Kartika, Rosa Agustina, Endah Hartati. Abstrak

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 51. Grafindo Persada, 2004), hal. 18. Tahun TLN No. 3790, Pasal 1 angka 2.

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB 1 PENDAHULUAN. Bakti, 2006), hlm. xv. 1 Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Indonesia, cet.v, (Bandung:Citra Aditya

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. KUHPerdata Buku II mengenal adanya hak kebendaan yang bersifat

BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan alam kehidupan sekitarnya. 1. ketentuan yang harus dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat.

AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BAKU. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK

I. PENDAHULUAN. Kehadiran bank sebagai penyedia jasa keuangan berkaitan dengan kepentingan

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

BAB I PENDAHULUAN. Kecenderungan kondisi masyarakat dewasa ini membeli suatu benda

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

TINJAUAN YURIDIS HAK-HAK NASABAH PEGADAIAN DALAM HAL TERJADI PELELANGAN TERHADAP BARANG JAMINAN (Studi Kasus Di Perum Pegadaian Cabang Klaten)

BAB I PENDAHULUAN. harga-harga produksi guna menjalankan sebuah perusahaan bertambah tinggi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem

TANGGUNG JAWAB KREDITOR ATAS HILANGNYA BARANG GADAI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI

BAB I PENDAHULUAN. zaman dan kebutuhan modal bagi setiap masyarakat untuk memajukan dan

BAB I PENDAHULUAN. macam kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk dapat memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah terus

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. badan usaha untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya seperti kebutuhan untuk

BAB I PENDAHULUAN. dengan pelaku usaha yang bergerak di keuangan. Usaha keuangan dilaksanakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang

BAB I PENDAHULUAN. suatu usaha/bisnis. Tanpa dana maka seseorang tidak mampu untuk. memulai suatu usaha atau mengembangkan usaha yang sudah ada.

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Seiring dengan gencar-gencarnya Pemerintah meningkatkan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak

KLAUSULA BAKU PERJANJIAN KREDIT BANK RAKYAT INDONESIA DALAM HUBUNGANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi

KEDUDUKAN HAK RETENSI BENDA GADAI OLEH PT. PEGADAIAN DALAM HAL DEBITUR WANPRESTASI

BAB I PENDAHULUAN. pengaturan yang segera dari hukum itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri, perkembangan

3 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUHT) Pasal 20 ayat (1) 4 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 339

BAB 1 PENDAHULUAN. hal. 2. diakses 06 September Universitas Indonesia

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

TINJAUAN YURIDIS EKSEKUSI DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN FIDUSIA YANG TIDAK DIDAFTARKAN

BAB III PERLINDUNGAN BAGI PEMILIK BENDA DAN KREDITUR PENERIMA GADAI APABILA OBJEK GADAI DIJAMINKAN OLEH PIHAK YANG BUKAN PEMILIK BENDA

Oleh: IRDANURAPRIDA IDRIS Dosen Fakultas Hukum UIEU

BAB I PENDAHULUAN. perumahan mengakibatkan persaingan, sehingga membangun rumah. memerlukan banyak dana. Padahal tidak semua orang mempunyai dana yang

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

BAB I PENDAHULUAN. lain sehingga muncul hubungan utang piutang. Suatu utang piutang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN SEBAGAI HAK JAMINAN. A. Dasar Hukum Pengertian Hak Tanggungan

PENERAPAN KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN GADAI PADA PT. PEGADAIAN (PERSERO) 1 Oleh: Sartika Anggriani Djaman 2

BAB I PENDAHULUAN. hidup untuk masyarakat dan dirinya dalam menampakkan jati diri.

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN. Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu jaminan

BAB I PENDAHULUAN. dalam jangka waktu pendek atau panjang, perjanjian sudah menjadi bagian

PENYELESAIAN SECARA HUKUM PERJANJIAN KREDIT PADA LEMBAGA PERBANKAN APABILA PIHAK DEBITUR MENINGGAL DUNIA

BAB I PENDAHULUAN. satu jasa yang diberikan bank adalah kredit. sebagai lembaga penjamin simpanan masyarakat hingga mengatur masalah

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Melihat dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa kegiatan pinjam-meminjam

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT BANK. kelemahan, kelamahan-kelemahan tersebut adalah : 7. a. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja

TANGGUNGJAWAB HUKUM DALAM PERJANJIAN KREDIT KENDARAAN BERMOTOR DI PUTRA UTAMA MOTOR SUKOHARJO

BAB I PENDAHULUAN. menyelerasikan dan menyeimbangkan unsur-unsur itu adalah dengan dana (biaya) kegiatan untuk menunjang kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat pesat. Banyak sektor usaha berlomba-lomba untuk menarik

TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN KREDIT BANK DIANA SIMANJUNTAK / D

Undang-Undang Merek, dan Undang-Undang Paten. Namun, pada tahun waralaba diatur dengan perangkat hukum tersendiri yaitu Peraturan

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan era globalisasi yang semakin pesat berpengaruh

BAB I PENDAHULUAN. tidak asing dikenal di tengah-tengah masyarakat adalah bank. Bank tersebut

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas.

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan dilakukan manusia sudah berabad-abad. Pembangunan adalah usaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. khususnya dalam menunjang pertumbuhan ekonomi negara. Bank adalah salah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Balakang. Salah satu sarana yang mempunyai peran strategis didalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Universitas. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. piutang ini dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disebut

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN KREDIT. dikembalikan oleh yang berutang. Begitu juga halnya dalam dunia perbankan

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak

TANGGUNG JAWAB PERUM PEGADAIAN TERHADAP PENJUALAN (LELANG) BARANG GADAI

BAB I PENDAHULUAN. berbuat semaksimal mungkin dan mengerahkan semua kemampuannya untuk

BAB II PENGERTIAN UMUM PERJANJIAN BAKU. A. Pengertian Perjanjian dan Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11

KEKUATAN HUKUM DARI SEBUAH AKTA DI BAWAH TANGAN

BAB I PENDAHULUAN. sedang pihak lain menuntut pelaksanaan janji itu. 1. perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata adalah Suatu perjanjian adalah

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana, dalam hal ini bank

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian hutang piutang ini dalam Kitab Undang-Undang Hukun Perdata

BAB I PENDAHULUAN. Perbankan mempunyai peranan penting dalam menjalankan. Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan diatur bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem aturan. Hukum bukanlah, seperti terkadang dikatakan, sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Bank selaku lembaga penyedia jasa keuangan memiliki peran penting

PENGIKATAN PERJANJIAN DAN AGUNAN KREDIT

BAB I PENDAHULUAN. Jaminan atau agunan yang diajukan atau yang diberikan oleh debitur

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PERJANJIAN SIMPAN PINJAM DALAM KOPERASI SIMPAN PINJAM. Oleh

PENERAPAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM PADA KOPERASI SIMPAN PINJAM (KSP) ARTHA JAYA MAKMUR SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW)

BAB I PENDAHULUAN. diperhatikan oleh para pengusaha untuk mengembangkan usahanya. kedua belah pihak, yakni pembeli dan penjual.

BAB I PENDAHULUAN. penjaminan lain seperti pada hak tanggungan dan jaminan fidusia.

BAB I PENDAHULUAN. berbagai cara seperti meminjam dari berbagai sumber dana yang ada. sehingga dapat mengakibatkan pemborosan.

Transkripsi:

Perlindungan Hukum Bagi Debitur Atas Wanprestasi PT Pegadaian Dalam Penerapan Klausula Baku Pada Surat Bukti Kredit (SBK) Terkait Pertanggung Jawaban PT Pegadaian Mengenai Hilang Atau Rusaknya Barang Yang Digadaikan (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Agung No. 480 K/Pdt.Sus/2012) Kartika, Rosa Agustina, Endah Hartati Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum Kekhususan Hukum Tentang Hubungan Sesama Anggota Masyarakat kartikarahmadayanti@hotmail.co.id Abstrak Penelitian ini disusun untuk melihat perlindungan hukum yang didapat oleh debitur (nasabah pegadaian) dalam melakukan perjanjian dengan PT Pegadaian melalui surat bukti kredit (SBK) yang didalamnya terdapat pencantuman klausula baku apabila PT Pegadaian melakukan tindakan wanprestasi yang menyebabkan hilang atau rusaknya barang yang digadaikan oleh debitur. Untuk melihat adanya kesesuaian antara pengaturan dan praktek, dapat dilihat dari studi kasus Putusan Mahkamah Agung No. 480 K/Pdt.Sus/2012 dan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor : 235/Pdt.G/2011/PN.Mdn terkait perlindungan hukum yang didapat oleh debitur atau mengenai ganti rugi yang akan diterima debitur jika barang yang digadaikan hilang atau rusak selama masih berada di PT Pegadaian. Kata kunci: Perjanjian Gadai, Klausula Baku, PT Pegadaian, Wanprestasi, Perlindungan Hukum Bagi Debitur, Ganti Rugi. Legal Protection For Debtor In Breach Of Contract By PT Pegadaian In Standard Clause Which Stated In Credit Evidence Letter Related To PT Pegadaian s Liability Concerning The Loss Or Damage Of The Mortgaged Goods (Case Study: Supreme Court s Decision No. 480K/Pdt.Sus/2012) Abstract This research is prepared to see the legal protection acquired by the debtors in agreement between PT Pegadaian and the debtors. Viewing that there is a standard clause in the mortgage agreement between PT Pegadaian with the consumers that is contained in the Credit Evidence Letter (SBK) which could be found that PT Pegadaian can do some breach of contract in case the mortgaged goods are lost or damaged as long as the goods are still in PT Pegadaian. To see the compatibility between the regulations and practice, it can be seen from case study of Supreme Court s Decision No. 480 K/Pdt.Sus/2012 and Court Decision No. 235/Pdt.G/2011/PN.Mdn related to the legal protection obtained by the debtors or concerning the indemnification that would be received by the debtors in case the mortgaged goods are lost or damaged as long as the goods are still in PT Pegadaian.

Keywords: Mortgage Agreement, Standard Clause, PT Pegadaian, Breach Of Contract, Debtors Protection Law, Indemnification. Pendahuluan Kemajuan di berbagai sektor kehidupan dan persaingan yang semakin ketat dalam kehidupan, menyebabkan setiap orang berusaha untuk menciptakan peluang demi tercapainya kehidupan yang lebih baik. Kondisi perekonomian Indonesia yang berada dalam masa-masa sulit, akhirnya menyebabkan krisis moneter yang berkepanjangan, membuat keadaan masyarakat selaku pelaku ekonomi mencari alternatif yang memungkinkan untuk suatu kemudahan dalam melakukan kegiatan ekonomi dalam kehidupan sehari hari. Dalam rangka mewujudkan Negara Indonesia yang makmur dan sejahtera diperlukan pondasi yang kuat di dalam aspek politik, sosial, ekonomi, budaya dan pertahanan dan keamanan negara. Dan salah satu aspek yang paling berpengaruh dalam menentukan tingkat kemakmuran dan kesehjahteraan suatu negara, dilihat dari faktor ekonomi negara itu sendiri melalui keberhasilan pembangunan ekonomi. 1 Dalam kebutuhan sehari-hari, setiap manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan dalam hidupnya baik kebutuhan pokok maupun kebutuhan lainnya. Adanya kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak menutup adanya kemungkinan perselisihan atau pertentangan antara satu dengan lainnya. Dimana apabila pertentangan atau perselisihan itu terjadi, maka dapat menimbulkan kerugian di salah satu pihak dan dapat menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan didalam masyarakat. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka diperlukan adanya norma-norma hukum yang mengatur dan melindungi kepentingan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dimana manusia memerlukan kerja sama dan saling mengikatkan diri yang kemudian mengadakan hubungan hukum dan menimbulkan hak dan kewajiban untuk melakukan suatu prestasi tertentu dalam bentuk suatu perjanjian. Adanya hukum perdata yang mengatur perihal perjanjian ini pada zaman Belanda diatur di dalam Burgelijke Wetboek (BW), yang biasanya disebut di Indonesia sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yang diberlakukan di Hindia Belanda berdasarkan asas konkordasi. Ketentuan hukum yang mengatur tentang perjanjian pada umumnya terdapat didalam Buku III KUH Perdata. Pada dasarnya bahwa hukum perjanjian 1 Irman Gusman, (Ketua DPD RI), Pembangunan Bangsa Berbasis Entrepreneurship http://ebookbrowsee.net/pembangunan-bangsa-berbasis-entrepreneurship, diakses 15 Oktober 2013.

dalam KUH Perdata mengandung ketentuan-ketentuan yang memaksa dan yang opsional sifatnya. Untuk ketentuan-ketentuan yang memaksa, para pihak tidak mungkin menyimpanginya dengan membuat syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian yang mereka buat. Namun terhadap ketentuan-ketentuan undang-undang yang bersifat opsional, para pihak bebas menyimpanginya dengan mengadakan sendiri syaratsyarat dan ketentuan-ketentuan lain sesuai dengan kehendak para pihak. Maksud dari adanya ketentuan-ketentuan yang opsional itu, adalah hanya untuk memberikan aturan yang berlaku bagi perjanjian yang dibuat oleh para pihak apabila memang para pihak belum mengatur atau tidak mengatur secara tersendiri agar tidak terjadi kekosongan pengaturan mengenai hal atau materi yang dimaksud. 2 Hukum perjanjian merupakan salah satu bidang hukum yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Hukum perjanjian termasuk dalam lingkup hukum perdata yang pengaturannya tunduk pada ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjunya disebut KUH Perdata ). Definisi perjanjian yang ada didalam KUH Perdata terdapat di dalam Pasal 1313 KUH Perdata berbunyi : Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya. 3 Didalam kehidupan sehari-hari dikenal adanya perjanjian pembebanan dalam jaminan. Adanya sistem Hukum Jaminan tidak terlepas dari adanya sistem Hukum Benda. Hal ini dikarenakan adanya jaminan selalu terkait dengan benda. Benda sebagai harta kekayaan yang diatur di dalam KUH Perdata dibedakan atas jenis benda bergerak, benda tak bergerak, benda berwujud dan benda tak berwujud. 4 Di dalam Buku II KUH Perdata dikenal adanya hak kebendaan yang bersifat memberikan jaminan. Dalam hal ini terkait benda jaminan yang berupa benda bergerak, maka hak kebendaan tersebut adalah gadai dan fidusia. Sedangkan benda jaminan yang berupa benda tidak bergerak, maka hak kebendaan tersebut adalah hak tanggungan. Gadai sendiri merupakan jaminan dengan menguasai bendanya. Fidusia adalah jaminan dimana terhadap benda jaminan hanya terjadi penyerahan hak kepemilikan tetapi secara fisik benda tersebut masih dalam penguasaan debitur. Sedangkan hak tanggungan merupakan jaminan dengan 2 Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), hal. 47. 3 Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), (Jakarta: Pradnya Paramita, 2007), Ps. 1313. 4 Sri Kastini, Gadai Saham, Gadai Piutang, dan Cessie, dalam Peter Mahmud Marzuki dkk., Seri Dasar Hukum Ekonomi 4 Hukum Jaminan Indonesia, (Jakarta: Proyek ELIPS, 1998), hal. 236.

tanpa menguasai bendanya. Jaminan dengan menguasai bendanya bagi kreditur akan lebih aman, karena mengingat pada benda bergerak mudah untuk dipindahtangankan dalam arti dijual lelang jika debitur wanprestasi walaupun mudah untuk berubah nilainya. 5 Dalam hal ini jika membahas mengenai gadai, maka pada dasarnya gadai diberikan untuk menjamin suatu tagihan. Gadai sendiri diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 KUH Perdata. Karena benda-benda yang digadaikan menyangkut benda-benda bergerak, maka ketentuan Pasal-Pasal tersebut dinyatakan masih berlaku. 6 Dikenal adanya lembaga gadai yang biasa disebut dengan pegadaian. Pegadaian sendiri mulai dikenal dari Eropa, yaitu di negara Italia, Inggris, dan Belanda. Pegadaian diperkenalkan di Indonesia pada sekitar abad XIX sejak Gubernur Jenderal VOC Van Imhoff mendirikan Bank Van Leening. Bank tersebut memberi jasa pinjaman dana dengan syarat penyerahan barang bergerak, sehingga dapat kita katakan bahwa bank ini pada hakikatnya memberikan jasa pegadaian. Meskipun demikian, diyakini bahwa praktik gadai telah mengakar dalam keseharian masyarakat Indonesia. 7 Perusahaan Umum Pegadaian adalah satu-satunya badan usaha di Indonesia yang secara resmi mempunyai izin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana ke masyarakat atas dasar hukum gadai, seperti yang terdapat di dalam KUH Perdata. Selanjutnya, berdasarkan PP No. 51 tahun 2011 tentang Perubahan Bentuk Badan Hukum Perusahaan Umum (PERUM) Pegadaian menjadi Perseroan (PERSERO), maka status badan hukum dari pegadaian itu sendiri telah berubah menjadi persero. Dalam suatu perjanjian, dikenal adanya asas kebebasan berkontrak atau freedom of contract. Dimana maksud atas asas tersebut adalah bahwa setiap orang pada dasarnya bebas membuat perjanjian yang berisi dan macam apa saja, asal tidak bertentangan dengan undangundang, kesusilaan atau ketertiban umum. Dengan pengertian lain maka adanya asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat, untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, sepanjang tidak bertentangan dengan undangundang, kesusilaan dan ketertiban umum. 8 Perihal mengenai asas kebebasan berkontrak diatur dalam Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang pada pokoknya mengatur bahwa : Semua 5 Purwahid Patrik dan Kashadi, Hukum Jaminan, (Semarang: FH UNDIP, 2000), hal. 12. 6 Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata Hak-Hak Yang Memberi Jaminan Jilid II, (Jakarta: Penerbit Ind-Hill-Co, 2005), hal. 22. 7 Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah Di Indonesia Konsep, Implementasi dan Institusionalisasi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006), hal. 43. 8 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 1987), hal. 13.

perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 9 Dari sudut pandang diatas, dapat ditinjau lebih lanjut atas peran asas hukum kebebasan berkontrak dalam berbagai kaitan hubungan hukum yang terjadi sekarang ini. Salah satu di antaranya adalah hubungan hukum yang terjadi dengan menggunakan perjanjian dengan syarat-syarat baku. 10 Hubungan hukum yang dilandasi atas adanya perjanjian baku seakanakan menyebabkan kedudukan konsumen dikuasai oleh perjanjian baku itu sendiri. Dapat kita katakan bahwa kedudukan hukum konsumen dalam berhubungan dengan pengusaha penyedia barang atau jasa dapat dikatakan tidak seimbang. Pelaku usaha dalam membuat perjanjian baku biasanya memiliki kedudukan yang lebih kuat dibandingkan dengan konsumen yang dapat dikatakan memiliki kedudukan yang lebih lemah dalam perjanjian baku. Dalam hal PT Pegadaian, dikenal adanya pemberlakuan klausula baku didalam Surat Bukti Kredit (SBK) yang terdapat di PT Pegadaian. Surat Bukti Kredit (SBK) tersebut mengikat debitur atau nasabah kedalam suatu perjanjian antara debitur atau nasabah dan kreditur atau PT Pegadaian itu sendiri. Surat Bukti Kredit (SBK) yang dimaksud memiliki format dan norma hukum yang didalamnya tidak dapat diubah dan sudah dirancang secara sepihak oleh PT Pegadaian, sehingga tidak memberikan peluang kepada debitur atau nasabah sebagai pihak lainnya untuk mengubah isi atau materi kontrak dalam Surat Bukti Kredit (SBK). Dalam hal ini, dalam adanya praktek perjanjian gadai sering kali dijumpai permasalahan yang nantinya dapat merugikan para pengguna jasa (masyarakat) atau nasabah selaku debitur itu sendiri. Salah satu hal yang sering ditemui diantaranya, berkaitan dengan hilang atau rusaknya barang debitur atau nasabah yang digadaikan. Hal ini dapat terjadi karena adanya kelalaian dari pegawai PT Pegadaian itu sendiri. Berdasarkan adanya fenomena tersebut, untuk mendukung motto PT Pegadaian yaitu Mengatasi Masalah Tanpa Masalah, terkait hal ini, yang perlu di teliti secara lebih lanjut yaitu mengenai perlindungan hukum seperti apa yang akan didapatkan oleh debitur terkait wanprestasi yang dilakukan oleh PT Pegadaian dan bagaimana ganti kerugian atas kerusakan atau kehilangan barang yang digadaikan sesuai dengan klausula baku yang terdapat dalam Surat Bukti Kredit (SBK). Atas dasar pemikiran tersebut, penulis akan melakukan kajian dalam penelitian ini mengenai PERLINDUNGAN HUKUM BAGI DEBITUR TERKAIT WANPRESTASI 9 Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ps. 1338. 10 Nasution, Op. Cit., hal. 94.

YANG DILAKUKAN PT PEGADAIAN DALAM PENERAPAN KLAUSULA BAKU PADA SURAT BUKTI KREDIT (SBK) TERKAIT PERTANGGUNG JAWABAN PT PEGADAIAN MENGENAI HILANG ATAU RUSAKNYA BARANG YANG DIGADAIKAN dengan berpedoman kepada studi kasus dan analisa terhadap putusan lembaga peradilan yaitu, Putusan Mahkamah Agung No. 480 K/Pdt.Sus/2012. Dengan demikian, diharapkan agar pada bagian akhir dari penelitian ini, dapat ditarik suatu kesimpulan dari pokok permasalahan yang akan dijabarkan, serta memberikan saran yang dapat menjadi masukan bagi aspek hukum mengenai perlindungan hukum yang dapat diterima oleh debitur terkait wanprestasi yang dilakukan oleh PT Pegadaian. Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap debitur terkait wanprestasi yang dilakukan PT Pegadaian dalam penerapan klausula baku yang terdapat pada Surat Bukti Kredit (SBK) mengenai hilang atau rusaknya barang yang digadaikan? 2. Apakah Putusan Mahkamah Agung No. 480 K/Pdt.Sus/2012 terkait dengan adanya penerapan klausula baku dalam Surat Bukti Kredit (SBK) sudah tepat? Tujuan umum dari penelitian ini untuk mengetahui perlindungan hukum seperti apa yang didapatkan oleh debitur terkait adanya klausula baku pada Surat Bukti Kredit (SBK) PT Pegadaian dan untuk mengetahui batasan ganti kerugian yang diberikan oleh PT pegadaian terhadap rusak atau hilangnya barang yang digadaikan milik debitur dalam implementasinya. Tujuan Khusus dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui perlindungan hukum yang didapatkan oleh debitur terkait wanprestasi yang dilakukan PT Pegadaian dalam penerapan klausula baku yang terdapat pada Surat Bukti Kredit (SBK) mengenai hilang atau rusaknya barang yang digadaikan. 2. Untuk mengetahui ketepatan adanya Putusan Mahkamah Agung No. 480 K/Pdt.Sus/2012 terkait dengan adanya adanya penerapan klausula baku dalam Surat Bukti Kredit (SBK).

Tinjauan Teoritis Perjanjian Berdasarkan KUH Perdata dan PT Pegadaian Pengertian perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata berbunyi : Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya. 11 Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, bahwa untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi 4 unsur, yaitu : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal. 12 Dengan demikian, suatu kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan dipenuhinya 4 syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya. 13 Dalam hukum perjanjian terdapat beberapa asas. Diantaranya asas-asas yang terpenting adalah: 1. Asas Kepribadian (Pasal 1315 jo Pasal 1340 KUH Perdata) 2. Asas Konsensualisme (Pasal 1320 KUH Perdata) 3. Asas Kebebasan Berkontrak (Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata) 14 Perjanjian utang piutang yang belaku di PT Pegadaian menggunakan sistem jaminan gadai. Hal ini dapat dilihat pula pada ketentuan Surat Bukti Kredit pada halaman belakang yang menyebutkan adanya perjanjian utang piutang dengan jaminan gadai. Secara umum gadai dapat diartikan sebagai suatu hak yang diperoleh seseorang berpiutang atas suatu barang bergerak. Gadai diperjanjikan dengan maksud untuk memberikan jaminan atas suatu kewajiban prestasi tertentu, yang pada umumnya tidak selalu 11 Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ps. 1313. 12 Hasanudin Rahman, Legal Drafting, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 5. 13 Suharnoko, SH, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hal. 1. 14 Djaja S Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda Dan Hukum Perikatan, (Bandung: Penerbit Nuansa Aulia, 2008), hal. 96.

merupakan perjanjian utang piutang dan karenanya dikatakan, bahwa perjanjian gadai mengabdi kepada perjanjian pokoknya atau ia merupakan perjanjian yang bersifat accessoir. Pada prinsipnya (barang) gadai dapat dipakai untuk menjamin setiap prestasi tertentu. 15 Dari adanya perumusan Pasal 1150 KUH Perdata kita mengetahui bahwasannya, para pihak yang terlibat dalam perjanjian gadai ada 2 (dua), yaitu pihak yang memberikan jaminan gadai, yang disebut sebagai pemberi gadai. Sedangkan pihak lainnya disebut sebagai kreditur yaitu, pihak yang menerima jaminan yang disebut sebagai penerima gadai. 16 Objek dalam hal gadai adalah benda bergerak. Benda bergerak ini dibagi menjadi dua macam, yaitu benda bergerak berwujud dan tidak berwujud. Benda bergerak berwujud adalah benda yang dapat berpindah atau dipindahkan. Yang termasuk dalam benda bergerak berwujud, seperti emas, arloji, sepeda motor, dan lain-lain. Sedangkan, benda bergerak yang tidak berwujud, seperti piutang atas bawah, piutang atas tunjuk, hak memungut hasil atas benda dan atas piutang. 17 Secara garis besar sifat-sifat gadai adalah : 1. Gadai adalah hak kebendaan Dalam Pasal 1150 KUH Perdata tidak menyebutkan sifat ini, namun demikian sifat kebendaan ini dapat diketahui dari Pasal 1152 ayat (3) KUH Perdata yang mengatakan bahwa : Hak gadai hapus, apabila barangnya gadai keluar dari kekuasaan si penerima gadai. Apabila, namun itu barang tersebut hilang dari tangan penerima gadai ini atau dicuri daripadanya maka berhaklah ia menuntutnya kembali sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1977 ayat (2), sedangkan apabila barang gadai didapatnya kembali, hak gadai dianggap tidak pernah telah hilang. 18 Hak kebendaan dari hak gadai bukan lah hak untuk menikmati suatu benda seperti eigendom, hak bezit, hak pakai dan sebagainya. Memang benda gadai harus diserahkan kepada kreditur, tetapi tidak untuk dinikmati melainkan untuk menjamin piutangnya dengan mengambil penggantian dari benda tersebut guna membayar piutangnya. 2. Hak gadai bersifat accessoir 15 Satrio, Op. Cit., hal. 100. 16 Satrio, Op. Cit., hal. 89. 17 Salim, Op. Cit., hal. 37. 18 Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ps. 1152 ayat 3.

3. Hak gadai tidak dapat dibagi-bagi 4. Hak gadai adalah hak yang didahulukan Hak gadai adalah hak yang didahulukan. Ini dapat diketahui dari ketentuan Pasal 1133 dan Pasal 1150 KUH Perdata. Karena piutang dengan hak gadai mepunyai hak untuk didahulukan dari pada piutang-piutang lainnya, maka kreditur pemegang gadai mempunyai hak mendahulukan (droit de preference). 5. Benda yang menjadi objek hak gadai adalah benda bergerak, baik yang bertubuh maupun tidak bertubuh 6. Hak gadai adalah hak jaminan yang kuat dan mudah penyitaannya. 19 Perlindungan Hukum Bagi Debitur Terkait Wanprestasi Pada Klausula Baku Yang Dilakukan PT Pegadaian Pada Surat Bukti Kredit Dalam hal ini, terkait adanya putusan BPSK No. 7/Pen/BPSK-MDN/2011, dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa : 1. Pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya adalah tidak sesuai dengan yang diamanatkan oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu untuk mendapatkan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan atas barang dan/atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen. 2. Sesuai dengan isi perjanjian surat bukti kredit, maka dalam klausula nya yang tertera didalam SBK tersebut yang menyatakan masa pembayaran uang kelebihan lelang berlaku selama 1 tahun sehabis tanggal lelang, artinya bila lebih dari 1 tahun maka kelebihan hasil lelang tidak diambil oleh nasabah atau konsumen, maka sisa uang nasabah atau konsumen akan hilang, adalah telah melanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 18 ayat 1 huruf (f), yaitu bila dihubungkan dengan ayat 1 huruf (f) tersebut mengandung makna mengurang manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa. 3. Berdasarkan Pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen perjanjian kredit dengan jaminan barang bergerak pada formulir SBK milik pelaku usaha, adalah sulit dibaca sebagaimana isi ayat 2 tersebtu dilarang mencantumkan 19 Purwahid Patrik dan Kashadi, Op. Cit., hal. 13.

klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau yang pengungkapannya sulit dimengerti 4. Isi perjanjian bukti kredit pelaku usaha adalah 8 macam klausula baku yang dilarang, untuk itu majelis berdasarkan Kepmen Perindag R.1 No. 350/MPP/LEP/12/2001 tanggal 10 Desember 2001 hanyalah dapat melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku tersebut yang didalam Undang- Undang Perlindungan Konsumen adalah batal demi hukum dan pembatalannya melalui pengadilan negeri 5. Merujuk pada Pasal 19 ayat 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang menyatakan : tanggung jawab pelaku usaha memberikan ganti rugi dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang yang sejenis atau setara nilainya dan oleh karena lelang tidak sesuai prosedur hukum, maka lelang adalah tidak sah atau cacat hukum. Dalam hal ini, terkait adanya putusan Pengadilan Negeri Medan, dalam pertimbangan hukumnya salah satunya menyatakan bahwa, setelah majelis mencermati memori keberatan dari pemohon keberatan dan kontra memori keberatan dari termohon keberatan, maka majelis menyimpulkan bahwa, pemohon keberatan menuntut agar putusan BPSK/Mdn dibatalkan dengan alasan sebagaimana tersebut dalam pemohonannya, salah satunya, menyatakan bahwa surat perjanjian kredit dengan jaminan barang bergerak yang ditandatangani oleh pemohon keberatan dan termohon keberatan tidak bertentangan oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Selanjutnya dalam tingkat kasasi, hal mengenai permohonan pemohon keberatan terkait pembatalan pencantuman klausula baku tidak dapat dibenarkan. Atas adanya hal tersebut diatas, maka dapat kita lihat bahwa Undang-undang no 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, berpendirian bahwa perjanjian baku adalah sah, akan tetapi undangundang ini melarang pencantuman klausula baku yang bersifat berat sebelah dan jika dicantumkan dalam perjanjian, maka klausula baku tersebut adalah batal demi hukum. Hal ini apabila ketentuan dalam klausula tersebut dilarang seperti yang dikatakan dalam pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. 20 Selain itu, dapat kita lihat pula dengan adanya putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor : 235/Pdt.G/2011/PN.Mdn. Dimana adanya putusan ini ialah putusan terhadap pengajuan keberatan yang dilakukan oleh Pegadaian terhadap adanya putusan Badan 20 Suharnoko, Op. Cit., hal. 127.

Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dengan Nomor perkara : 04/PEN/BPSK- MDN/2011. Dimana dalam putusan tersebut menyebutkan bahwa para pihak ialah Imelda Marina Sibuea sebagai konsumen dan Pihak Pegadaian sebagai Pelaku Usaha. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini diuraikan menjadi bentuk penelitian, tipologi penelitian, jenis data, macam bahan hukum, alat pengumpulan data, metode analisis data, dan bentuk hasil penelitian. Bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yang mana bertujuan untuk memperluas pengetahuan peneliti mengenai teori-teori dasar yang berhubungan dengan penelitian. 21 Yakni penelitian yang dilakukan terhadap hukum positif tertulis maupun tidak tertulis. Penggunaan metode penelitian ini untuk menjawab permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini berdasarkan atas asas-asas hukum yang ada, dan hukum positif yang mengatur permasalahan dalam penelitian ini serta beberapa teori-teori pendukung lainnya. 22 Dalam penelitian ini lebih ditekankan pada pendekatan secara normatif, dimana penulis lebih ingin menggambarkan bagaimana penerapan dari pengaturan tersebut. Dengan adanya pemahaman terhadap hal tersebut, penulis berusaha untuk memberikan jawaban mengenai bagaimana penerapannya. Pendekatan yang cocok untuk dipakai dalam mendapatkan penelitian yang baik dalam membahas permasalahan ini adalah bentuk penelitian yuridis normatif, dimana penulis lebih melihat kepada tataran normatif yang ada, dan analisa mengenai pelaksanaannya. Jenis data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah data sekunder yakni yang mencakup antara lain, sumber-sumber yang didapat dari Perpustakaan, dokumendokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berbentuk laporan, buku harian dan seterusnya. 23 Penulis juga menggunakan data primer dengan melakukan observasi dengan menggadaikan barang milik penulis ke PT Pegadaian. 21 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, cet.14, (Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 2012), hal. 14. 22 Sri Mamudji, et.al., Op. Cit., hal. 43. 23 Soekanto, Op. Cit., hal.12.

1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah dan bersifat mengikat berupa peraturan perundang-undangan, perjanjian internasional dalam bentuk traktat dan konvensi. 24 2. Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. 25 Bahan hukum sekunder tersebut antara lain, hasil ilmiah para sarjana, hasil penelitian, buku-buku, koran, majalah, dokumen-dokumen terkait, jurnal nasional dan internasional, dan makalah yang berhubungan dengan penelitian ini. Kemudian untuk macam bahan hukum yang dipergunakan untuk menunjang penulisan penelitian ini adalah menggunakan bahan hukum primer yaitu melalui perundang-undangan. Untuk melengkapi bahan hukum primer tersebut juga digunakan bahan hukum sekunder. Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang memberikan informasi atau hal-hal yang berkaitan dengan isi sumber primer serta implementasinya. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa buku-buku, skripsi, tesis, artikel surat kabar, jurnal, dan media internet. 26 Metode analisis data yang digunakan adalah metode kualitatif, karena data yang digunakan adalah data sekunder. Pada penelitian hukum normatif, biasanya penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisanya. 27 Dalam penelitian ini pun diterapkan analisis data yang demikian demi mendapatkan data yang akurat terhadap permasalahan dalam penelitian ini. Hasil Penelitian Hasil penelitian dari skripsi ini adalah didapatkannya pemahaman mengenai perlindungan hukum seperti apa yang didapatkan debitur terkait wanprestasi yang dilakukan PT Pegadaian dalam penerapan klausula baku yang terdapat pada Surat Bukti Kredit (SBK) mengenai hilang atau rusaknya barang yang digadaikan dan dengan melihat pada Putusan Mahkamah Agung No. 480 K/Pdt.Sus/2012 dan pada putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor : 235/Pdt.G/2011/PN.Mdn. 24 Ibid., hlm 52. 25 Ibid. 26 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op. Cit., hal.13. 27 Ibid., hlm. 69.

Pembahasan Perjanjian Berdasarkan KUH Perdata dan PT Pegadaian Adanya debitur atau nasabah pegadaian dan PT Pegadaian yang sepakat bersama-sama mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian yang disepakati bersama dalam Surat Bukti Kredit (SBK) telah mencerminkan terpenuhinya ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata dan syarat sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata. Dimana dengan adanya perjanjian antara nasabah pegadaian dan PT Pegadaian juga telah mencerminkan terpenuhinya unsur-unsur perjanjian berdasarkan definisi Pasal 1313 KUH Perdata, yaitu : 1. Ada pihak-pihak, yaitu Nasabah Pegadaian dan PT Pegadaian yang terikat dalam perjanjian 2. Ada persetujuan antara para pihak, yaitu Nasabah PT Pegadaian menyetujui adanya pemberlakuan klausula baku pada Surat Bukti Kredit PT Pegadaian dengan menandatangani Surat Bukti Kredit tersebut sebagai tanda persetujuan nasabah. 3. Ada tujuan yang akan dicapai, yaitu Nasabah PT Pegadaian bertujuan untuk menggadaikan barangnya sebagai perjanjian tambahan dengan tujuan utama yaitu peminjaman utang piutang antara PT Pegadaian dengan nasabah PT Pegadaian itu sendiri. 4. Ada prestasi yang harus dilaksanakan, Nasabah PT Pegadaian atau debitur berkewajiban untuk membayar cicilan kredit selama pelunasan barang yang digadaikan tersebut belum terselesaikan. Sedangkan dalam hal ini PT Pegadaian itu sendiri berkewajiban untuk menjaga barang jaminan nasabah PT Pegadaian selama barang tersebut masih berada dibawah PT Pegadaian dan masih menjadi tanggung jawab PT Pegadaian. 5. Ada bentuk tertentu lisan atau tulisan, Perjanjian antara Nasabah PT Pegadaian atau debitur dan PT Pegadaian itu sendiri berbentuk tulisan yang dituangkan didalam Surat Bukti Kredit (SBK). 6. Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian, Klausula baku yang terdapat didalam Surat Bukti Kredit (SBK) menjadi syarat-syarat tertentu yang mengikat para pihak itu sendiri yaitu, Nasabah PT Pegadaian atau debitur dan PT Pegadaian.

Tentang asas kepribadian, menetapkan bahwa Nasabah PT Pegadaian mengikatkan dirinya untuk terikat dalam perjanjian utang piutang dengan PT Pegadaian yang tertuang dalam Surat Bukti Kredit. Tentang asas konsensualisme, sepakat antara PT Pegadaian dengan Nasabahnya terjadi ketika Nasabah PT Pegadaian menandatangani Surat Bukti Kredit (SBK). Tentang asas kebebasan berkontrak dapat kita lihat pada Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang pada pokoknya mengatur bahwa : Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 28 Adanya asas kebebasan berkontrak berhubungan dengan adanya isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan apa dan dengan siapa perjanjian itu diadakan. 29 Dalam perjanjian antara Nasabah PT Pegadaian dengan PT Pegadaian itu sendiri sudah tertuang dalam klausula baku pada Surat Bukti Kredit (SBK). Dimana Nasabah tidak dilibatkan dalam pembentukan klausula baku tersebut. Sehingga nasabah tidak dapat mengubah dan menentukan mengenai apa isi perjanjian tersebut. Akan tetapi, terkait dengan siapa perjanjian tersebut dibuat, nasabah dapat menentukannya dengan pernyataan apakah setuju atau tidak setuju terhadap isi perjanjian itu. Jika nasabah menyetujui adanya klausula baku yang terdapat pada PT Pegadaian maka dengan ini adanya Surat Bukti Kredit yang sudah ditanda tangani oleh nasabah mengikat dan berlaku sebagai undang-undang bagi nasabah itu sendiri dan PT Pegadaian. Adanya perjanjian yang tertuang didalam Surat Bukti Kredit (SBK) itu sendiri merupakan perjanjian utang piutang antara nasabah PT Pegadaian dengan PT Pegadaian. Pada perjanjian antara PT Pegadaian dengan nasabahnya yang menjadi perjanjian pokoknya adalah perjanjian utang piutang antara PT Pegadaian dengan nasabah. Sedangkan dalam hal ini, perjanjian gadai antara PT Pegadaian dengan nasabah merupakan perjanjian tambahan yang digunakan untuk menjamin adanya pelunasan utang piutang antara PT Pegadaian dan nasabah. Pihak pemberi gadai, yaitu Nasabah PT Pegadaian dan pihak penerima gadai yaitu, PT Pegadaian itu sendiri. Pada PT Pegadaian benda-benda yang dapat digadaikan hanyalah benda-benda bergerak. Akan tetapi, pembatasan benda-benda bergerak pada PT Pegadaian lebih sempit ruang lingkupnya dibandingkan dengan perumusan benda bergerak dalam KUH Perdata. Di 28 Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ps. 1338 ayat (1). 29 Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, (Bandung: Alumni, 1983), hal. 109.

PT Pegadaian, benda yang dapat dijaminkan hanyalah terbatas pada benda bergerak yang dapat dibawa langsung, seperti emas, berlian, laptop dan sebagainya. Terkait dengan penggadaian STNK dan BPKB motor ataupun mobil, hanya bisa digadaikan apabila penggadai berlatar belakang pelaku usaha dan menggadaikan STNK dan BPKB tersebut dengan alasan menjalankan usahanya. 30 Dengan demikian dapat dilihat bahwa antara gadai yang diatur dalam KUHPerdata dan PT Pegadaian memiliki hubungan, yaitu: 1. Sama-sama merupakan perutangan yang timbul dari perjanjian timbal balik dilapangan hukum harta kekayaan. 2. Benda perjanjian harus diserahkan kedalam kekuasaan si pemegang gadai. 3. Gadai dalam KUHPerdata dan PT Pegadaian merupakan perjanjian accessoir (tambahan) pada perjanjian utang uang selaku perjanjian pokok dengan benda bergerak berwujud, hak-hak untuk memperoleh pembayaran uang (surat-surat piutang kepada si pembawa, atas nama, atas tunjuk) selaku tanggungan/jaminan. 31 4. Gadai dalam KUH Perdata dan PT Pegadaian, kekuasaan pemegang/penerima gadai tidak meliputi hak memakai, memungut hasil, menyewakannya dan sebagainya. 32 5. Gadai dalam KUH Perdata dan PT Pegadaian, pemberi gadai harus melunasi hutangnya dalam waktu yang telah ditetapkan bersama. Jika ia lalai dalam hal itu, si pemegang gadai tidak berwenang memiliki benda jaminan namun selaku kreditur, pihak terakhir ini dapat melelang benda gadai atas kekuasaan sendiri, untuk memperoleh pelunasan dari piutangnya. 33 6. Peraturan gadai yang terdapat dalam Perum Pegadaian tetap berlandaskan pada KUHPerdata. Perlindungan Hukum Bagi Debitur Terkait Wanprestasi Pada Klausula Baku Yang Dilakukan PT Pegadaian Pada Surat Bukti Kredit Dari adanya putusan Putusan Badan Penyelesaian Sengketa (BPSK) No: 7/Pen/BPSK- Mdn//2011, Putusan Pengadilan Negeri Medan No: 310/Pdt.G/2011/PN.Mdn, Putusan 30 Wawancara petugas atau pegawai PT Pegadaian Cabang Pasar Senen, Bapak Hari Sulistiyo, tanggal 13 Juni 2014. 31 Bushar Muhammad, Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1981), hal. 116-117. 32 Ibid. 33 Ibid.

Mahkamah Agung No: 480 K/Pdt.Sus/2012 dapat kita lihat bahwasannya, adanya klausula baku yang terdapat didalam Perjanjian gadai antara PT Pegadaian dengan Nasabah yang tercantum dalam SBK tidak mengurangi kewajiban PT Pegadaian terhadap ganti rugi yang diberikan. Hal ini terlihat dari adanya ketiga putusan, yaitu putusan BPSK, putusan Pengadilan Negeri Medan, dan putusan Mahkamah Agung, menyatakan bahwa pelaku usaha yaitu PT Pegadaian tetap dihukum atas ganti rugi yang memang seharusnya diberikan. Adanya ganti rugi tersebut tetap dibebankan kepada PT Pegadaian karena pada dasarnya, memang sebenarnya kelalaian terjadi dalam lelang, yaitu tidak memberikan informasi kepada nasabahnya atas pelelangan barang nasabah itu sendiri dapat dikatakan adalah kesalahan dari pegawai PT Pegadaian. Dimana seharusnya hal tersebut menjadi hak-hak konsumen untuk mendapatkan pemberitahuan atas pelelangan barangnya sesuai dengan Pasal 4 Undang- Undang Perlindungan Konsumen dan Pasal 1155 dan 1156 KUH Perdata. Kelalaian dari pegawai PT Pegadaian ini, tetap dibebankan kepada PT Pegadaian untuk perihal ganti kerugian. Hal ini dapat dilihat berdasarkan Pasal 1367 ayat 1 KUH Perdata. Dalam hal ini adanya perlindungan hukum debitur dapat dilihat dari adanya butir 4 pada halaman belakang yang menyatakan, PT Pegadaian akan memberikan ganti kerugian apabila barang jaminan yang berada dalam penguasaan PT Pegadaian mengalami kerusakan atau hilang yang tidak disebabkan oleh suatu bencana alam (force majeure) yang ditetapkan pemerintah, dan ganti rugi diberikan setelah diperhitungkan setelah dengan uang pinjaman dan sewa modal, sesuai ketentuan penggantian yang berlaku di PT Pegadaian. Pasal 1157 KUH Perdata menyebutkan : 1. Si berpiutang adalah bertanggung jawab untuk hilangnya atau kemerosotan barang nya sekedar itu telah terjadi karena kelalaiannya. 2. Sebaliknya si berutang diwajibkan mengganti kepada si berpiutang segala biaya yang berguna dan perlu yang telah dikeluarkan oleh pihak yang tersebut belakangan ini guna keselamatan barang gadaiannya. 34 Pasal 1234 KUH Perdata menyebutkan bahwa : Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. 35 Dari adanya ketentuan pada butir 4 halaman belakang Surat Bukti Kredit (SBK) dan adanya Pasal 1157 KUH Perdata maka hal tersebut merupakan suatu perlindungan hukum yang didapatkan oleh debitur apabila terdapat keadaan dimana PT Pegadaian tidak mau mengganti rugi atas kelalaian pegawai PT Pegadaian itu sendiri yang menjadi tanggung jawab 34 Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ps. 1157. 35 Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ps. 1234.

PT Pegadaian. Dalam hal ini atas adanya Putusan Badan Penyelesaian Sengketa (BPSK) No: 7/Pen/BPSK-Mdn//2011, Putusan Pengadilan Negeri Medan No: 310/Pdt.G/2011/PN.Mdn, Putusan Mahkamah Agung No: 480 K/Pdt.Sus/2012, dapat memperlihatkan bahwasannya adanya kelalaian yang dilakukan pihak pegadaian karena telah melelang barang gadai debitur tanpa memberi tahu debitur terlebih dahulu sehingga menyebabkan debitur kehilangan barang gadainya. Kemudian dapat kita lihat dari adanya Putusan Badan Penyelesaian Sengketa (BPSK) No: 4/Pen/BPSK-Mdn//2011, Putusan Pengadilan Negeri Medan No: 235/Pdt.G/2011/PN.Mdn, bahwa dalam hal ini tindakan yang dilakukan oleh pihak pegadaian karena kelalaian karyawannya dalam memberikan barang gadai milik penggadai kepada orang lain yang bukan kuasanya tanpa melakukan pengecekan tanda tangan yang dibubuhkan secara teliti, yang menyebabkan penggadai dalam hal ini kehilangan barang gadainya. Dimana dikatakan secara jelas, bahwa dengan adanya hal-hal demikian PT Pegadaian harus memberikan ganti rugi selama itu terjadi bukan karena bencana alam, sesuai pada butir 4 Surat Bukti Kredit (SBK). Maka dari itu, jika kita melihat adanya putusan hakim yang terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung No: 480 K/Pdt.Sus/2012 dan Putusan Pengadilan Negeri Medan No: 235/Pdt.G/2011/PN.Mdn maka memang sudah tepat, PT Pegadaian dibebankan atas ganti rugi yang sudah seharusnya diberikan kepada debitur apabila barang hilang atau rusak tersebut terjadi karena kelalaian PT Pegadaian itu sendiri. Jika dilihat lebih lanjut Pasal 1157 ayat 1 KUH Perdata menyebutkan : Si berpiutang adalah bertanggung jawab untuk hilangnya atau kemerosotan barang nya sekedar itu telah terjadi karena kelalaiannya. 36 Dilihat dari sisi penggadai, maka dalam hal ini PT Pegadaian tidak akan mengganti kerugian apabila kelalaian terjadi karena pihak nasabah PT Pegadaian itu sendiri. Tetapi didalam kasus diatas, kelalaian terjadi dari pihak PT Pegadaian sehingga menunjukkan bahwasannya adanya putusan hakim sudah tepat untuk membebankan penggantian ganti rugi yang memang seharusnya diberikan pegadaian selaku pelaku usaha yang akan memberikan ganti rugi jika terjadi kelalaian yang disebabkan oleh pihak pegadaian. Dimana atas adanya beberapa putusan tersebut bahwasannya pegadaian tetap dibebankan atas ganti rugi yang seharusnya memang diberikan. Kesimpulan 36 Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ps. 1157.

1. Perlindungan hukum terhadap debitur terkait wanprestasi yang dilakukan PT Pegadaian dalam penerapan klausula baku yang terdapat pada Surat Bukti Kredit (SBK) mengenai hilang atau rusaknya barang yang digadaikan terdapat didalam butir 4 halaman belakang Surat Bukti Kredit. 2. Putusan Mahkamah Agung No. 480 K/Pdt.Sus/2012 terkait dengan adanya pemberian ganti rugi yang diberikan oleh PT Pegadaian kepada debitur dalam penerapan Surat Bukti Kredit, dapat dikatakan sudah tepat. hal ini dapat dilihat juga pada putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor : 235/Pdt.G/2011/PN.Mdn yang juga membebankan PT Pegadaian atas ganti rugi terhadap hilangnya suatu barang. Saran 1. Disarankan kepada konsumen untuk lebih bersikap kritis, teliti, dan hati-hati dalam mengikatkan dirinya pada setiap perjanjian yang mengandung klausula baku. 2. Dalam pembuatan klausula baku, pelaku usaha sebaiknya tidak melanggar ketentuan Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. 3. Peran pemerintah sebagaimana diatur melalui PP No. 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pegawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen lebih direalisasikan kepada pelaku usaha dan konsumen itu sendiri sehingga mengetahui hak dan kewajiban masing masing. Daftar Referensi Buku Anshori, Abdul Ghofur. Gadai Syariah Di Indonesia Konsep, Implementasi dan Institusionalisasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006. Badrulzaman, Mariam Darus. KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan. Bandung: Alumni, 1983. Hasbullah, Frieda Husni. Hukum Kebendaan Perdata Hak-hak Yang Memberi Jaminan Jilid II. Jakarta: Penerbit Ind-Hill-Co, 2005.

Kastini, Sri. Gadai Saham, Gadai Piutang, dan Cessie. dalam Peter Mahmud Marzuki dkk. Seri Dasar Hukum Ekonomi 4 Hukum Jaminan Indonesia. Jakarta: Proyek ELIPS, 1998. Meliala, Djaja S. Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda Dan Hukum Perikatan. Bandung: Penerbit Nuansa Aulia, 2008. Patrik, Purwahid dan Kashadi. Hukum Jaminan. Semarang: FH UNDIP, 2000. Rahman, Hasanudin. Legal Drafting. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000. Sjahdeni, Sutan Remy. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia. Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993. Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT. Intermasa, 1987. Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012. Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Jakarta: Pradnya Paramita, 2007. Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. PP No. 51 tahun 2011 tentang Perubahan Bentuk Badan Hukum Perusahaan Umum (PERUM) Pegadaian menjadi Perseroan (PERSERO). LN. No. 132 Tahun 2011. Indonesia. Undang-Undang Perlindungan Konsumen. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. LN. No. 42 Tahun 1999. TLN No. 3821. Sumber Elektronik Gusman, Irman. Pembangunan Bangsa Berbasis Entrepreneurship http://ebookbrowsee.net/pembangunan-bangsa-berbasis entrepreneurship. Diunduh 15 Oktober 2013.