1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Millenium Development Goals (MDGs) 2000 menyebutkan bahwa pada tahun 2015 diharapkan angka kematian ibu dari 228 per 100.000 kelahiran hidup menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup. Penurunan angka kematian tersebut difokuskan pada penyebab langsung kematian ibu yaitu: perdarahan 28%, eklampsia 24%, infeksi 11%, komplikasi perineum 8%, partus macet 5%, abortus 5% dan penyebab tidak langsung 23% (Ujiningtyas, 2012). Infeksi dan komplikasi perineal salah satu penyebabnya adalah karena tindakan episiotomi (Bobak, 2005). Episiotomi merupakan tindakan pembedahan pada perineal ibu melahirkan pada kala dua yang dilakukan dengan tujuan memperluas jalan lahir dengan menggunakan gunting (Pietras et al., 2012; Ejegard et al., 2008; Bobak, 2005; Edmond, 2007). Di negara barat, episiotomi dilakukan hanya pada kasus dengan indikasi serta pelaksanaannya direkomendasikan dengan menggunakan petunjuk pelaksanaan. Saat ini rata-rata episiotomi dilakukan di ruang bersalin antara 12-15% (Stendenfeldt et al., 2012). Di United States jumlah tindakan episiotomi pada ibu bersalin spontan adalah 21 per 100 persalinan per vagina pada tahun 2002, 22 per 100 persalinan per vagina pada tahun 2003, dan 19,9 per 100 persalinan per vagina pada tahun 2004 (Frankman et al., 2009). Di Canada rata-rata episiotomi 37,7% pada tahun 1993 menjadi 23,85% pada tahun 2001, sedangkan di Alberta 1
2 mencapai 20,1% pada tahun 2000 dan 15,5% pada tahun 2004 (Hargrove, 2011). Di Tehran 97,3% dari 510 wanita primipara yang persalinannya per vagina dilakukan episiotomi (Mohamed, 2012). Berdasarkan dari data RS nasional tahun 1995 lebih dari 35% wanita yang melahirkan lewat vagina dilakukan episiotomi dan hampir 33% di tahun 2000 (Viswanathan et al., 2005). Tujuan dari episiotomi adalah untuk mempercepat persalinan pada kasus fetal distres atau untuk meminimalkan resiko Obstetric Anal Sphincter Injuries (OASIS) (Stendenfeldt et al., 2012). Bukti ilmiah terkini menunjukkan bahwa episiotomi meningkatkan resiko robekan pada perineal derajat tiga atau empat, infeksi luka, dan perdarahan pasca persalinan, tanpa menurunkan komplikasi jangka panjang seperti nyeri perineal atau inkontinensia urin (Hargrove, 2011). Mendukung pernyataan dari Hargrove & Bertozi et al. (2011) bahwa episiotomi dapat menyebabkan efek samping berupa dispareunia dan perbaikan jaringan yang lebih sulit. Healthy Enthusias (2012) menyatakan bahwa pada wanita yang dilakukan episiotomi akan mengalami masalah keperawatan diantaranya kerusakan integritas kulit, nyeri, resiko infeksi, kekurangan volume cairan, dan gangguan perfusi jaringan. Wanita yang dilakukan episiotomi mempunyai resiko untuk terjadi infeksi karena adanya tindakan merusak jaringan dan membuat jaringan tersebut terbuka sehingga memungkinkan organisme patogen masuk melalui daerah tersebut (Bobak&Lowdermilk, 2005). Infeksi yang tidak diatasi dengan baik maka akan dapat menyebabkan terjadinya insufisiensi respiratori, insufisiensi kardiosirkulatori, insufisiensi renal, kardiomegali, bahkan polyneuromyopathy
3 (Soltez et al., 1999). Hasil yang dilakukan Romi (2008) ada 3 orang (7,1%) dari 42 orang (100%) yang dilakukan episiotomi menderita infeksi. Data tersebut menunjukkan bahwa angka kejadian infeksi pada wanita dengan luka perineal karena episiotomi sangat sedikit. Meskipun demikian, wanita dengan luka di perineal sangat beresiko untuk terjadi infeksi karena daerah perineal merupakan daerah yang lembab sehingga merupakan tempat yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme patogen (Bobak, 2005). Cunningham et al. (2005) memberikan pernyataan yang mendukung bahwa adanya luka karena episiotomi menyebabkan kerentanan terhadap infeksi. Masalah yang paling sering dirasakan dan dikeluhkan pasien dengan episiotomi adalah rasa tidak nyaman atau nyeri. Penelitian dari Karacam et al. (2013) didapatkan hasil yang signifikan yaitu bahwa wanita dengan episiotomi memiliki karakteristik nyeri pada perinealnya lebih sering dan lebih parah pada pasca persalinan hari pertama. Hasil Mohammed (2012) mendapatkan hasil bahwa rata-rata wanita yang diepisiotomi mengalami nyeri berat sebanyak 30-35% dan nyeri sedang 45%. Nyeri pada perineal akibat episiotomi jika tidak ditangani secara baik maka akan menjadikan faktor penyebab stres bagi wanita karena ketidakmampuan melaksanakan tugasnya menjadi seorang ibu, gangguan dalam pola urinasi dan defekasi, dimana itu semua menyebabkan gangguan mental bagi ibu selama pasca persalinan dan merubah perilaku serta aktivitas kepada bayinya (Mohammed, 2012).
4 Di RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta pada tahun 2013 ratarata pelaksanaan tindakan episiotomi dari total persalinan pervagina 60,8% di bulan Februari, 51,3% pada bulan Maret, 51,6% pada bulan April, 59% pada bulan Mei, 53,1% pada bulan Juni, 57,1 % pada bulan Juli, dan 46,1% pada bulan Agustus. Data tersebut menunjukkan bahwa terjadi perubahan jumlah tindakan episiotomi pada wanita bersalin, namun perubahannya tidak begitu signifikan. Studi pendahuluan yang dilakukan di RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta, dari 5 pasien yang dirawat di bangsal Alamanda dan pernah dilakukan episiotomi 3 diantaranya mengatakan nyeri dengan skala 6 pada saat dipindahkan di bangsal nifas, sedangkan 2 yang lainnya mengatakan nyeri dengan skala 5 pada saat yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun penilaian individu terhadap rasa nyeri itu berbeda, namun semua wanita yang dilakukan episiotomi merasakan nyeri pada daerah perinealnya. Observasi pada waktu yang berbeda dilakukan kepada 3 pasien untuk melihat adanya tanda-tanda infeksi pada perineal setelah dilakukan episiotomi. Satu dari tiga pasien menunjukkan adanya tanda-tanda berupa kemerahan dan bengkak. Banyak terkini mengemukakan bahwa terapi komplementer khususnya aroma terapi dengan minyak esensial mampu untuk memberikan kenyamanan dan mencegah terjadinya infeksi (Jones, 2003; Vakillian et al., 2011). Aroma terapi berupa minyak esensial lavender merupakan salah satu terapi komplementer yang mampu mengatasi nyeri dan infeksi karena sebagai analgetik, anti inflamasi, dan antimikroba (Buckle, 2003), serta tidak menimbulkan efek samping (Vakillian et al., 2011; Hur dan Han, 2004). Jones (2011) pernah
5 melakukan secara systematic review tentang penggunaan minyak esensial secara topikal, akan tetapi hasilnya belum mampu menjawab pertanyaan dalam ini. Perawat merupakan salah satu tenaga kesehatan yang merupakan bagian inti dari pemberian pelayanan kesehatan yang mengaplikasikan strategi kesehatan berupa promosi kesehatan, pencegahan penyakit, kuratif dan rehabilitatif. Aplikasi teori keperawatan Kolcaba (Comfort) dan Orem (Self care) menjadi pendukung perawat maternitas dalam memenuhi kebutuhan kenyamanan dan meningkatkan harga diri pasien melalui perawatan luka perineal dengan terapi komplementer pemberian minyak esensial lavender (Sitzman & Lisa, 2011; Alano, 2002). Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik meneliti pengaruh pemberian minyak esensial lavender terhadap kejadian nyeri dan kejadian infeksi pada ibu pasca persalinan dengan episiotomi di RSUD Panembahan Senopati Bantul. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan: 1. Bagaimanakah pengaruh pemberian minyak esensial lavender terhadap kejadian nyeri pasca persalinan dengan episiotomi? 2. Apakah pemberian minyak essensial lavender dapat menurunkan kejadian infeksi pasca persalinan dengan episiotomi? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengkaji pengaruh minyak esensial lavender terhadap kejadian nyeri dan infeksi pasca persalinan dengan episiotomi
6 2. Tujuan Khusus a. Mengkaji perbedaan kejadian nyeri pada 1 hari, 2 hari, dan 7 hari pasca persalinan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol b. Mengkaji perbedaan kejadian infeksi yang terjadi pada 1 hari, 2 hari, dan 7 hari pasca persalinan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis a. Hasil ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan perawatan luka perineal khususnya pada wanita yang dilakukan episiotomi b. Diharapkan hasil ini dapat dimanfaatkan sebagai referensi bagi peneliti lain yang akan melakukan sejenis 2. Manfaat praktis a. Diharapkan ini dapat dimanfaatkan sebagai dasar dan argumen penyusunan standar pelayanan kesehatan ibu khususnya pasca persalinan b. Hasil ini diharapkan dapat memberikan masukan dan pertimbangan bagi pemegang kebijakan dalam pelayanan maternal perinatal khususnya dalam perawatan luka episiotomi.
7 E. Keaslian Penelitian Tabel 1. Keaslian Penelitian No Peneliti Judul Hasil Persamaan Perbedaan 1 Ujiningty as (2012) Pengaruh minyak esensial lavender dan povidone iodin pada penyembuhan luka episiotomi Ada pengaruh pemberian minyak esensial lavender terhadap penyembuhan luka episiotomi dengan nilai p=0,04 dan nilai RR= 3,2 Instrumen (REEDA Score, betadine,fre nch 40/42 Lavender), tehnik sampel desain sampel, luaran 2 Vakilian et al. (2011) Healing advantages of Lavender Essential oil during episiotomi recovery: A Clinical Trial - Tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap komplikasi pada sisi yang dilakukan episiotomi - Ada perbedaan yang signifikan pada luka yang kemerahan antara kelompok yang diberi lavender dan yang tidak diberi lavender lebih rendah Instrumen (REEDA Score) desain tehnik sampling, analisis data 3 Jones (2011) the Efficacy of Lavender oil on trauma : A Review of the Evidence Lavender yang digunakan secara topikal aman dan manjur untuk penyembuhan trauma perineal : pemberian minyak esensial lavender Desain uji statistik 4 Mohamm ed (2012) Effect of Self perineal Care Instruction on Episiotomi pain and Wound Healing of Postpartum Women Terjadi penurunan tingkat nyeri dan penurunan angka REEDA Scale pada kelompok yang diberi perlakuan Desain instrumen (NRS, REEDA Scale) tehnik sampling, uji statistik