BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Infeksi cacing masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting di negara berkembang, terutama di daerah tropis dan subtropis seperti Afrika, Asia, Amerika Tengah dan Selatan (Asaolu & Ofoezie, 2003). Daerah tropis memiliki suhu dan kelembaban yang optimal bagi kehidupan dan perkembang biakan parasit (Soedarto, 2011). Di Indonesia, prevalensi penyakit kecacingan masih cukup tinggi, terutama di daerah pedesaan dan di daerah yang kumuh (Mardiana & Djarismawati, 2008). Penelitian di Jakarta pada anak anak sekolah dasar menunjukkan frekuensi penyakit kecacingan sekitar 49,5%, sedangkan penelitian pada anak sekolah dasar di kabupaten Bengkayang, Sulawesi, menunjukkan angka prevalensi cacing usus sekitar 52,0% (Soedarto, 2011). Kelompok cacing yang penularannya lewat tanah (soil transmitted helminthes) merupakan kelompok parasit yang memiliki siklus hidup bergantung pada kondisi di luar 1
2 tubuh manusia sebagai inangnya, biasanya di tempat yang keadaannya lembab misalnya di tanah. Jenis parasit yang termasuk soil-transmitted helminthes adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura), dan cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale)(gill & Beeching, 2009). Infeksi kecacingan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain yaitu faktor sanitasi yang buruk, kebersihan diri, kurangnya pengetahuan, sosial-ekonomi, dan lingkungan yang buruk (Tjitra, 1991, Mardiana & Djarismawati, 2008). Diagnosis infeksi cacing usus ditegakkan secara parasitologis, dengan melakukan pemeriksaan menggunakan sampel tinja dari orang yang diduga merupakan penderita. Pemeriksaan kecacingan dengan sampel tinja manusia dapat dilakukan dengan pemeriksaan secara kualitatif maupun kuantitatif. Pemeriksaan kualitatif menilai ada atau tidak nya telur cacing pada pemeriksaan, sedangkan pemeriksaan kuantitatif melakukan penghitungan jumlah telur cacing yang ditemukan. Kedua metode yang diuji dalam penelitian ini merupakan metode kualitatif yang relatif sering digunakan di Indonesia. Pada kondisi yang memerlukan pemeriksaan
3 kecacingan yang cepat dan mudah tanpa perlu mengetahui derajat infeksi, pemeriksaan secara kualitatif lebih dipilih untuk dilakukan. Pemeriksaan kecacingan secara kualitatif meliputi pemeriksaan metode langsung dan metode tidak langsung. Pada penelitian ini metode tidak langsung yang digunakan adalah pemeriksaan metode pengapungan menggunakan garam jenuh. Pemeriksaan langsung memiliki beberapa kelebihan yaitu secara teknik sederhana, hasil dapat diketahui dengan segera, dan telur cacing tidak hilang selama waktu pemeriksaan. Pada infeksi ringan, telur cacing dapat tidak terdeteksi, kemungkinan karena sedikitnya jumlah sampel tinja yang digunakan (Suzuki, 1975). Pemeriksaan tidak langsung secara teknik tidak lebih sederhana dibandingkan dengan metode langsung, selain itu waktu yang dibutuhkan juga lebih lama sebelum dapat diketahui hasilnya. Pada pemeriksaan metode pengapungan sediaan yang dihasilkan lebih bersih karena kotorankotoran didasar tabung dan elemen-elemen parasit ditemukan pada lapisan permukaan larutan (Brown, 1983). Sensitivitas dan spesifisitas merupakan dua indikator yang menunjukkan validitas suatu pemeriksaan
4 diagnostik. Sensitivitas adalah persentase pasien yang menderita penyakit di antara pasien yang diklasifikasikan positif menderita penyakit oleh suatu pemeriksaan diagnostik. Spesifisitas adalah persentase pasien yang tidak menderita penyakit di antara pasien yang diklasifikasikan negatif menderita penyakit oleh suatu pemeriksaan diagnostik (Peacock & Peacock, 2011). Semakin tinggi nilai sensitivitas dan spesifisitasnya, maka semakin akurat suatu pemeriksaan dalam melakukan penegakan diagnosis. Diagnosis tepat suatu penyakit sangat penting demi terjaminnya tatalaksana penyakit kecacingan yang optimal. Oleh karenanya dibutuhkan nilai sensitivitas serta spesifisitas yang tinggi untuk mengukur ketepatan suatu uji diagnostik. Penelitian ini menguji metode pemeriksaan langsung dan metode pengapungan menggunakan garam jenuh karena keduanya merupakan metode yang relatif sering digunakan di Indonesia (Soedarto, 1991). Secara teknik pengerjaannya mudah dan hasilnya dapat cepat diketahui, selain itu juga relatif murah dari segi biaya.
5 I.2.Perumusan Masalah 1.Adakah perbedaan sensitivitas dan spesifisitas antara pemeriksaan kecacingan metode langsung dan metode pengapungan dengan garam jenuh. 2.Apakah perbedaan sensitivitas dan spesifisitas tersebut berhubungan dengan intensitas infeksi cacing. I.3.Tujuan Penelitian 1. Mengetahui perbandingan sensitivitas dan spesifisitas antara pemeriksaan kecacingan metode langsung dan metode pengapungan menggunakan garam jenuh. 2. Mengetahui hubungan antara intensitas infeksi cacing terhadap perbedaan sensitivitas dan spesifisitas metode langsung dan metode pengapungan menggunakan garam jenuh. I.4.Keaslian Penelitian Sejauh pengetahuan penulis, belum pernah dilakukan penelitian tentang sensitivitas dan spesifisitas metode langsung dan pengapungan menggunakan garam jenuh yang dihubungkan dengan intensitas telur cacing usus.
6 I.5.Manfaat Penelitian Dari penelitian ini diharapkan dapat mengetahui perbandingan sensitivitas dan spesifisitas antara pemeriksaan kecacingan metode langsung dan metode pengapungan dengan garam jenuh, serta mengevaluasi kelebihan dan kekurangan antara kedua metode pemeriksaan tersebut.