BAB IV PENUTUP. (perkara Nomor: 305/Pdt.G/BANI/ 2014/PNJkt.Utr) adalah sebagai berikut:

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Bentuk sengketa beraneka ragam dan memiliki sekian banyak liku-liku yang

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis, maka didapat hasil penelitian sebagai

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 9 ARBITRASE (2)

PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 26/PUU-XV/2017 Pembatalan Putusan Arbitrase

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR: KEP 08/BAPMI/ TENTANG

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

Drs. H. Zulkarnain Lubis, MH BAGIAN KEPANITERAAN Judul SOP Pelaksanaan Persidangan Perkara Gugatan Cerai Talak

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA. Oleh: NY. BASANI SITUMORANG, SH., M.Hum. (Staf Ahli Direksi PT Jamsostek)

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum

Pokok-Pokok Masalah Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia oleh: M. Husseyn Umar *)

PEMERIKSAAN GUGATAN SEDERHANA (SMALL CLAIM COURT)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB V P E N U T U P. forum penyelesaian sengketa yang pada awalnya diharapkan dapat menjadi solusi

PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Yati Nurhayati ABSTRAK

Drs. H. Zulkarnain Lubis, MH BAGIAN KEPANITERAAN Judul SOP Pelaksanaan Persidangan Perkara Gugatan Cerai Gugat

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm

DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU. Perhatikan desain-desain handphone berikut:

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

PROSEDUR DAN PROSES BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2015, No tidaknya pembuktian sehingga untuk penyelesaian perkara sederhana memerlukan waktu yang lama; d. bahwa Rencana Pembangunan Jangka Mene

HPI PEMAKAIAN HUKUM ASING PERTEMUAN XIII, XIV & XV. By Malahayati, SH, LLM

BAB I PENDAHULUAN. dipungkiri tidak hanya berdampak pada peningkatan kondisi perekonomian

R I N G K A S A N. setiap perkara perdata yang diajukan kepadanya dan Hakim berkewajiban membantu

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UPAYA HUKUM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA

PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1. Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2.

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR

PUTUSAN Nomor : 1116/Pdt.G/2014/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan permasalahan yang dikemukakan pada bab-bab sebelumnya dapat disusun kesimpulan sebagai berikut:

PENETAPAN Nomor 0868/Pdt.G/2014/PA.Pas. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA,

P U T U S A N Nomor 23/Pdt.G/2014/PTA.Mks

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n Tentang Desain Industri

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB VII PERADILAN PAJAK

dengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat iktidak tidak baik (Pasal 17 ayat 3).

PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1 Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2

MEDIASI. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAGAN ALUR PROSEDUR PERKARA PERDATA PENDAFTAAN KASASI

BAB IV ANALISIS STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM

P U T U S A N Nomor <No Prk>/Pdt.G/2017/PTA.Bdg. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon (Suami) atau kuasanya :

LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

PANDUAN WAWANCARA. proses mediasi terhadap perkara perceraian? b. Apa ada kesulitan dalam menerapkan model-model pendekatan agama?

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB I PENDAHULUAN. sengketa yang terjadi diantara para pihak yang terlibat pun tidak dapat dihindari.

PUTUSAN Nomor 0930/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. melawan

KESIMPULAN. saja Kesimpulan dapat membantu hakim dalam menjatuhkan Putusan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 23/PUU-XIV/2016 Perselisihan Hubungan Industrial

*12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor : 52/Pdt.G/2010/PA.Sgr.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

Perkara Tingkat Pertama Cerai Gugat. Langkah-langkah yang harus dilakukan Penggugat (Istri) atau kuasanya :

P U T U S A N Nomor 488/Pdt/2016/PT.BDG M E L A W A N

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

P U T U S A N NOMOR 232/PDT/2014/PT.BDG. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Pengadilan Tinggi Bandung, yang memeriksa dan mengadili

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

PENERAPAN PERMA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG MEDIASI DALAM PERSIDANGAN DI PENGADILAN AGAMA Oleh : H. Sarwohadi, SH, MH (Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor 271/Pdt/2013/PT.Bdg. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA L A W A N D A N

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II GAMBARAN UMUM. A. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) kota Pekanbaru

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

P U T U S A N No. 237 K/TUN/2004 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01 TAHUN Tentang

TEHNIK PEMBUATAN PUTUSAN. Oleh Drs. H. Jojo Suharjo ( Wakil Ketua Pengadilan Agama Brebes Kelas I. A. ) KATA PENGANTAR

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

P U T U S A N. Nomor: 1717/Pdt.G/2012/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Melawan

TEKNIK PEMBUATAN BERITA ACARA SIDANG (BAS) 1

PUTUSAN Nomor : 0817/Pdt.G/2012/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

BAB IV PENUTUP. yang dikemukakakan sebelumnya maka Penulis memberikan kesimpulan sebagai

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

KONSEKUENSI HUKUM BAGI SEORANG ARBITER DALAM MEMUTUS SUATU PERKARA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 1999

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Transkripsi:

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan 1. Proses pembatalan putusan arbitrase oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara (perkara Nomor: 305/Pdt.G/BANI/ 2014/PNJkt.Utr) adalah sebagai berikut: tahap pertama Pemohon mengajukan permohonannya yang berisikan identitas para pihak, alasan- alasan yang mendasar diajukan permohonan pembatalan ( Posita) dan menyampaikan apa-apa yang diinginkan oleh pihak pemohon, yang disebut juga dengan Petitum. Kemudian didaftarkan kepaniteraan Jakarta Utara ( karena memang pihak Termohon berdomisili di daerah Jakarta Utara ). Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara, menunjuk Majelis Hakim yang akan memeriksa Perkara tersebut sehingga terbitlah penetapan Ketua Pengadilan tentang Penunjukkan Majelis Hakim. Setelah diberitahukan penetapan penunjukan majelis hakim kepada majelis hakim yang bersangkutan maka majelis hakim menentukan penetapan hari sidang dan oleh majelis hakim yang bersangkutan akan menyampaikan pada juru sita pengadilan supaya memanggil para pihak (dalam hal ini pihak Pemohon dan Termohon atau Penggugat dan Tergugat). Pada waktu hari sidang yang ditentukan, maka majelis hakim akan membuka sidang yang mana terbuka untuk umum. Ketua Majelis Hakim akan menanyakan identitas para pihak atau Kuasanya yang hadir, dan apabila para pihak ada yang belum hadir maka diberikan kesempatan untuk dipanggil dua kali lagi. Apabila para pihak semua sudah hadir atau pihak yang tidak hadir sudah dipanggil secara patut tidak

hadir juga maka pihak yang tidak hadir tersebut tadi ditinggal atau dianggap tidak mempertahankan haknya. Bagi pihak yang hadir proses selanjutnya adalah mediasi yang dipimpin oleh seorang Hakim Mediator, baik Hakim Mediator dari Pengadilan itu sendiri atau para pihak menunjuk Hakim Mediator yang berasal dari Luar Pengadilan. Untuk mediasi ini diberikan waktu 40 (empat puluh) hari, apabila dalam jangka waktu tersebut tidak terdapat kesepakatan para pihak maka mediator harus mengembalikan ke Majelis semula. Atau apabila sebelum 40 (empat puluh) hari, sudah tercapai kesepakatan, maka hasil kesepakatan tadi dijadikan sebagai Akta Perdamaian (Dading) yang kekuatannya sama dengan Putusan Pengadilan dan hasil kesepakatan tersebut tidak boleh di banding. Dalam hal tidak tercapai perdamaian, walaupun belum habis waktu untuk mediasi, maka mediator harus mengembalikan perkara tersebut ke Majelis Hakim yang menyidangkan perkara tersebut. Pada hari yang ditentukan Hakim membuka sidang kembali dan melanjutkan pemeriksaan perkara, biasanya Hakim mengganggap gugatan sudah dibacakan, maka untuk sidang selanjutnya pihak Tergugat akan menyampaikan jawaban (biasanya jeda setiap kali sidang adalah 1(satu) minggu. Di minggu selanjutnya pihak Pengugat akan menjawab jawaban Tergugat yang disebut dengan Replik. Pada sidang selanjutnya pihak Tergugat akan menyampaikan Duplik (jawaban dari Replik), kemudian bukti dari pihak Pengugat dan bukti pihak Tergugat saksi -saksi dari Penggugat dan saksi dari pihak Tergugat diakhir persidangan sebelum acara putusan, para pihak (pegugat dan Tergugat) akan menyampaikan kesimpulan ( Konklusi) guna

mempermudah majelis hakim dalam membuat pertimbangan. Akhirnya setelah semua acara dilalui maka sampailah kepada putusan. Proses Pembatalan putusan arbitrase oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara (perkara Nomor: 305/Pdt.G/BANI/ 2014/PNJkt.Utr berawal dari ketidakpuasan pihak PT. Sea World Indonesia terhadap Putusan BANI Nomor 513/IV/ARB- BANI/2013 yang sudah diputus dan mengajukan permohonan pembatalan sesuai unsur-unsur dalam Undang Undang RI. No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Altenatif Penyelesaian Sengketa pada unsur point b yaitu ada dokumen maupun fakta yang disembunyikan baik oleh PT. Pembangunan Jaya Ancol (Persero),Tbk. (Termohon I ) sebagai pihak maupun salah satu arbiter BANI (Termohon II) yang ditunjuk oleh Termohon I yang sifatnya menentukan dan point c. putusan BANI Nomor 513/IV/ARB-BANI/2013 terindikasi kuat putus berdasarkan tipu muslihat yang menunjukkan keberpihakkan Termohon II kepada salah satu pihak sehingga adalah berdasar hukum Putusan BANI Nomor 513/IV/ARB-BANI/2013. Jawaban dari Termohon II terhadap dalil yang disampaikan Pemohon pada point b Undang Undang RI. No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Altenatif Penyelesaian Sengketa Pasal 70 mengenai adanya dokumen yang sifatnya menentukan di mana dokumen ini menunjukkan adanya afiliasi antara saksi ahli tidak mendasar dan mengada-ada. Termohon II menegaskan tidak benar Ibu ME. Elijana Tansah, SH., bekerja atau pernah bekerja di Kantor GANI DJEMAT & Partners, tempat dimana Bpk Humprey R Djemat,SH.

2. Akibat hukum pembatalan putusan arbitrase oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara (perkara Nomor: 305/Pdt.G/BANI/ 2014/PNJkt.Utr) adalah walaupun pihak PT. SEA WORLD INDONESIA (PT.Laras Tropika Nusantara) telah berusaha membatalkan putusan arbitrase Nomor 513/IV/ARB-BANI/2013 namun pada akhirnya posisi kasusnya kembali ke semula karena pihak PT,PEMBANGUNAN JAYA ANCOL (persero) Tbk dan BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA (BANI) melakukan upaya banding ke Mahkamah Agung tapi sebaliknya PT SEA WORLD INDONESIA (PT.Laras Tropika Nusantara), tidak dapat lagi mengajukan upaya hukum karena berhubungan dengan adanya Pasal 72 ayat (4) UU Nomor 30 tahun 1999. Dalam Studi kasus yang penulis angkat pada penulisan skripsi ini, walaupun sudah diperiksa pada dua (2) tingkat Pengadilan ( Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung), namun putusan tersebut tidak merobah akibat hukum pada para pihak karena putusannya kembali pada Putusan arbitrase semula. Diketahui dari pihak Pengadilan Negeri Jakarta Utara saat ini PT SEA WORLD INDONESIA (PT.Laras Tropika Nusantara) telah mengajukan gugatan Perdata ( Perbuatan melawan Hukum) terhadap PT.PEMBANGUNAN JAYA ANCOL (persero) Tbk akibat PT. SEA WORLD INDONESIA (PT.Laras Tropika Nusantara), tidak merasa puas dengan putusan Arbitrase maupun dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara ataupun Putusan Banding Mahkamah Agung.

Dalam Studi kasus yang penulis angkat pada penulisan skripsi ini, walaupun sudah diperiksa pada dua (2) tingkat Pengadilan ( Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung), namun putusan tersebut tidak merobah akibat hukum pada para pihak karena putusannya kembali pada Putusan arbitrase semula. Diketahui dari pihak Pengadilan Negeri Jakarta Utara saat ini PT SEA WORLD INDONESIA (PT.Laras Tropika Nusantara) telah mengajukan gugatan Perdata ( Perbuatan melawan Hukum) terhadap PT.PEMBANGUNAN JAYA ANCOL (persero) Tbk akibat PT. SEA WORLD INDONESIA (PT.Laras Tropika Nusantara), tidak merasa puas dengan putusan Arbitrase maupun dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara ataupun Putusan Banding Mahkamah Agung. B. Saran 1. Agar tidak terjadi lagi pembatalan putusan arbitrase ke Pengadilan Negeri, kedepannya pembuat Undang-Undang harus merobah atau memperbaiki Undang-Undang Nomor 30/1999, agar tidak memberikan celah pada pihak yang dikalahkan dalam putusan arbitrase tetap dipertahankan azaz final dan binding. 2. Pasal-pasal pada Undang-Undang Nomor 30/1999, saling bertentangan ( UU tersebut tidak sempurna), yaitu pasal 60 yang berbunyi Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai hukum tetap mengikat para pihak dan sementara di pasal 70 dibuka peluang kepada pihak melakukan tindakan pembatalan yang mana pasal 70 tersebut berbunyi

Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut : a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksan sengketa. Dan pasal 72 ayat (4) yang berbunyi : Terhadap putusan Pengadilan Negeri dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir. Sehingga kiranya perlu disempurnakan dan menghapus pasal 72 UU Nomor 30 tahun 1999. 3. Perlunya penyempurnaan UU Arbitrase Arbiter adalah manusia biasa, yang tidak pernah luput dari kesalahan. Hakim yang sudah mendapatkan pendidikan dan pelatihan khusus saja tidak luput dari kesalahan, apalagi arbiter, yang mungkin saja tidak berlatarbelakang pendidikan hukum. Suatu putusan arbitrase karenanya tidak kebal (immune) terhadap kontrol (pengawasan) atau pemeriksaan oleh pengadilan. Justru, untuk menjaga kualitasnya sehingga pada akhirnya arbitrase dapat berkembang, arbitrase membutuhkan kontrol pengadilan. Itu sebabnya, pembatalan suatu putusan arbitrase adalah upaya hukum yang biasa yang berlaku secara universal. Hukum arbitrase di negara manapun pasti mengatur upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap suatu putusan arbitrase, walaupun istilah yang digunakan mereka mungkin berbeda-beda. Di Amerika Serikat misalnya menggunakan istilah vacating the award (dapat diterjemahkan peniadaan putusan); di Perancis seperti halnya di Belanda dan Indonesia menggunakan

istilah pembatalan (annulment; recours en annulation); di beberapa negara lainnya menggunakan istilah setting aside (dapat diterjemahkan pengesampingan). Meski demikian, tentu saja, upaya pembatalan putusan arbitrase tidak boleh dilakukan secara berlebihan. Campur-tangan pengadilan melalui kewenangannya untuk membatalkan putusan arbitrase perlu dibatasi, dengan tetap memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat mengenai arbitrase. Agar arbitrase di Indonesia dapat berkembang baik, UU Arbitrase memang perlu disempurnakan dalam beberapa aspek, khususnya dalam hal pengaturan mengenai alasan-alasan yang dapat digunakan oleh pengadilan Indonesia untuk membatalkan putusan arbitrase. Penulis berharap pihak-pihak yang berwenang segera melakukan segala upaya agar UU Arbitrase dapat disempurnakan sehingga UU Arbitrase Indonesia boleh sinkron dengan konvensi-konvensi internasional mengenai arbitrase yang sudah terlebih dahulu diratifikasi Indonesia, maupun kaidah-kaidah hukum arbitrase yang berlaku secara universal. Sementara waktu, mengingat UU Arbitrase belum mengatur secara khusus alasan-alasan yang dapat digunakan oleh pengadilan untuk membatalkan putusan arbitrase, maka nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat sehubungan dengan pembatalan putusan arbitrase dapat digali, dipahami, dan diikuti oleh pengadilan Indonesia. Alasan-alasan sebagaimana tercantum dalam Konvensi New York maupun UNCITRAL Model Law, seperti: ketiadaan perjanjian arbitrase yang sah, pelanggaran terhadap prinsip kepatutan atau

keadilan dalam berperkara (due process of law), misalnya: ketidakwajaran dalam proses pemilihan arbiter atau proses arbitrase, tidak adanya pemberitahuan yang patut dan pemberian kesempatan membela diri yang adil/ berimbang, proses pemilihan arbiter yang bertentangan dengan perjanjian, arbiter yang bertindak di luar kewenangan (excess of authority), dan sengketa yang diputus tidak dapat diarbitrasekan (non-arbitrable), maupun (apalagi) alasan pelanggaran atas ketertiban umum (public policy), menurut penulis sepatutnya ikut dipertimbangkan oleh pengadilan dalam memeriksa permohonan pembatalan putusan arbitrase di Indonesia.