PROSES BELAJAR DAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DALAM PEMBELAJARAN SOCRATES DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara yang tengah berkembang, tak henti-hentinya melakukan

PEMBELAJARAN SOCRATES DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DITINJAU DARI PROSES BELAJAR DAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS

EFEKTIVITAS METODE PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL UNTUK MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP SISWA

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBING-PROMPTING DITINJAU DARI PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA

UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI PENGGUNAAN MEDIA PETA DI KELAS V SDN 002 BAGAN BESAR DUMAI

I. PENDAHULUAN. mengembangkan daya pikir manusia. Oleh karena itu, dalam Permendiknas tahun

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pendidikan, manusia dapat mengembangkan diri untuk menghadapi tantangan

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan perubahan zaman, semakin maju pula peradaban dunia yaitu

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.16 No.3 Tahun 2016

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran di sekolah dasar era globalisasi. menjadi agen pembaharuan. Pembelajaran di Sekolah Dasar diharapkan dapat

I. PENDAHULUAN. Pendidikan memiliki peranan penting guna meningkatkan kualitas dan potensi

BAB I PENDAHULUAN. adalah pendidikan yang mampu mengembangkan potensi siswa, sehingga yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman globalisasi saat ini pengetahuan dan teknologi mengalami

EFEKTIVITAS PENERAPAN MODEL PROBING-PROMPTING DITINJAU DARI KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA

BAB I PENDAHULUAN. maka dari itu perlu dilakukan peningkatan mutu pendidikan. Negara Kesatuan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar. Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan

UNESA Journal of Chemical Education ISSN: Vol. 4, No. 2, pp , May 2015

PENGARUH PENDEKATAN KONTEKSTUAL TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

ANALISIS KEMAMPUAN MENYIMPULKAN PADA MATERI HUKUM-HUKUM DASAR KIMIA DENGAN INKUIRI TERBIMBING

Unesa Journal of Chemical Education Vol. 1, No. 2, pp September 2012 ISSN:

PENGARUH MODEL PROBLEM BASED LEARNING

BAB I PENDAHULUAN. perubahan budaya kehidupan. Pendidikan yang dapat mendukung pembangunan di masa

KARAKTER TANGGUNG JAWAB SISWA PADA MATERI HIDROLISIS GARAM KELAS XI SMAN 18 SURABAYA MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW


I. PENDAHULUAN. Pendidikan adalah salah satu faktor yang menentukan kemajuan bangsa Indonesia

UNESA Journal of Chemical Education ISSN: Vol. 3, No. 03, pp , September 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan suatu bangsa guna

I. PENDAHULUAN. taraf hidup manusia. Sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Sistem

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Komparasi Penerapan Strategi Learning By Questioning dengan Pertanyaan Literal dan Inferensial terhadap Keterampilan Berpikir Kritis

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DITINJAU DARI PEMAHAMAN KONSEP

Penerapan Metode Problem Based Learning untuk Meningkatkan Hasil Belajar Materi Barisan dan Deret Bilangan Pada Siswa Kelas IX E SMPN 1 Kalidawir

I. PENDAHULUAN. Sistem Pendidikan Nasional diatur dalam pasal 3 Undang-undang No. 20 Tahun

Oleh: IMA NUR FITRIANA A

(Artikel) Oleh KHOIRUNNISA

UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR IPS MELALUI PENGGUNAAN MEDIA PETA PADA SISWA KELAS V SDN 005 BUKIT TIMAH DUMAI

BAB I PENDAHULUAN. bangsa yang ingin cepat maju dan mampu bersaing dengan negara-negara lain

I. PENDAHULUAN. untuk membedakan manusia dengan makhluk lainnya, sehingga berpikir menjadi

I. PENDAHULUAN. Ilmu kimia merupakan ilmu yang diperoleh dan dikembangkan berdasarkan eksperimen

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan usaha yang mempunyai tujuan, yang dengan. didik (Sardiman, 2008: 12). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

Oleh : Destyana Ayu Wulandari A

PENERAPAN METODE INKUIRI UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS VII SMP NEGERI 11 RAMBAH HILIR

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR PKN

PENGARUH MODEL PROBLEM BASED LEARNING TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA KELAS V

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap perkembangan dunia pendidikan. Dengan adanya kurikulum 2013

PENERAPAN GUIDED INQUIRY

pembelajaran yang bersifat monoton, yakni selalu itu-itu saja atau tidak ada

I. PENDAHULUAN. menyempurnakan Sistem Pendidikan Nasional sebagaimana telah ditetapkan

PENGARUH MODEL PROBLEM BASED LEARNING TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN BERPIKIR KREATIF SISWA PADA PEMBELAJARAN BIOLOGI

STRATEGI PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL MELALUI CONCEPT MAPPING UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA JURNAL. Oleh ADI PRASETYO ASMAUL KHAIR SISWANTORO

ANALISIS MODEL PEMBELAJARAN PEER LESSON DAN TTW DITINJAU DARI KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS

Oleh : Reny Antasi A

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Permendikbud No. 67 tahun 2013, kurikulum 2013 dirancang

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan teknologi, dibutuhkan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia

I. PENDAHULUAN. Hal ini sesuai dengan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENERAPAN MODEL MIND MAP DALAM PENINGKATAN HASIL BELAJARAN IPS TEMA SEJARAH PERADABAN INDONESIA PADA SISWA KELAS V DI SD NEGERI 1 SRUWENG

PENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV PADA PEMELAJARAN IPS MELALUI METODE PROBLEM SOLVING DI SD NEGERI 03 KOTO KACIAK MANINJAU

PENGGUNAAN MEDIA BERBASIS TEKS DALAM MENINGKATKAN HASIL BELAJAR BAHASA INDONESIA

PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIS SISWA MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM POSING

PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING

BAB I PENDAHULUAN. tujuan pendidikan nasional, dalam Undang - Undang No. 20 Tahun 2003

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS

I. PENDAHULUAN. Tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam Undang- Undang Sistem Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGAN TEKNIK PROBING-PROMPTING TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. kehidupan bangsa. Melalui pendidikan, kualitas sumber daya. nasional. Sebagaimana dinyatakan dalam pasal 3 Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan memiliki peran penting dalam kemajuan suatu bangsa.

PENGEMBANGAN AKTIVITAS BELAJAR EKONOMI MELALUI METODE PEMBELAJARAN JIGSAW PADA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 1 TERAS TAHUN AJARAN 2009/2010

I. PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan sangat penting dalam kehidupan karena

I. PENDAHULUAN. membentuk karakter manusia yang memiliki kemampuan akademik dan

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata-1 Program Studi Pendidikan Akuntansi.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu aspek kehidupan yang sangat mendasar bagi pembangunan

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN LANGSUNG DENGAN PENDEKATAN PROBLEM POSING DITINJAU DARI KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF

I. PENDAHULUAN. pembukaan Undang-undang Dasar Melalui pendidikan, kualitas sumber

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan sangat berpengaruh untuk meningkatkan kemajuan suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar

BAB I PENDAHULUAN. yaitu berubahnya sistem pembelajaran dari teacher centered menjadi

BIOEDUKASI Jurnal Pendidikan Biologi e ISSN Universitas Muhammadiyah Metro p ISSN

Riwa Giyantra *) Armis, Putri Yuanita **) Kampus UR Jl. Bina Widya Km. 12,5 Simpang Baru, Pekanbaru

PRESTASI BELAJAR IPA

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan sebagaimana dirumuskan dalam

BAB I PENDAHULUAN. dalam aspek fisik, intelektual, emosional, sosial dan spiritual, sesuai

KETERAMPILAN INFERENSI PADA MATERI KELARUTAN DAN Ksp DENGAN MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan memiliki fungsi yang sangat penting dalam pengembangan

MENINGKATKAN HASIL BELAJAR BAHASA INGGRIS MELALUI PENERAPAN PENGAJARAN REMEDIAL INCREASE OF LEARNING ENGLISH THROUGH APPLICATION REMEDIAL TEACHING

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI UNTUK MELATIH KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS PADA MATERI POKOK ASAM-BASA DI KELAS XI SMAN 1 BOJONEGORO

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu komponen utama kebutuhan manusia. Melalui

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Memasuki abad ke-21, sistem pendidikan nasional meghadapi tantangan

Transkripsi:

PROSES BELAJAR DAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DALAM PEMBELAJARAN SOCRATES DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL Lukman Hakim 1, Tina Yunarti 2, Nurhanurawati 2 Lukmanhakim.210305@gmail.com 1 Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika 2 Dosen Program Studi Pendidikan Matematika ABSTRAK This qualitative descriptive research aimed to get an overview of the implementation of Socratic learning with contextual approach viewed by learning process and students critical thinking skill. The subject of research was students of XI IPA 3 class of SMAN 10 Bandar Lampung in the academic year of 2012/2013 which consist of 36 students. The objects of research were all of learning process and the result of critical thinking skills test. Based on the analysis of research data, it was concluded that the critical thinking skills of students of XI IPA 3 class of SMAN 10 Bandar Lampung was in enough category. It could be seen from 55,56% students have critical thinking skill in enough category. Based on the observation on each probability meetings, the learning process in Socrates learning with contextual approach was good. Penelitian deskriptif kualitatif ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang penerapan pembelajaran Socrates dengan pendekatan kontekstual ditinjau dari proses belajar dan kemampuan berpikir kritis siswa. Subjek penelitian adalah siswa kelas XI IPA 3 SMAN 10 Bandar Lampung tahun pelajaran 2012/2013 yang terdiri dari 36 siswa. Objek penelitian adalah keseluruhan proses belajar dan hasil tes kemampuan berpikir kritis siswa. Berdasarkan analisis data penelitian, dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa kelas XI IPA 3 SMAN 10 Bandar Lampung tergolong cukup. Hal ini terlihat dari 55,56% siswa memiliki kemampuan berpikir kritis cukup. Berdasarkan pengamatan pada setiap pertemuan materi peluang, proses belajar dalam pembelajaran Socrates dengan pendekatan kontekstual berjalan dengan baik. Kata kunci : kemampuan berpikir kritis, pembelajaran socrates, pendekatan kontekstual, proses belajar

PENDAHULUAN Pendidikan merupakan investasi jangka panjang yang harus ditingkatkan kualitasnya. Untuk itu, dunia pendidikan harus menciptakan lulusan yang mampu menghadapi kehidupan secara kompetitif dan inovatif. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 menjelaskan fungsi pendidikan nasional, yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab. Dunia pendidikan di Indonesia dari tahun ke tahun terus melakukan perubahan ke arah yang lebih baik, namun langkah menuju perubahan itu tidaklah mudah. Banyak hal-hal yang harus diperbaiki. Salah satunya adalah mempersiapkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang baik. Trianto (2009: 4) mengungkapkan bahwa sistem pendidikan nasional menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam mempersiapkan kualitas SDM yang mampu bersaing di era global. Upaya yang tepat untuk menyiapkan SDM yang berkualitas adalah melalui pendidikan. Untuk meningkatkan kualitas SDM, pemerintah telah melakukan perbaikan-perbaikan. Selain mempersiapkan kualitas SDM yang baik, pemerintah juga melakukan revisi kurikulum dari Kurikulum 2006 (KTSP) menjadi Kurikulum 2013. Dalam KTSP, pembelajaran berpusat pada siswa (student centered learning). Siswa dituntut untuk aktif dan senantiasa ambil bagian dalam proses belajar. Pada dasarnya, siswa diharapkan tidak hanya mempelajari konsep, teori, dan fakta tetapi juga mempelajari aplikasi dalam kehidupan sehari-harinya. Dengan demikian, materi pembelajaran tidak hanya tersusun atas halhal sederhana yang bersifat hafalan dan pemahaman, tetapi juga tersusun atas materi yang kompleks yang memerlukan analisis, aplikasi, dan sintesis. Oleh karena itu, dibutuhkan kemampuan berpikir kritis siswa agar mencapai hal tersebut. Kemampuan berpikir kritis dapat dipandang sebagai tujuan

utama dari pembelajaran. Menurut Yulianto dalam Amri dan Ahmadi (2010: 62), berpikir kritis memainkan peranan yang penting dalam banyak macam pekerjaan, khususnya pekerjaan yang memerlukan ketelitian dan berpikir analitis. Salah satu mata pelajaran di sekolah yang diharapkan dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa adalah matematika. Matematika merupakan salah satu ilmu dasar bagi perkembangan dan peradaban manusia. Matematika diperlukan untuk menyelesaikan masalah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan wawancara dengan guru bidang studi matematika, banyak siswa yang beranggapan bahwa matematika merupakan ilmu yang sukar untuk dipelajari. Hal ini sebenarnya tak terlepas dari peran guru untuk memilih suatu model pembelajaran agar lebih menarik dalam proses pembelajaran. Untuk itu, diperlukan kemampuan dan ketepatan guru dalam memilih model pembelajaran, sehingga siswa dapat berperan aktif mengembangkan potensinya. Salah satu pembelajaran yang memuat pertanyaan-pertanyaan kritis untuk menggali kemampuan berpikir kritis adalah pembelajaran Socrates. Pembelajaran Socrates adalah pembelajaran yang dirancang oleh seorang tokoh filsafat Yunani yang ulung yaitu Socrates (469-399 SM). Pembelajaran Socrates (socrates method), yaitu suatu cara menyajikan materi pelajaran, dimana siswa dihadapkan dengan sederetan pertanyaan terstruktur melalui serangkaian pertanyaan tersebut diharapkan siswa mampu menemukan jawabannya atas dasar kecerdasan dan kemampuannya sendiri. Oleh karena pembelajaran dilakukan dengan tanya-jawab secara terstruktur, maka pemahaman tentang materi lebih terarah. Melalui pembelajaran Socrates, secara tidak langsung guru dan siswa menjadi pemikir kritis dan mendorong siswa yang lemah untuk lebih aktif berpikir. Salah satu karakteristik pembelajaran Socrates yang tidak terdapat pada metode tanyajawab yang lain adalah adanya ujisilang dalam suatu pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan uji-silang seperti Bagaimana jika...? atau Seandainya..., apa yang terjadi?. Bentuk pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat digunakan untuk meyakinkan jawaban siswa.

Pembelajaran Socrates dapat dikombinasikan dengan pendekatan pembelajaran lainnya. Dalam penelitian ini, pembelajaran Socrates dikombinasikan dengan pendekatan kontekstual. Johnson dalam Yunarti (2011: 16), pendekatan kontekstual siswa dilatih untuk bersosialisasi dengan kelompok-kelompok kerja siswa. Hal ini akan membuat proses pembelajaran lebih efektif, dinamis, demokratis, mendidik, memotivasi, dan mendorong kreativitas siswa. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 10 Bandar Lampung. Subjek penelitian adalah siswa kelas XI IPA 3 SMAN 10 Bandar Lampung tahun pelajaran 2012/2013 yang berjumlah 36 siswa. Tingkat kemampuan berpikir kritis dari subjek penelitian heterogen, ada yang berkemampuan rendah, sedang, dan tinggi dan masih banyak yang mengalami kesulitan dalam memahami pelajaran matematika. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif, yaitu dengan memberikan gambaran tentang proses pembelajaran Socrates dengan pendekatan kontekstual dan kemampuan berpikir kritis siswa dengan cara mengidentifikasi jawaban posttest siswa. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa instrumen tes yang bertujuan untuk mengamati proses tahapan yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan permasalahan peluang dan trigonometri. Pengamatan tahapan penyelesaian permasalahan ini dimaksudkan untuk mengukur kemampuan berpikir kritis siswa. Tes diberikan setelah setiap materi selesai diajarkan. Analisis dilakukan terhadap data kuantitatif, berupa hasil tes kemampuan berpikir siswa untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis siswa. Penskoran jawaban siswa terhadap soal kemampuan berpikir kritis berpedoman pada sistem holistic scoring rubrics yang dikemukakan oleh Scoen dan Ochmkel dalam Sudjana dan Ibrahim (2004: 31). Adapun rentang skor yang digunakan adalah 0, 5, 10, 15, dan 20. Untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis siswa pada setiap indikator, dihitung persentase setiap skor menggunakan rumus: PS = BT n 100%

keterangan: PS : Persentase kemampuan berpikir kritis siswa tiap indikator BT : Banyak siswa yang menjawab n soal dengan benar tiap indikator : Banyak siswa Selain itu, dilakukan analisis terhadap kemampuan berpikir kritis siswa dengan cara melihat persentase tiap skor total yang diperoleh siswa dan dihitung menggunakan rumus: keterangan: PK = JS JM 100% PK : Persentase kemampuan berpikir kritis siswa JS : Jumlah skor total siswa JM : Jumlah skor total maksimum Untuk mengklasifikasi kualitas kemampuan berpikir kritis siswa, digunakan skala lima menurut Suherman dan Kusumah (1990: 272) sebagai berikut: Tabel 1. Kriteria PenentuanTingkat Kemampuan Siswa Kategori Persentase skor Kemampuan Total Siswa Siswa 90% A 100% A (Sangat Baik) 75% B < 90% B (Baik) 55% C < 75% C (Cukup) 40% D < 55% D (Kurang) 0% E < 40% E (Sangat Kurang) Selain dilakukan analisis terhadap kemampuan berpikir kritis siswa, pada penelitian ini juga dilakukan pengamatan pada setiap pertemuan untuk mendapatkan data proses belajar. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari penelitian ini didapat data hasil tes dan proses belajar di kelas. Pada awalnya siswa masih malu/belum berani mengutarakan pendapatnya dan memilih untuk diam. Namun, setelah guru lebih sering memberikan pertanyaan/ masalah pada tiap pertemuan, akhirnya siswa pun menjadi lebih berani mengutarakan jawabannya. Ketika pertanyaan diberikan, siswa langsung meresponnya dengan menjawabnya langsung. Walaupun terkadang siswa mendiskusikannya terlebih dahulu dengan teman sebangkunya. Melalui jawabanjawaban tersebut, akhirnya siswa dapat menyimpulkan sendiri dan lebih memahami materi yang diberikan, terutama materi yang dapat didemonstrasikan atau dikaitkan dengan kehidupan nyata. Untuk pertanyaan/permasalahan yang bersifat abstrak, siswa lebih banyak diam. Namun, setelah diberikan sedikit

penjelasan melalui pertanyaan ujisilang, siswa dapat menyelesaikannya, seperti pada proses pembelajaran pertemuan berikut. Pada pertemuan V, guru melakukan eksperimen guna memberi pemahaman kepada siswa tentang permutasi dan kombinasi. Eksperimen I, guru membawa dua botol larutan berwarna yaitu warna kuning dan hijau serta sendok dan beberapa wadah transparan sebagai tempat untuk mencampurkan kedua larutan. Guru menunjuk salah satu siswa untuk memperagakannya dan siswa yang lain memperhatikan. Proses pertama, siswa yang ditunjuk diminta untuk memasukkan 5 sendok larutan berwarna kuning lalu 5 sendok larutan berwarna hijau ke dalam wadah 1 dan diminta untuk mengamati hasilnya. Kemudian, proses kedua, siswa diminta untuk memasukkan 5 sendok larutan berwarna hijau dan 5 sendok larutan berwarna kuning ke dalam wadah 2 lalu siswa yang lain diminta mengamati hasilnya. Setelah kedua proses dilakukan, guru memberikan beberapa pertanyaan, apa kesamaan dan perbedaan kedua eksperimen tadi?. Hampir seluruh siswa menjawab, persamaannya pada hasil pencampuran dan perbedaannya pada saat akan mencampurkan. Guru memberikan pertanyaan kembali, apakah perbedaan urutan mencampurkan larutan ke dalam wadah akan menghasilkan perbedaan pada hasilnya? dan siswa langsung menjawab, tidak pak. Eksperimen II berkaitan juga dengan warna tetapi melalui sebuah bendera, merah putih (Indonesia) dan putih merah (Polandia). Guru mengajukan pertanyaan terkait eksperimen II, apa kesamaan dan perbedaan kedua bendera ini?. Siswa langsung menjawab, kesamaannya memiliki warna merah putih dan perbedaannya letak warna pada bendera. Setelah itu, guru mengajukan pertanyaan kembali, apa yang terjadi jika saat upacara bendera, letak warnanya terbalik atau saat Indonesia mendapat juara 1 pada olimpiade dunia dikibarkan bendera putih merah?. Sebagian besar siswa menjawab malu tetapi ada beberapa siswa menjawab kecewa. Eksperimen III, guru menunjuk 5 siswa sebagai sampel percobaan, dimisalkan A, B, C, D, dan E. Guru menjelaskan dari kelima siswa, yang dipanggil tiga orang misal A, B, dan C yang dinyatakan diterima sebagai

pegawai tata usaha perusahaan Maju Mundur. Guru meralat urutan pemanggilannya menjadi B, C, dan A. Guru pun meralat kembali menjadi B, A, dan C. Terakhir, guru kembali meralat menjadi C, A, dan B setelah itu siswa diminta untuk memperhatikan proses pergantiannya. Eksperimen IV, guru memanggil 3 siswa dari 5 siswa pada eksperimen III untuk dijadikan sebagai pengurus perusahaan Maju Mundur yaitu direktur, sekretaris, dan satpam. Siswa A dipanggil dan diamanahkan menjadi direktur Maju Mundur, siswa D dipanggil dan diamanahkan menjadi sekretaris Maju Mundur, dan siswa E dipanggil dan diamanahkan menjadi satpam Maju Mundur. Guru meralat pengumuman menjadi E sebagai direktur, A sebagai sekretaris, dan D sebagai satpam. Setelah semua eksprimen (I, II, III, dan IV) dilakukan, guru meminta siswa untuk memilih karakter eksperimen yang sama dari keempat eksperimen tersebut. Pada proses ini, hampir seluruh siswa menjawab eksperimen 1 dengan 3 dan eksperimen 2 dengan 4. Guru kembali bertanya, apa yang mendasari pendapatnya bahwa eksperimen 1 dan eksperimen 3 memiliki karakter yang sama?. Sebagian siswa menjawab, urutan warna atau orang tidak mempengaruhi hasilnya. Setelah melakukan eksperimen disertai dengan tanya-jawab, guru menjelaskan bahwa eksperimen tentang warna larutan cat dan pemilihan pegawai tata usaha merupakan kejadian kombinasi sedangkan eksperimen tentang bendera dan pemilihan pengurus perusahaan merupakan kejadian permutasi. Pada proses ini, semua siswa terlibat aktif dalam pembelajaran. Siswa tertarik dengan pembelajaran melalui eksperimen karena lebih paham akan konsep dan pengertiannya. Berdasarkan hasil tes siswa, didapat data sebagai berikut: Tabel 2. Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Secara Umum No 1 2 3 4 5 Kriteria Sangat Baik (A) Baik (B) Cukup (C) Kurang (D) Sangat Kurang (E) Banyak Siswa Persentase (%) 0 0 16 44,44 20 55,56 0 0 0 0

Berdasarkan tabel 2, tingkat kemampuan berpikir kritis siswa pada tes dapat diinterpretasikan sebagai berikut. a. Tidak ada siswa (0%) yang memiliki kemampuan berpikir kritis sangat baik. b. Terdapat 16 siswa (44,44%) yang memiliki kemampuan berpikir kritis baik. c. Terdapat 20 siswa (55,56%) yang memiliki kemampuan berpikir kritis cukup. d. Tidak ada siswa (0%) yang memiliki kemampuan berpikir kritis kurang. e. Tidak ada siswa (0%) siswa memiliki kemampuan berpikir kritis sangat kurang. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa kelas XI IPA 3 SMA Negeri 10 Bandar Lampung dalam kategori cukup. Untuk lebih jelas mengenai tingkat kemampuan berpikir kritis siswa tiap indikator, maka perlu dipaparkan kesalahan siswa dalam menjawab soal kemampuan berpikir kritis. 1. Indikator Interpretasi Untuk indikator 1, berdasarkan jawaban siswa tidak ada siswa yang melakukan kesalahan dalam menjawab. Hal ini berarti, pada indikator 1 semua siswa memiliki kemampuan berpikir kritis dengan kriteria sangat baik dan tidak terdapat kesalahan dalam menjawab soal. 2. Indikator Analisis Dari soal-soal yang memuat indikator 2, hanya sedikit siswa yang menjawab dengan benar. Kesalahan sering terjadi ketika akan menyelesaikan soal. Siswa tidak dapat melanjutkan proses penyelesaiannya. Hal ini dikarenakan bahwa siswa belum memahami materi prasyarat peluang dan trigonometri. Oleh karena itu, sebelum memulai materi pelajaran, guru sebaiknya mengingatkan materi prasyarat sampai siswa benar-benar mengerti. 3. Indikator Evaluasi Untuk indikator 3, tidak satu pun siswa yang menjawab. Pada saat pembahasan soal tersebut, guru bertanya kepada siswa dan sebagian besar siswa beralasan bahwa mereka bingung untuk menjawabnya. Oleh karena itu, perlu adanya bimbingan dari guru terkait soal tersebut. 4. Indikator Penarikan Kesimpulan Pada indikator 4, berdasarkan jawaban siswa hanya 3 siswa atau 8,33% yang menjawab salah. Hal ini

dikarenakan siswa tersebut kurang teliti dalam memahami soal. Oleh karena itu, latihan soal-soal harus sering diberikan dan dipahami oleh siswa. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut. 1. Kemampuan berpikir kritis siswa kelas XI IPA 3 SMA Negeri 10 Bandar Lampung tergolong cukup. Hal ini terlihat dari 55,56% siswa memiliki kemampuan berpikir kritis cukup. 2. Berdasarkan pengamatan pada pertemuan materi peluang, proses belajar dalam pembelajaran Socrates dengan pendekatan kontekstual berjalan dengan baik. Suherman dan Kusumah. 1990. Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung: Wijayakusumah. Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif- Progresif. Jakarta: Prestasi Pustaka. Yunarti, Tina. 2011. Pengaruh Metode Socrates Terhadap Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis Matematis Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi. Bandung: UPI. DAFTAR PUSTAKA Amri, S. dan Ahmadi, I. K. 2010. Proses Pembelajaran Kreatif dan Inovatif dalam Kelas. Jakarta: PT Prestasi Pustakaraya. Sudjana, N. dan Ibrahim M. A. 2004. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru Algesindo.