BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan latar belakang masalah dan tinjauan pustaka yang telah

dokumen-dokumen yang mirip
Metode. Sampel yang diuji adalah 76 anak astigmatisma positif dengan derajat dan jenis astigmatisma yang tidak ditentukan secara khusus.

BAB I PENDAHULUAN. Penglihatan adalah salah satu indera yang sangat penting bagi manusia

BAB I PENDAHULUAN. adanya permainan audiovisual yang sering disebut dengan video game.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN. Miopia adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar yang

BAB I PENDAHULUAN. Penglihatan yang kabur atau penurunan penglihatan. adalah keluhan utama yang terdapat pada penderitapenderita

BAB 1 : PENDAHULUAN. berbagai informasi visual yang digunakan untuk melaksanakan berbagai kegiatan,

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar miopia berkembang pada anak usia sekolah 1 dan akan stabil

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mata merupakan organ penting dalam tubuh kita. Sebagian besar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Miopia adalah suatu kelainan refraksi karena kemampuan refratif mata

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pada iritasi mata bahkan kemungkinan katarak mata (Fazar, 2011).

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat diatasi (American Academy of Ophthalmology, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. Selama 20 tahun terakhir, telah terjadi kemajuan besar dalam bidang teknologi

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penglihatan merupakan indra yang sangat penting dalam menentukan

BAB I PENDAHULUAN. penglihatan atau kelainan refraksi (Depkes RI, 2009).

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi dan sarana informasi sejak abad ke-dua puluh

BAB I PENDAHULUAN. Miopia dapat terjadi karena ukuran aksis bola mata relatif panjang dan disebut

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan untuk memproses dan mengirimkan informasi dalam bentuk. memasyarakat dikalangan anak-anak. Hal ini mungkin menjadi suatu

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Mata adalah panca indera penting yang perlu. pemeriksaan dan perawatan secara teratur.

PERBANDINGAN KADAR VITAMIN D DARAH PENDERITA MIOPIA DAN NON MIOPIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. depan atau belakang bintik kuning dan tidak terletak pada satu titik yang tajam. 16

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kriteria sebanyak 77 orang. Sampel diuji menggunakan tes Saphiro-Wilk dan. Tabel 1. Karakteristik subjek penelitian

Hubungan Kebiasaan Melihat Dekat dengan Miopia pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Sahara Miranda* Elman Boy**

BAB I PENDAHULUAN. kondisi pandangan yang tidak nyaman (Pheasant, 1997). kondisi kurang sempurna untuk memperoleh ketajaman penglihatan.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. terlalu dekat sehingga menyebabkan kelelahan pada mata (astenopia) dan radiasi

BAB I PENDAHULUAN. seperti terhadap otot-otot akomodasi pada pekerjaan yang perlu pengamatan

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan pembangunan jangka panjang di bidang kesehatan, dimulai

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG. Katarak merupakan salah satu penyebab kebutaan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak menimbulkan efek berbahaya bagi manusia. Lamanya radiasi komputer

BAB I PENDAHULUAN. dokter (Harsono, 2005). Nyeri kepala dideskripsikan sebagai rasa sakit atau rasa

TEKNIK PEMERIKSAAN REFRAKSI SUBYEKTIF MENGGUNAKAN TRIAL FRAME dan TRIAL LENS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. ditandai dengan berat badan diatas rata-rata dari indeks massa tubuh (IMT) yang di

BAB I PENDAHULUAN. hampir 25% populasi atau sekitar 55 juta jiwa (Anma, 2014). Hasil Riset

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dunia usaha dan dunia kerja, kesehatan kerja berkontribusi dalam

BAB 1 : PENDAHULUAN. konflik batin serta kondisi sakit yang diderita oleh tenaga kerja. (1)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Nyeri kepala merupakan keluhan yang sering dijumpai di tempat

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. prestasi belajar pada mahasiswa. Penelitian ini dilakukan di Fakultas

BAB IV HASIL PENELITIAN. Sekolah Dasar Islam Tunas Harapan Semarang dan Sekolah Dasar

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bola mata terletak di dalam kavum orbitae yang cukup terlindung (Mashudi,

BAB I PENDAHULUAN. otomatis, terintegrasi dan terkoordinasi. luas dewasa ini, ditambah penggunaan internet yang semakin populer

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu bentuk teknologi yang beredar adalah gadget. Gadget tidak

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Keluhan kelelahan mata menurut Ilmu Kedokteran adalah gejala

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. panjang, sehingga fokus akan terletak di depan retina (Saw et al., 1996). Miopia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Hemoroid merupakan salah satu penyakit. anorektal yang sering dijumpai. Hemoroid adalah bantalan

BAB 1 : PENDAHULUAN. kapasitas kerja fisik pekerja, serta melindungi pekerja dari efek buruk pajanan hazard di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. dalam proses refraksi ini adalah kornea, lensa, aqueous. refraksi pada mata tidak dapat berjalan dengan

I. PENDAHULUAN. tersebut oleh American Optometric Association (AOA) dinamakan Computer

BAB I PENDAHULUAN. sejajar yang berasal dari jarak tak terhingga masuk ke mata tanpa akomodasi dan

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi merupakan penyakit peradangan pada. sistem pernapasan yang disebabkan oleh reaksi alergi

Hubungan Gaya Hidup dengan Miopia Pada Mahasiswa Fakultas. Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Kemajuan teknologi dan meningkatnya tuntutan. akademis menyebabkan peningkatan frekuensi melihat

Keluhan Mata Silau pada Penderita Astigmatisma Dibandingkan dengan Miopia. Ambient Lighting on Astigmatisma Compared by Miopia Sufferer

BAB I PENDAHULUAN survei rutin yang dilakukan rutin sejak tahun 1991 oleh National Sleep

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. meningkat dan mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, khususnya dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebutaan merupakan suatu masalah kesehatan di dunia, dilaporkan bahwa

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. tepat di retina (Mansjoer, 2002). sudah menyatu sebelum sampai ke retina (Schmid, 2010). Titik fokus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. anak yang kedua orang tuanya menderita miopia. 11,12

Kondisi Mata By I Nengah Surata

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. refraksi dimana sinar-sinar sejajar yang berasal dari jarak tak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sebanyak 18% kebutaan di dunia disebabkan oleh kelainan refraksi. Di Asia,

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dan Hiburan, (Semarang: EFFHAR, 1987), hlm.5. 1 Forrest M. MIM, III dan Marc Stern, Komputer untuk Bisnis,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Rukun Tetangga (RT) dan 3 Rukun Warga (RW). Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Tapa Kecamatan Kota Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kebutaan dan gangguan penglihatan merupakan masalah kesehatan

LASIK (Laser Assisted In-situ Keratomileusis)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di masing-masing ruangan operator Sistem

BAB I PENDAHULUAN. informasi. Penggunaan komputer di setiap tempat kerja sangat membantu dan

BAB V PEMBAHASAN. Sehingga jenis kelamin, merokok dan trauma tidak memiliki kontribusi terhadap

BAB 1 : PENDAHULUAN. dikumpulkan melalui indera penglihatan dan pendengaran.

BAB I PENDAHULUAN. dengan satu mata. Ruang pandang penglihatan yang lebih luas, visus mata yang

HANG TUAH MEDICAL JOURNAL

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2.1. Anatomi Mata

BAB I PENDAHULUAN. WHO menyatakan bahwa obesitas sudah merupakan suatu epidemi global,

BAB 6 HASIL PENELITIAN. Gambar 6.1 Sumber Pencahayaan di ruang Radar Controller

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Prevalensi gangguan tidur pada remaja mengalami peningkatan selama 10

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi komunikasi dan trasportasi dirasa memperpendek jarak dan

BAB IV BIOOPTIK FISIKA KESEHATAN

BAB I PENDAHULUAN. dengan tiga kriteria utama, yaitu gangguan fungsi intelektual secara bermakna,

BAB IV HASIL PENELITIAN. Kejadian Miopia pada Anak di SDN Cemara Dua Surakarta telah dilakukan pada

BAB I PENDAHULUAN. hidup sehat segala aktivitas dapat dikerjakan dengan lancar. Menurut UU

(D) 40 (E) 10 (A) (B) 8/5 (D) 5/8

Keterangan: ** berhubungan sangat nyata pada (p <0,01) * berhubungan nyata pada (p <0,05)

2015 HUBUNGAN AKTIVITAS FISIK DENGAN KOMPOSISI TUBUH (INDEKS MASSA TUBUH) SISWA KELAS XI SMK NEGERI SE-KOTA BANDUNG

BAB VI HASIL PENELITIAN. analisis univariat dilakukan untuk menjelaskan karakteristik masing masing

BAB I PENDAHULUAN. mengalirkan darah ke otot jantung. Saat ini, PJK merupakan salah satu bentuk

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Internet singkatan dari Interconected networking yang apabila di artikan

Transkripsi:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah dan tinjauan pustaka yang telah dijabarkan, dilakukan penelitian untuk memahami teori yang berkembang bahwa faktor genetik dan gaya hidup berhubungan dengan astigmatisma pada anak usia sekolah. Penelitian ini dilakukan pada 76 anak berusia antara lima sampai 17 tahun yang memeriksakan diri ke poliklinik mata Rumah Sakit JIH dan Rumah Sakit Umum PKU Muhammadiyah Gamping, D.I Yogyakarta mulai dari bulan Januari hingga bulan Desember tahun 2016. Hasil penelitian yang diperoleh adalah sebagai berikut: Tabel 4.1. Kejadian Astigmatisma pada Subjek Penelitian Menurut Jenis Kelamin Jenis Kelamin Jumlah (orang) Total (%) Laki-Laki 23 30,26% Perempuan 53 69,73% Jumlah 76 100% Merujuk pada Tabel 4.1., terlihat bahwa dalam penelitian ini, anak-anak berjenis kelamin perempuan lebih banyak menderita astigmatisma dibandingkan anak-anak berjenis kelamin laki-laki, yaitu 53 anak (69,73%). 40

41 Penelitian mengenai hubungan jenis kelamin dan astigmatisma masih sangat terbatas. Beberapa penelitian melaporkan hasil yang kontradiktif mengenai hubungan antara jenis kelamin dengan astigmatisma. Penelitian di Singapura, India, Malaysia, dan Afrika Selatan tidak menemukan adanya perbedaan astigmatisma di antara jenis kelamin perempuan maupun laki-laki (Chebil, et al., 2015) Akan tetapi, terdapat beberapa laporan yang menyatakan bahwa terdapat prevalensi kejadian astigmatisma yang lebih tinggi pada perempuan di Nepal, India, Chile dan Cina. Mandel dan Huynh dalam Chebil et al., (2015) melaporkan bahwa terdapat prevalensi astigmatisma with-the-rule (WTR) yang lebih tinggi pada perempuan. Peneliti lain menambahkan bahwa astigmatisma paling banyak diderita oleh anak perempuan (63,6%)(Ihsanti, Taniwidjaja, dan Reswati, 2015). Garcia, et al., dalam Chebil et al., (2015) menyatakan bahwa axis astigmatisma memiliki keterkaitan dengan kemiringan bentuk palpebra. Bentuk palpebra yang miring ke atas lebih umum ditemukan pada perempuan, yang menjelaskan hubungan antara jenis kelamin dengan axis astigmatisma. Tabel 4.2. Kejadian Astigmatisma pada Subjek Penelitian menurut Usia Kelompok Usia (tahun) Jumlah (orang) Total (%) 5-7 14 18,42% 8-10 22 28,94% 11-13 24 31,57% 14-17 16 21,05% Jumlah 76 100%

42 Berdasarkan Tabel 4.2., kelompok usia terbanyak dimana anak-anak menderita astigmatisma dalam penelitian ini adalah kelompok usia 11 sampai 13 tahun, yaitu 24 anak (31,57%). Pada penelitian ini didapatkan usia terendah yaitu lima tahun sebanyak dua anak, sedangkan usia tertinggi yaitu 17 tahun sebanyak lima anak. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian oleh Ihsanti, Tanuwidjaja, dan Reswati (2015) yang menyebutkan bahwa astigmatisma lebih banyak diderita oleh anak berusia 10-14 tahun (66,2%). Hashemi, et al., (2014) menyatakan bahwa prevalensi astigmatisma meningkat sebesar 14,3% pada partisipan yang berusia kurang dari 15 tahun. Penelitian lain yang mendukung hasil di atas menyebutkan bahwa astigmatisma paling umum terjadi pada anak usia sekolah (Gupta dan Vats, 2016). Prevalensi kelainan refraksi di Indonesia mencapai 22,1% dari total populasi, dan sebanyak 15% diantaranya diderita oleh anak usia sekolah (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2012). Tingginya prevalensi astigmatisma pada anak usia sekolah ini secara teori diakibatkan karena perubahan topografi kornea selama masa pertumbuhan anak tersebut mulai dari bayi hingga dewasa.

43 Tabel 4.3. Klasifikasi Derajat Astigmatisma Subjek Penelitian Mata Klasifikasi Derajat Astigmatisma (orang) Jumlah Normal Ringan Sedang Berat Mata Kanan (OD) 3 44 22 7 76 (3,9%) (57,9%) (28,9%) (9,2%) (100%) Mata Kiri (OS) 5 48 15 8 76 (6,6%) (63,2%) ( 19,7%) (10,5%) (100%) Klasifikasi derajat astigmatisma berdasarkan dioptrinya (Cornea Associates of Texas, 2016) adalah: 0 dioptri : Normal < 1.00 dioptri : Astigmatisma Ringan 1.00-2.00 dioptri : Astigmatisma Sedang >2.00-4.00 dioptri : Astigmatisma Berat Tabel 4.3. menunjukkan bahwa astigmatisma ringan paling banyak diderita oleh anak-anak pada penelitian ini. Berdasarkan derajat astigmatisma pada masingmasing mata subjek penelitian, didapatkan bahwa derajat astigmatisma terkecil pada mata kanan (OD) adalah 0,25 dioptri sebanyak 16 orang, dan derajat astigmatisma terbesar pada mata kanan (OD) adalah empat dioptri sebanyak satu orang. Sedangkan untuk derajat astigmatisma terkecil pada mata kiri (OS) adalah 0,25 dioptri sebanyak 24 orang, dan derajat astigmatisma terbesar pada mata kiri (OS) adalah empat dioptri sebanyak satu orang.

44 Pada umumnya, penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan bahwa pada bulan awal kehidupan, bayi memiliki corneal astigmatisma berat (>2.00-4.00 dioptri). Permukaan kornea pada bayi baru lahir berbentuk datar dan menunjukkan astigmastisma dengan derajat yang tinggi. Isenberg, et al., dalam Read et al., (2007) menggunakan videokeratoskopi untuk mengukur kelengkungan kornea bayi baru lahir dan menemukan bahwa rata-rata bayi baru lahir berusia delapan hari memiliki corneal astigmatisma sebesar enam dioptri. Seiring pertambahan usia, prevalensi astigmatisma berat berkurang atau dengan kata lain terjadi emetropisasi astigmatisma. Penelitian pada anak usia pra-sekolah secara umum menunjukkan prevalensi yang rendah pada astigmatisma yang lebih dari satu dioptri. Huynh, et al., dalam Read et al., (2007) meneliti sebuah populasi besar yang terdiri dari anakanak berusia enam tahun dan hanya menemukan 4,8% anak-anak yang menderita astigmatisma berat. Dari semua penelitian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa seiring bertambahnya usia, maka derajat astigmatisma secara umum akan berkurang dari astigmatisma berat menjadi astigmatisma ringan, seperti hasil yang terdapat pada Tabel 4.3 di atas. Clementi, et al dalam Read et al., (2007) menemukan bahwa ketika astigmatisma dianalisis sebagai variabel kualitatif, tidak ada model pewarisan yang cukup baik untuk menjelaskan hubunganya dengan faktor genetik. Namun, ketika derajat astigmatisma dianalisis, sebuah pola pewarisan autosomal dominan terbukti

45 dapat menjelaskan astigmatisma dengan baik. Maka dari itu, dalam penelitian ini peneliti menggunakan derajat astigmatisma dalam satuan dioptri sebagai variabel terikat yang akan dianalisis hubungannya dengan faktor genetik dan faktor gaya hidup. Tabel 4.4. Hasil Uji Beda Rerata Derajat Astigmatisma Mata Kanan (OD) dan Mata Kiri (OS) Paired Samples Test Rerata Derajat Astigmatisma p-value OD OS 0,9112 0,8355 0,242 Dalam penelitian tentang hubungan faktor genetik dan gaya hidup dengan astigmatisma pada anak usia sekolah ini, hasil rerata derajat astigmatisma mata kanan (OD) adalah 0,9112, dan rerata derajat astigmatisma mata kiri (OS) adalah 0,8355. Setelah diuji lebih lanjut, perbedaan rerata derajat astigmatisma mata kanan (OD) dan mata kiri (OS) adalah 0,242. Hasil ini tidak signifikan secara statistik (p>0,05; Tabel 4.4), sehingga data derajat astigmatisma kedua mata dianggap seragam. Oleh karena itu, analisis statistik hanya akan dilakukan pada data derajat astigmatisma mata kanan (OD) saja, terkecuali dilakukan perbandingan.

46 Tabel 4.5. Keterlibatan Faktor Genetik dalam Astigmatisma pada Keluarga Subjek Penelitian Faktor Genetik Jumlah (orang) Total (%) Ya 63 82,89% Tidak 13 17,10% Jumlah 76 100% Berdasarkan Tabel 4.5., sebanyak 63 (82,89%) anak usia sekolah yang menderita astigmatisma memiliki riwayat keluarga yang menderita astigmatisma pula. Diagram 4.1. Riwayat Anggota Keluarga Subjek Penelitian yang Menderita Astigmatisma 38 36 25 17 17 12 Kakek Ayah Saudara Kandung Perempuan Nenek Ibu Saudara Kandung Laki-laki Berdasarkan Diagram 4.1., riwayat anggota keluarga subjek penelitian yang paling banyak menderita astigmatisma ditemukan pada Ayah.

47 Tabel 4.6. Kebiasaan Menggunakan Gadget pada Subjek Penelitian Kebiasaan Menggunakan Gadget Jumlah (orang) Total (%) Ya 65 85,52% Tidak 11 14,47% Jumlah 76 100% Hasil Tabel 4.6. menunjukkan bahwa sebanyak 65 anak pada penelitian ini mempunyai kebiasaan menggunakan gadget (handphone, laptop, tablet, dan lainlain) dengan intensitas lebih dari dua jam sehari. Tabel 4.7. Kebiasaan Menonton Televisi pada Subjek Penelitian Kebiasaan Menonton Televisi Jumlah (orang) Total (%) Ya 34 44,73% Tidak 42 55,26% Jumlah 76 100% Merujuk pada Tabel 4.7., pada penelitian ini sebanyak 34 anak (44,73%) memiliki kebiasaan menonton televisi dengan intensitas lebih dari dua jam sehari. Tabel 4.8. Kebiasaan Membaca pada Subjek Penelitian Kebiasaan Membaca Jumlah (orang) Total (%) Ya 34 44,73% Tidak 42 55,26% Jumlah 76 100% Berdasarkan Tabel 4.8., pada penelitian ini sebanyak 34 anak (44,73%) memiliki kebiasaan membaca dengan intensitas lebih dari dua jam sehari.

48 Tabel 4.9. Hasil Analisis Hubungan Faktor Genetik dan Gaya Hidup dengan Astigmatisma pada Anak Variabel Independen p-value 95% CI for B Riwayat Keluarga yang Menderita Astigmatisma 0,003 0,52-1,18 Kebiasaan Menggunakan Gadget 0,015 0,50 1,01 Kebiasaan Membaca 0,204-0,49-0,46 Kebiasaan Menonton Televisi 0,211-0,55 0,25 Berdasarkan Tabel 4.9., hasil analisis regresi linear berganda menunjukkan bahwa kedua variabel independen yaitu riwayat keluarga menderita astigmatisma, dan kebiasaan menggunakan gadget memiliki p-value <0,05, sehingga terdapat korelasi yang signifikan secara statistik dengan astigmatisma. Sedangkan variabel kebiasaan membaca dan kebiasaan menonton televisi memiliki p-value >0,05, sehingga tidak terdapat korelasi yang signifikan secara statistik dengan astigmatisma. Tabel 4.10. Hasil Analisis Kekuatan Hubungan Faktor Genetik dan Gaya Hidup dengan Astigmatisma pada Anak Variabel Independen Nilai Koefisien Korelasi Riwayat Keluarga yang Menderita Astigmatisma 0,603 Kebiasaan Menggunakan Gadget 0,599 Kebiasaan Membaca 0,242 Kebiasaan Menonton Televisi 0,215 Berdasarkan nilai koefisien korelasi yang ditunjukkan pada Tabel 4.10., Riwayat keluarga yang menderita astigmatisma memiliki korelasi positif yang kuat dengan astigmatisma pada anak. Kebiasaan menggunakan gadget memiliki korelasi

49 positif yang sedang dengan astigmatisma, sedangkan kebiasaan membaca dan menonton televisi memiliki hubungan positif yang lemah dengan astigmatisma pada anak. B. Pembahasan Berdasarkan hasil analisis data di atas, didapatkan bahwa faktor genetik berupa riwayat astigmatisma dalam keluarga dan gaya hidup yang terdiri dari kebiasaan menggunakan gadget, membaca, dan menonton televisi dengan intensitas lebih dari dua jam sehari berhubungan dengan astigmatisma pada anak usia sekolah. Faktor genetik dan faktor lingkungan merupakan faktor risiko yang memegang peranan penting pada terjadinya kelainan refraksi (Komariah dan Wahyu, 2014). Di antara semua faktor di atas, faktor genetik memiliki hubungan positif yang paling kuat dengan astigmatisma pada anak usia sekolah dibandingkan dengan faktor gaya hidup seperti kebiasaan menggunakan gadget, kebiasaan membaca, dan kebiasaan menonton televisi. Hasil tersebut menunjukkan bahwa apabila dalam keluarga anak tersebut terdapat nenek, kakek, ayah, ibu, saudara laki-laki, dan atau saudara perempuan yang menderita astigmatisma, maka anak tersebut sangat mungkin menderita astigmatisma pula. Hal ini sesuai dengan penelitian pada keluarga yang menunjukkan bahwa genetik berperan penting dalam astigmatisma. Anak yang memiliki orang tua

50 dengan astigmatisma memiliki risiko dua kali lebih besar untuk menderita astigmatisma daripada anak-anak dengan orang tua yang tidak menderita astigmatisma. Hubungan genetik dengan astigmatisma mencapai 63%, dengan pengaruh gen dominan hingga 54%. Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan pada populasi kembar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa heretabilitas astigmatisma adalah sebesar 60% hingga 71% (Dirani, et al., 2008). Faktor genetik dapat menurunkan sifat kelainan refraksi ke keturunannya, baik secara autosomal dominan maupun autosomal resesif. Anak dengan orangtua yang mengalami kelainan refraksi cenderung mengalami kelainan refraksi pula (Komariah dan Wahyu, 2014). Alasan dibalik kuatnya hubungan antara faktor genetik dan astigmatisma pada anak usia sekolah ini juga dikemukakan oleh Marasini (2014) yang menyatakan bahwa penelitian pada keluarga telah mendukung peran genetik dalam astigmatisma. Clementi, et al., dalam Marasini (2014) dapat membuktikan sebuah pola pewarisan Single Major Locus (SML), yaitu sebuah komponen multifaktorial yang diturunkan. Gen-gen pada penelitian miopia kembar mendukung komponen genetik yang kuat dalam astigmatisma yang berpengaruh pada kelengkungan kornea. Akan tetapi, selain penelitian tersebut di atas, terdapat pula beberapa hasil penelitian yang menyatakan sebaliknya. Teikari dan O Donnell, Teikari, et al., serta Valluri, et al., dalam Read et al., (2007) menemukan perbedaan korelasi yang

51 tidak signifikan pada kembar monozigot dan kembar dizigot dengan astigmatisma. Hal ini menyiratkan bahwa kontribusi genetik pada astigmatisma cenderung rendah, dengan faktor lingkungan sebagai kontributor utama. Lee, et al., dalam Read, et al., (2007) melakukan pengamatan pada 440 keluarga. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hubungan yang minimal ditemukan di antara anggota keluarga dengan astigmatisma. Hal ini menyiratkan pengaruh faktor genetik yang lemah terhadap astigmatisma. Selain genetik, faktor lain yang diduga berperan dalam perkembangan astigmatisma pada anak adalah gaya hidup. Gaya hidup yang diteliti dalam penelitian ini adalah kebiasaan menggunakan gadget seperti handphone, laptop, komputer, tablet, dan lain-lain, kebiasaan membaca, serta kebiasaan menonton televisi. Gaya hidup yang tidak baik dapat mengganggu kesehatan, salah satunya penurunan tajam penglihatan. Hal ini disebabkan karena akomodasi mata yang terus-menerus dan radiasi cahaya berlebihan yang diterima oleh mata (Gondhowiardjo, 2009). Kebiasaan tersebut dapat menimbulkan efek tunda (bergejala beberapa bulan atau tahun setelah paparan) dan efek stokastik (kelainan yang disebabkan karena perubahan sel akibat pengaruh radiasi gelombang elektromagnetik). Manifestasi klinis dari efek radiasi ini dapat berupa gangguan refraksi pada anak-anak (Wiyoso, 2010).

52 Hasil penelitian di atas sesuai dengan hasil penelitian mengenai hubungan gaya hidup dengan astigmatisma pada anak usia sekolah ini. Faktor gaya hidup pertama yang diteliti adalah kebiasaan menggunakan gadget. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kebiasaan menggunakan gadget dengan intensitas lebih dari dua jam dalam sehari berhubungan positif sedang dengan astigmatisma pada anak Hal ini menunjukkan bahwa apabila seorang anak memiliki kebiasaan menggunakan gadget dengan intensitas lebih dari dua jam sehari, maka anak tersebut berpeluang cukup besar untuk menderita astigmatisma. Temuan ini sesuai dengan penelitian oleh Komariah dan Wahyu (2014) yang menyebutkan bahwa faktor lingkungan seperti kebiasaan beraktivitas jarak dekat termasuk membaca, menggunakan komputer, dan bermain video game memiliki peran yang besar terhadap terjadinya kelainan refraksi. Penelitian oleh Noor (2012) menyatakan hal serupa bahwa bermain online game berpengaruh sebesar 11,3% terhadap timbulnya astigmatisma pada anak. Risiko astigmatisma meningkat hingga dua kali lebih besar pada kelompok anak yang bermain online game antara dua sampai enam jam per hari atau lebih dari enam jam per hari. Munir (2010) menambahkan bahwa angka kejadian miopia meningkat 66% dan angka kejadian astigmatisma meningkat 86% seiring peningkatan lama penggunaan komputer lebih dari enam jam. Dampak potensial dari penggunaan komputer pada penglihatan anak beragam mulai dari masalah akomodasi hingga gangguan pengaturan cahaya yang

53 masuk ke mata, karena pada umumnya anak-anak memiliki kesadaran diri yang terbatas. Banyak anak tetap melakukan suatu kegiatan dengan konsentrasi tinggi hingga akhirnya kelelahan tanpa disadari, seperti bermain video game berjam-jam dengan atau tanpa istirahat. Aktivitas yang berkepanjangan tanpa istirahat tersebut dapat menyebabkan masalah akomodasi, kelelahan, dan iritasi mata (Ohana Eye Center, 2017). Masalah akomodasi dapat terjadi sebagai akibat dari sistem penguncian fokus oleh mata pada suatu target spesifik dalam jarak pandang tertentu. Pada beberapa kasus, hal ini menyebabkan mata sulit untuk fokus pada objek tertentu dengan mudah, bahkan setelah kegiatan yang berkepanjangan tersebut sudah tidak dilakukan (Ohana Eye Center, 2017). Anak yang menggunakan komputer dalam waktu lama, seringkali tidak memikirkan hal-hal seperti mengubah posisi duduknya untuk mendapatkan pandangan yang lebih nyaman ke layar komputer. Hal ini berakibat pada ketegangan mata yang berlebihan. Hal lain yang jarang sekali diperhatikan oleh anak-anak ketika menggunakan komputer adalah pencahayaan. Cahaya optimal yang disarankan dari komputer adalah setengah dari terang ruangan (Ohana Eye Center, 2017). Hal-hal seperti ini dapat mengganggu penglihatan anak kedepannya. Penelitian dari Komariah dan Wahyu (2014) juga menyebutkan bahwa status refraksi astigmatisma diderita oleh siswa dengan lama di depan komputer kurang dari empat jam setiap kali penggunaan. Hal ini mungkin disebabkan karena

54 paparan sinar biru dari layar komputer, dan jenis gadget lainnya. Sinar biru adalah sinar dengan panjang gelombang 400-500 nm (nanometer), yang bersumber dari lampu neon, layar televisi serta komputer. Efek sampingnya pada mata dapat terjadi tergantung pada panjang cahaya, intensitas serta durasi paparan. Tekanan pada kelopak mata juga menjadi salah satu kemungkinan penyebab terjadinya astigmatisma pada anak usia sekolah berdasarkan teori yang ada. Saat menggunakan gadget seperti handphone, anak biasanya berada dalam posisi duduk santai, atau berbaring, dan menundukkan pandangan. Tatapan mata ke bawah dalam waktu yang lama dan dilakukan terus menerus ini dapat mengubah topografi kornea karena tekanan otot-otot palpebra pada kornea. Secara garis besar, alasan yang mendasari gadget berhubungan positif sedang dengan astigmatisma pada anak usia sekolah berdasarkan studi yang telah disebutkan adalah paparan sinar, kesadaran anak, dan tekanan pada kelopak mata. Hingga saat ini efek yang didapat dari penggunaan gadget masih bersifat sementara, sehingga masih memerlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui pengaruh jangka panjang dari gadget terhadap fungsi penglihatan anak. Gaya hidup lainnya yang diteliti yaitu kebiasaan membaca menempati urutan ketiga dari seluruh faktor yang diuji dalam penelitian ini mengenai hubungannya dengan astigmatisma pada anak usia sekolah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebiasaan membaca memiliki hubungan positif yang lemah dengan astigmatisma pada anak usia sekolah. Sehingga, apabila seorang anak

55 memiliki kebiasaan membaca lebih dari dua jam sehari, maka anak tersebut berpeluang kecil menderita astigmatisma. Hal ini dijelaskan lewat prevalensi hiperopia dan astigmatisma yang lebih banyak diderita oleh siswa yang membaca buku selama dua sampai tiga jam (Komariah dan Wahyu, 2014). Studi ini hanya menjelaskan tentang prevalensi astigmatisma yang diderita oleh siswa yang membaca buku selama dua sampai tiga jam namun tidak menjelaskan hubungan antar keduanya. Penelitian lain yang berbeda dari hasil yang didapat peneliti salah satunya menyatakan bahwa membaca dan aktivitas visual lainnya yang melibatkan tatapan ke bawah dapat mempengaruhi astigmatisma karena mengubah kelengkungan kornea akibat tekanan dari kelopak mata. Hal tersebut dapat dilihat dari perubahan topografi kornea (Read, et al., 2007). Tekanan dari kelopak mata telah diimplikasikan sebagai faktor yang kemungkinan berperan dalam perkembangan corneal astigmatisma. Grosvenor dalam Read, et al., (2007) mengajukan sebuah teori etiologi astigmatisma, dimana tekanan kelopak mata yang diibaratkan seperti ikatan menyebabkan mata mengalami astigmatisma with-the-rule (WTR) yang kebanyakan terjadi pada usia dewasa muda. Ia juga mengatakan bahwa keketatan kelopak mata dan rigiditas permukaan okuler saling berkontribusi menyebabkan corneal astigmatisma. Tekanan terus menerus pada kornea dari kelopak mata normal dapat pula menyebabkan perubahan topografi kornea. Buehren, et al., dalam Read, et al.,

56 (2007) menemukan 12 dari 20 subjek penelitian mereka menunjukkan perubahan topografi kornea sentral yang signifikan segera setelah diberikan tugas untuk membaca selama 60 menit. Perubahan signifikan juga ditemukan pada kekuatan refraksi kornea dan astigmatisma. Perubahan pada corneal astigmatisma akibat membaca adalah ke arah astigmatisma against-the-rule (ATR). Lebih lanjut dalam studi ini, Buehren, et al., juga menunjukkan bahwa perubahan signifikan dari topografi kornea yang terjadi karena kegiatan membaca dengan tatapan ke bawah juga mengarah pada astigmatisma. Collins, et al., dalam Read, et al., (2007) menyatakan bahwa membaca menghasilkan perubahan topografi kornea sentral yang diakibatkan karena posisi kelopak mata dan gerakan mata secara horizontal selama tugas membaca selama 60 menit dilaksanakan. Penelitian-penelitian di atas mengindikasikan potensi dari kegiatan visual tertentu untuk menyebabkan perubahan topografi kornea jangka pendek dan mengarah pada astigmatisma. Perbedaan hasil ini mungkin disebabkan karena peneliti tidak melakukan percobaan langsung seperti pada studi tersebut di atas, karena peneliti menggunakan kuisioner sehingga kemungkinan terjadi kesalahan persepsi oleh subjek penelitian atau bias tetap ada. Selain itu, posisi, jarak antara mata dan bahan bacaan, pencahayaan, dan hal-hal lainnya tidak diteliti. Sebab lain dari perbedaan hasil tersebut dapat diakibatkan karena jumlah anak yang memiliki kebiasaan membaca lebih dari dua jam sehari lebih rendah dibandingkan jumlah anak yang

57 tidak memiliki kebiasaan membaca lebih dari dua jam sehari pada penelitian ini, sehingga secara statistik menghasilkan data yang tidak signifikan. Kebiasaan menonton televisi dalam penelitian ini juga memiliki hubungan yang positif namun lemah dengan astigmatisma pada anak usia sekolah, yang sekaligus menempati urutan terakhir dari semua faktor yang berhubungan dengan astigmatisma pada anak usia sekolah berdasarkan analisis statistik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa walaupun seorang anak memiliki kebiasaan menonton televisi lebih dari dua jam sehari, anak tersebut belum tentu menderita astigmatisma, melihat lemahnya hubungan yang ada berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori bahwa televisi adalah salah satu perangkat elektronik yang memancarkan sinar biru yang bersifat miopigenik (Komariah dan Wahyu, 2014). Sehingga apabila anak usia sekolah memiliki kebiasaan menonton televisi, maka akan terpapar sinar biru yang dapat menyebabkan miopia, bukan astigmatisma. American Optometric Association (2015) menyatakan hal serupa bahwa astigmatisma tidak disebabkan atau diperparah dengan membaca dalam kegelapan, duduk terlalu dekat dengan layar televisi atau menyipitkan mata. Salah satu penelitian yang berbeda hasilnya dengan penelitian ini menyebutkan bahwa kelainan refraksi secara signifikan lebih tinggi pada kelompok anak yang bersekolah di sekolah swasta daripada di sekolah negeri karena mereka

58 memiliki status sosioekonomi yang lebih tinggi, mereka menghabiskan waktu di rumah untuk mengerjakan tugas, menonton televisi, dan menggunakan komputer lebih lama dari anak-anak di sekolah negeri. Hal-hal ini dapat menyebabkan stress pada mata (Niroula dan Saha, 2009). Secara keseluruhan, variabel riwayat keluarga yang menderita astigmatisma dan kebiasaan menggunakan gadget, membaca, serta menonton televisi lebih dari dua jam sehari dapat menjelaskan astigmatisma pada anak usia sekolah sebesar 50,4%. Faktor genetik dalam penelitian ini lebih berhubungan dengan astigmatisma pada anak usia sekolah dibandingkan dengan gaya hidup. Hal ini mungkin disebabkan karena apabila suatu saat terbukti terdapat gen spesifik yang terlibat dalam pewarisan astigmatisma pada keturunan selanjutnya dengan mekanisme pewarisan tertentu, hal ini sesuai dengan konsep hereditas bahwa setiap gen dalam tubuh manusia akan diwariskan pada keturunannya sehingga hubungannya lebih erat dibandingkan gaya hidup yang mungkin bisa tidak dimiliki oleh seorang anak sehingga kurang berkontribusi dalam proses terjadinya astigmatisma pada anak tersebut. Penyebab lainnya yang mungkin berkontribusi adalah kriteria gaya hidup yang digunakan. Dalam penelitian ini, semua variabel faktor gaya hidup yaitu kebiasaan menggunakan gadget, kebiasaan membaca, dan kebiasaan menonton televisi hanya diteliti dari segi intensitasnya, sedangkan untuk posisi, jarak mata ke gadget, bahan bacaan, dan televisi, serta pencahayaan tidak diteliti, padahal

59 terdapat kemungkinan bahwa kriteria-kriteria tersebut dapat menjelaskan hubungan antara gaya hidup dengan astigmatisma pada anak usia sekolah. Dari hasil penelitian yang dilakukan dan penjelasan yang telah dijabarkan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang anak dengan riwayat keluarga yang menderita astigmatisma tetapi tidak atau memiliki kebiasaan seperti menggunakan gadget, membaca, dan menonton televisi lebih dari dua jam sehari masih sangat mungkin menderita astigmatisma. Sebaliknya, anak yang tidak memiliki riwayat keluarga yang menderita astigmatisma tetapi memiliki atau tidak memiliki kebiasaan seperti menggunakan gadget, membaca, dan menonton televisi belum tentu akan menderita astigmatisma.