BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perjalanan penyakit yang cepat, dan dapat menyebabkan. kematian dalam waktu yang singkat (Depkes R.I., 2005). Selama kurun waktu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kejadian luar biasa dengan kematian yang besar. Di Indonesia nyamuk penular

HUBUNGAN FAKTOR PERILAKU DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BOYOLALI I

BAB 1 PENDAHULUAN. Di era reformasi, paradigma sehat digunakan sebagai paradigma

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhage Fever (DHF) banyak

BAB I PENDAHULUAN. hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes spp.

BAB 1 PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah

BAB I PENDAHULUAN. serotype virus dengue adalah penyebab dari penyakit dengue. Penyakit ini

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorhagic Fever

BAB I PENDAHULUAN. tropis. Pandangan ini berubah sejak timbulnya wabah demam dengue di

BAB. I Pendahuluan A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever

BAB I PENDAHULUAN. yang masuk ke peredaran darah manusia melalui gigitan snyamuk dari genus Aedes,

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit demam berdarah dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Penyakit DBD merupakan masalah serius di Provinsi Jawa Tengah, daerah yang sudah pernah terjangkit penyakit DBD yaitu 35 Kabupaten/Kota.

BAB I PENDAHULUAN. setiap tahunnya. Salah satunya Negara Indonesia yang jumlah kasus Demam

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia, salah satunya penyakit Demam

BAB I LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambaran epidemiologi..., Lila Kesuma Hairani, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ANALISIS FAKTOR RISIKO PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KELURAHAN HELVETIA TENGAH MEDAN TAHUN 2005

PREVALENSI DEMAM BERDARAH DENGUE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TUMINTING TAHUN Ronald Imanuel Ottay

BAB I PENDAHULUAN. Bupati dalam melaksanakan kewenangan otonomi. Dengan itu DKK. Sukoharjo menetapkan visi Masyarakat Sukoharjo Sehat Mandiri dan

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue merupakan famili flaviviridae

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di Indonesia dan bahkan di Asia Tenggara. World Health

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat karena menyebar dengan cepat dan dapat menyebabkan kematian (Profil

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Hubungan faktor..., Amah Majidah Vidyah Dini, FKM UI, 2009

BAB I PENDAHULUAN. dan tantangan yang muncul sebagai akibat terjadinya perubahan sosial ekonomi dan

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan. salah satu masalah kesehatan lingkungan yang cenderung

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tenggara serta Pasifik Barat (Ginanjar, 2008). Berdasarkan catatan World

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian,

1. PENDAHULUAN Tahun

BAB I PENDAHULUAN. lancarnya transportasi (darat, laut dan udara), perilaku masyarakat yang kurang sadar

I. PENDAHULUAN. Salah satu penyakit yang ditularkan oleh nyamuk sebagai vektornya adalah Demam

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever

BAB I PENDAHULUAN. telah menjadi masalah kesehatan internasional yang terjadi pada daerah tropis dan

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dalam beberapa tahun terakhir

BAB I PENDAHULUAN. tropis dan subtropis di seluruh dunia. Dalam beberapa tahun terakhir terjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes, dengan ciri

masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dalam lingkungan sehat, berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), mempunyai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. di Indonesia yang cenderung jumlah pasien serta semakin luas. epidemik. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan

BAB I PENDAHULUAN. gigitan nyamuk dari genus aedes misalnya Aedes aegypti atau Aedes albovictus.

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh. virus Dengue yang ditularkan dari host melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti.

BAB I PENDAHULUAN. semakin besar. Keadaan rumah yang bersih dapat mencegah penyebaran

BAB I PENDAHULUAN. Tenggara. Terdapat empat jenis virus dengue, masing-masing dapat. DBD, baik ringan maupun fatal ( Depkes, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. virus dengue yang ditularkan dari gigitan nyamuk Aedes aegypti sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Haemorraghic Fever

BAB I PENDAHULUAN. harus dipenuhi oleh setiap bangsa dan negara. Termasuk kewajiban negara untuk

BAB I PENDAHULUAN. dewasa (Widoyono, 2005). Berdasarkan catatan World Health Organization. diperkirakan meninggal dunia (Mufidah, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. yang akan memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial ekonomis.

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh virus dengue yang tergolong Arthropod Borne Virus, genus

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk demam berdarah (Aedes

Skripsi ini Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh: DIAH NIA HERASWATI J

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Kementerian Kesehatan RI (2010), program pencegahan dan

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjang seluruh kegiatan yang ada didalamnya, informasi yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes

BAB 1 PENDAHULUAN. selalu diusahakan peningkatannya secara terus menerus. Menurut UU No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan, dalam pasal 152

BAB I PENDAHULUAN. Banjir merupakan aliran air di permukaan tanah ( surface run-off) yang

BAB I PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang menyebar

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. Berdarah Dengue (DBD). Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya

Al Ulum Vol.54 No.4 Oktober 2012 halaman

SKRIPSI. Skripsi Ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh AGUS SAMSUDRAJAT J

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. nasional karena upaya memajukan bangsa tidak akan efektif apabila tidak memiliki

SARANG NYAMUK DALAM UPAYA PENCEGAHAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DI DESA KLIWONAN MASARAN SRAGEN

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan. Polusi maupun efek rumah kaca yang meningkat yang tidak disertai. lama semakin meninggi, sehingga hal tersebut merusak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN PANDAN WANGI (Pandanus amaryllifolius Roxb.) DALAM MEMBUNUH LARVA Aedes aegypti

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai risiko tinggi tertular Demam Dengue (DD). Setiap tahunnya

BAB I PENDAHULUAN. Dengue adalah salah satu penyakit infeksi yang. dalam beberapa tahun terakhir ini menjadi masalah

PENDAHULUAN. Andri Ruliansyah 1*, Totok Gunawan 2, and Sugeng Juwono M 3

PEMODELAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) PADA DISTRIBUSI PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KECAMATAN KARANGMALANG KABUPATEN SRAGEN

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. yaitu Den-1, Den-2, Den-3, Den-4 dan yang terbaru adalah Den-5.

I. PENDAHULUAN. Diantara kota di Indonesia, Kota Bandar Lampung merupakan salah satu daerah

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan salah satu sistem informasi yang dapat dipakai sebagai alat untuk melakukan analisis data sehingga dihasilkan gambaran yang lengkap dan komprehensif terhadap suatu masalah kesehatan yang terkait dengan keruangan / spasial. Sistem Informasi Geografis dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objek-objek dan fenomena dimana lokasi geografis merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis (Aronoff, 1989). Sistem Informasi Geografis dapat digunakan untuk memasukkan, menyimpan, memanggil kembali, mengolah, menganalisis, dan menghasilkan data bereferensi geografis atau data geospasial untuk mendukung pengambilan keputusan (Prahasta, 2009). Saat ini SIG merupakan komponen penting dalam banyak kegiatan di bidang kesehatan masyarakat, epidemiologi dan berguna dalam banyak analisis. Hubungan antara epidemiologi, statistik dan SIG dapat meningkatkan penelitian kesehatan (Maio et al., 2001). Sejak tahun 1970 SIG muncul sebagai bidang multidisiplin dan telah berkembang sampai saat ini dengan adanya peluang baru untuk penelitian epidemiologi. Dengan SIG memungkinkan pengguna memilih opsi-opsi pada saat distribusi geografis merupakan bagian dari masalah kesehatan (Clarke et al., 1996). Karena kemampuannya untuk menggabungkan data dari berbagai sumber, menggunakan skala yang berbeda, proyeksi dan model data untuk identifikasi dan pemetaan faktor lingkungan yang terkait dengan vektor penyakit, SIG sangat cocok untuk penentuan tingkat risiko Demam Berdarah Dengue (DBD) (Nuckols et al., 2004). Dengan basis datanya SIG dikaitkan dengan metode analisis spasial serta manajemen dan manipulasi data mampu menentukan bagaimana hubungan antara distribusi penyakit secara spasial dengan kondisi lingkungan di suatu wilayah. Karena faktor risiko penyakit DBD sangat berhubungan dengan lingkungan, maka DBD merupakan salah satu jenis penyakit yang faktor risikonya dapat dimodelkan

2 dengan analisis SIG. Widayani (2004) telah melakukan pemodelan spasial faktorfaktor risiko DBD yang meliputi penggunaan lahan, kondisi drainase, pola pemukiman, dan kepadatan penduduk. Rahmadi (2005) menentukan tingkat kerawanan wilayah terhadap DBD dengan pemodelan spasial faktor lingkungan yaitu kepadatan pemukiman, vegetasi, curah hujan, ketinggian, drainase dan kondisi tempat sampah. Oleh karenanya SIG sangat relevan untuk penelitian penyakit infeksi terutama penyakit yang ditularkan oleh vektor, termasuk DBD (Chaikoolvatana et al., 2007). Penyakit DBD atau Dengue Hemorrhagic Fever merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia, termasuk di banyak negara Asia dan Asia Tenggara (Bohra & Andrianasolo, 2001; Ooi et al., 1997). DBD muncul secara global menjadi masalah kesehatan yang utama karena wilayah maupun jumlah kasusnya terus mengalami peningkatan (Gubler, D & Clark, 1995). Daerah endemis tersebar di sebagian besar wilayah Indonesia dan berulang kali menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) disertai kematian yang banyak (Suroso, 2005). Timbulnya KLB akan membawa konsekwensi pada pembiayaan anggaran kesehatan di suatu wilayah. Semakin besar letusan KLB yang terjadi, akan semakin besar dana yang harus dikeluarkan untuk menanggulanginya. Di Indonesia penyakit DBD pertama kali ditemukan pada tahun 1968 di Surabaya, tercatat 58 kasus dengan 24 kematian (CFR: 41,5%) dan sekarang telah menyebar keseluruh provinsi di Indonesia (Soegijanto, 2004). Berdasarkan hasil Rakerkesda tahun 2011, Provinsi Jawa Tengah menduduki urutan kedua di Indonesia dengan kasus DBD terbanyak yaitu tercatat 2.346 kasus dengan Insidence Rate (IR) sebesar 7,14 per 100.000 penduduk. Kabupaten Magelang merupakan salah satu dari 9 Kabupaten rawan DBD di Provinsi Jawa Tengah. Kasus DBD di Kabupaten Magelang tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 tercatat berturut-turut sebanyak 222 kasus (IR 19,50), 263 kasus (IR 23,10) dan 256 kasus (IR 22,53)(Dinkes Kab. Magelang, 2011). Kecamatan Mertoyudan merupakan daerah endemis di Kabupaten Magelang dengan IR yang tinggi yaitu jauh di atas target nasional sebesar <20/100.000 penduduk. Data kejadian DBD tercatat 67 kasus (IR 72,2) pada

3 tahun 2008, 119 kasus (IR 128,9) pada tahun 2009 dan 96 kasus (IR 104) pada tahun 2010. Pada tahun 2011 di Kabupaten Magelang terdapat 30 desa/kelurahan endemis, sebanyak 10 desa/kelurahan (33,3 %) merupakan desa/kelurahan yang masuk dalam wilayah Kecamatan Mertoyudan. Sebagai daerah semi perkotaan (sub urban), di Kecamatan Mertoyudan telah berdiri pemukiman-pemukiman baru yang penduduknya berasal dari berbagai wilayah. Banyaknya tempat-tempat umum seperti sekolah, pertokoan, sarana kesehatan dll, merupakan faktor yang dapat mempercepat proses penularan DBD di Kecamatan Mertoyudan. Dengan demikian Kecamatan Mertoyudan merupakan daerah rawan DBD. Selain karena jumlah kasus DBD yang tinggi, daerah rawan juga disebutkan sebagai daerah yang karena keadaan lingkungannya antara lain karena penduduknya padat, mempunyai hubungan transportasi yang ramai dengan wilayah lain, sehingga mempunyai risiko terjadinya KLB (Ditjend P2PL, 2004a). Adanya pemukimanpemukiman baru, tempat-tempat penampungan air tradisional yang masih dipertahankan dan perilaku masyarakat terhadap pembersihan sarang nyamuk yang masih kurang merupakan faktor pemicu tingginya kasus DBD. Tidak kalah penting faktor mobilisasi penduduk yang memungkinkan eksport-import penyakit yang tidak lagi mengenal batas administrasi wilayah (Hasyim, 2008). Berikut ini data distribusi kasus DBD di Kabupaten Magelang berdasar Kecamatan Tahun 2008 s/d 2010 (Dinkes Kab. Magelang, 2011). Gambar 1. Distribusi Kasus DBD Kabupaten Magelang Tahun 2008-2010

4 Penyebaran DBD dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, mobilitas dan kepadatan penduduk, keberadaan kontainer buatan maupun alami, perilaku masyarakat maupun kegiatan pemberantasan yang sudah dilakukan (Yudhastuti & Vidiyani, 2005). Terdapatnya tempat-tempat yang berpotensi untuk terjadinya penularan DBD merupakan faktor yang menentukan kerawanan suatu daerah. Menurut Depkes RI (2005), tempat yang berpotensi untuk terjadinya penularan DBD adalah (1) wilayah yang banyak kasus (endemis), (2) tempattempat umum merupakan tempat berkumpulnya orang-orang yang datang dari berbagai wilayah, (3) pemukiman baru di pinggir kota. Salah satu faktor penyebab terjadinya peningkatan kasus DBD adalah meluasnya wilayah penyebaran dan tingginya kepadatan vektor. Kepadatan populasi nyamuk sangat tergantung pada pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungannya (Mardihusodo, 2006). Penularan penyakit DBD juga dipengaruhi oleh faktor rendahnya pendidikan, respon dan perilaku yang berperan dalam menghambat pencegahan dan pemberantasan DBD (Fathi et al., 2005). Hal tersebut di atas mengindikasikan bahwa betapa sangat perlu mendapat perhatian untuk daerah rawan DBD. Mengingat besar risiko daerah rawan DBD dalam penyebaran penyakit DBD, maka penetapan kerawanan DBD suatu daerah harus tepat dan akurat dengan memperhatikan aspek lingkungan baik fisik, maupun sosial budaya yang secara komprehensif mempengaruhi penetapan tersebut. Dengan diketahuinya secara dini daerah-daerah rawan DBD sangatlah penting untuk mencegah terjadinya penyebaran DBD serta mempermudah dalam menentukan strategi pengendalian yang lebih efektif. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk memberikan informasi daerah-daerah rawan DBD adalah dengan melakukan pemetaan. Sistem Informasi Geografis merupakan salah satu alat yang dapat dipakai untuk menyusun peta kerawanan DBD. Pemetaan kerawanan DBD di Kecamatan Mertoyudan selama ini masih dilakukan secara manual sehingga informasi yang dihasilkan belum tentu tepat dan akurat sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya. Penggunaan SIG untuk menyusun peta kerawanan DBD diperlukan di Kecamatan Mertoyudan.

5 Dengan kemampuannya, SIG dapat digunakan untuk menyusun peta tingkat kerawanan DBD melalui pemodelan spasial faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh. Upaya pengendalian DBD selama ini belum mengutamakan pada upaya pencegahan. Pencegahan berkembangnya vektor merupakan kunci pokok untuk mencegah terjadinya KLB. Dengan tidak tersedianya teknologi pengawasan vektor, dalam beberapa tahun terakhir telah ditekankan pencegahan dan pengendalian DBD melalui upaya masyarakat untuk mengurangi sumber pembiakan larva (Gubler, D & Clark, 1995). Kasus DBD akan terus meningkat jika tidak dilakukan upaya pencegahan secara dini. Pencegahan dini dimaksudkan untuk mengantisipasi semakin meningkatnya penyebaran DBD di Kecamatan Mertoyudan sehingga penyebaran DBD dapat terkendali. Antisipasi penyebaran DBD dapat dilakukan dengan memberikan informasi daerah daerah yang rawan terhadap penyebaran DBD. Informasi daerah yang rawan terhadap DBD harus menggunakan metode yang cepat, tepat dan akurat. Informasi kerawanan DBD dapat dilakukan melalui pendekatan secara spasial menggunakan SIG dengan pemetaan tingkat kerawanan DBD. Berdasarkan UU No 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial, penggunaan skala peta telah ditentukan berdasarkan cakupan wilayah tertentu. Untuk cakupan Kecamatan skala peta telah ditentukan sebesar 1 : 10.000. Tingkat kerawanan DBD di Kecamatan Mertoyudan akan dipetakan pada skala 1 : 50.000, karena sebagian besar peta-peta input yang tersedia di daerah penelitian skalanya 1:50.000. Pengendalian DBD dapat dilakukan berdasarkan daerah-daerah yang memiliki tingkat kerawanan tinggi hingga rendah. Dengan mengetahui sebaran keruangan daerah-daerah yang memiliki kerawanan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang lain, maka alokasi program dan anggaran lebih bisa dikonsentrasikan kepada daerah dengan tingkat kerawanan tinggi tersebut. Daerah yang memiliki tingkat kerawanan tinggi dapat dilakukan pengendalian secara intensif dibandingkan dengan daerah yang tingkat kerawanannya rendah. Salah satu kebijakan dalam strategi pengendalian DBD adalah bahwa pengendalian

6 DBD didasari pada partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangan DBD serta sesuai dengan kondisi masing-masing daerah (local area spesific) (Depkes RI, 2010). Untuk itu sangat penting penentuan strategi pengendalian DBD didasarkan pada kondisi lingkungan masing-masing daerah. B. Rumusan Masalah Ada beberapa permasalahan yang mendasar yang perlu diangkat terkait dengan pemetaan tingkat kerawanan daerah terhadap DBD sehingga belum berfungsi secara optimal yaitu: 1. Pemetaan daerah rawan DBD belum mempertimbangkan kerincian data sesuai lokasi yang dipilih. Hubungan kerincian data dan skala sangat penting dalam menggambarkan distribusi kerawanan DBD. Pemetaan juga belum mengakomodir faktor-faktor lingkungan, antara lain kepadatan penduduk, keberadaan tempat-tempat umum, kepadatan vektor dan yang lainnya yang sebenarnya besar pengaruhnya terhadap kerawanan DBD, 2. Beberapa pendekatan yang digunakan dalam kajian kerawanan DBD selama ini belum ada yang mempertimbangkan faktor sosial budaya. Pada umumnya pendekatan lebih menitikberatkan pada faktor lingkungan fisik, 3. Belum ada solusi strategi pengendalian DBD yang sesuai dengan kedetilan informasi pada peta tingkat kerawanan DBD dan disesuaikan dengan kondisi lingkungannya, 4. Diperlukan metode analisis spasial secara kuantitatif untuk dapat mengidentifikasi hubungan keruangan antara tingkat kerawanan dengan kejadian DBD, Penentuan tingkat kerawanan DBD selain menggunakan faktor lingkungan fisik sebagai masukannya, juga harus mempertimbangkan faktor sosial budaya. Faktor sosial budaya sangat terkait erat dengan pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat dalam pencegahan penyakit DBD (Bohra dan Adrianasolo, 2001; Saptiwi, 2004; Fathi, et.al., 2005; Bhandari, et al., 2008)

7 Berangkat dari permasalahan tersebut, maka perlu strategi pemecahan masalah melalui pendekatan SIG. Pemetaan daerah rawan DBD berbasis SIG merupakan salah satu upaya mencari jawaban atas permasalahan diatas dan merupakan langkah yang sistematis dalam penentuan tingkat kerawanan secara optimal. Peta tingkat kerawanan DBD dapat membantu dalam penentuan strategi pengendalian DBD dengan lebih efektif (Bhandari et al., 2008). Strategi pengendalian yang efektif merupakan hal penting apabila kita akan mengubah kecenderungan frekwensi dan skala KLB (Gubler, D.J2002). Berdasarkan uraian latar belakang penelitian, maka perumusan masalah dalam penelitian adalah : 1. Apakah SIG dapat digunakan untuk menyusun peta yang dapat memberikan informasi tingkat kerawanan DBD di Kecamatan Mertoyudan? 2. Apakah SIG dapat digunakan untuk menyusun peta strategi pengendalian DBD berdasarkan tingkat kerawanan DBD dan kondisi lingkungan di Kecamatan Mertoyudan? 3. Apakah SIG dapat digunakan untuk menganalisis hubungan spasial antara tingkat kerawanan DBD dengan kejadian DBD di Kecamatan Mertoyudan? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menyusun peta tingkat kerawanan DBD pada skala 1:50.000 dengan pemodelan spasial faktor-faktor lingkungan (fisik dan sosial budaya) dan strategi pengendaliannya di Kecamatan Mertoyudan dengan menggunakan SIG. 2. Tujuan kkusus a. Menyusun peta tingkat kerawanan DBD melalui pemodelan spasial di Kecamatan Mertoyudan pada skala 1 : 50.000 b. Menyusun usulan strategi pengendalian DBD berdasarkan tingkat kerawanannya dan kondisi faktor-faktor lingkungan di Kecamatan Mertoyudan.

8 c. Mengkaji hubungan spasial antara tingkat kerawanan DBD dengan kejadian DBD di Kecamatan Mertoyudan. D. Manfaat Penelitian 1. Tersedianya informasi yang dapat menggambarkan kondisi kerawanan DBD beserta strategi pengendaliannya di Kecamatan Mertoyudan sebagai bahan pertimbangan dalam melaksanakan program penanggulangan DBD dengan lebih efektif. 2. Sebagai bahan masukan bagi pengelola program surveilans penyakit mengenai pengelolaan data dengan SIG sehingga menghasilkan informasi yang lebih cepat, tepat dan akurat. 3. Ditambahkannya faktor lingkungan sosial budaya sebagai salah satu faktor yang digunakan dalam penyusunan tingkat kerawanan DBD agar dihasilkan informasi kerawanan DBD yang lebih optimal. E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian yang berkaitan dengan kerawanan DBD yang pernah dilakukan dapat dilihat pada tabel 1. Dari beberapa penelitian tersebut peneliti belum mendapatkan penelitian yang mengkaji mengenai faktor sosial budaya yang berpengaruh terhadap kerawanan DBD. Berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan, pada penelitian ini menggunakan faktor lingkungan sosial budaya sebagai salah satu parameter kerawanan DBD. Penelitian ini juga menyusun strategi pengendalian DBD sesuai dengan tingkat kerawanannya yang pada penelitian terdahulu belum pernah dilakukan. Data faktor sosial budaya dalam penelitian ini mencakup keberadaan kontainer, perilaku masyarakat dalam pengendalian vektor dan partisipasi dalam PSN serta perilaku masyarakat yang berhubungan dengan pencegahan terhadap risiko gigitan nyamuk.

9 Tabel 1. Daftar Penelitian Tentang Kajian Kerawanan DBD dengan SIG No Peneliti dan Judul Tujuan / Metode dan Hasil Penelitian 1. Widayani (2004), Pemodelan Spasial Epidemiologi DBD Menggunakan SIG di Kelurahan Terban, Kec. Gondokusuman, Yogyakarta 2. Bahtiar, 2005, Pemetaan Tingkat Kerawanan Wilayah Terhadap Demam Berdarah Kecamatan Tegalrejo Kota Yogyakarta 3. Rahmadi (2005), Penentuan tingkat kerawanan wilayah terhadap wabah penyakit DBD dengan teknik Penginderaan Jauh dan SIG di Kota Yogyakarta 4. Bhandari, KP. et al., (2008). Aplication of GIS Modeling for Dengue Fever Prone area Based on Environmental Factors A Case Study of Delhi City Zone. Penelitian ini menggabungkan interpretasi foto udara dan survei lapangan untuk memperoleh parameter lingkungan dan penduduk. Pembuatan model spasial dengan metode skoring data atribut dan tumpang susun 6 peta tematik. Dari penelitiian ini dihasilkan faktor yang berpengaruh terhadap penyakit DBD adalah kepadatan penduduk dan frekuensi membersihkan bak penampungan air. Wilayah Terban sebagian besar merupakan daerah rawan DBD. Penelitian ini bertujuan menyusun peta tingkat kerawanan Demam Berdarah Dengue dengan perpaduan teknik penginderaan jauh dan SIG. Hasilnya peta tingkat kerawanan DBD berdasar parameter penggunaan lahan, pola pemukiman, kepadatan penduduk, jarak TPAdan jarak terhadap sungai. Menentukan tingkat kerawanan wilayah terhadap DBD dengan pemodelan spasial menggunakan variabel kepadatan pemukiman, tata letak / pola pemukiman vegetasi (tanaman rendah), curah hujan, kepadatan penduduk, ketinggian, drainase dan kondisi tempat sampah untuk kemudian diharkatkan. Pemodelan dilakukan dengan menggunakan metode pengharkatan untuk kemudian dibandingkan dengan angka kejadian DBD di wilayah tersebut. Hasilnya adalah tingkat kerawanan yang terdiri dari 5 tingkat kerawanan (sangat rawan, rawan, agak rawan, sedikit rawan dan sangat sedikit rawan. Studi ini meneliti kemungkinan hubungan antara faktor sosial budaya dan faktor lingkungan di Kota Delhi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada enam variabel yang berkontribusi terhadap kejadian DBD yaitu pola perumahan, frekuensi pembersihan wadah penyimpanan air, frekuensi membersihkan drainase, ada tidaknya pot bunga, kesadaran perlindungan terhadap nyamuk dan frekuensi penyimpanan air. Pemodelan SIG di lakukan untuk

10 menghasilkan peta risiko kejadian DBD. 5. Ruliansyah, (2011), Pemanfaatan Citra PJ dan SIG untuk Pemetaan Daerah Rawan DBD. Studi Kasus di Kec. Pangandaran, Kab. Ciamis. Tujuan penelitian ini untuk menentukan tingkat kerawanan DBD berdasarkan variabel lingkungan dan kejadian DBD dengan memanfaatkan citra penginderaan jauh dan SIG. Hasilnya zonasi tingkat kerawanan DBD terkonsentrasi pada daerah selatan Kecamatan Pangandaran. Zonasi kerawanan menjadi daerah kerawanan tinggi, sedang dan rendah. Berdasarkan beberapa penelitian yang terdahulu tersebut dibuat tabel ringkasan penelitian sejenis sebelumnya yang mencakup : lokasi, tujuan, variabel, metode dan analisis sebagaimana tercantum pada tabel 2. Tabel 2. Ringkasan Penelitian Sejenis Sebelumnya Penulis Prima Bahtiar Rahmadi Bhandari Ruliansyah Widayani et al. Tahun : 2013 2004 2005 2005 2008 2011 Lokasi : Kec. Mertoyudan, Kota Yogyakarta Kota Yogyakarta Kota Yogyakarta Kota Delhi Kab. Ciamis Kab. Magelang Tujuan: 1. Pemetaan tingkat + + + + + Kerawanan 2. Peyusunan Strategi - - - - - Pengendalian DBD Variabel faktor lingkungan 1) Keberadaan TTU - - - - - 2) Kepadatan pemukiman + + - + + 3) Kepadatan penduduk + + + + + 4) Kepadatan Vektor - - - + + 5) Kejadian DBD - - - - - 6) Sosial Budaya - - - - - (Keberadaan kontainer, perilaku pengendalian vektor, partisipasi PSN, kebiasaan pencegahan gigitan nyamuk) Metode: 1. Skoring dan + + + + + Pembobotan 2. Analisis hubungan tingkat kerawanan dengan kejadian DBD + + - + - Keterangan : + : dilakukan - : tidak dilakukan