BAB I PENDAHULUAN. Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS KINERJA KEUANGAN DAERAH DI PULAU MADURA PROVINSI JAWA TIMUR DALAM ERA OTONOMI DAERAH TAHUN

ANALISIS KEMANDIRIAN DAN EFEKTIVITAS KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BIREUEN. Haryani 1*)

1 UNIVERSITAS INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. 22 Tahun 1999 yang diubah dalam Undang-Undang No. 32 Tahun tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 yang

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah telah melakukan reformasi di bidang pemerintahan daerah dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Era reformasi memberikan peluang bagi perubahan paradigma

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB I PENDAHULUAN. sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari

BAB I PENDAHULUAN. Karena pembangunan daerah merupakan salah satu indikator atau penunjang dari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan salah satu upaya bagi pemerintah untuk mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

I. PENDAHULUAN. berdasarkan pertimbangan kemampuan daerah. Tujuannya adalah memungkinkan

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. memberikan proses pemberdayaan dan kemampuan suatu daerah dalam. perekonomian dan partisipasi masyarakat sendiri dalam pembangunan

DAFTAR ISI. Halaman Sampul Depan Halaman Judul... Halaman Pengesahan Skripsi... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Lampiran...

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Awal diterapkannya otonomi daerah di Indonesia ditandai dengan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi otonomi daerah merupakan sarana

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era reformasi memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan pada

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama

I. PENDAHULUAN. Lampung Selatan merupakan pusat kota dan ibukota kabupaten. Pembangunan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. mengelola pemerintahannya berdasarkan local diskresi yang dimiliki, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. bernegara di Republik Indonesia. Salah satu dari sekian banyak reformasi yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan di daerah akhir-akhir ini,

BAB IV METODA PENELITIAN

METODE PENELITIAN. (time series), yaitu tahun yang diperoleh dari Bag. Keuangan Pemda Lampung

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

BAB I PENDAHULUAN. yang merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada awal tahun 1996 dan

BAB 1 PENDAHULUAN. pusat dengan daerah, dimana pemerintah harus dapat mengatur dan mengurus

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat daerah terhadap tiga permasalahan utama, yaitu sharing of power,

BAB I PENDAHULUAN. berbagai hal, salah satunya pengelolaan keuangan daerah. Sesuai dengan Undang-

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan ekonomi. Adanya ketimpangan ekonomi tersebut membawa. pemerintahan merupakan salah satu aspek reformasi yang dominan.

: Analisis Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dalam Upaya Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Badung Bali. : Tyasani Taras NIM :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pusat dan pemerintah daerah, yang mana otonomi daerah merupakan isu strategis

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi fiskal dan otonomi daerah telah membawa konsekuensi pada

BAB II LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang

BAB I PENDAHULUAN. pembagiaan dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. tersebut mengatur pelimpahan kewenangan yang semakin luas kepada

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang. antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah/Kota.

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kerja finansial Pemerintah Daerah kepada pihak pihak yang berkepentingan.

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. yang bukan merupakan negara kapitalis maupun sosialis, melainkan negara

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengujian dan analisis yang telah dilakukan mengenai

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Dampak yang dialami oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. yang meliputi seluruh kehidupan manusia, bangsa dan negara, untuk. Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil makmur

BAB I PENDAHULUAN. No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. sebagai unit pelaksana otonomi daerah. Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah di Indonesia telah membawa

kenegaraan maupun kebijakan perekonomian. Pada era reformasi saat ini membawa perubahan paradigma sistem pemerintahan nasional, dari sistem

BAB I PENDAHULUAN. No.22 tahun 1999 dan Undang-undang No.25 tahun 1999 yang. No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat

BAB I PENDAHULUAN. daerahnya sendiri, pada tahun ini juga tonggak sejarah reformasi manajemen

I. PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya

BAB I PENDAHULUAN. reformasi dengan didasarkan pada peraturan-peraturan mengenai otonomi daerah.

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah

ANALISIS REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH PADA PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

ANALISIS RASIO KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PURWOREJO PERIODE

BAB 1 PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap nasib suatu daerah karena daerah dapat menjadi daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. implikasi pada pelimpahan wewenang antara pusat dan daerah dalam berbagai bidang.

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

EVALUASI PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH DI KOTA SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. penting yang dilakukan yaitu penggantian sistem sentralisasi menjadi

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan Daerah memerlukan sumber pendanaan yang tidak sedikit

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas

BAB I PENDAHULUAN. nasional tidak bisa dilepaskan dari prinsip otonomi daerah. Otonomi. daerah merupakan suatu langkah awal menuju pembangunan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah yang sedang bergulir merupakan bagian dari adanya

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. pencapaian tujuan-tujuan. Kinerja terbagi dua jenis yaitu kinerja tugas merupakan

BAB I PENDAHULUAN. bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan kebijakan yang. daerahnya masing-masing atau yang lebih dikenal dengan sebutan

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN Hal ini berdasarkan dikeluarkannya Undang Undang No. 22 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dan kemandirian. Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 Pasal 1 Angka 5 memberikan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

BAB I PENDAHULUAN. Setelah beberapa dekade pola sentralisasi dianut oleh Bangsa Indonesia.

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

PENDAHULUAN. berbagai kegiatan pembangunan nasional diarahkan kepada pembangunan yang merata ke

I. PENDAHULUAN. masalah pokok pemerintah, dalam rangka penerimaan dan pengeluaran yang harus

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi Daerah di Indonesia dimulai dengan bergulirnya Undang- Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang secara praktis efektif dilaksanakan sejak 1 Januari 2001 (Abdullah, 2002:5). Kedua Undang-Undang ini membawa angin segar bagi pengembangan otonomi daerah dengan membawa perubahan mendasar pada pola hubungan antar pemerintah dan keuangan antara pusat dan daerah (Mardiasmo, 2002:5) dengan diberlakukannya otonomi daerah maka tugas dan tanggung jawab yang diemban oleh pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan daerah-daerah akan semakin banyak (Kaloh, 2002:125-128). Dalam hal ini pembangunan perekonomian daerah, peranan pemerintah dapat dikaji dari sisi anggaran pendapatan dan belanja daerah. APBD merupakan instrumen kebijakan yang dijalankan pemerintah daerah untuk menentukan arah dan tujuan pembangunan. Instrumen ini diharapkan berfungsi sebagai salah satu pemicu tumbuhnya perekonomian (Abdullah, 2002:5) Otonomi Daerah menurut UU Nomor 22 tahun 1999 ini adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi 1

2 masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, pemerintah daerah dianggap lebih mengetahui kebutuhan dan kondisi daerah serta keinginan masyarakat di daerah masing-masing dibandingkan dengan pemerintah pusat. Pemerintah daerah juga diharapkan dapat merealisasikan pendapatan yang mereka punya dengan membelanjakan dana tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat di daerah masing-masing. Reformasi terhadap Otonomi Daerah ditandai dengan kebijakan keuangan negara melalui penetapan tiga peraturan di bidang keuangan negara. Ketiga peraturan tersebut adalah UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang semakin mendukung bagi anggaran pemerintah daerah berbasis kinerja yang sebelumnya sudah di atur dalam PP No. 105 tahun 2000 dan Kepmendagri No. 29 tahun 2002 yang mengatur aturan berbasis kinerja. Implikasi penting dari anggaran berbasis kinerja ini adalah prestasi dari setiap daerah dalam pengelolaan keuangan di ukur dari seberapa cepat pencapaian sasaran-sasaran pemerintah daerah dalam menggali potensi sumber-sumber pendapatan daerah. Proses selanjutnya Otonomi Daerah di Indonesia digantinya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 masing-masing digantikan oleh UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Otonomi Daerah menurut undang-undang ini adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan

3 mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan kepentingan masyarakat setempat pula dan juga didukung dengan otonomi daerah untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri maka masyarakat Madura mewacanakan Pulau Madura sebagai provinsi, dimulai sejak tahun 1999 bahkan sampai akhir tahun 2011 terus juga diwacanakan. Didukung pula oleh pernyataan pakar ekonomi Ryass Rasyid (2008, http://provinsi-madura.blogspot.com) yang mengatakan Madura layak menjadi Provinsi. Menurut undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah ada tiga persyaratan yang harus dipenuhi dalam pembentukan daerah tingkat II, yaitu: Syarat administratif, Syarat teknis, serta Syarat fisik kewilayahan. Syarat administratif untuk provinsi meliputi : Adanya persetujuan DPRD Kabupaten/Kota dan Bupati/Walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi, Persetujuan DPRD provinsi induk dan Gubernur, serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri. Syarat teknis faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah meliputi faktor - faktor: Kemampuan ekonomi, Potensi daerah, Sosial budaya, Sosial politik, Kependudukan, Luas daerah, Pertahanan, Keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Adapun syarat fisik untuk pembentukan provinsi meliputi paling sedikit 5 (lima) Kabupaten/kota Poin penting dalam penelitian ini adalah kemampuan ekonomi yang menjadi konsekuensi pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah

4 tangganya sendiri. Pelaksanaan tugas tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan, karena salah satu hal yang penting adalah adanya kemampuan ekonomi. Pertama adalah tentang bagaimana pemerintah daerah dapat menghasilkan finansial untuk menjalankan organisasi termasuk memberdayakan masyarakat, kedua bagaimana pemerintah daerah melihat fungsinya mengembangkan kemampuan ekonomi daerah. Dari uraian di atas bahwa ciri utama kemampuan suatu daerah adalah terletak pada kemampuan keuangan daerah artinya daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri. Menurut Kaho, (2002:124) untuk menjalankan fungsi pemerintahan faktor keuangan merupakan suatu hal yang sangat esensial karena hampir tidak ada kegiatan pemerintahan yang tidak membutuhkan dana. Maka dari itu pemerintah daerah harus mampu menggali atau memaksimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terutama sektor pajak yang memberikan kontribusi banyak terhadap PAD. Sehingga dengan meningkatnya PAD akan mengurangi ketergantungan terhadap pendapatan lainnya diluar PAD. Adapun pajak Kabupaten se-madura dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2009 secara umum nilai absolutnya menurut laporan BPS Jawa Timur terus mengalami peningkatan, namun tidak sama halnya dengan peningkatan pertumbuhannya. Untuk mengetahui perkembangan pertumbuhan lebih lanjut dari Pajak Daerah Kabupaten di Madura dapat dilihat pada gambar 1.1 sebagai berikut :

5 Gambar 1.1 Pertumbuhan Pajak Daerah Kabupaten di Madura Tahun 2006-2009 30.00% 25.00% 20.00% 15.00% 10.00% 5.00% 0.00% 2005-5.00% 2006 2007 2008 2009-10.00% kab. Bangkalan kab. Sampang kab. Pemekasan kab. Sumenep Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah) Pada Gambar 1.1 menunjukkan petumbuhan pajak di empat Kabupaten di Madura secara umum mengalami peningkatan yang bervariasi pada angka pertumbuhan -4% 27%. Pertumbuhan pajak jika dibandingkan keempat Kabupaten pada tahun 2006, yang paling tinggi pada Kabupaten Pamekasan mencapai 14,00% dan terendah pada Kabupaten Sumenep yang hanya mencapai -4,47%. Namun pada tahun 2007 justru pertumbuhan tertinggi dicapai Kabupaten Sumenep hingga angka 18,01%. Sedangkan pencapaian terendah terdapat pada Kabupaten Pamekasan yang hanya mencapai angka 3,34%. Tahun 2008 tertinggi justru di Kabupaten Sampang yang mencapai angka peertumbuhan 16,48% dan sebaliknya terendah pada Kabupaten Sumenep yang mencapai angka -7,93%. Namun pada tahun 2009 pertumbuhan pajak keempat Kabupaten angkanya melebihi angka 15% dan

6 tertinggi justru di Kabupaten Sumenep yaitu 26,72% dimana tahun sebelumnya mengalami angka terendah namun terendah pada tahun 2009 malah kembali terjadi pada Kabupaten Pamekasan (BPS, 2010). Peningkatan pendapatan pajak ini menunjukan bahwa pemerintah daerah mampu menggali sumber-sumber pendapatan daerah secara baik dan efektif juga menunjukkan partisipasi masyarakat yang tinggi pada pembangunan daerah. Adapun pertumbuhan pajak pada masing-masing daerah yang mengalami naik turun menunjukkan ke-inkonsistenan dalam menggali sumber pendapatan dari pajak. Peningkatan pada tahun 2009 menjadi apresiasi yang cukup tinggi karena semua Kabupaten di Madura mengalami peningkatan pertumbuhan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan kontribusi pajak baik nilai absolut maupun relatif akan berpengaruh pada PAD yang pada akhirnya kemampuan ekonomi akan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi di Kabupaten di Madura. Sesuai dengan uraian di atas peneliti tertarik untuk menganalisis kinerja keuangan daerah di Pulau Madura dengan judul Analisis Kinerja Keuangan Daerah Di Pulau Madura Provinsi Jawa Timur Dalam Era Otonomi Daerah Tahun 2005-2009. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukan di atas penulis merumuskan permasalahan tentang kinerja keuangan daerah di Pulau Madura Provinsi Jawa Timur dalam era otonomi daerah yang meliputi :

7 1. Bagaimana derajat desentralisasi fiskal daerah di Pulau Madura Provinsi Jawa Timur tahun 2005-2009? 2. Bagaimana rasio ketergantungan keuangan daerah di Pulau Madura Provinsi Jawa Timur tahun 2005-2009? 3. Bagaimana rasio kemandirian keuangan daerah di Pulau Madura Provinsi Jawa Timur tahun 2005-2009? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Kinerja Keuangan Daerah di Pulau Madura Provinsi Jawa Timur Dalam Era Otonomi Daerah yang meliputi : 1. Menganalisis derajat desentralisasi fiskal daerah di Pulau Madura Provinsi Jawa Timur tahun 2005-2009 2. Menganalisis rasio ketergantungan keuangan daerah di Pulau Madura Provinsi Jawa Timur tahun 2005-2009 3. Menganalisis rasio kemandirian keuangan daerah di Pulau Madura Provinsi Jawa Timur tahun 2005-2009 D. Manfaat Penelitian Penelitian dengan judul Analisis Kinerja Keuangan Daerah Di Pulau Madura Provinsi Jawa Timur Dalam Era Otonomi Daerah diharapkan bermanfaat: 1. Bagi Pemerintah Daerah Jawa Timur sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan pengambilan kebijakan, baik wacana pemekaran Madura sebagai provinsi maupun juga terkait dengan kebijakan lainnya.

8 2. Bagi Pemerintah Daerah di Pulau Madura masing-masing sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan, baik yang menyangkut keuangan maupun kebijakan-kebijakan lainnya. 3. Bagi akademisi sebagai bahan referensi terkait dengan otonomi daerah dalam hal pengukuran kinerja daerah. E. METODE ANALISIS DATA 1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data kuantitatif yang meliputi data keuangan APBD dan realisasinya (Pendapatan Asli Daerah, Pajak Daerah, Pendapatan Transfer, pinjaman Serta Penerimaan dan Pengeluaran) 4 Kabupaten di Pulau Madura Provinsi Jawa Timur tahun 2005-2009. Data dalam penelitian ini diperoleh melalui dinas atau instansi yang terkait, yaitu Badan Pusat Statistik, Bappeda, dan instansi terkait lainnya. 2. Definisi Operasional Variabel Derajat Desentralisasi Fiskal Daerah Menurut Reksohadiprodjo (2001:155) derajat desentraliasasi dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah pendapatan asli daerah dengan total penerimaan daerah. Rasio ini menunjukkan derajat kontribusi pendapatan asli daerah terhadap total penerimaan daerah. Semakin tinggi kontribusi PAD maka semakin tinggi kemampuan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan desentralisasi. Rasio ini dirumuskan sebagai berikut:

9 Keterangan : DD PAD TPD : Derajat Desentralisasi : Pendapatan Asli Daerah : Total Pendapatan Daerah dengan Satuan persen (%). Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah Menurut Mahmudi (2007:128) rasio ketergantungan daerah dihitung dengan cara membandingkan jumlah pendapatan transfer yang diterima dengan total pendapatan daerah. Semakin tinggi rasio ini maka semakin besar tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat dan/atau pemerintah provinsi. Rasio ini dirumuskan sebagai berikut: Keterangan : RKD : Rasio Ketergantungan PT TPD : Pendapatan Transfer : Total Pendapatan Daerah dengan satuan persen (%). Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Menurut Mahmudi (2007:128) rasio kemandirian Keuangan daerah dihitung dengan cara membandingkan jumlah penerimaan pendapatan Asli

10 Daerah dibagi dengan jumlah Pendapatan Transfer dari pemerintah pusat dan provinsi serta pinjaman daerah. Rasio ini menunjukan tingkat ketergantungan daerah terhadap sumber ekstern. Semakin tinggi angka rasio ini menunjukan pemerintah daerah semakin tinggi kemandirian keuangan daerahnya. Rasio ini dirumuskan sebagai berikut: Keterangan : RKD : Rasio Kemandirian Daerah PAD : Pendapatan Asli Daerah TPPP : Transfer pusat & Provinsi serta Pinjaman dengan satuan persen (%). 3. Alat Penelitian Adapun alat yang digunakan untuk mengukur Kinerja Keuangan Daerah dalam penelitian ini dengan menggunakan pendekatan analisis rasio keuangan. Menurut Mahmudi (2007:9) analisis rasio keuangan adalah salah satu teknik yang paling banyak digunakan untuk menganalisis laporan keuangan. Kemudian dari hasil rasio-rasio keuangan tersebut bisa diinterpretasikan sebagai berikut: Derajat Desentralisasi Fiskal Daerah Dalam mengukur derajat desentralisasi fiskal daerah di anggap rendah sekali apabila mempunyai derajat desentrlaisasi fiskal antara skala interval 00%-12,5%, disebut rendah apabila derajat desentralisasi fiskalnya berkisar antara skala interval 12,6% - 25%, disebut sedang apabila derajat

11 desentalisasi fiskalnya antara skala interval 25,1% - 37,5%, dan disebut baik/tinggi apabila mempunyai derajat desentralisasi fiskal antara skala interval 37,6% - 50%. Adapun skala interval derajat desentralisasi fiskal dan penyesuaiannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 1.1 Skala interval Derajat Desentralisasi Fiskal Daerah Interval (%) Kemampuan Keuangan Daerah 0,00 10,00 Sangat Kurang 10,01 20,00 Kurang 20,01 30,00 Cukup 30,01 40,00 Sedang 40,01 50,00 Baik > 50,00 Sangat baik Sumber : Wulandari (2001:22) Setelah dilakukan penyesuaian dengan 4 (empat) kategori kemampuan keuangan daerah maka dihasilkan skala interval baru sebagai mana Tabel 1.2 di bawah ini. Tabel 1.2 Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal Daerah Interval (%) Kemampuan Keuangan Daerah 0,00 12,50 Rendah Sekali 12,51 25,00 Rendah 25,51 37,50 Sedang 37,51 50,00 Tinggi/Baik Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah Dalam mengukur rasio ketergantungan keuangan daerah skala intervalnya disesuaikan dengan skala interval derajat desentralisasi fiskal dengan 4 kategori. Berdasarkan total pendapatan daerah yang merupakan hasil akumulasi pendapatan asli daerah + pendapatan ekstern. Sehingga ketergantungan keuangan daerah dianggap rendah sekali/baik apabila

12 mempunyai rasio ketergantungan antara skala interval 50% - 62,5%, disebut rendah apabila rasio ketergantungan berkisar antara skala interval 62,6% - 75%, disebut sedang apabila tingkat ketergantungannya antara skala interval 75,1% - 87,5%, dan disebut tinggi apabila mempunyai rasio ketergantungan berkisar antara skala interval 87,6% - 100%. Adapun skala interval rasio ketergantungan dapat dilihat pada Tabel 1.3 di bawah ini. Tabel 1.3 Skala Interval Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah Interval (%) Kemampuan Keuangan Daerah 50,00 62,50 Rendah Sekali/Baik 62,51 75,00 Rendah 75,51 87,50 Sedang 87,51 100,00 Tinggi Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Dalam mengukur rasio kemandirian keuangan daerah di anggap rendah sekali apabila mempunyai rasio kemandirian antara skala interval 00%-25%, disebut rendah apabila rasio kemandiriannya berkisar antara skala interval 25% - 50%, disebut sedang apabila rasio kemandiriannya antara skala interval 50% - 75%, dan dianggap baik/tinggi apabila mempunyai rasio kemandiriannya antara skala interval 75%-100%. Adapun skala interval rasio kemandirian dapat dilihat pada Tabel 1.4. Tabel 1.4 Skala Interval Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Interval (%) Kemampuan Keuangan Daerah 0 25 Rendah Sekali 25 50 Rendah 50 75 Sedang 75 100 Tinggi Sumber : Halim (2002:169)

13 F. SISTEMATIKA PENULISAN BAB I Pendahuluan Meliputi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode analisis data dan sistematika penulisan. BAB II Landasan Teori Berisi tentang pengertian otonomi daerah, keuangan daerah, dan kinerja keuangan daerah serta tinjauan terhadap penelitianpenelitian terkait yang sudah dilakukan sebelumnya. BAB III Metodologi Penelitian Berisi tentang jenis data, definisi operasional variabel, alat dan model penelitian. BAB IV Analisis Data Dan Pembahasan Menguraikan tentang gambaran umum keuangan daerah, analisis data keuangan daerah dan deskripsi hasil analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah di Madura. BAB V Kesimpulan dan Saran Membahas tentang kesimpulan dan saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN