PENDUGAAN BIOMASSA TEGAKAN PINUS MENGGUNAKAN BACKSCATTER ALOS PALSAR, UMUR, DAN TINGGI TEGAKAN: KASUS DI KPH BANYUMAS BARAT, JAWA TENGAH

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENYUSUNAN MODEL PENDUGAAN DAN PEMETAAN BIOMASSA PERMUKAAN PADA TEGAKAN JATI

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertambangan melepaskan cadangan

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

BAB II METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. global, sehingga terjadi penyimpangan pemanfaatan fungsi hutan dapat merusak

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Informasi Geografis (SIG) SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objekobjek serta fenomena

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM

II. TINJAUAN PUSTAKA Biomassa

+ MODEL SPASIAL PENDUGAAN DAN PEMETAAN BIOMASSA DI ATAS PERMUKAAN TANAH MENGGUNAKAN CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI 12.5 M MITRA ELISA HUTAGALUNG

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGOLAHAN CITRA SATELIT ALOS PALSAR MENGGUNAKAN METODE POLARIMETRI UNTUK KLASIFIKASI LAHAN WILAYAH KOTA PADANG ABSTRACT

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN


BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

II METODOLOGI PENELITIAN

PENDUGAAN BIOMASSA ATAS PERMUKAAN PADA TEGAKAN PINUS

PENYUSUNAN MODEL PENDUGAAN DAN PEMETAAN BIOMASSA PERMUKAAN PADA TEGAKAN JATI

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-November Penelitian ini

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

PERBANDINGAN PENAFSIRAN VISUAL ANTARA CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI 50 M DENGAN CITRA LANDSAT RESOLUSI 30 M DALAM MENGIDENTIFIKASI PENUTUPAN LAHAN

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E

EKSPLORASI ALOS PALSAR MENGGUNAKAN POLSARPRO V3.0 DENGAN AREAL KAJIAN PT. SANG HYANG SERI, SUBANG, JAWA BARAT. Oleh : DERY RIANSYAH A

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP, JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS

PERSAMAAN PENDUGA VOLUME POHON PINUS DAN AGATHIS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT WIWID ARIF PAMBUDI

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

PENDUGAAN BIOMASSA DI ATAS PERMUKAAN TANAH PADA TEGAKAN AKASIA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 7 Matrik korelasi antara peubah pada lokasi BKPH Dungus

II. BAHAN DAN METODE

ANGKA BENTUK DAN MODEL VOLUME KAYU AFRIKA (Maesopsis eminii Engl) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DIANTAMA PUSPITASARI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

ANALISIS TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HAYCKAL RIZKI H.

KARAKTERISTIK BACKSCATTER CITRA ALOS PALSAR PADA TEGAKAN HUTAN TANAMAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH

MODEL ALOMETRIK BIOMASSA PUSPA (Schima wallichii Korth.) BERDIAMETER KECIL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI RENDY EKA SAPUTRA

II. TINJAUAN PUSTAKA

II METODE PENELITIAN 2.1 Tempat dan Waktu Penelitian

MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI

PENGARUH PEMBERIAN BERBAGAI JENIS STIMULANSIA TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS

HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM

ESTIMASI BIOMASSA PADA DAERAH REKLAMASI MENGGUNAKAN DATA CITRA ALOS PALSAR : Studi Kasus Wilayah Kerja Pertambangan Batubara di Kalimantan Timur

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

5. SIMPULAN DAN SARAN

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. BAHAN DAN METODE

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model

09 - Penginderaan Jauh dan Pengolahan Citra Dijital. by: Ahmad Syauqi Ahsan

III. BAHAN DAN METODE

LAJU INFILTRASI TANAH DIBERBAGAI KEMIRINGAN LERENG HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT LINGGA BUANA

BAB III METODE PENELITIAN

PEMANFAATAN CITRA ALOS PALSAR DALAM MENDUGA BIOMASA HUTAN ALAM: STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL BOGANI NANI WARTABONE

Eko Yudha ( )

BAB III METODE PENELITIAN

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI

I. PENDAHULUAN. masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di kuasai pepohonan dan mempunyai kondisi

MONITORING PERUBAHAN LANSEKAP DI SEGARA ANAKAN, CILACAP DENGAN MENGGUNAKAN CITRA OPTIK DAN RADAR a. Lilik Budi Prasetyo. Abstrak

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

Sebaran Stok Karbon Berdasarkan Karaktristik Jenis Tanah (Studi Kasus : Area Hutan Halmahera Timur, Kab Maluku Utara)

PENGARUH BERBAGAI PENUTUPAN TUMBUHAN BAWAH DAN ARAH SADAP TERHADAP PRODUKTIVITAS GETAH PINUS (Pinus merkusii) EVA DANIAWATI

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

III. METODOLOGI PENELITIAN

DAFTAR ISI. . iii PRAKATA DAFTAR ISI. . vii DAFTAR TABEL. xii DAFTAR GAMBAR. xvii DAFTAR LAMPIRAN. xxii DAFTAR SINGKATAN.

MODEL PENDUGA POTENSI DAN STRUKTUR TEGAKAN HUTAN HUJAN TROPIS MENGGUNAKAN CITRA SPOT 5 SUPERMODE

III. METODE PENELITIAN

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN

PENDAHULUAN. hutan yang luas diberbagai benua di bumi menyebabkan karbon yang tersimpan

Transkripsi:

PENDUGAAN BIOMASSA TEGAKAN PINUS MENGGUNAKAN BACKSCATTER ALOS PALSAR, UMUR, DAN TINGGI TEGAKAN: KASUS DI KPH BANYUMAS BARAT, JAWA TENGAH ADITYA PRADHANA DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

PENDUGAAN BIOMASSA TEGAKAN PINUS MENGGUNAKAN BACKSCATTER ALOS PALSAR, UMUR, DAN TINGGI TEGAKAN: KASUS DI KPH BANYUMAS BARAT, JAWA TENGAH ADITYA PRADHANA Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

RINGKASAN ADITYA PRADHANA. E14070116. 2012. Pendugaan Biomassa Tegakan Pinus Menggunakan Backscatter ALOS PALSAR, Umur, dan Tinggi Tegakan: Kasus di KPH Banyumas Barat, Jawa Tengah. Skripsi. Manajemen Hutan, Institut Pertanian Bogor. Dibimbing oleh M. BUCE SALEH. Seiring dengan berkembangnya teknologi informasi, pendugaan potensi terhadap biomassa dapat dilakukan menggunakan metode penginderaan jauh. Pada tahun 2006, pemerintah Jepang meluncurkan satelit ALOS (Advanced Land Observing Sattelite) yang membawa sensor radar. Salah satu jenis sensornya, yaitu PALSAR (Phased Array Type L-band Shynyhetic Aperture Radar) dapat digunakan untuk menduga biomassa suatu tegakan. Pada penelitian Riska (2011), nilai backscatter pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan 12,5 m dapat menjelaskan dengan baik kondisi biomassa di lapangan. Namun pada penelitian ini ditambahkan peubah lain berupa umur dan tinggi pohon yang diharapkan mampu memperbaiki tingkat pendugaan biomassa atas permukaan yang lebih baik. Perhitungan biomassa dilakukan dengan menggunakan persamaan alometrik. Adanya penelitian ini bertujuan untuk (1) Menganalisis penambahan peubah umur dan tinggi dalam pendugaan biomassa atas permukaan, dan (2) Memetakan pendugaan biomassa pinus menggunakan anak petak dan basis piksel. Analisis backscatter dalam penelitian ini dilakukan terhadap dua polarisasi citra, yaitu HH dan HV. Pemilihan model terbaik dinilai berdasarkan parameter nilai koefisien determinasi yang disesuaikan (R 2 adj), nilai Root Mean Square Error (RMSE) paling rendah serta nilai Overall Accuracy dan Kappa Accuracy paling tinggi. Penambahan umur dan tinggi mampu menduga biomassa atas permukaan lebih baik. Dari analisis model terbaik menggunakan peubah backscatter, umur, dan tinggi yang dicobakan untuk menduga biomassa diperoleh hasil, Y = 41,7 + 5,18X 1 + 2,77X 2 + 8.59X 3 dengan nilai R 2 adj sebesar 60,64% dan RMSE 74,75 untuk resolusi 50 meter dan Y = 219 + 13,8 X 1 + 2,72 X 2 + 5,84 X 3 dengan nilai R 2 adj sebesar 63,96% dan RMSE 71,52 untuk resolusi 12,5 meter. Pada pemetaan sebaran biomassa menggunakan model dengan peubah backscatter dan umur. Model yang digunakan untuk pemetaan biomassa, yaitu Y = 131 + 7,15X₁ + 7,8X₂ dengan nilai R 2 adj sebesar 54,89%, sedangkan untuk resolusi 12,5 meter Y = 341 + 18,6X₁ + 5,49X₂ dengan nilai R 2 adj sebesar 62,36%. Dari hasil penelitian diketahui bahwa pemetaan sebaran biomassa menggunakan basis piksel lebih baik dibandingkan pemetaan menggunakan anak petak berdasarkan uji akurasi. Kata Kunci : Biomassa, ALOS PALSAR, Backscatter

SUMMARY ADITYA PRADHĀNA. E14070116. 2012. Estimation of the Pine Biomass Using Backscatter of ALOS PALSAR, Age, and Height of Stands: Case at KPH Banyumas Barat, Central Java. Report. Forest Management, Bogor Agricultural University. Supervised by M. BUCE SALEH. Along with the development of information technology, the potential of biomass estimation can be done by using remote sensing methods. In 2006, the Government of Japan launched satellite ALOS (Advanced Land Observing Sattelite) which carries radar sensor. One of the types of sensors are, namely the PALSAR (Phased Array Type L-band Shynyhetic Aperture Radar) which can be use to predict biomass of a forest. On the research of Riska (2010), backscatter value at the image of ALOS PALSAR resolution 50 m and 12.5 m can be explained with good the conditions of biomass in the field. But in this study the other variables be added. The added variables are age and height of the tree which expected to improve the accuracy s level of above-ground biomass estimation. Calculation of biomass in this study using the alometrik equation. This research aims are to (1) analyzing the addition of variables age and height to estimate of above-ground biomass and (2) mapping the estimation of pine biomass using areal base and pixel base. Backscatter analysis in this research carried out two polarization image, they are HH and HV polarization. Selection of the best models are based on the parameter value of the coefficient of determination adjusted (R 2 adj) and the lowest value of the Root Mean Square Error (RMSE) then the highest value of the Overall Accuracy and Kappa Accuracy. The addition of age and height are able to predict above-ground biomass better than only use backscatter. Best analysis of model by using backscatter, age, and height variables obtained predict results, Y = 41.7 + 5.18X 1 + 2.77X 2 + 8.59X 3 with a value of R 2 adj 60.64% and RMSE 74.75 for image with 50 m spatial resolution and Y = 219 + 13.8 X 1 + 2.72 X 2 + 5.84 X 3 with a value of R 2 adj 63.96% and RMSE 71.52 for image with 12.5 m spatial resolution. In mapping the distribution of biomass using a model with a backscatter and age variables. Model used for biomass mapping for image with 50 m spatial resolution Y = 131 + 7.15 X 1 + 7.8X₂ with values of R 2 adj 54.89%, while image with 12.5 m spatial resolution Y = 341 + 18.6 X ₁ + 5.49 X 2 with values of R 2 adj 62.36%. From the result of this research, map distribution of biomass using pixel base is better than using areal base according to test of accuracy. Keywords: Biomass, ALOS PALSAR, Backscatter

Judul Skripsi Nama Mahasiswa Nomor Pokok : Pendugaan Biomassa Tegakan Pinus Menggunakan Backscatter ALOS Palsar, Umur, dan Tinggi Tegakan: Kasus di KPH Banyumas Barat, Jawa Tengah : ADITYA PRADHANA : E14070116 Menyetujui : Dosen Pembimbing, (Dr. Ir. Muhamad Buce Saleh, MS) NIP. 1957 1005 1983 031 002 Mengetahui : Ketua Departemen Manajemen Hutan (Dr. Ir. Didik Suharjito, MS) NIP. 1963 0401 1994 031 001 Tanggal Lulus :

6 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pendugaan Biomassa Tegakan Pinus Menggunakan Backscatter ALOS PALSAR, Umur, dan Tinggi Tegakan: Kasus di KPH Banyumas Barat, Jawa Tengah adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah di perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Maret 2012 Aditya Pradhana NRP. E14070116

7 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tangal 25 Oktober 1989 di Jakarta. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Toto Swastarif dan Ibu Endang Sriwigati. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Karawaci Baru 2 Tangerang lulus tahun 2001, pendidikan menengah pertama di SLTP Negeri 9 Tangerang lulus tahun 2004, dan pendidikan menengah atas di SMA Pramita Tangerang lulus tahun 2007. Pada tahun yang sama, penulis diterima di IPB melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) diterima di Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Inventarisasi Sumber Daya Hutan tahun ajaran 2009-2010 dan Tehnik Inventarisasi Sumber Daya Hutan tahun ajaran 2011-2012. Selain itu, penulis juga aktif sebagai anggota divisi Media Komunikasi (Medikom) Forest Management Student Club (FMSC) tahun 2009-2010, ketua divisi Media Komunikasi (Medikom) Forest Management Student Club (FMSC) tahun 2010-2011, dan Pengurus Cabang Sylva IPB sebagai anggota divisi Informasi dan Komunikasi (Infokom) periode 2010-2011. Penulis juga aktif berpatisipasi dalam berbagai kepanitiaan kegiatan kemahasiswaan di Institut Pertanian Bogor. Penulis melakukan kegiatan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cikeong dan Burangrang, Jawa Barat pada tahun 2009; Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Sukabumi dan KPH Cianjur Jawa Barat pada tahun 2010 dan Praktek Kerja Lapang (PKL) di areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA) PT. Erna Djuliawati yang berada di wilayah Kecamatan Seruyan Hulu, Kabupaten Seruyan, Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 2011.

8 UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada : 1. Orang tua penulis Bapak Toto Swastarif dan Ibu Endang Sriwigati, adik penulis Istifari Dian Paramita, Tante Septiana Mediawati dan Eyang Sudiarti serta keluarga besar penulis untuk dukungan dan kasih sayangnya, 2. Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS selaku dosen pembimbing, atas segala kesabarannya telah membimbing penulis dan senantiasa menjadi bapak yang baik bagi penulis, 3. Prof. Dr. I Nengah Surati Jaya, M.Agr dan Dr. Dra. Nining Puspaningsih, M.Si, 4. Prof. Dr. Ir. Surdiding Ruhendi, M.Sc selaku dosen penguji dari Departemen Teknologi Hasil Hutan dan Dr. Ir. Emi Karminarsih, MS selaku ketua sidang, 5. Dr. Ir. Juang Rata Matangaran, MS selaku dosen pemeriksa, 6. Bapak Uus Saepul M. dan Edwine Setia P. atas segala bimbingan yang diberikan kepada penulis, 7. Seluruh dosen dan staf Departemen Manajemen Hutan, 8. Khairunnisa, S.TP atas kesetiaan dan dukungan serta motivasi yang selalu diberikan kepada penulis, 9. Tantri Janiatri, Monika Turana, dan Aditya Sani Sasmita atas bantuan dan kerjasamanya selama ini, 10. Keluarga besar lab. Remote Sensing dan GIS : Ahsana Riska, Faris Salman, Risa Syarif, Anom K., I Putu Indra D., I Putu Ananta, Ratih S.M., Nurindah R., Bapak Syaiful Daulay, Bapak Ayub Woisiri, Bapak Kunkun, Nuraini Erisa, Sri Wahyuni, Fathia Amalia R., Eri Septya Wardhani, I Putu Arimbawa P., Erry Maulana W., dan Rudi Eka Setyawan atas dukungannya, 11. Andri Rizky Prasetyo, Akbar Abimanyu, Rizky Saputra, Novan Indra Pradana, dan Angga Prima Sukma. 12. Keluarga besar Science Comunity 2007: M. Alam Agung, Boris Sari Kuantan, Dinda Aprilita, Nyimas Siti Amalia, M. Supikroh, Terra Andriyani, Annisa Nurani, dan Idham Adji Dewangga atas segala dukungan selama ini.

9 13. Keluarga besar MNH 44 atas segala kebersamaan dan dukungannya, 14. Keluarga besar Pengurus Cabang Sylva Indonesia IPB, 15. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas semua bantuan dan dukungannya.

KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan kemudahan dan kelancaran kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul Pendugaan Biomassa Tegakan Pinus Menggunakan Backscatter ALOS PALSAR, Umur, dan Tinggi Tegakan: Kasus di KPH Banyumas Barat, Jawa Tengah. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini berisi gambaran mengenai analisis hubungan antara nilai backscatter, umur, dan tinggi pohon dalam melakukan pendugaan terhadap biomassa tegakan pinus di lapangan serta memetakan sebaran biomassa pinus berdasarkan model regresi terbaik. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran, kritik, dan masukkan demi perbaikan tulisan ini. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan. Bogor, Maret 2012 Penulis

DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... iv DAFTAR GAMBAR... vi DAFTAR LAMPIRAN... vii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Tujuan... 2 1.3 Manfaat... 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh... 3 2.2 Radar... 4 2.3 ALOS PALSAR... 7 2.4 Biomassa... 8 2.5 Pinus... 9 2.6 Penelitian Menggunakan Citra ALOS PALSAR... 10 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat... 12 3.2 Alat dan Bahan... 12 3.3 Tahapan Pelaksanaan... 13 3.3.1 Pengumpulan Data Lapangan... 14 3.3.2 Pengolahan Data Lapangan... 14 3.3.3 Pengolahan Data Citra... 15 3.3.4 Penyusunan dan Pemilihan Model... 16 3.3.5 Pembuatan Peta Sebaran Biomassa Atas Permukaan... 17 3.3.6 Penghitungan Overall accuracy dan Kappa accuracy... 18 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Administratif... 19 4.2 Topografi... 19 4.3 Iklm dan Tanah... 19

ii Halaman 4.4 Tutupan Lahan... 20 4.6 Kelas Umur... 20 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Nilai Biomassa Menurut Persamaan BEF dan Alometrik... 21 5.2 Nilai Backscatter Resolusi 50 Meter dan 12,5 Meter... 22 5.3 Hubungan Antara Peubah Biomassa dan Peubah Lain... 23 5.3.1 Analisis Regresi Pada Resolusi 50 Meter... 25 5.3.2 Analisis Regresi Pada Resolusi 12,5 Meter... 27 5.4 Pemetaan Biomassa dan Analisis Akurasi... 29 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan... 36 6.2 Saran... 36 DAFTAR PUSTAKA... 37 LAMPIRAN... 39

iii DAFTAR TABEL No. Halaman 1. Karakteristik PALSAR... 8 2. Rata-rata biomassa lapangan dengan menggunakan BEF dan alometrik... 21 3. Hasil nilai backscatter resolusi 50 m dan 12,5 m... 22 4. Uji t-student berpasangan backscatter HH dan HV resolusi 50 m dan 12,5 m... 22 5. Korelasi antara peubah biomassa, backscatter, umur, dan tinggi... 23 6. Nilai VIF dari peubah bebas yang digunakan pada resolusi 50 meter... 24 7. Nilai VIF dari peubah bebas yang digunakan pada resolusi 12,5 meter... 24 8. Hasil regresi pada resolusi 50 meter menggunakan peubah backscatter 25 9. Hasil regresi pada resolusi 50 meter menggunakan peubah backscatter dan umur... 25 10. Hasil regresi pada resolusi 50 meter menggunakan peubah backscatter dan tinggi pohon... 26 11. Hasil regresi pada resolusi 50 meter menggunakan peubah backscatter, umur dan tinggi... 26 12. Hasil regresi pada resolusi 12,5 meter menggunakan peubah backscatter... 27 13. Hasil regresi pada resolusi 12,5 meter menggunakan peubah backscatter dan umur... 27 14. Hasil regresi pada resolusi 12,5 meter menggunakan peubah backscatter dan tinggi... 28 15. Hasil regresi pada resolusi 12,5 meter menggunakan peubah backscatter, umur, dan tinggi... 28 16. Hasil perhitungan Kappa Acuracy dan Overall Acuracy resolusi 50 meter... 30 Halaman

iv No. Halaman 17. Hasil perhitungan Kappa Acuracy dan Overall Acuracy resolusi 12,5 meter... 30 18. Matriks konfusi resolusi 50 meter dan 12,5 meter... 35

DAFTAR GAMBAR No. Halaman 1. Wahana Penginderaan Jauh... 4 2. Citra ALOS PALSAR resolusi 50 m (a) dan 12,5 m (b)... 12 3. Skema penelitian... 13 4. Peta sebaran kelas umur... 20 5. Grafik distribusi kelas biomassa... 29 6. Peta sebaran biomassa di KPH Banyumas Barat resolusi 50 meter berdasarkan anak petak... 31 7. Peta sebaran biomassa di KPH Banyumas Barat resolusi 50 meter filtering kernel 5x5... 31 8. Peta sebaran biomassa di KPH Banyumas Barat resolusi 12,5 meter berdasarkan anak peta... 32 9. Peta resolusi sebaran biomassa di KPH Banyumas Barat 12,5 meter filtering kernel 7x7... 33 10. Sebaran kelas biomassa antara (a) resolusi 50 meter dan (b) resolusi 12,5 meter... 35

DAFTAR LAMPIRAN No. Halaman 1. Pengolahan data lapang... 40 2. Hasil perhitungan nilai backscatter pada plot pengamatan... 42 3. Matriks kontingensi citra resolusi 50 meter anak petak... 43 4. Matriks kontingensi citra resolusi 50 meter filtering kernel 1 1... 43 5. Matriks kontingensi citra resolusi 50 meter filtering kernel 3 3... 43 6. Matriks kontingensi citra resolusi 50 meter filtering kernel 5 5... 44 7. Matriks kontingensi citra resolusi 12,5 meter anak petak... 44 8. Matriks kontingensi citra resolusi 12,5 meter filtering kernel 3 3... 44 9. Matriks kontingensi citra resolusi 12,5 meter filtering kernel 5 5... 45 10. Matriks kontingensi citra resolusi 12,5 meter filtering kernel 7 7... 45

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan sumber daya alam hayati yang tidak ternilai harganya dan memiliki banyak manfaat yang dapat digunakan untuk kepentingan manusia. Salah satu kandungan di dalam hutan yang merupakan komponen penting dan menjadi sebuah trend beberapa tahun terakhir ini, yaitu biomassa. Biomassa merupakan berat total materi hidup setiap pohon di atas permukaan tanah yang dinyatakan dalam berat kering ton per unit area (Brown 1997). Dengan mengkaji biomassa, kita dapat mengetahui siklus hara dan aliran energi dari suatu ekosistem hutan. Dari hasil kajian biomassa tersebut, selanjutnya kita dapat mempelajari cadangan karbon dan hara lainnya dalam suatu ekosistem serta pengaruhnya terhadap siklus biogeokimia. Dalam melakukan pendugaan potensi biomassa suatu areal umumnya dilakukan pengukuran secara langsung di lapangan dengan menggunakan teknik penarikan contoh. Nilai dugaan yang diperoleh cukup akurat, namun kurang efektif bila diterapkan pada areal yang luas dan memerlukan biaya yang besar (Lu 2006). Seiring dengan berkembangnya teknologi informasi, pendugaan potensi terhadap biomassa dapat dilakukan menggunakan metode penginderaan jauh. Metode penginderaan jauh ini merupakan metode pendugaan biomassa yang lebih efektif karena potensi tegakan pada lokasi-lokasi yang tidak diukur di lapangan dapat diduga nilainya dari data citra satelit serta dapat mengatasi keterbatasan sumber daya (biaya, waktu, dan tenaga) pada pendugaan di areal yang luas (Ravindranath and Ostwald 2008). Pada tahun 2006, pemerintah Jepang meluncurkan satelit ALOS (Advanced Land Observing Sattelite) yang membawa sensor radar. Salah satu jenis sensornya, yaitu PALSAR (Phased Array Type L-band Shynyhetic Aperture Radar) dapat digunakan untuk menduga biomassa suatu tegakan. Pada penelitian Riska (2011), nilai backscatter pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan 12,5 m dapat menjelaskan dengan baik kondisi biomassa di lapangan. Namun pada penelitian ini ditambahkan peubah lain berupa umur dan

2 tinggi pohon yang diharapkan mampu memperbaiki tingkat pendugaan biomassa atas permukaan yang lebih baik. 1.2 Tujuan Adanya penelitian ini bertujuan untuk 1. Menganalisis penambahan peubah umur dan tinggi dalam pendugaan biomassa atas permukaan. 2. Memetakan pendugaan biomassa pinus menggunakan anak petak dan basis piksel. 1.3 Manfaat Memberikan informasi mengenai potensi biomassa tegakan pinus pada daerah kawasan hutan KPH Banyumas Barat, Jawa Tengah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan suatu teknik pengukuran atau perolehan informasi dari beberapa sifat obyek atau fenomena dengan menggunakan alat perekam yang secara fisik tidak terjadi kontak langsung atau bersinggungan dengan obyek atau fenomena yang dikaji (Howard 1996). Lillesand dan Kiefer (1990) mendefinisikan penginderaan jauh (Remote Sensing) sebagai ilmu, teknik dan seni guna mengetahui informasi mengenai obyek, daerah atau kejadian melalui analisis data yang diperoleh dengan alat tanpa melakukan kontak langsung dengan obyek, daerah atau kejadian yang dikaji. Menurut Lindgren (1985), penginderaan jauh merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh dan menganalisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik yang dipantulkan atau dipancarkan dari permukaan bumi. Hasil observasi penginderaan jauh yang berupa gambar yang menampakkan suatu objek disebut citra. Citra tersebut kemudian diinterpretasikan guna mengidentifikasi objek dan menilai arti penting objek tersebut (Estes dan Simonett 1975). Dalam pelaksanaan penginderaan jauh, perlu adanya alat sensor, alat pengolah data, dan alat lain sebagai pendukung. Sensor tidak diletakkan pada objek sehingga perlu adanya wahana atau media sebagai tempat meletakkan sensor tersebut. Wahana yang digunakkan untuk meletakkan sensor tersebut dapat berupa balon udara, pesawat terbang, satelit, atau wahana lainnya (lihat gambar 1). Antara wahana, sensor, dan citra diharapkan berkaitan karena akan mempengaruhi skala yang akan digunakan (Lindgren 1985). Dengan menggunakan wahana tersebut penginderaan jauh dilakukan. Semakin tinggi letak sensor, maka daerah yang terdeteksi akan semakin luas dan informasi yang diperoleh lebih beragam.

4 Gambar 1 Wahana Penginderaan Jauh Penginderaan jauh yang menggunakan tenaga alamiah berupa tenaga matahari disebut penginderaan jauh pasif dan hanya dapat beroperasi pada siang hari saat cuaca cerah, sedangkan penginderaan jauh aktif menggunakan sumber tenaga buatan yang dibuat dan dipancarkan dari sensor kemudian dipantulkan kembali ke sensor untuk direkam. Umumnya menggunakan gelombang mikro yang dipancarkan, namun dapat pula menggunakan spektrum tampak dengan sumber tenaga buatan berupa laser (Lindgren 1985). Komponen dasar pengambilan data penginderaan jauh sistem pasif meliputi sumber tenaga, atmosfer, interaksi tenaga dengan objek di permukaan bumi, sensor, sistem pengolahan data, dan berbagai penggunaan data. Pada penginderaan jauh sistem aktif menggunakan tenaga elektromagnetik yang dibangkitkan oleh sensor Radar (Radio Detection And Ranging) (Purwadhi 2011). 2.2 Radar Radar merupakan singkatan dari Radio Detecting and Ranging. Radar memiliki sumber energi sendiri sehingga dapat beroperasi siang dan malam serta mempunyai kemampuan menembus awan. Oleh karena itu, sistem radar ini disebut dengan penginderaan jauh aktif. Radar memiliki tiga fungsi, yaitu

5 1. Sensor yang memancarkan gelombang microwave (radio) ke bidang permukaan tertentu; 2. Sensor tersebut menerima beberapa bagian dari energi yang dipancarkan balik (backscatter) oleh permukaan; dan 3. Sensor ini dapat menangkap kekuatan (detection,amplitudo) dan perbedaan waktu (ranging, phase) dari pancar balik gelombang energi (JICA dan Fakultas Kehutanan IPB 2010). Pencitraan radar telah berkembang sejak tahun 1978 ketika satelit SEASAT SAR diluncurkan guna memperoleh resolusi spatial yang tinggi dan juga dapat diletakkan pada wahana satelit. SAR dapat bersifat kompetitif dan komplementatif terhadap multispectral radiometer sebagai instrumen penginderaan jauh. Dimulai dengan satelit SEASAT yang bekerja pada band L-HH pada tahun 1978, kemudian NASA meluncurkan SIR-A dan SIR-B pada tahun 1980 1990an, lalu ERS 1,3 pada tahun 1992 dan 1995, kemudian JERS-1 pada tahun 1992, dan RADARSAT-1 pada tahun 1995. Perkembangan terkini beberapa satelit dengan polarimetrik (HH, HV, VV, dan VH) dan interferometrik atau dikenal sebagai Pol_inSAR penuh telah diluncurkan, seperti ALOS PALSAR tahun 2006 dengan band L, TERRA SAR-X dengan band X, dan Radarsar-2 dengan band C. Penggunaan band yang berbeda dari ketiga satelit tersebut diharapkan dapat menyajikan data penginderaan jauh untuk memberikan informasi keadaan lingkungan bumi (JICA dan Fakultas Kehutanan IPB 2010). Dalam sistem radar, ukuran resolusi spasial pada sebagian besar penginderaan jauh sistem radar dipengaruhi oleh ukuran antena. Pemasangan antena pada sistem radar yang berwahana di udara umumnya terdapat pada bagian bawah pesawat dan diarahkan ke samping yang disebut dengan SLAR (Side Looking Airbone Radar) atau SLR (Side Looking Radar). Dengan sistem SLAR menghasilkan jalur citra berkesinambungan yang menggambarkan daerah medan luas dan berdekatan dengan jalur terbang (Lillesand dan Kiefer 1990). Penginderaan jauh sistem radar menggunakan tenaga elektromagnetik berupa pulsa berenergi tinggi yang dibangkitkan pada sensor. Tenaga ini yang dipancarkan dalam waktu yang sangat pendek, yaitu sekitar 10-6 detik. Pancaran gelombang ini diarahkan mengenai objek dan dipantulkan kembali ke sensor

6 radar. Selanjutnya sensor merekam waktu pancaran gelombang ditransmisikan dan kembali ke sensor serta intensitas balik (backscatter) panjang gelombang tersebut. Hasil intensitas balik dikonversikan menjadi data dijital dan dikirim ke perekaman data sehingga menjadi citra (Purwadhi 2011). Dalam sistem radar ini, sinyal ditransmisikan secara tegak/ vertikal (V) dan mendatar/ horisontal (H) dan diterima kembali secara horisontal atau vertikal. Terdapat empat kemungkinan polarisasi sinyal yang ditransmisikan kemudian diterima kembali oleh sensor, yaitu transmisi H terima H (HH), transmisi H terima V (HV), transmisi V terima V (VV), dan transmisi V terima H (VH). Berbagai objek mempengaruhi tingkat polarisasi sinyal sehingga polarisasi sinyal yang dihasilkan mempengaruhi dalam menampilkan kenampakkan suatu objek (Lillesand dan Kiefer 1990). Besaran backscatter dipengaruhi oleh sensor dan objek yang menjadi target. Faktor-faktor yang mempengaruhi besaran backscatter pada sensor, yaitu: 1. Panjang gelombang microwave yang digunakan (band X, C, S, L, dan P), 2. Polarisasi, 3. Sudut pandang dan orientasi, dan 4. Resolusi yang dihasilkan. Pada objek yang menjadi target, backscatter dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: 1. Konstanta dielektrik (berupa kelembapan atau kandungan air), 2. Kekasaran, ukuran, dan orientasi objek termasuk biomassa di dalamnya, dan 3. Sudut kemiringan (slope) dan orientasinya (sudut pandang lokal/ local incident angle) (JICA dan Fakultas Kehutanan IPB 2010). Adanya pengaruh topografi terhadap geometri berhubungan dengan unsur spasial citra itu sendiri, sedangkan pengaruh terhadap radiometrik lebih terkait kepada backscatter atau digital number sehingga dapat mempengaruhi tingkat kecerahan (brightness) citra. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengurangi pengaruh topografi terhadap image radar adalah radiometric terrain correction atau dikenal dengan slope correction. Metode slope correction ini

7 dilakukan guna mengoreksi radiometrik piksel-piksel yang terpengaruh oleh variasi topografi, terutama pada lereng yang menghadap sensor (JICA dan Fakultas Kehutanan 2011). 2.3 ALOS PALSAR Satelit ALOS merupakan satelit generasi lanjutan dari JERS-1 dan ADEOS yang dilengkapi teknologi yang lebih maju. Satelit buatan jepang ini diluncurkan pertama kali pada tanggal 24 Januari 2006 dengan massa sekitar 4 ton serta memiliki ukuran panjang 4,5 meter; lebar 3,5 meter; dan tinggi 6,5 meter. Satelit ini memiliki tiga instrumen penginderaan jauh, yaitu AVNIR-2 (Advanced Visible and Near Infrared Radiomemetr type-2), PRISM (Panchromatic Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping), dan PALSAR (Phased-Array type L-band Synthetic Aperture Radar). AVNIR dan PRISM merupakan sensor optik dimana AVNIR dapat dimanfaatkan dalam penyusunan peta penggunaan lahan atau peta vegetasi dengan menggunakan cahaya tampak (visible) dan infra merah dekat (near infrared), sedangkan PRISM memiliki kemampuan untuk membangun data 3 dimensi. PALSAR merupakan sensor radar yang memiliki gelombang mikro aktif dengan frekuensi L band dan memiliki kinerja lebih tinggi dibandingkan sensor SAR (Synthetic Aparature Radar) pada satelit JERS-1. Hal ini yang memungkinkan PALSAR dapat melakukan pengamatan suatu objek menembus awan baik siang maupun malam hari (JAXA 2006). Dengan menggunakan ScanSAR, sebagai salah satu observasinya, memungkinkan sensor PALSAR melakukan pengamatan bumi dengan cakupan areal yang luas, yaitu 250 hingga 350 km. ScanSAR pada PALSAR ini memiliki kemudi berkas cahaya yang diatur pada elevasi (ketinggian) dan didesain untuk memperoleh cakupan yang lebih luas dibandingkan SAR konvensional dengan polarisasi tunggal horisontal (HH) maupun vertikal (HV). Karakteristik PALSAR dapat dilihat pada Tabel 1 sebagai berikut:

8 Tabel 1 Karakteristik PALSAR Mode Karakteristik Polarimetric Fine ScanSAR (Experiment Mode) Frekuensi 1.270 MHz (L-Band) Lebar Kanal 14 MHz 14,28 MHz 14 MHz Polarisasi HH/VV/HH+HV atau VV+VH HH atau HV HH+HV+VH+VV Resolusi Spasial 10 m (2 look)/20 m (4 look) 100 m (multi look) 30 m Lebar Cakupan 70 km 250-350 km 30 km Incidence Angle 8-60 derajat 18-43 derajat 8-30 derajat NE Sigma 0 <-23 db (70 km) >-25 db (60 km) <-25 db <-29 db Panjang Bit 3 bit atau 5 bit 5 bit 3 bit atau 5 bit Ukuran Antena AZ:8.9 m x EL:2.9 m (Sumber : Jaxa 2006) Data citra ALOS PALSAR dapat digunakan untuk pembuatan DEM (Digital Elevation Model), monitoring sumberdaya alam (hutan), monitoring kebakaran hutan, estimasi kandungan biomassa, mengukur kelembaban tanah, monitoring objek-objek buatan, kandungan mineral dan bahkan untuk pencarian pesawat dan kapal yang hilang (Ginting et al. 2003). Selain itu, PALSAR juga digunakan dalam penafsiran dan klasifikasi tutupan lahan serta mengawasi tutupan lahan yang terjadi (Wang et al. 2007). 2.4 Biomassa Biomassa merupakan jumlah total dari bahan organik hidup yang dinyatakan dalam berat kering oven ton per unit area (Brown 1997). Biomassa dibedakan menjadi dua kategori, yaitu biomassa atas permukaan (above ground biomass) dan biomassa bawah permukaan (below ground biomass). Menurut Hairiah dan Rahayu S (2007), pendugaan biomassa di atas permukaan tanah dapat diukur dengan menggunakan metode langsung (destructive) dan metode tidak langsung (non destructive). Metode tidak langsung digunakan untuk menduga biomassa vegetasi yang berdiameter 5 cm, sedangkan metode secara langsung digunakan untuk menduga biomassa vegetasi yang memiliki diameter < 5 cm (vegetasi tumbuhan bawah).

9 Menurut Brown (1997), terdapat dua pendekatan dalam menduga biomassa suatu pohon, yaitu pendekatan pertama berdasarkan pendugaan volume kulit sampai batang bebas cabang kemudian dirubah menjadi kerapatan biomassa (ton/ha) dan pendekatan kedua dengan menggunakan persamaan regresi biomassa atau dikenal dengan alometrik. Penentuan kerapatan biomassa pada pendekatan kedua menggunakan persamaan regresi biomassa berdasarkan diameter batang pohon. Dasar dari persamaan regresi ini dengan mendekati biomassa rata-rata per pohon menurut sebaran diameter dengan menggabungkan sejumlah pohon yang ada per kelas diameter dan menjumlahkan seluruh pohon total untuk seluruh kelas diameter. Pendugaan dan pemetaan biomassa hutan melalui pemodelan radiometrik dilakukan dengan cara mengintegrasikan data citra satelit dan data hasil pengukuran pada plot-plot contoh di lapangan. Pada masing-masing plot contoh dilakukan dua macam proses, yaitu pengolahan nilai-nilai dijital pada citra dan pengukuran biomassa di lapangan untuk membuat model regresi antara nilai-nilai dijital pada citra dengan nilai-nilai biomassa di lapangan. Berdasarkan model regresi tersebut dilakukan pendugaan nilai-nilai biomassa pada setiap lokasi sehingga dapat diperoleh peta sebaran biomassa di seluruh areal hutan (Lu 2006). Selain penafsiran, pengolahan citra perlu dilakukan untuk menentukan nilainilai dijital (digital numbers) ataupun nilai-nilai transformasinya, misalnya indeks vegetasi pada citra satelit optik atau nilai-nilai backscatter pada citra radar. Untuk citra PALSAR, nilai-nilai backscatter diperoleh dari polarisasi HH dan HV, dimana nilai-nilai backscatter HV cenderung memiliki korelasi yang lebih erat dengan biomassa tegakan dibanding nilai-nilai backscatter HH (Saleh 2010). 2.5 Pinus Pinus merkusii merupakan satu-satunya jenis pinus yang tumbuh asli di Indonesia. Pohon ini termasuk ke dalam famili Pinaceae. P. merkusii ini merupakan jenis pohon serba guna yang dikembangkan secara terus menerus dan diperluas penanamannya pada masa mendatang guna menghasilkan kayu, getah, dan sebagai konservasi lahan (Dahlian dan Hartoyo 1997). Hampir seluruh bagian pada pohon P. merkusii ini dapat digunakan, salah satunya penyadapan pada bagian batang guna memperoleh getahnya. Getah

10 tersebut selanjutnya diproses lebih lanjut menjadi gondorukem dan terpentin. Gondorukem dapat digunakan sebagai bahan pembuatan sabun, cat, dan resin. Terpentin digunakan sebagai bahan industri parfum, obat-obatan, dan disinfektan. Hasil kayunya dapat bermanfaat untuk kayu konstruksi, korek api, pulp, dan kertas serat panjang.bagian kulitnya dapat digunakan sebagai bahan bakar dan abunya dapat dimanfaatkan untuk bahan campuran pupuk karena mengandung kalium (Dahlian dan Hartoyo 1997). Peubah tinggi pada pinus merupakan parameter penting dan memiliki korelasi dengan volume pohon (Sahid 2003). Menurut Spur (1960) dalam Sahid (2003), penaksiran volume pinus menggunakan diameter tajuk sebagai peubah bebas guna melakukan penaksiran volume akan memberikan hasil standar. Bila ditambahkan dengan peubah tinggi sebagai peubah bebas kedua akan memperbaiki hasil taksiran. Begitu pula bila ditambahkan peubah umur. Semakin besar umur tegakan pinus maka semakin besar tinggi dan diameter tegakan tersebut. Adanya penambahan ukuran tinggi dan diameter berkorelasi erat dengan penambahan besar pada volume. 2.6 Penelitian Menggunakan Citra ALOS PALSAR Penelitian menggunakan ALOS PALSAR telah banyak dilakukan. Daulay (2011) dalam penelitiannya melakukan pengkajian terhadap karakteristik backscatter citra ALOS PALSAR pada hutan hujan tropis. Dari hasil penelitiannya diperoleh hasil bahwa nilai suatu backscatter dipengaruhi oleh peubah tegakan yang diamati. Peubah tegakan yang mempengaruhi nilai backscatter pada citra alos palsar resolusi 50 meter adalah lbds pohon dan biomassa pohon. Woisiri (2011) juga menggunakan ALOS PALSAR dalam melakukan kajian karakteristik bakscatter citra pada tegakan hutan tanaman Eucalypthus grandis. Variasi backscatter pada tegakan Eucalypthus grandis dipengaruhi oleh variasi peubah tinggi (m) untuk citra resolusi 50 meter dan variasi jumlah tajuk (m 2 /plot) serta jumlah pohon (m) untuk citra PALSAR resolusi 6,25 meter. Pada penelitian Nurhadiatin (2011) menggunakan PALSAR dalam penafsiran tutupan lahan di Kabupaten Brebes, Cilacap, Ciamis dan Banyumas. Berdasarkan hasil penafsiran PALSAR resolusi 50 meter dan 12,5 meter di daerah

11 tersebut diketahui bahwa citra resolusi 12,5 meter tidak memberikan penambahan informasi tentang tutupan lahan yang berbeda dan hanya sebatas pada mempermudah identifikasi penutupan lahan serta memperjelas hasil deliniasi tutupan lahan pada citra. Dalam penelitian pendugaan biomassa di KPH Banyumas Barat oleh Riska (2011) diperoleh informasi bahwa nilai backscatter pada citra ALOS PALSAR baik resolusi 50 m maupun resolusi 12,5 m dapat menjelaskan dengan baik kondisi biomassa di lapangan.

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di KPH Banyumas Barat (Bagian Hutan Dayeuluhur, Majenang dan Lumbir). Penelitian ini dilakukan dengan mengolah dan menganalisis data sekunder pada bulan September 2011 sampai dengan Januari 2012 di Laboratorium Remote Sensing dan GIS Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Data lapang diambil pada bulan November 2010 April 2011. 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah satu unit komputer dengan aplikasi penunjang berupa software Erdas Imagine Ver 9.1, ArcView GIS Ver 3.2, SPSS Statistics 16.0, dan Microsoft Office 2007. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Citra ALOS PALSAR tahun perekaman 2009 dengan resolusi spasial 50 m dan 12,5 m daerah Majenang, Jawa Tengah. a b Gambar 2 Citra ALOS PALSAR resolusi 50 m (a) dan 12,5 m (b) 2. Data sekunder hasil inventarisasi tegakan pinus (Pinus merkusii Jungh et De Vriese) dalam kegiatan Project for support on Forest Resources Management Through Leveraging Sattelite Image Information tahun 2010

13 di lokasi KPH Banyumas Barat (Bagian Hutan Dayeuluhur, Majenang, dan Lumbir) dengan unit contoh lingkaran berdasarkan kelas umur. 3. Data informasi petak dan anak petak 3.3 Tahapan Pelaksanaan Tahapan pelaksanaan secara umum dapat dilihat pada Gambar 3 di bawah : Persiapan dan Pengumpulan Data Hasil Inventarisasi Tegakan Citra ALOS PALSAR Perhitungan Biomassa dan Volume Pengkonversian Nilai Dijital Dimensi Tegakan (umur& tinggi) dan Nilai Biomassa Nilai Backscatter Overlay Data Analisis Statistik dan Penyusunan Model Pendugaan Biomassa Model Terbaik Penghitungan Overall Accuracy dan Kappa Accuracy Pembuatan Peta Sebaran Biomassa Selesai Gambar 3 Skema penelitian

14 3.3.1 Pengumpulan Data Lapangan Penentuan plot contoh di lapangan didasarkan pada keterwakilan masingmasing kelas umur yang tersedia di lapangan. Kelas umur dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yaitu : a. Kelompok umur muda Untuk tegakan dengan kelas umur I sampai III. Pengambilan data dilakukan dengan membuat plot lingkaran seluas 0,02 Ha (D 7,29 m). b. Kelompok umur sedang Untuk tegakan dengan kelas umur IV sampai VI. Pengambilan data dilakukan dengan membuat plot lingkaran seluas 0,04 Ha (D 11,28 m). c. Kelompok umur tua Untuk tegakan kelas umur VII sampai VIII, pengambilan data dilakukan dengan membuat plot lingkaran seluas 0,1 Ha (D 17,28 m). Dalam pengumpulan data lapangan, diambil data umur serta tinggi dari masing-masing plot contoh yang ada. 3.3.2 Pengolahan Data Lapangan Pengolahan data lapangan dilakukan untuk menduga biomassa atas permukaan plot-plot yang telah diukur. Pendugaan biomassa atas permukaan dilakukan dengan menggunakan alometrik yang telah tersedia dan menggunakan koefisien BEF. Pendugaan biomassa atas permukaan menggunakan alometrik yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Keterangan : BAP = Biomassa Atas Permukaan D = Diameter (cm) BAP = 0,0292D 2,802 (Heriansyah 2005) Pendugaan biomassa atas permukaan menggunakan Biomass Expansion Factor (BEF) dilakukan dengan menggunakan rumus : Keterangan : BAP V BAP = V BEF = Biomassa Atas Permukaan = Volume Tegakan berdasarkan Tabel Volume Lokal

15 Vm = 0,00003179977 D 2,72647 untuk wilayah Bagian Hutan Majenang Vd = 0,000006910128 D 3,21001999 untuk wilayah Bagian Hutan Dayeuh Luhur Vl = 0,00003922364 D 2,687763 untuk wilayah Bagian Hutan Lumbir (KPH Banyumas Barat 1995) BEF = Biomass Expansion Factor dengan koefisien 1,4 untuk Pinus pada hutan tropis (IPCC (2003) dalam Heriyanto et al. (2005)). Selanjutnya dilakukan uji statistik menggunakan t-student berpasangan pada hasil perhitungan BEF dan biomassa alometrik untuk menentukan perhitungan biomassa yang akan digunakan pada penelitian ini. = ₒ ; = 1; ₒ=0 d/ n Dengan menggunakan hipotesis uji sebagai berikut : H 0 : µ 1 - µ 2 = 0 (Biomassa alometrik = BEF) H 1 : µ 1 - µ 2 0 (Biomassa alometrik BEF) Model yang dianggap mewakili data dan layak digunakan didasarkan pada t hitung dengan kriteria apabila t hitung <t (α/2) pada taraf nyata 5% atau nilai signifikansi > 0,05, maka model pendugaannya layak digunakan dan sebaliknya jika t hitung > t (α/2) atau nilai signifikansi <0,05, maka model penduganya kurang layak digunakan. 3.3.3 Pengolahan Data Citra Analisis Backscatter Analisis backscatter dalam penelitian ini dilakukan terhadap polarisasi HH dan HV. Nilai backscatter dapat diperoleh dengan rumus kalibrasi berikut : NRCS(dB) = 10 log10(dn 2 ) + CF (Shimada et al 2009) Keterangan : NRCS = Normalized Radar Cross Section DN = Digital Number CF = Calibration Factor, yaitu -83 untuk HH dan HV 3.3.4 Penyusunan dan Pemilihan Model Analisis hubungan antara biomassa dengan nilai backscatter dilakukan dengan menyusun model hubungan biomassa atas permukaan dengan nilai backscatter pada citra. Model-model yang dicobakan adalah sebagai berikut :

16 a. Model Regresi Linear Berganda Y = a + bx 1 + cx 2 + dx 3 b. Model Kuadratik Y = a + bx 2 1 + cx 2 2 2 + dx 3 c. Model Eksponensial Y = Exp (a + bx 1 + cx 2 + dx 3 ) Keterangan : Y = Biomassa Atas Permukaan X 1 = Nilai backscatter polarisasi HH atau HV X 2 = Nilai umur X 3 = Nilai tinggi a,b,c,d = Nilai estimasi parameter Penyusunan model hubungan biomassa dengan masing-masing peubah menggunakan metode penentuan subset predictor berdasarkan kriteria koefisien determinasi yang disesuaikan (R 2 adj). Dari hasil permodelan akan diketahui seberapa besar nilai dari masing-masing peubah tersebut dapat menjelaskan nilai biomassa. Proses menganalisis hubungan nilai backscatter dan biomassa dilakukan dengan menggunakan software SPSS 16.0. Pemilihan model terbaik menggunakan kriteria koefisien determinasi yang disesuaikan (R 2 adj) dan Root Mean Square Error (RMSE) paling rendah. Semakin tinggi nilai koefisien determinasi yang terkoreksi (R 2 adj), maka semakin besar peranan nilai peubah tersebut dalam menjelaskan nilai biomassa atas permukaan. Selang nilai untuk koefisien determinasi yang terkoreksi (R 2 adj) adalah 0 100%. Semakin rendah nilai RMSE maka semakin akurat hasil penaksiran yang diperoleh. Berikut perhitungan koefisien determinasi terkoreksi: Keterangan : 2 = JKS = Jumlah kuadrat sisa JKT = Jumlah kuadrat total (n - p) = derajat bebas sisa (n - 1) = derajat bebas total / 100% / 1

17 Untuk perhitungan kuadrat error rata-rata (RMSE) menggunakan persamaan berikut: Keterangan : MSE = / RMSE = MSE = Kuadrat tengah sisa RMSE = Akar kuadrat tengah sisa yi = Biomassa ke-i y i = Rata-rata biomassa ke-i n = Jumlah plot sampel p = Jumlah parameter yang digunakan 3.3.5 Pembuatan Peta Sebaran Biomassa Atas Permukaan. Pembuatan peta sebaran dilakukan dengan bantuan software Erdas Imagine 9.1 dan ArcView 3.2. Peta sebaran dibuat berdasarkan kelas yang telah ditentukan. Penentuan banyaknya jumlah kelas berdasarkan penelitian Riska (2011), yaitu tiga kelas. Pembagian tiga kelas diperoleh berdasarkan distribusi sebaran biomassa di plot pengamatan secara merata. Pada pemetaan biomassa ini terdapat dua metode pembuatan peta, yaitu menggunakan anak petak dan menggunakan basis piksel. Pemetaan berdasarkan basis piksel dibagi lagi menggunakan filtering dan non filtering. Filtering pada penelitian ini menggunakan Lee sigma. Proses filtering image dilakukan dengan menggunakan bantuan software ERDAS IMAGINE 9.1 dengan menu Radar (Radar Interpreter Speckle Supression). Filtering image ini dilakukan pada citra-citra hasil model terbaik yang telah dibuat dalam bentuk grid. Pada citra model resolusi 50 meter dilakukan filtering dengan kernel 1x1, 3x3, dan 5x5, sedangkan pada citra resolusi 12,5 meter digunakan filtering dengan kernel 3x3, 5x5, dan 7x7. 3.3.6 Penghitungan Overall Accuracy dan Kappa Accuracy Analisis akurasi hasil pengklasifikasian kelas dilakukan dengan menghitung Overall Accuracy (OA) dan Kappa Accuracy (KA) menggunakan rumus berikut :

18 Keterangan : OA = 100% OA = Overall Accuracy X ii = Nilai diagonal dari matriks kontingens baris ke-i dan kolom ke-i N = Banyaknya pixel dalam contoh Keterangan : KA = 100% KA = Kappa Acuracy X = nilai diagonal dari matrik kontingensi baris ke-i dan kolom ke-i X = jumlah piksel dalam kolom ke-i X = jumlah piksel dalam baris ke-i N = banyaknya piksel dalam contoh

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI Perhutani KPH Banyumas Barat merupakan salah satu dari 20 KPH yang ada di Jawa Tengah. KPH Banyumas Barat mengelola hutan di wilayah administratif Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Cilacap dengan luas areal kerja sebesar 55.546,2 Ha yang terdiri atas 5 Bagian Hutan (BH), yaitu BH Dayeuluhur, BH Majenang, BH Lumbir, BH Sidareja, dan BH Cilacap. Bagian Hutan ini kemudian dibagi menjadi 8 BKPH (Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan) yaitu BKPH Lumbir, BKPH Majenang, BKPH Sidareja, BKPH Wanareja, BKPH Bokol, BKPH Kawunganten, BKPH Rawa Timur dan BKPH Rawa Barat. 4.1 Letak Administratif KPH Banyumas Barat secara administratif kawasan hutannya masuk pada wilayah administratif Kabupaten Banyumas (8.235,80 Ha) dan Kabupaten Cilacap (47.310,40 Ha). 4.2 Topografi Topografi wilayah kawasan hutan KPH Banyumas Barat cukup beragam. Setiap bagian hutan memiliki konfigurasi lapangan datar, kawasan berlereng, sangat berombak/bergelombang dan berbukit. Elevasi kawasan hutan KPH Banyumas Barat berkisar antara ketinggian 7 mdpl 1.347 mdpl. 4.3 Iklim dan Tanah KPH Banyumas Barat mempunyai iklim tropis basah. Rata-rata suhu bulanan 26,3º C dengan suhu minimal 24,4º C dan suhu maksimal 30,9º C. Tipe iklim di Kabupaten Banyumas menurut Smith Ferguson adalah tipe B (basah) dengan curah hujan 3.500 mm/thn. Jenis tanah yang terdapat di KPH Banyumas Barat didominasi oleh jenis latosol merah kekuningan, latosol coklat, podsolik merah, dan aluvial kelabu kekuningan yang tersebar di tiga bagian hutan KPH Banyumas Barat, yaitu Bagian Hutan Dayeuluhur, Bagian Hutan Lumbir, dan Bagian Hutan Majenang.

20 4.4 Tutupan Lahan Kawasan hutan KPH Banyumas Barat terdiri atas tutupan lahan berupa hutan, lahan pertanian, perkebunan dan pemukiman. Tutupan lahan berupa hutan didominasi oleh hutan tanaman khususnya jenis pinus. Terdapat pula hutan tanaman jenis lain seperti mahoni, jati dan salam. Selain itu, terdapat pula pemukiman-pemukiman masyarakat di sekitar hutan baik itu di batas luar kawasan hutan maupun enclave yang berada dalam kawasan hutan. 4.5 Kelas umur Penelitian ini dilakukan pada tiga bagian hutan (BH), yaitu BH Dayeuluhur, BH Majenang, dan BH Lumbir. Berikut peta sebaran kelas umur pada tiga bagian hutan yang disajikan pada Gambar 4. Gambar 4 Peta sebaran kelas umur Berdasarkan Gambar 4 diketahui bahwa lokasi penelitian ini didominasi oleh Kelas Umur I dan Kelas Umur VII. Kelas Umur I memiliki luas 3.825,566 Ha, Kelas Umur II memiliki luas 367,8 Ha, Kelas Umur III memiliki luas 846,541 Ha, Kelas Umur IV memiliki luas 873,174 Ha, Kelas Umur V memiliki luas 1.651,375 Ha, Kelas Umur VI memiliki luas 2.783,621 Ha, Kelas Umur VII memiliki luas 6.225,457 Ha, dan Kelas Umur VIII memiliki luas 479,158 Ha.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Nilai Biomassa Menurut Persamaan BEF dan Alometrik Dari hasil perhitungan data lapang, diperoleh biomassa pada masing-masing kelas umur dengan perhitungan alometrik rata-rata berkisar antara 4,836 ton/ha 356,363 ton/ha. Biomassa dengan perhitungan alometrik lebih besar dibandingkan nilai biomassa pada BEF dengan kisaran 3,517 ton/ha 238,955 ton/ ha. Tabel 2 berikut merupakan hasil perhitungan biomassa menggunakan perhitungan BEF dan alometrik. Tabel 2 Rata-rata biomassa lapangan dengan menggunakan BEF dan alometrik Biomassa (ton/ha) KU BEF Alometrik I 3,517 4,836 II 67,319 100,402 II 112,627 169,300 IV 128,767 189,554 V 174,545 231,883 VI 214,209 298,359 VII 129,043 203,344 VIII 238,955 356,363 Berdasarkan Tabel 2 diperoleh hasil biomassa atas permukaan dengan menggunakan persamaan alometrik berbeda dengan perhitungan biomassa atas permukaan menggunakan koefisien BEF. Menurut Riska (2011) hal ini disebabkan karena perhitungan menggunakan koefisien BEF sifatnya lebih umum untuk jenis pinus pada hutan tropis, sedangkan persamaan alometrik yang digunakan untuk perhitungan biomassa pada penelitian ini sifatnya lebih khusus karena persamaan tersebut dibuat untuk perhitungan pinus pada daerah dengan ketinggian dan topografi yang kurang lebih sama dengan daerah penelitian. Selain itu, dilakukan uji t-student berpasangan pada biomassa BEF dan alometrik yang menghasilkan nilai t hitung 9,381 lebih besar dibandingkan t (α/2) 2,026 pada taraf nyata 5% sehingga dapat diketahui bahwa kedua biomassa tersebut berbeda nyata.

22 Berdasarkan pernyataan tersebut, selanjutnya perhitungan biomassa menggunakan persamaan alometrik. 5.2 Nilai Backscatter Resolusi 50 Meter dan 12,5 Meter Pada pengolahan data citra dilakukan slope correction terlebih dahulu pada masing-masing citra yang digunakan, yaitu citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter dan citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter. Selanjutnya dilakukan pencarian backscatter dari hasil perolehan digital number. Berikut hasil perhitungan nilai backscatter yang ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3 Hasil nilai backscatter resolusi 50 m dan 12,5 m Polarisasi Resolusi citra Rata-rata HH Rata-rata HV 50 meter -5.76-11.72 12,5 meter -7.84-13.56 Dari hasil perolehan nilai backscatter pada Tabel 3 diketahui resolusi 50 meter dan 12,5 meter memiliki nilai backscatter yang berbeda. Perbedaan nilai backscatter tersebut dipengaruhi oleh tingkat perbedaan resolusi yang digunakan. Untuk menegaskan pernyataan tersebut dilakukan uji t-student berpasangan pada Tabel 4. Tabel 4 Uji t-student berpasangan backscatter HH dan HV resolusi 50 m dan 12,5 m Resolusi citra 12,5 m dan 50 m t hitung t (α/2) Sig backscatter (HH) 3,609 2,026 0,001 backscatter (HV) 2,433 2,026 0,020 Berdasarkan hasil uji t-student berpasangan pada Tabel 4 diperoleh nilai t hitung lebih besar dibandingkan t (α/2) untuk backscatter polarisasi HH dan HV resolusi 50 m dan 12,5 m pada taraf nyata 5%. Sehingga dapat diketahui bahwa nilai backscatter resolusi 50 m dan 12,5 m berbeda nyata. Hal tersebut menjelaskan bahwa perbedaan resolusi yang digunakan dapat berpengaruh terhadap besar kecilnya nilai hamburan balik yang diperoleh.

23 5.3 Hubungan Antara Peubah Biomassa dan Peubah Lain Sebelum pemilihan model terbaik dilakukan pendugaan korelasi dan multikolinearitas pada masing-masing peubah yang digunakan guna melihat hubungan antar variabel yang nantinya akan digunakan pada pembuatan model. Berikut merupakan korelasi antara peubah biomassa dan peubah lain yang ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5 Korelasi antara peubah biomassa, backscatter, umur, dan tinggi Peubah bebas Biomassa 50 m 50 m 12,5 m 12,5 m HH HV HH HH Umur 50 m HH 0,235 50 m HV 0,479 0,895 12,5 m HH 0,375 0,332 0,461 12,5 m HV 0,496 0,117 0,346 0,868 Umur 0,746 0,231 0,490 0,395 0,550 Tinggi 0,782 0,186 0,486 0,642 0,781 0,870 Berdasarkan Tabel 5 dapat diperoleh informasi bahwa peubah backscatter, umur, dan tinggi memiliki korelasi positif dengan biomassa. Peubah backscatter 12,5 meter menunjukkan hubungan yang lebih erat dengan biomassa dibandingkan nilai backscatter pada resolusi 50 meter. Korelasi yang erat dapat dilihat pada peubah backscatter HH 12,5 meter dengan backscatter HV 12,5 meter dan peubah backscatter HH 50 meter dengan backscatter HV 50 meter serta pada peubah tinggi dengan umur. Korelasi yang erat ini mengindikasikan adanya multikolinearitas. Multikolinearitas merupakan adanya hubungan yang sangat erat antara satu peubah bebas dengan peubah bebas lainnya dalam satu model regresi. Hal tersebut dapat menyebabkan koefisien regresi tidak stabil (Irawan 2007). Dalam mengetahui adanya multikolinearitas pada suatu persamaan dapat dilihat dari nilai VIF (Variance Inflation Factor) dari peubah yang digunaksn. Nilai VIF yang sangat besar atau (VIF > 5) mempunyai arti bahwa model tersebut mengandung multikolinearitas. Berikut Tabel 6 menunjukkan nilai VIF dari masing-masing peubah bebas yang digunakan.

24 Tabel 6 Nilai VIF dari peubah bebas yang digunakan pada resolusi 50 meter Variance Inflation Factor (VIF) Peubah HH HV Umur Tinggi X 1, X 2, X 3, X 4 8,5 10,8 4,2 5,1 X 1, X 3, X 4 1,1 4,2 4,1 X 2, X 3, X 4 1,3 4,2 4,2 X 1, X 3 1,1 1,1 X 2, X 3 1,3 1,3 X 1,X 4 1 1 X 2, X 4 1,3 1,3 Keterangan : X 1 = polarisasi HH, X 2 = polarisasi HV, X 3 = umur, dan X 4 = tinggi Tabel 7 Nilai VIF dari peubah bebas yang digunakan pada resolusi 12,5 meter Variance Inflation Factor (VIF) Peubah HH HV Umur Tinggi X 1, X 2, X 3, X 4 4,3 6,3 5,2 9 X 1, X 3, X 4 1,5 4,2 4,4 X 2, X 3, X 4 2,3 4,2 5 X 1, X 3 1,2 1,2 X 2, X 3 1,4 1,4 X 1,X 4 1,7 1,7 X 2, X 4 2,6 2,6 Keterangan : X 1 = polarisasi HH, X 2 = polarisasi HV, X 3 = umur, dan X 4 = tinggi Berdasarkan data Tabel 6 dan Tabel 7 di atas menunjukkan adanya multikolinearitas pada peubah bebas resolusi 50 meter dan 12,5 meter. Multikolinearitas terdapat pada persamaan yang menggunakan peubah polarisasi HH, polarisasi HV, umur, dan tinggi, baik pada resolusi 50 meter maupun resolusi 12,5 meter berdasarkan nilai VIF > 5. Dari informasi nilai VIF di atas dapat diketahui bahwa adanya peubah HH dan HV atau polarisasi gabungan pada satu persamaan menyebabkan terjadi multikolinearitas. Berdasarkan uji multikolinearitas tersebut, maka salah satu peubah dari polarisasi HH atau HV harus dibuat dalam dua persamaan polarisasi yang berbeda guna menghasilkan koefisien regresi yang stabil.