TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

dokumen-dokumen yang mirip
KAJIAN POLA PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN GARUT BERBASIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN HIDUP ARDHY FIRDIAN

KONSEP EVALUASI LAHAN

Evaluasi Lahan. proses perencanaan penggunaan lahan (land use planning). Evaluasi lahan

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Evaluasi Lahan. Evaluasi Kemampuan Lahan

TINJAUAN PUSTAKA Kemampuan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

LOGO Potens i Guna Lahan

V. EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN UNTUK PERTANIAN DI HULU DAS JENEBERANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

Contents 11/11/2012. Variabel-variabel Kemampuan Lahan. Land Capability

DAYA DUKUNG LINGKUNGAN BERBASIS LAHAN

Klasifikasi Kemampuan Lahan

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lahan dapat disebutkan sebagai berikut : manusia baik yang sudah ataupun belum dikelola.

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

TINJAUAN PUSTAKA Penutupan dan Penggunaan Lahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

Departemen of Agriculture (USDA) atau klasifikasi kesesuaian lahan yang dikembangkan oleh Food and Agriculture Organization (FAO).

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir

SKRIPSI. Oleh : MUHAMMAD TAUFIQ

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kebutuhan manusia akibat dari pertambahan jumlah penduduk maka

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk daerah perkotaan di negara-negara berkembang,

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

EVALUASI DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DI DAERAH ERNAN RUSTIADI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

SUMBER DAYA HABIS TERPAKAI YANG DAPAT DIPERBAHARUI. Pertemuan ke 2

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

BAB 11: GEOGRAFI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III METODE PENELITIAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

Oleh : ERINA WULANSARI [ ]

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVIII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 27 Juli 2013

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH

PENDAHULUAN Latar Belakang

EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN UNTUK ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN DENGAN FOTO UDARA Oleh : Hendro Murtianto

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

PEMETAAN MANUAL KEMAMPUAN LAHAN POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI PAYAKUMBUH DENGAN METODE DESCRITIF

BAB I. PENDAHULUAN. kegiatan pertanian, pemukiman, penggembalaan serta berbagai usaha lainnya

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009,

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan dan Penggunaan Lahan

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

Menilai subklas Kemampuan Lahan di Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh

BAB I. kemampuannya. Indonesia sebagai Negara agraris memiliki potensi pertanian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha

TINJAUAN PUSTAKA. Survei Tanah. Untuk dapat melakukan perencanaan secara menyeluruh dalam hal

(CoLUPSIA) Usulan revisi peta RTRW / Kawasan Hutan dan Perairan Kabupaten Maluku Tengah, Pulau Seram. Yves Laumonier, Danan P.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

ZONASI KONDISI KAWASAN HUTAN NEGARA DI DIENG DAN ARAHAN PENGELOLAAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN T U G A S A K H I R. Oleh : INDIRA PUSPITA L2D

Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Banjir

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

KAJIAN KEMAMPUAN LAHAN UNTUK PENGELOLAAN PERTANIAN BERKELANJUTAN DI KABUPATEN BONE BOLANGO PROVINSI GORONTALO

IV. METODE PENELITIAN

Transkripsi:

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Menurut Rustiadi et al. (2009) ruang terdiri dari lahan dan atmosfer. Lahan dapat dibedakan lagi menjadi tanah dan tata air. Ruang merupakan bagian dari alam yang dapat pula menimbulkan pertentangan jika tidak diatur dan direncanakan dengan baik dalam penggunaan dan pengembangannya. Oleh sebab itulah perlu dilakukan penataan ruang sehingga menjadi hak dan kewajiban setiap individu dalam upaya menciptakan pola dan struktur ruang yang sesuai dengan tujuan bersama. Dikatakan pula oleh Sugandhy (1999) dalam Aliati (2007) bahwa didalam penataan ruang perlu juga dipertimbangkan adanya ruang-ruang yang mempunyai fungsi lindung dalam kaitannya terhadap keseimbangan tata udara, tata air, konservasi flora dan fauna serta kesatuan ekologi. Proses penataan ruang secara umum terbagi menjadi tiga, yaitu perencanaan, implementasi dan pengendalian. Menurut Permana (2004) penataan ruang adalah suatu proses yang mencakup perencanaan tata ruang (penyusunan rencana tata ruang wilayah), pemanfaatan ruang melalui serangkaian program pelaksanaan yang sesuai dengan rencana dan pengendalian pelaksanaan pembangunan agar sesuai dengan rencana tata ruang. Rustiadi et al. (2009) menyatakan bahwa penataan ruang dilakukan sebagai: (1) optimasi pemanfaatan sumberdaya (mobilisasi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya) guna terpenuhinya efisiensi dan produktifitas, (2) alat dan wujud distribusi sumberdaya guna terpenuhinya prinsip pemerataan, keberimbangan dan keadilan, serta (3) menjaga keberlanjutan pembangunan. Dikatakan selanjutnya, sebagai suatu proses terdapat setidaknya dua unsur penting dalam penataan ruang, pertama menyangkut unsur kelembagaan/institusional penataan ruang, dan kedua, menyangkut proses fisik ruang. Wujud akhir dari suatu proses penataan ruang adalah dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah yang memuat rencana, pemanfaatan dan pengendalian ruang dari suatu wilayah. Menurut Dardak (2005) rencana tata ruang, sebagai produk yang dihasilkan dari proses perencanaan tata ruang, pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia yang melakukan aktiitas 8

lainnya dengan lingkungannya, baik alam maupun buatan, dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan hierarki dan kedalamannya, rencana tata ruang wilayah dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional merupakan strategi dan arahan kebijakan pemanfaatan ruang wilayah negara, yaitu arahan pengembangan sistem nasional, yang meliputi sistem permukiman dalam skala nasional, jaringan prasarana wilayah yang melayani kawasan produksi dan permukiman lintas provinsi dan pulau, penentuan wilayah yang akan diprioritaskan pengembangannya dalam waktu yang akan datang dalam skala nasional dan penetapan kawasan tertentu. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi memuat strategi dan struktur pemanfaatan ruang dalam skala wilayah provinsi, yaitu berupa arahan lokasi dan struktur pemanfaatan ruang yang bersifat lintas kabupaten dan kota agar kawasan dan wilayah tetap terjaga fungsi dan pengembangan ekonominya secara efisien, pemanfaatan sumberdaya alamnya terjaga lestari dan mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan perkembangan wilayah kabupaten/kota dan kawasan serta antar sektor kegiatan secara sinergis dan efektif. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten maupun Kota memberikan arahan pengembangan pemanfaatan ruang yang mengacu kepada struktur makro, penetapan lokasi investasi, sistem pelayanan infrastruktur lingkup kabupaten/kota, arahan pengendalian rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang yang ditetapkan dalam lingkup kabupaten/kota (Dardak 2005). Kelas Kemampuan Lahan Kelas kemampuan adalah kelompok unit lahan yang memiliki tingkat pembatas dan penghambat (degree of limitation) yang sama jika digunakan untuk pertanian yang umum (Sys et al. 1991 dalam Arsyad 2010). Metode kemampuan lahan digunakan untuk mengetahui kesesuaian lahan bagi penggunaan pertanian, lahan yang seharusnya dilindungi dan lahan yang dapat digunakan untuk pemanfaatan lainnya. Klasifikasi yang digunakan dalam metode ini menggunakan sistem klasifikasi yang dikembangkan oleh Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA). Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) sistem 9

Hambatan Meningkat dan Pilihan Penggunaan Lahan Berkurang klasifikasi kemampuan lahan USDA sebenarnya sangat praktis untuk digunakan di Indonesia karena sangat sederhana, hanya memerlukan data tentang sifat-sifat fisik/morfologi tanah dan lahan yang dapat diamati di lapangan, tanpa memerlukan data tentang sifat-sifat kimia tanah yang harus dianalisis di laboratorium. Pengelompokan kemampuan tanah disusun dengan tujuan : (1) Membantu pemilik tanah dan pengguna lainnya dalam menginterpretasi peta tanah, (2) Memperkenalkan pengguna terhadap kedalaman informasi yang terdapat pada peta tanah dan (3) Membangun kemungkinan penggunaan tanah secara umum berdasarkan potensi, batasan penggunaan dan kendala pengelolaannya (USDA 1961). Sistem ini mengenal tiga kategori, yaitu kelas, sub kelas dan unit, dimana penggolongan ke dalam kategori tersebut didasarkan atas kemampuan lahan tersebut untuk memproduksi pertanian secara umum, tanpa menimbulkan kerusakan dalam jangka panjang (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007). Menurut Arsyad (2010) pengelompokkan ke dalam kelas didasarkan atas intensitas faktor penghambat sebagaimana terlihat pada Gambar 4. Kelas Kemampuan Lahan Cagar Alam Hutan Intensitas dan Macam Penggunaan Meningkat Penggembalaan Garapan Terbatas Sedang Intensif Terbatas Sedang Intensif Sangat Intensif I II III IV V VI VII VIII Gambar 4 Hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan macam penggunaan lahan (Arsyad 2010). Tanah dikelompokkan ke dalam delapan kelas yang ditandai dengan huruf Romawi dari I sampai VIII. Semakin tinggi kelas, ancaman kerusakan atau hambatan semakin meningkat sehingga penggunaannya semakin terbatas. Tanah pada Kelas I sampai IV dengan pengelolaan yang baik mampu menghasilkan dan 10

sesuai untuk berbagai penggunaan. Tanah pada Kelas V, VI dan VII sesuai untuk padang rumput, tanaman pohon-pohon atau vegetasi alami. Tanah dalam kelas VIII sebaiknya dibiarkan dalam keadaan alami (Arsyad 2010). Secara rinci kriteria setiap kelas kemampuan lahan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 KLS Klasifikasi kelas kemampuan lahan dan kriteria KRITERIA I II III IV V VI VII VIII 1. Tidak mempunyai atau hanya sedikithambatan yang membatasi penggunaannya. 2. Sesuai untuk berbagai penggunaan, terutama pertanian. 3. Memiliki salah satu atau kombinasi sifat dan kualitas: topografi datar, kepekaan erosi sangat rendah sampai rendah, tidak mengalami erosi, kedalaman efektif dalam, drainase baik, mudah diolah, kapasitas menahan air baik, subur, tidak terancam banjir dan di bawah iklim setempat yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman pada umumnya 1. Mempunyai beberapa hambatan atau ancaman kerusakan yang mengurangi pilihan penggunaannya atau memerlukan tindakan konservasi yang sedang. 2. Pengelolaan perlu hati-hati termasuk tindakan konservasi untuk mencegah kerusakan. 3. Memiliki salah satu atau kombinasi faktor: lereng landai-berombak, kepekaan erosi sedang, kedalaman efektif sedang, struktur tanah dan daya olah agak kurang baik, salinitas sedikit atau sedang, kadang terkena banjir, kelebihan air dapat diperbaiki dengan drainase, dan keadaan iklim agak kurang sesuai bagi tanaman dan pengelolaan 1. Mempunyai beberapa hambatan yang berat yang mengurangi pilihan penggunaan lahan dan memerlukan tindakan konservasi khusus dan keduanya. 2. Mempunyai pembatas lebih berat dari kelas II dan jika dipergunakan untuk tanaman perlu pengelolaan tanah dan tindakan konservasi lebih sulit diterapkan. 3. Hambatan membatasi lama penggunaan bagi tanaman semusim, waktu pengolahan, pilihan tanaman atau kombinasi dari pembatas tersebut. 4. Hambatan dapat disebabkan: topografi miring-bergelombang, kepekaan erosi agak tinggi sampai tinggi, telah mengalami erosi sedang, dilanda banjir satu bulan tiap tahun selama lebih 24 jam, kedalaman dangkal terhadap batuan, terlalu basah, mudah diolah, kapasitas menahan air rendah, salinitas sedang, kerikil atau batuan permukaan tanah sedang, atau hambatan iklim agak besar 1. Hambatan dan ancaman kerusakan tanah lebih besar dari kelas III, dan pilihan tanaman juga terbatas. 2. Perlu pengelolaan hati-hati untuk tanaman semusim, tindakan konservasi lebih sulit diterapkan. 3. Memiliki salah satu atau kombinasi sifat dan kualitas: lereng miring-berbukit, kepekaan erosi tinggi, mengalami erosi agak berat, tanah dangkal, kapasitas menahan air rendah, selama 2-5 bulan dalam setahun dilanja banjir lebih dari 24 jam, drainase buruk, banyak kerikil atau batua permukaan, salinitas tinggi dan keadaan iklim kurang menguntungkan 1. Tidak terancam erosi tetapi mempunyai hambatan lain yang tidak mudah untuk dihilangkan, sehingga membatasi pilihan penggunaannya. 2. Terletak pada topografi datar-hampir datar tetapi sering terlanda banjir, berbatu atau iklim yang kurang sesuai. 1. Mempunyai faktor penghambat berat sehingga tidak sesuai untuk penggunaan pertanian. 2. Memiliki pembatas atau ancaman kerusakan yang tidak dapat dihilangkan, berupa salah satu atau kombinasi faktor: lereng curam, telah tererosi berat, sangat dangkal, mengandung garam laut, daerah perakaran sangat dangkal atau iklim yang tidak sesuai. Tidak sesuai untuk budidaya pertanian dengan penghambat berat dan tidak dapat dihilangkan yaitu: lereng curam dan atau telah tererosi sangat berat dan sulit diperbaiki 1. Sebaiknya dibiarkan secara alami. 2. Pembatas dapat berupa: lereng sangat curam, berbatu atau kerikil atau kapasitas menahan air rendah. Sumber : Arsyad (2010) 11

Daya Dukung Lingkungan Hidup Konsep tentang daya dukung muncul karena adanya kesadaran manusia tentang dampak aktifitas yang dilakukan terhadap keberlangsungan atau keberlanjutan sumberdaya alam. Rustiadi et al. (2009) menyebutkan bahwa konsep ini berkembang seiring dengan bertambahnya tekanan terhadap sumberdaya dan lingkungan yang disebabkan oleh aktifitas manusia. Dalam perspektif biofisik wilayah, daya dukung dapat didefinisikan sebagai jumlah maksimum populasi yang dapat didukung oleh suatu wilayah, sesuai dengan kemampuan teknologi yang ada (Binder dan Lopez 2000 dalam Rustiadi et al. 2009). Daya dukung menurut Rustiadi et al. (2009) dapat dibedakan menjadi beberapa empat aspek, yaitu (1) daya dukung fisik, (2) daya dukung lingkungan/ekologi, (3) daya dukung sosial, dan (4) daya dukung ekonomi. Diantara keempat aspek tersebut, konsep daya dukung lingkungan merupakan yang paling menjadi perhatian, dikaitkan dengan beberapa kejadian bencana dan dampak dari perubahan iklim yang sedang terjadi saat ini. Dikatakan oleh Khanna et al. (1999) daya dukung lingkungan hidup terbagi menjadi 2 (dua) komponen, yaitu kapasitas penyediaan (supportive capacity) dan kapasitas tampung limbah (assimilative capacity). Didalam peraturan perundangan-undangan di Indonesia, terminologi tentang daya dukung telah ada dan disebutkan dalam beberapa peraturan perundangan, antara lain Undang-undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera pasal 1 butir 18, 19 dan 20, Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 1 butir 6 dan butir 8 serta yang terakhir Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun demikian, penerapan konsep tersebut dalam kaitan dengan Rencana Tata Ruang baru ditemukan melalui penerbitan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah. Perhitungan daya dukung lingkungan hidup dilakukan terhadap dua aspek utama, yaitu lahan dan air. Aspek lahan menggunakan basis neraca bioproduk 12

dan biokapasitas serta kemampuan lahan yang mengadopsi konsep ecological footprint dan kelas kemampuan lahan sedangkan aspek air mengadopsi konsep water footprint (Rustiadi et al. 2010). Konsep Kemampuan Lahan yang digunakan merujuk kepada metode penentuan Kelas Kelas Kemampuan Lahan Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) yang dikembangkan A.A. Klingebiel dan P.H. Montgomery Tahun 1961 (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007). Konsep ecological footprint pertama kali dikemukakan oleh Mathias Wackernagel dalam desertasi yang berjudul Ecological Footprint and Appropriated Carrying Capacity: A Tool for Planning Toward Sustainability pada Universitas British Columbia Tahun 1994. Tujuan dikembangkannya konsep ini untuk mengetahui indikator yang dapat digunakan untuk menilai pembangunan berkelanjutan serta lebih jauh mengukur penggunaan sumberdaya oleh manusia dikaitkan dengan daya dukung bumi. Ukuran yang digunakan sebagai unit penggunaan sumberdaya adalah ruang bioproduk per produktifitas rata-rata dunia (global hectares/gha) yang secara khusus digunakan untuk menyatakan produksi semua sumberdaya yang dikonsumsi oleh populasi tertentu dan menyerap limbah yang mereka hasilkan, menggunakan teknologi yang ada (Chambers et al. 2000 dalam Hoekstra 2008). Sedangkan konsep Water Footprint pertama kali diperkenalkan oleh A.Y. Hoekstra dalam sebuah prosiding yang berjudul Virtual Water Trade pada Tahun 2002 dan selanjutnya bersama dengan A.K. Chapagain mengembangkan konsep ini (Romaguera et al. 2010). Konsep ini digunakan sebagai indikator penggunaan air yang dilihat dari aliran air langsung maupun tidak langsung yang digunakan oleh konsumen maupun produsen (Hoekstra 2003 dalam Aldaya et al. 2010). Walaupun Ecological Footprint berbeda dengan Water Footprint dalam dasar analisa dan metode, namun keduanya memiliki kesamaan dalam bagaimana menterjemahkan konsumsi manusia kedalam penggunaan sumber daya alam (Hoekstra 2008). Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh Sistem informasi Geografis (SIG) merupakan suatu teknologi informasi yang berkaitan dengan pengumpulan dan pengolahan data bereferensi spasial dan 13

berkoordinat geografis (Barus dan Wiradisastra 2000). Menurut Prahasta (2005) serta Barus dan Wiradisastra (2000), SIG mempunyai empat komponen utama dalam menjalankan prosesnya antara lain : (1) Data Input, (2) Data Manajemen, (3) Data Manipulasi dan Analisis dan (4) Data Output. Aplikasi dan pemanfaatan SIG telah banyak dilakukan oleh berbagai orang untuk memudahkan analisis dan pengambilan keputusan. Namun teknologi ini lebih sering dimanfaatkan dalam analisis sumberdaya alam, seperti pertanian dan kehutanan (Barus dan Wiradisastra, 2000). Kalogirou (2001) memanfaatkan teknologi ini yang dikombinasinasikan dengan sistem pakar LEIGIS untuk melakukan kajian evaluasi lahan pada areal pertanian di Yunani. Reshmidevi et al. (2009) mengintegrasikan metode fuzzy kedalam aplikasi SIG untuk melakukan evaluasi kesesuaian lahan pada pertanian lahan basah. Kolomyts (2008) memanfaatkan aplikasi ini dalam permodelan untuk menduga keseimbangan karbon pada ekosistem hutan di Daerah Aliran Sungai Volga Rusia. Permodelan dilakukan dengan mengkombinasikan metode statistik empiris. Pemetaan model pendugaan kesimbangan karbon dilakukan berdasarkan data survey bentang lahan ekologi dengan menggunakan metode hierarchical extrapolation. Pada beberapa penelitian, penggunaan teknologi SIG sering dikombinasikan dengan teknologi penginderaan jauh untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai kondisi suatu wilayah pada cakupan yang luas. Menurut Lillesand dan Kiefer (1990), penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa melakukan kontak langsung dengan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji. Media yang digunakan untuk memperoleh informasi tersebut dengan pemanfaatan foto udara, citra satelit dan citra radar. Penggalian informasi pada media penginderaan jauh tersebut dilakukan menggunakan metode interpretasi baik secara visual maupun digital. Lillesand dan Kiefer (1990) menyatakan bahwa keberhasilan di dalam interpretasi, sangat tergantung kepada latihan dan pengalaman penafsir, sifat obyek yang diinterpretasi dan kualitas citra yang digunakan. Selain itu kedekatan interpreter dengan wilayah dimana obyek yang diinterpretasi berada juga turut mempengaruhi (Munibah 2008). 14