BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Purwadarminta (dalam Walgito, 2004, h. 11) menjelaskan

dokumen-dokumen yang mirip
1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Gambaran Kepuasan..., Dini Nurul Syakbani, F.PSI UI, 2008

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. hakekat itu, manusia selalu berusaha untuk selalu memenuhi kebutuhannya.

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang terlahir di dunia ini pasti akan mengalami pertumbuhan dan proses

GAMBARAN KEPUASAN PERNIKAHAN PADA ISTRI YANG TELAH MENIKAH TIGA TAHUN DAN BELUM MEMILIKI ANAK KEUMALA NURANTI ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam membangun hidup berumah tangga perjalanannya pasti akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

KEPUASAN PERNIKAHAN DITINJAU DARI KEMATANGAN PRIBADI DAN KUALITAS KOMUNIKASI

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Libertus, 2008). Keputusan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebuah perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara

BAB 1 PENDAHULUAN. terbatas berinteraksi dengan orang-orang seusia dengannya, tetapi lebih tua,

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. satunya ditentukan oleh komunikasi interpersonal suami istri tersebut. Melalui

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun Dalam pasal 1 ayat 1

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. tugas dan sumber-sumber ekonomi (Olson and defrain, 2006).

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Tri Fina Cahyani,2013

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan-hubungan yang terjalin tersebut dapat berupa pertemanan, persahabatan, pacaran dan hubungan perkawinan.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memerlukan mitra untuk mengembangkan kehidupan yang layak bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia memiliki fitrah untuk saling tertarik antara laki-laki dan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Manusia merupakan makhluk individu dan sosial. Makhluk individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. di dalamnya terdapat komitmen dan bertujuan untuk membina rumahtangga serta

BAB I PENDAHULUAN. Menikah adalah penggabungan atau pencampuran antara pria dan

Secara kodrat manusia sebagai makhluk yang tidak dapat hidup tanpa orang lain, saling

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Ensiklopedia indonesia, perkataan perkawinan adalah nikah;

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang datang dari dirinya maupun dari luar. Pada masa anak-anak proses

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dewasa dikatakan waktu yang paling tepat untuk melangsungkan pernikahan. Hal

8. Sebutkan permasalahan apa saja yang biasa muncul dalam kehidupan perkawinan Anda?...

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berpasang-pasangan. Allah SWT telah menentukan dan memilih jodoh untuk

Hubungan Religiusitas dengan Kepuasan Pernikahan pada Individu yang Menikah Melalui Ta aruf

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tahap perkembangan psikososial Erikson, intimacy versus isolation, merupakan isu

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. komunikasi menjadi lebih mudah untuk dilakukan. Teknologi yang semakin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menciptakan manusia sebagai makhluk hidup-nya, akan tetapi makhluk hidup

BAB I PENDAHULUAN. tentang pernikahan menyatakan bahwa pernikahan adalah: berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap kehidupan manusia pasti berhubungan dengan rasa bahagia dan rasa

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pernikahan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Aji Samba Pranata Citra, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sindhi Raditya Swadiana, 2014

BAB I PENDAHULUAN. orang disepanjang hidup mereka pasti mempunyai tujuan untuk. harmonis mengarah pada kesatuan yang stabil (Hall, Lindzey dan

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

KONFLIK INTERPERSONAL ANTAR ANGGOTA KELUARGA BESAR

BAB I PENDAHULUAN. Santrock (dalam Dariyo, 2003) masa dewasa awal ditandai dengan adanya transisi

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Hasil Presentase Pernikahan Dini di Pedesaan dan Perkotaan. Angka Pernikahan di Indonesia BKKBN (2012)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai kebutuhan demi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sarana untuk bergaul dan hidup bersama adalah keluarga. Bermula dari keluarga

SUSI RACHMAWATI F

BAB I PENDAHULUAN. makhluk Tuhan, khususnya manusia. Dalam prosesnya manusia membutuhkan

PERBEDAAN PENYESUAIAN SOSIAL PASCA PERCERAIAN ANTARA WANITA BEKERJA DAN WANITA TIDAK BEKERJA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk sosial, oleh karena itu manusia

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS KOMUNIKASI SUAMI ISTRI DENGAN KECENDERUNGAN BERSELINGKUH PADA ISTRI

HUBUNGAN KEMATANGAN EMOSI DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA MASA PERNIKAHAN AWAL

BAB I PENDAHULUAN. telah memiliki biaya menikah, baik mahar, nafkah maupun kesiapan

BAB V HASIL PENELITIAN. 1. Rekap Tema dan Matriks Antar Tema

BAB I PENDAHULUAN. pernikahan. Berdasarkan Undang Undang Perkawinan no.1 tahun 1974,

Bab 1. Pendahuluan. Ketika anak tumbuh didalam keluarga yang harmonis, ada satu perasaan yang

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal ini adalah rumah tangga, yang dibentuk melalui suatu perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki berbagai macam suku, budaya, bahasa dan agama.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. yang mendukung dimiliki di jalur kehidupan yang sedang dilalui.

BAB I PENDAHULUAN. insan manusia pria dan wanita dalam satu ikatan suci dengan limpahan dari

PENDAHULUAN Latar Belakang

MENGATASI KONFLIK RUMAH TANGGA (STUDI BK KELUARGA)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perkembangan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dimulai dari lahir, masa

BAB 1 PENDAHULUAN. (Santrock,2003). Hall menyebut masa ini sebagai periode Storm and Stress atau

I. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. mencitrakan (to describe), menerangkan sifat bumi, serta menganalisa gejalagejala

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. adalah intimancy versus isolation. Pada tahap ini, dewasa muda siap untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Aisah, 2010).

LAMPIRAN I PEDOMAN WAWANCARA

BAB I PENDAHULUAN. pembagian tugas kerja di dalam rumah tangga. tua tunggal atau tinggal tanpa anak (Papalia, Olds, & Feldman, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Ketika seseorang memasuki tahapan dewasa muda, menurut Erickson

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari individu lain,

BAB I PENDAHULUAN. salah satu tanda dari kekuasaan dan kebesaran Allah SWT. Yang berlandaskan

HUBUNGAN ANTARA KEPUASAN SEKSUAL DENGAN KEPUASAN PERNIKAHAN SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kejadian yang sakral bagi manusia yang menjalaninya.

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepanjang sejarah kehidupan manusia, pernikahan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974, melakukan perkawinan adalah untuk menjalankan kehidupannya dan

BAB I PENDAHULUAN. perempuan di Indonesia. Diperkirakan persen perempuan di Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Purwadarminta (dalam Walgito, 2004, h. 11) menjelaskan bahwa kawin sama dengan perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami istri. Sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1974 Pasal 1 menyatakan bahwa: Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Setiap pasangan yang telah mencapai jenjang perkawinan tentunya memiliki harapan atas hubungan perkawinannya, seperti kehidupan perkawinan yang bahagia dan puas (Nihayah, Adriani, dan Wahyuni, 2013, h. 938), perkawinan yang langgeng, harmonis, nyaman dan tentram (Srisusanti dan Zulkaida, 2013, h. 8). Sayangnya, keadaan ideal tersebut tidak selamanya tercipta. Realitanya, jenjang perkawinan memiliki dinamika dan romantika. Kadang suami-istri mendapati rumah tangganya berjalan mulus, kerikil yang ada dapat dilewati bersama, dan keduanya merasa bahagia dalam kebersamaan mereka. Suami-istri dapat berselisih disertai kemarahan, kekesalan, bahkan perang dingin. Di saat yang lain lagi mereka merasa bosan dan jenuh dalam menjalani rutinitas kehidupan berumah tangga 1

Semua ini manusiawi dan wajar, selama tidak membuat hati keduanya saling menjauh (Srisusanti dan Zulkaida, 2013, h. 8). Masalahmasalah dalam kehidupan perkawinan tersebut telah berkembang sedemikian rupa dengan aneka tantangan dan problemanya yang kian kompleks seiring dengan perkembangan dan perubahan diberbagai sektor kehidupan. Lembaga perkawinan dan keluargapun turut terkena imbasnya. Jika suami-istri tidak dapat mengatasi masalah-masalah rumah tangga secara baik dan bijaksana, akan timbul kesalahpahaman yang akhirnya menyebabkan pertengkaran yang terkadang berujung pada perceraian (Srisusanti dan Zulkaida, 2013, h. 8). Menurut Goode (dalam Srisusanti dan Zulkaida 2013, h. 8) perkawinan yang memuaskan adalah perkawinan yang bahagia dan diharapkan akan menghasilkan anak-anak yang mempunyai watak yang baik karena diasumsikan anak-anak tersebut mendapatkan curahan kasih sayang dan pengalaman-pengalaman yang menyenangkan dari kehidupan perkawinan kedua orang tuanya. Anak dan perkawinan memiliki keterkaitan karena tujuan perkawinan adalah untuk memiliki anak serta memperoleh pengakuan secara sosial untuk pengasuhan anak (Santrock, dalam Syakbani, 2008, h. 2). Meskipun perkawinan dan kehadiran anak memiliki kaitan yang erat, namun tidak semua pasangan langsung dikaruniai anak sebagaimana diidam-idamkan. Sebagian pasangan dapat dengan mudahnya memiliki keturunan, terlepas dari keinginan dan rencana yang dimiliki pasangan untuk memiliki anak. Sebaliknya, ada 2

pasangan yang berharap agar segera memiliki keturunan, namun tidak mudah untuk mewujudkannya. Hal ini sesuai dengan uraian di bawah ini mengenai kondisi pasangan suami istri yang sudah lama tidak memiki anak selama tiga tahun : Dia juga bercinta dengan antusias, dan selalu menuruti saran-saranku untuk mempercepat kehamilan. Tahun ketiga pun berlalu. Aku tak juga hamil. Empat bulan ini pun kami lalui dengan harapan dan kecemasan. Dan tak ada perubahan berarti. Aku tak juga hamil. Haidku tetap lancar dan teratur. Suamiku jadi merasa bersalah tiap aku mendapatkan haid. Rasa bersalahnya bahkan terasa lebih dalam dari rasa bersalahku. Dia jadi kehilangan gairah, dan menjadi malas berhubungan. Aku menyadarinya, dan pelan-pelan tak lagi mendesaknya, tak lagi menceritakan kekecewaanku karena datangnya haid tiap bulan. Suara Merdeka (dalam Syakbani, 2008, h.5) Hasil penelitian Olson dan DeFrain (dalam Habibi, 2015, h. 587) menunjukkan bahwa beberapa pasangan mampu menjaga hubungan pernikahan mereka yang bahagia setelah kelahiran anak mereka, sementara lainnya yang tidak memiliki anak menjadi kurang saling mencintai dan lebih sering terjadi konflik, baik konflik dengan suami maupun anggota keluarga lainnya. Westoff, Potter, Sagi (dalam Sugiarti, 2008, h. 3) menjelaskan lebih lanjut bahwa usia pernikahan lebih dari tiga tahun merupakan usia yang paling diinginkan untuk memiliki anak pada pasangan suami istri. Hal ini didukung oleh Smolak (dalam Sugiarti, 2008, h. 8) yang menyatakan bahwa pasangan suami istri akan mengalami tekanan akan ketidakhadiran anak ketika usia pernikahan mencapai usia tiga 3

tahun, sedangkan Callan (dalam Ulfah dan Mulyana, 2014, h. 2) menjelaskan bahwa wanita yang tidak memiliki anak selama lima tahun pertama dalam kehidupan pernikahannya memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah dan berpikir bahwa hidupnya kurang menarik, kosong, dan kurang bermakna dibandingkan dengan wanita yang telah memiliki anak. Sekalipun kehadiran anak memiliki kaitan yang erat dengan sebuah pernikahan, namun tidak semua wanita yang menjadi istri dapat berperan sebagai seorang ibu. Adakalanya wanita yang telah lama menikah dan berharap memiliki anak tidak juga dikaruniai seorang anak dengan sebab-sebab tertentu (infertil), namun ada juga yang tidak diketahui penyebabnya (normal). Nilai anak dalam budaya dan masyarakat Indonesia sangat penting, apalagi dalam suatu rumah tangga. Hal ini bukan hanya karena penerimaan yang baik pada mereka yang mampu melahirkan anak (meneruskan keturunan keluarga), tetapi juga karena sumbangan sosial dan ekonomi bagi rumah tangga. Dalam banyak literatur seringkali dinyatakan kaitan antara perkawinan dan fertilitas sangat erat (seperti di Indonesia), karena pada sebagian besar masyarakat proses reproduksi hanya akan diizinkan bila terjadi dalam institusi perkawinan. Namun, kenyataan seringkali menunjukkan bahwa selama proses perkawinan tidak selamanya pasangan langsung memiliki dan dikaruniai anak sebagaimana diidam-idamkan. Santoso (2014, h. 1) menyatakan bahwa tidak semua pernikahan dapat memiliki anak meskipun keduanya memiliki kaitan 4

yang erat. Keadaan tersebut yang seringkali disebut sebagai involuntary childless dimana pasangan suami istri mengalami kegagalan dalam mewujudkan keinginan akan hadirnya anak kandung dalam perkawinan mereka. Kehamilan yang tidak kunjung terjadi dalam suatu rumah tangga tersebut seringkali dianggap sebagai kesalahan perempuan atau istri. Hal ini disampaikan oleh Sugiarti (2008, h. 86), bahwa wanitalah yang akan lebih menerima dampak negatif dari keadaan tentang ketidakhadiran anak kandung dalam keluarga, seperti ketidakstabilan emosi, penurunan kesehatan fisik, perasaan sedih yang mendalam, merasa menjadi wanita yang tidak sempurna, perasaan rendah diri, dan perasaan kesepian. Oleh sebab itu, involuntary childless bukanlah suatu keadaan yang mudah untuk diterima oleh seorang istri. Hal di atas tidak dialami oleh semua pasangan yang menghadapi masalah tidak memiliki anak. Burns dan Covington (dalam Lee; Sun; dan Chao, 2001, h.8) mengemukakan bahwa keadaan pasangan yang tidak memiliki anak justru membuat pasangan semakin meningkatkan keintiman dan komunikasi antar pasangan. Studi lain yang dilakukan oleh Srisusanti dan Zulkaida (2013, h. 9) menyebutkan bahwa ketidakberhasilan pasangan dalam memiliki anak seringkali menyebabkan ketegangan dalam perkawinan dan bahkan perceraian. Pada kondisi tersebut, wanita seringkali dianggap sebagai pihak yang dianggap menyebabkan masalah ketidakberhasilan dalam memiliki anak. Wardhani (2012, h. 3) menunjukkan bahwa sebanyak 5

12,18% responden yang diteliti atau diamati dalam studinya menyebutkan bahwa faktor yang memengaruhi kepuasan perkawinan terkait dengan kehadiran anak dalam perkawinan. Rahmani dan Akbar (dalam Hidayah dan Hadjam, 2006, h. 9) menyatakan bahwa pasangan yang tidak memiliki anak dapat membawa konsekuensi berupa perceraian. Ryder (dalam Hidayah dan Hadjam, 2006, h. 9) juga menyatakan bahwa keberadaan anak memang dapat memengaruhi kepuasan perkawinan. Meskipun demikian, studi yang dilakukan oleh Callan, Waldron dan Routh (dalam Hidayah dan Hadjam, 2006, h. 9) menyebutkan bahwa pada pasangan yang tidak memiliki anak tetap dapat merasakan kepuasan dalam perkawinan. Hal ini demikian karena menurut pasangan yang tidak memiliki anak tersebut, kehadiran anak dalam perkawinan bukanlah tujuan utama dalam perkawinan namun, hubungan suami istri yang harmonis adalah hal yang lebih penting. Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti tertarik untuk menguji pengaruh persepsi kehadiran anak terhadap kepuasan perkawinan pada pasangan yang tidak memiliki anak dengan menggunakan data empiris dengan pendekatan kuantitatif. Kepuasan perkawinan dalam penelitian ini diperoleh dari deskripsi faktor-faktor yang memengaruhi kepuasan perkawinan. Secara spesifik, peneliti ingin memahami lebih jauh mengenai pandangan subyek tentang kehadiran anak dan ketidakhadiran anak, serta gambaran faktor-faktor yang berperan dalam kepuasan perkawinan pada pasangan yang tidak memiliki anak. 6

Oleh karena itu, pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif guna memperoleh pemahaman mengenai masalah yang diangkat dalam penelitian. Subjek dalam penelitian ini adalah istri pada pasangan suami istri yang telah menempuh usia perkawinan minimal lima tahun dan belum memiliki anak. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh secara empiris persepsi kehadiran anak terhadap kepuasan perkawinan pada pasangan yang tidak memiliki anak. C. Manfaat Penelitian Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk: 1. Menyumbang bagi pengembangan psikologi sosial terutama psikologi keluarga. 2. Memberi masukan bagi konselor perkawinan dalam melakukan asesmen dan intevensi dalam pelayanan tugasnya. 7