PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk mencapai swasembada protein asal ternak khususnya swasembada daging pada tahun 2005, maka produkksi ternak kambing Peranakan Etawah (PE) sebagai salah satu penghasil daging dan susu perlu ditingkatkan serta dipercepat perkembangannya. Apabila ditinjau dari segi sosial masyarakat, pemeliharaan ternak kambing tidak memerlukan modal besar dibandingkan dengan ternak lainnya, dagingnya dapat dikonsumsi oleh seluruh masyarakat, serta sangat menguntungkan karena ternak kambing bersifat prolifik atau beranak lebih dari satu ekor per kelahiran (Subandriyo, 1995). Selain itu ternak kambing juga sangat efisien dalam menggunakan hijauan, mempunyai kemampuan tinggi untuk merumput dipadang rumput yang pendek (Tomaszewska dkk, 1991b), mudah beradaptasi dan mempunyai umur kebuntingan yang singkat serta mempunyai kemampuan untuk tumbuh dan berkembang biak pada daerah-daerah yang relatif kering. Kelemahan ternak kambing di Indonesia adalah rendahnya daya tumbuh dan tingkat kematian yang tinggi pada anak sehingga menurunkan produktivitas induk, padahal kecepatan pertumbuhan sangat menentukan efisiensi dan keuntungan usaha peternakan kambing. Selanjutnya Haryanto dkk (1997) menyatakan bahwa, masalah utama yang harus diatasi pada usaha peternakan kambing adalah meningkatkan produktivitasnya, karena walaupun kambing termasuk prolifik tetapi secara umum produktivitasnya relatif rendah.
Berkaitan dengan masalah tersebut diatas, yaitu rendahnya produktivitas ternak yang diperkirakan karena pada umumnya kegiatan sub sektor peternakan masih merupakan mata rantai dari kegiatan sistem pertanian yang sebagian besar kegiatannya dikelola oleh petani peternak kecil dengan modal (ternak, lahan, alat dan teknologi) yang terbatas. Rendahnya produktivitas kambing milik peternak di pedesaan disebabkan karena antara lain jumlah pemilikan ternak per peternak yang kecil, tingkat kelahiran yang rendah yaitu 1.49 anak per betina dewasa per tahun (Haryanto dkk, 1997). Kambing PE yang dipelihara oleh rakyat mencapai dewasa, siap kawin dan bunting pada umur antara 2 sampai dengan 2,5 tahun serta melahirkan pada umur antara 3 sampai dengan 3,5 tahun (Haryanto dkk, 1997). Sedangkan diketahui secara normal kambing siap kawin dan bunting dicapai pada umur antara 11 sampai dengan 13 bulan dan melahirkan antara umur 16 sampai dengan 18 bulan. Menurut Sutama dkk (1994) selang beranak atau interval beranak bervariasi tergantung jenis, umur induk, periode laktasi, tingkat beranak dan faktor pakan. Selanjutnya dinyatakan bahwa pada kambing dapat terjadi dua kali kelahiran per tahun. Interval beranak dipengaruhi juga oleh sistem pemeliharaan dan dapat mencapai 240 sampai dengan 350 hari (Sutama dkk, 1994). Pada kenyataannya banyak ditemukan ditingkat lapangan, ternak melahirkan hampir sekali dalam setahun bahkan sekali dalam dua tahun, ha1 ini umumnya dikarenakan tatalaksana perkawinan tidak terlalu diperhatikan dan saat induk tidak bertemu dengan pejantan sehingga tidak diketahui saat estrus dan juga deteksi estrus memang sulit dilakukan untuk ternak kambing dan domba tanpa kehadiran pejantan, terutama ternak yang dikandangkan
terus menerus, sedangkan perbedaan jumlah anak sekelahiran dikarenakan jenis ternak dan musim. Penyebab lain yang juga mengakibatkan rendahnya kinerja reproduksi dari kambing-kambing tersebut adalah kemungkinan disebabkan oleh adanya gangguan produksi hormon ataupun sekresi hormon reproduksi. Dalam rangka usaha pengembangan dan peningkatan populasi ternak kambing Peranakan Etawah tersebut, maka faktor-faktor yang berkaitan dengan reproduksi perlu mendapat perhatian. Untuk itu perlu dilakukan pendekatan teknologi yang meliputi komponen yang mempengaruhinya yaitu 1) Mempercepat pubertas ; 2) Memperpendek selang beranak ; 3) Menekan kematian anak pra sapih serta 4) Memperbanyak jumlah anak sekelahiran dan sebagainya (Haryanto dkk, 1997). Teknologi lnseminasi Buatan (IB) telah diterapkan di Indonesia sejak tahun 1952 khususnya pada ternak sapi. Namun penerapan di lapangan secara intensif baru dimulai tahun 1973 dengan menggunakan semen beku dari beberapa sapi impor. Hambatan dan rendahnya tingkat konsepsi hasil I8 (pada ternak kambing) yang dihadapi dalam pelaksanaannya adalah selain belum memasyarakatnya teknologi tersebut diseluruh wilayah pedesaan kecuali wilayah Desa Binaan dan Sentra Peternakan, juga disebabkan oleh sulitnya pengamatan deteksi estrus oleh petani peternak karena faktor intensitas pengamatan yang kurang dari peternak, sementara periode estrus berlangsung sangat singkat dengan gejala yang kurang begitu jelas terlihat. Untuk Mengefisienkan pelayanan IB tersebut maka hambatan yang dihadapi
didalam pelaksanaannya pada kambing tersebut harus ditekan sekecil mungkin. Dalam suatu kelompok ternak, estrus yang tidak serentak merupakan kendala dalam pelaksanaan IB. Hafez (1993) menyatakan bahwa didalam suatu kelompok ternak betina dengan siklus estrus yang acak, saat terjadinya estrus tidak dapat diprediksi dengan tepat. Kendala tersebut dapat diatasi dengan menggunakan suatu metode yang sudah dilakukan secara meluas yaitu sinkronisasi estrus. i Sinkronisasi estrus adalah pengendalian siklus estrus sedemikian rupa sehingga periode estrus pada banyak ternak betina terjadi secara serentak pada saat yang sama atau dalam waktu dua sampai tiga hari, sehingga IB dapat dikerjakan secara serentak dan ha1 ini dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi reproduksi. Dasar fisiologik dari sinkronisasi estrus adalah hambatan pelepasan FSH dan LH dari adenohipofisis dan menghambat pematangan folikel de Graaf atau penyingkiran corpus luteum (CL) secara mekanik, manual atau fisiologik dengan pemberian progesteron, agen luteolitik (PGF2a), estrogen atau analognya (Mc Donald, 1989). Bertolak dari masalah yang telah diuraikan diatas, maka telah dilakukan penelitian melalui suatu percobaan yang bertujuan untuk mengetahui sampai sejauh mana efektivitas lama pemberian implan Progesteron lntravaginal dan waktu inseminasi terhadap penampilan reproduksi kambing Peranakan Etawah (PE).
Dasar Pertimbangan Kemampuan bereproduksi merupakan faktor penting untuk menjaga kelangsungan hidup suatu populasi mahluk hidup. Siklus reproduksi pada hewan betina merupakan suatu proses yang kompleks. Kehidupan hewan betina yang normal antara lain harus mengalami pubertas, estrus dan juga menghasilkan ovum yang hidup dan diovulasikan pada waktu yang tepat (Toelihere, 1981). Problema utama, yang dihadapi pada siklus reproduksi kambing Peranakan Etawah adalah rendahnya kualitas dan kuantitas reproduksi. Dari berbagai pengamatan terlihat bahwa gangguan reproduksi merupakan hambatan dan penyebab utama didalam perkembangan usaha peternakan kambing Peranakan Etawah. Gangguan reproduksi tersebut diawali oleh kurang memadainya penanganan ternak oleh petani peternak, sehingga timbul gangguan fungsional, kawin berulang dan kemudian mengakibatkan angka pelayanan per kebuntingan tinggi, rendahnya angka kebuntingan dan kelahiran serta panjangnya jarak antar kelahiran (Toelihere, 1997). Dalam program inseminasi buatan ada empat faktor utama yang menentukan efisiensi reproduksi yang menggambarkan keberhasilan atau optimalisasi pelayanan inseminasi buatan (IB) (Toelihere, 1997). Keempat faktor tersebut adalah : 1) Kesuburan bibit semen pejantan (faktor pejantan) 2) Kesuburan ternak betina akseptor (faktor betina); 3) Ketrampilan inseminator dan 4) Pengetahuan zooteknik peternak (faktor ketepatan deteksi estrus dan waktu inseminasi). Keempat faktor tersebut saling
berkaitan erat satu sama lain, apabila terdapat salah satu faktor yang rendah nilainya maka akan mempengaruhi efisiensi produksi. Untuk mengefisienkan pelaksanaan IB maka dilakukanlah sinkronisasi estrus yang merupakan pengendalian siklus sedemikian rupa sehingga periode estrus pada banyak ternak betina terjadi secara serentak pada hari yang sama atau dalam kurun waktu dua sampai tiga hari sehingga pelaksanaan 18 : dapat pula dilakukan secara serentak dan efisiensi reproduksi dapat ditingkatkan. Dewasa ini telah dikembangkan metode Controlled Internal Drug Release (CIDR) untuk beberapa jenis ternak antara lain untuk kambing (CIDR-G) oleh sebuah perusahaan swasta New Zealand. Kandungan progesteron dalam CIDR-G tersebut 0,33 gram identik dengan progesteron alami pada seluruh mamaiia. Progesteron yang diserap oleh vagina kedalam aliran darah akan mempertahankan kadar didalam darah, cukup untuk menekan pelepasan LH dan FSH dari hipofisis untuk jangka waktu program perlakuan yang direkomendasikan. Kadar progesteron darah akan mencapai kadar tinggi setelah pemasukan CIDR, mendatar selama periode perlakuan dan kemudian turun dengan cepat setelah CIDR-G dilepas dan kembali ke kadar basal dalam waktu enam jam (InterAg, 1996). Namun demikian, standar yang optimal untuk lama pemberian CIDR-G yang mengandung progestron 0.33 gram pada kambing PE kemudian diinseminasi dengan waktu yang berbeda informasinya masih kurang sehingga memerlukan penelitian lanjut. Diharapkan dengan perlakuan yang akan diberikan nanti dapat meningkatkan optimalisasi pelaksanaan IB dan dengan sendirinya akan meningkatkan efisiensi reproduksi kambing PE.
Perurnusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan, maka masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : Apakah terdapat pengaruh perbedaan lama pemberian implan progesteron intravaginal (7 dan 14 hari) dan waktu inseminasi dengan kisaran waktu (sekitar 20 dan 30 jam) setelah onset estrus terhadap onset estrus dan angka kebuntingan. Tujuan Penelitian 1. Menentukan efektivitas lama pemberian implan progesteron intravaginal untuk sinkronisasi estrus dan pencapaian angka kebuntingan optimal pada kambing PE. 2. Mengetahui pengaruh lama pemberian implan progesteron intravaginal terhadap onset estrus, persentase ternak yang estrus dan angka kebuntingan. 3. Menentukan waktu IB yang terbaik dalam pencapaian angka kebuntingan yang optimal. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan informasi ilmiah tentang lama penggunaan implan progesteron dalam sinkronisasi estrus metode intravaginal dan waktu inseminasi yang tepat untuk meningkatkan angka kebuntingan pada ternak kambing PE.
Hipotesis 1. Lama pemberian implan progesteron intravaginal memberikan respons dalam sinkronisasi estrus dan angka kebuntingan. 2. Waktu IB yang berbeda akan memberikan respons yang tidak sama terhadap pencapaian angka kebuntingan optimal kambing PE.