karena sikap teman-temannya kurang baik kepadanya. F merasa sangat membenci seorang temannya yaitu R yang telah memukulnya. Ia bersikap menjauhi teman-teman yang dibencinya dengan tidak mau berteman dekat dengan mereka. Ia menolak untuk duduk bersama orang yang dibencinya ketika ia diminta duduk bersama oleh wali kelasnya. F mengalami kepuasan ketika berhasil menang dari temannya dan mendapat pujian dari orang lain termasuk dalam tindakan bullying yang dilakukannya. F merasa senang melihat temannya dihukum karena telah menonjoknya. Ia merasa senang melihat temannya dihukum karena ia merasa kesal dengan temannya. Menurut Hurlock salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi remaja adalah tekanan sosial. Dalam hal ini, F mengalami emosi sedih dan tertekan. Ia mengalami emosi sedih karena tekanan yang diterimanya setelah ia melakukan tindakan bullying. Tekanan sosial yang diterimanya adalah sikap teman-temannya yang menjauhinya setelah kasus bullyingnya dengan R. Ia merasa bingung dengan sikap teman-temannya yang menjauhinya karena ia merasa dirinya bukan pelaku bullying melainkan korban bullying. Namun, seorang temannya menyampaikan bahwa ia juga bersalah, ia pun melakukan bullying verbal dan memancing kemarahan R. Selain itu, menurut seorang temannya, teman-temannya menjauhi F karena takut terlibat masalah bullying dengannya. Ketika ia merasa tertekan karena masalahnya, ia menjadi sedih dan murung selama di sekolah, bahkan ia sampai tidak masuk sekolah selama beberapa hari. F juga pernah mengalami rasa menyesal atau bersalah. Ia merasa bersalah ketika bertengkar dengan adiknya. Namun, dalam melakukan tindakan bullying menurut teman, guru BK, dan wali kelasnya, F belum pernah menunjukkan rasa bersalah dan menyesal akan perbuatannya. Menurut guru BK, ia akan mengakui kesalahannya ketika ia sudah merasa tersudut. Kondisi Emosi Pelaku Bullying pada Subjek D Goleman mengatakan bahwa emosi adalah pergolakan pikiran, perasaan, nafsu, setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap, dan merujuk suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Berdasarkan hasil penelitian, D mengalami perasaan yang meluap-luap sebelum melakukan tindakan bullying yaitu ketidaksabaran menghadapi sikap teman-temannya yang mengejeknya. Saat ia sedang tidak sabar, ia menjadi marah, dan cenderung melampiaskan marahnya dalam tindakan bullying kepada temannya. Hilman dan Drever mengatakan bahwa emosi adalah suatu dorongan menuju bentuk nyata dari suatu tingkah laku. Bentuk nyata dari suatu tindakan bullying yang dilakukan R adalah marah ketika ada orang yang mengejeknya. Ia juga marah jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya. Ia sering melampiaskan kemarahannya kepada orang lain, bahkan kepada orang yang tidak bersalah kepadanya. Ia melampiaskan marahnya dalam bentuk bullying verbal maupun fisik dengan cara membentak temannya ataupun menampar temannya. Selain itu, ia memiliki buku khusus untuk melampiaskan marahnya. Ia melampiaskan marahnnya dengan mencoret-coret, merobek, bahkan menginjak-

62 Kondisi Emosi Pelaku Bullying injak buku tersebut. Terkadang ia juga menahan rasa marahnya dengan menangis. Emosi lain yang mempengaruhi D sebelum melakukan bullying adalah rasa benci. D merasa benci kepada beberapa teman di sekolahnya karena ia tidak suka dan merasa iri dengan temannya tersebut. Menurut temannya, sikap D kepada teman yang dibencinya suka mengejek dan membicarakan teman yang dibencinya tersebut. Seperti yang dikatakan Hurlock bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi remaja adalah tekanan sosial. Dalam hal ini, D mengalami tekanan dari teman-temannya yaitu karena diejek dengan julukan babi. Ia merasa sedih saat diejek seperti itu. Selain itu, D juga mengalami rasa tertekan sebelum melakukan bullying. Ia merasa tertekan saat dirinya terus menerus dituduh bersalah, padahal menurutnya dirinya tidak bersalah. Dalam kondisi tertekan, ia menjadi stress dan sering marah tanpa sebab dan melakukan tindakan bullying. D merasa senang ketika mendapatkan apa yang dia inginkan. Temannya memperjelas bahwa D merasa senang ketika melakukan bullying kepada temannya. Teman D pernah menjadi korban tindakan bullyingnya. Setelah D melakukan bullying tersebut, ia merasa senang dengan menunjukkan ekspresi senyum. D merasa bersalah saat dirinya membohongi orang tua dan wali kelasnnya. Namun, menurut teman, guru BK dan wali kelasnya, ia tidak pernah terlihat menyesal atau merasa bersalah ketika melakukan kesalahan termasuk setelah melakukan bullying. Menurut wali kelasnya, ia hanya akan mengaku salah ketika ada bukti yang menunjukan bahwa dirinya bersalah. Simpulan dan Saran Secara umum kesimpulan yang dihasilkan adalah bahwa emosi yang dialami pelaku bullying yang mempengaruhi mereka dalam melakukan bullying adalah emosi marah. R, F, dan D sebelum merasakan emosi marah, mereka merasa tidak sabar dengan tekanan yang diberikan oleh orang di sekitarnya. Selain itu mereka juga mengalami emosi benci terhadap teman yang menjadi korban bullying mereka. Mereka merasa senang dan puas saat dapat melakukan bullying atau memberi perlawanan ter-hadap tekanan yang mereka terima. R dan F mengalami emosi sedih dan tertekan setelah melakukan bullying karena tindak bullying yang mereka lakukan membuat mereka mendapat sanksi dari sekolah dan lingkungan. Sedangkan D mengalami emosi sedih dan tertekan sebelum melakukan bullying, karena ejekan dan tuduhan yang diterimanya. Setelah melakukan bullying pelaku merasa bersalah atau menyesal, hal ini yang dirasakan oleh R. Sedangkan F dan D tidak pernah merasa menyesal atas tindakan bullying yang mereka lakukan. Salah satu faktor seorang anak menjadi pelaku bullying berasal dari keluarga, yaitu kurangnya perhatian orang tua kepada anak. Untuk itu, penting bagi orang tua memberi perhatian khusus dan kasih sayang yang lebih kepada anaknya, sehingga mencegah anak melakukan tindakan-tindakan bullying untuk mencari perhatian terhadap orang lain. Guru Bimbingan dan Konseling harus memberi perhatian khusus kepada para pelaku bullying agar tidak bertambahnya korban bullying yang akhirnya dapat terindikasi menjadi pelaku berikutnya. Guru BK dapat melakukan pengumpulan data melalui so-siometri atau AUM untuk dapat mengidentifikasi permasalah siswa sejak dini. Setelah itu, guru BK dapat membuat program layanan untuk mencegah terjadinya bullying di sekolah, seperti layanan bimbingan klasikal atau bimbingan kelompok dengan tema dampak dari perilaku bullying, dengan memberi video tentang bullying. Bagi siswa yang sudah teridentifikasi sebagai pelaku, guru BK dapat melakukan tindak lanjut seperti konseling individu atau kelompok dengan menggunakan teknik relaksasi untuk mengelola emosi pelaku bullying atau dapat juga mengajarkan siswa pelaku bullying coping emosi. Daftar Pustaka Ali, Mohammad & Mohammad Asrori. (2005). Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Bumi Aksara. Atkinson & Hornby. (2002). Mental Health Handbook for School. London and New York: RoutledgeFalmer. Coloroso. (2004). Penindas, Tertindas, dan Penonton. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.. (2007). Stop Bullying. Jakarta: Serambi Il-

mu Semesta. Hude. (2006). Emosi: Penjelajahan Religio-Psikologis tentang Emosi Manusia di dalam Al-Qur an. Jakarta : Erlangga. Krahe. (2001). The Social Psychology of Aggression. Philadhelphia : Psychology Press Ltd. 63 Levianti. (2008). Konformitas dan Bullying pada Siswa. Jurnal Psikologi, Vol. 6 No.1. Sullivan. (2000). The Anti-Bullying Handbook. New York: The Oxford University Press. Yayasan Semai Jiwa Amini. (2007). Bullying: Panduan Bagi Orangtua dan Guru. Jakarta: Grasindo.