BAB I PENDAHULUAN. Penyampaian opini merupakan hasil akhir dari pekerjaan seorang auditor.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. sampai sejauh mana kriteria audit dipenuhi (SNI ). Perusahaan harus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Profesi akuntan publik memiliki peranan penting dalam melakukan

Etika Profesi. Mia Fitriawati, M.Kom. 17/03/2016. Konsep. Etika Profesi merupakan pedoman nilai berperilaku yang disepakati pada tatanan suatu profesi

BAB V IMPLIKASI, SIMPULAN, DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi informasi makin meluas dan peran teknologi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Dalam era globalisasi ini, dunia bisnis semakin berkembang disertai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Profesi auditor merupakan suatu profesi yang memiliki pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. akuntan profesional di masa depan yang memiliki kompetensi, integritas, dan

2 Tidak semua auditor dapat melakukan tugasnya dengan baik, dan masih ada beberapa akuntan publik yang melakukan kesalahan. Kasus yang paling fenomena

BAB I PENDAHULUAN. Akuntansi adalah kegiatan yang sangat erat hubungannya dengan etika. Hal ini

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. dihasilkannya dari klien. Dari profesi akuntan publik, masyarakat mengharapkan

BAB 1 PENDAHULUAN. bertujuan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar besarnya (profitmaking)

BAB I PENDAHULUAN. semakin kompleks (Halim, 2008). Peningkatan kompleksitas tersebut

BAB I PENDAHULUAN. profesi. Etika Profesi diperlukan agar apa yang dilakukan oleh suatu profesi tidak

BAB I PENDAHULUAN. bisnispun semakin ketat pula. Hal tersebut mengakibatkan para pelaku bisnis

BAB I PENDAHULUAN. dalam melaksanakan pemeriksaan akuntan, memperoleh kepercayaan dari klien

BAB I PENDAHULUAN UKDW. menjalankan suatu profesi juga dikenal adanya etika profesi.

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia saat ini sudah banyak perusahaan-perusahaan yang semakin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Profesi akuntan publik adalah profesi yang bertanggung jawab

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam laporan keuangan (Mulyadi, 2002: 2). Kepercayaan yang besar dari

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. di dalam bidang bisnis. Ada dua tanggung jawab akuntan publik dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam era globalisasi, pendidikan akuntansi mengalami

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dengan judgment berdasarkan kejadian-kejadian yang dialami oleh suatu. judgment atas kemampuan kesatuan usaha dalam mempertahankan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. due professional care dan selalu menjunjung tinggi kode etik profesinya.

BAB I PENDAHULUAN. kinerja dengan pendekatan good governance. Semua aspek pemerintahan dalam

BAB I PENDAHULUAN. memberikan opini atau pendapat tentang kewajaran penyajian laporan

Bab 1. Pendahuluan. Diawal tahun 2000 dunia dikejutkan dengan merebaknya kasus-kasus

BAB I PENDAHULUAN. kepatuhan dan audit laporan keuangan (Arens dan Loebbecke, 2003). Akuntan

BAB I PENDAHULUAN. baik internal maupun eksternal membutuhkan informasi terkait bisnis, dan

: Tabel Distribusi Kuesioner pada KAP di Jakarta dan Tangerang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Seiring dengan pesatnya perkembangan dunia bisnis banyak pengusaha

BAB I PENDAHULUAN. Auditor independen ialah merupakan suatau akuntan publik yang

KOMITMEN ORGANISASI SEBAGAI MEDIASI PENGARUH PEMAHAMAN GAYA KEPEMIMPINAN DAN BUDAYA ORGANISASI TERHADAP KINERJA AUDITOR

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan audit yang dapat diandalkan (Kurnia, dkk, 2014). Profesi

BAB I PENDAHULUAN. profesi kepercayaan masyarakat. Dari profesi akuntan publik, masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Etika bisnis telah menjadi topik yang populer selama dua dekade terakhir,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. berarti adanya kebebasan perdagangan dan persaingan dagang di antara negaranegara

BAB I PENDAHULUAN. Akuntan Indonesia (Indonesian Institute of Accountants) yang disingkat IAI.

INDEPENDENSI AUDITOR SEBAGAI MEDIASI PENGARUH PEMAHAMAN GOOD GOVERNANCE, DAN GAYA KEPEMIMPINAN TERHADAP KINERJA AUDITOR

BAB I PENDAHULUAN. memihak terhadap informasi yang disajikan oleh manajemen perusahaan dalam

BAB I PENDAHULUAN. banyaknya perusahaan-perusahaan yang sudah go public dapat memicu

BAB 1 PENDAHULUAN. mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kualitas audit yang dihasilkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah jasa auditor. Profesi akuntan publik bertanggungjawab untuk menaikkan

BAB I PENDAHULUAN. bekerja sebagai auditor eksternal (Kurniawanda, 2013). laporan disetiap kali melakukan audit. Kantor Akuntan Publik (KAP) dapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang masalah. untuk mengaudit laporan keuangan perusahaan. Selain digunakan oleh

BAB I PENDAHULUAN. auditor dalam pemeriksaan laporan keuangan karena tingkat materialitas dari satu

BAB I PENDAHULUAN. tinggi independen, integritas dan profesional. BPK wajib untuk mematuhi

BAB 1 PENDAHULUAN. telah meningkat belakangan ini, terlebih setelah kasus skandal-skandal khususnya

BAB I PENDAHULUAN. publik harus bersikap independen terhadap berbagai kepentingan.

Jurnal Akuntansi Indonesia, Vol. 3 No. 2 Juli 2013, Hal JURNAL AKUNTANSI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. menyimpang jauh dari aktivitas moral, bahkan ada anggapan bahwa dunia

BAB I PENDAHULUAN. whistleblower. Beberapa dekade terakhir istilah whistleblower menjadi makin. pemukul kentongan, atau pengungkap fakta.

BAB I PENDAHULUAN. independen maka hasil pemeriksaan akan lebih akurat. kewajaran laporan keuangan agar laporan keuangan tersebut tidak memberikan

BAB 1 PENDAHULUAN. Negara maka akan semakin kompleks masalah bisnis yang terjadi. Oleh karena itu

BAB I PENDAHULUAN. bekerja dengan baik dalam melakukan audit. Salah satu yang merupakan pekerjaan

BAB I PENDAHULUAN. Kecurangan pada penyusunan laporan keuangan yang semakin banyak. keuangan merupakan alat pertanggungjawaban perusahaan kepada para

ABSTRAK. Kata Kunci : komitmen organiasi, gaya kepemimpinan demokratis, etika profesi, pengalaman auditor pada kinerja auditor

BAB I PENDAHULUAN. Tumbuh berkembangnya profesi auditor di dalam suatu negara akan

BAB I PENDAHULUAN. keuangan adalah relevan (relevance) dan dapat diandalkan (reliable). Kedua

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan yang semakin berkembang saat ini, tidak hanya membutuhkan modal

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kantor akuntan publik merupakan sebuah organisasi yang bergerak di bidang

BAB I PENDAHULUAN. Semakin berkembangnya perusahaan-perusahaan go public membuat

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. penilai yang bebas terhadap seluruh aktivitas perusahaan.

BAB I PENDAHULUAN. harus adanya pemisahan tanggung jawab antara prinsipal dan agen. Prinsipal

BAB I PENDAHULUAN. kompleksnya operasi usaha menyebabkan semakin banyak pihak-pihak yang

BAB I PENDAHULUAN. bisnis. Agar tetap bertahan dalam persaingan bisnis yang semakin tinggi para

BAB I PENDAHULUAN. data terbaru Institut Akuntan Publik Indonesia pada tahun 2016 ini terdapat 403 KAP

BAB I PENDAHULUAN. mahasiswa. Auditor memiliki tanggung jawab dalam melakukan audit atas

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. terungkap, maka auditor melakukan penilaian risiko terhadap klien.

BAB I PENDAHULUAN. maupun praktisi (Dechow dan Skinner 2000; Merchant dan Rockness 1994) sebab

BAB I PENDAHULUAN. 2014). Isu terkait etika selalu menjadi hal menarik untuk dibahas karena etika

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Seiring dengan berjalannya waktu, perkembangan dunia usaha dan industri

BAB I PENDAHULUAN. yang telah ditetapkan Institut Akuntan Publik Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. atas kinerja perusahaan melalui pemeriksaan laporan keuangan. Laporan

BAB I. melanggar dimensi moral dan etika bisnis itu sendiri, termasuk profesi. Masalah etika menjadi perhatian yang sangat penting bagi masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Audit laporan keuangan berperan untuk mengurangi risiko informasi yang terkandung

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Laporan keuangan merupakan sasaran utama bagi seorang auditor

BAB I PENDAHULUAN. terkait dengan keuangan. Kinerja auditor pun berperan sebagai titik penting bagi

BAB I PENDAHULUAN. Persaingan bisnis di Indonesia semakin ketat seiring. berkembangnya masa yang bergerak ke arah globalisasi. Bukan hanya bisnis

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Perusahaan dalam mempertanggung jawabkan aktivitas bisnisnya dan menilai

BAB I PENDAHULUAN. kode etik profesi. Snoeyenbos et al. (1983) telah menggambarkan ini sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dengan masyarakat. Dalam pasal 1 ayat (2) Kode Etik Ikatan Akuntan. integritas dan obyektivitas dalam melaksanakan tugasnya.

BAB I PENDAHULUAN. profesi akuntansi dalam mengaudit laporan keuangan. (Daljono dan Fitriani,

BAB I PENDAHULUAN. Keadaan perokonomian Indonesia sekarang masih mengalami krisis

BAB I PENDAHULUAN. Pemakai informasi akuntansi diklasifikasikan menjadi dua yaitu pihak internal dan

BAB I PENDAHULUAN. laporan keuangan yang belum atau tidak diaudit. keuangan yang terjadi akhir-akhir ini. Singgih dan Bawono (2010) menyebutkan

BAB I PENDAHULUAN. Laporan keuangan suatu perusahaan merupakan salah satu sumber informasi

BAB I PENDAHULUAN. keuangan perusahaan yang selanjutnya data tersebut digunakan sebagai dasar

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dunia dan bahkan kasus yang terjadi di Indonesia. Dengan munculnya isu-isu

BAB 1 PENDAHULUAN. Banyak pihak menempatkan auditor sebagai pihak yang paling. mengeluarkan opini going concern. Auditor dalam mengeluarkan opini,

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan akuntan. (Arens dan Loebbecke, 1996:4). keputusan. Para pemakai laporan keuangan selalu memeriksa dan mencari

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyampaian opini merupakan hasil akhir dari pekerjaan seorang auditor. Opini merupakan suatu pernyataan dari auditor apakah laporan keuangan yang diperiksa sudah bersifat wajar atau belum. Auditor juga bisa untuk tidak menyatakan opininya karena adanya pembatasan tertentu dalam lingkup kerjanya. Opini ini dibentuk melalui berbagai macam pertimbangan atas keadaan yang terjadi dan buktibukti yang ditemukan. Pertimbangan yang dilakukan tidak hanya melibatkan penalaran logika saja tetapi juga menyangkut moral dan etika. Penalaran moral inilah yang sulit diukur kebenarannya. Jika penalaran logika didasarkan pada aturan-aturan yang sudah baku seperti misalnya standar pekerjaan lapangan yang dikeluarkan oleh Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI), penalaran moral lebih didasarkan pada intuisi dan hati nurani. Penalaran moral atau yang juga bisa disebut dengan moral reasoning akan mempengaruhi tindakan auditor dalam pengambilan keputusan (Gaffikin & Lindawati, 2012). Gaffikin & Lindawati (2012) menyatakan bahwa dilema yang sering dialami akuntan publik ialah ketika harus memilih di antara kepentingan diri sendiri (kebaikan bagi klien) dan kepentingan publik (mengikuti peraturan yang ada) karena 1

bukan sesuatu yang tidak mungkin ketika mengikuti peraturan yang ada akan menyebabkan kerugian bagi klien. Dilema etika juga bisa terjadi ketika akuntan publik (auditor) dihadapkan pada pilihan untuk melanggar etika atau prinsip yang ada demi melakukan sesuatu yang dianggap benar ataupun menguntungkan bagi dirinya. Kasus Enron pada tahun 2001 merupakan contoh dimana auditor memilih untuk melanggar etika dan prinsip audit demi keuntungannya sendiri. KAP Arthur Andersen yang bertanggung jawab mengaudit perusahaan Enron memilih untuk melanggar prinsip profesionalisme dan mau bekerja sama melakukan manipulasi laporan keuangan selama bertahun-tahun. Auditor juga bersikap tidak independen dengan bersedia menjadi konsultan bagi Enron dan bahkan menyarankan Enron untuk melakukan kecurangan dengan memanfaatkan kelemahan peraturan perundangan di Amerika Serikat saat itu. Kasus menyangkut etika auditor tidak hanya terjadi di luar negeri tetapi juga di Indonesia. KAP KPMG-Siddharta Siddharta & Harsono terbukti menyuap pegawai pajak Indonesia sebesar USD 75.000 agar kliennya, PT Easman Christensen, bisa membayar pajak lebih murah (Litigation Releases: U.S. Securities and Exchange Commission, 2001). Auditor telah bersikap tidak profesional karena auditor menyalahgunakan kepercayaan masyarakat dengan melakukan hal-hal yang melanggar hukum demi kepentingannya sendiri. Auditor juga bertindak tidak objektif karena memihak klien dan bahkan mau membantu klien melakukan manipulasi pembayaran pajak. Kasus kontroversial lainnya ialah terlibatnya auditor BPK Salman 2

Khairiansyah dalam penjebakan anggota KPU Mulyana Wira Kusuma yang saat itu dituduh melakukan penyuapan terkait pengadaan barang logistik pemilu 2004. Salman bekerjasama dengan KPK untuk menjebak Mulyana pada saat Mulyana hendak melakukan suap terhadap dirinya yang saat itu bertugas sebagai auditor BPK yang mengaudit laporan keuangan KPU. Keputusan yang dilakukan oleh Salman menimbulkan pro dan kontra. Jika dilihat sekilas dari sisi orang awam tentunya tindakan yang dilakukan Salman sudah benar karena berhasil mengungkap kasus korupsi. Akan tetapi jika dilihat dari sisi profesi seorang auditor Salman sudah melanggar prinsip objektivitas dan kerahasiaan. Salman memilih untuk berpihak pada KPK dan mengungkapkan informasi yang belum didukung bukti yang kuat kepada pihak ketiga. Kasus-kasus tersebut membuktikan bahwa auditor akan sering menghadapi persoalan dilema etika dalam melaksanakan tugasnya. Pembentukan etika dan sikap individu auditor akhirnya menjadi hal yang kritikal karena sebagian besar professional judgement didasarkan pada kedua hal tersebut (Richmond, 2001). Penelitian pun dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi auditor dalam mengambil keputusan ketika menghadapi persoalan dilema etika. Salah satu faktor yang banyak diteliti ialah moral reasoning. Moral reasoning terbukti menjadi faktor kuat dalam pengambilan keputusan auditor saat terjadi persoalan dilema etika (Thorne, 2000). Salah satu penelitian mengenai moral reasoning ini dilakukan oleh Thorne pada tahun 2000. 3

Penelitian yang dilakukan oleh Thorne (2000) ditujukan untuk membandingkan prescriptive moral reasoning dengan deliberative moral reasoning para akuntan publik di Kanada. Prescriptive moral reasoning mengacu pada tindakan ideal yang akan dilakukan oleh akuntan dalam mengambil keputusannya saat menghadapi persoalan dilema etika. Sedangkan deliberative moral reasoning lebih mengacu kepada tindakan realistis apa yang akan dilakukan akuntan dalam mengambil keputusannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akuntan mempunyai skor prescriptive moral reasoning yang lebih tinggi. Hal ini menimbulkan pro dan kontra. Beberapa pihak akan menyukai hasil penelitian ini sebab menggambarkan bahwa akuntan mengikuti peraturan ataupun standar yang ada dalam pengambilan keputusannya. Di sisi lain, beberapa pihak akan menganggap hasil penelitian ini mengkhawatirkan karena akuntan dinilai tidak mempertimbangkan adanya persoalan etika di dalam pengambilan keputusannya (Thorne, 2000). Thorne (2000) juga melakukan penelitian dengan instrumen yang sama terhadap mahasiswa akuntansi di Kanada. Hal ini dilakukan untuk membandingkan moral reasoning mahasiswa akuntansi dengan praktisi akuntan. Selain itu, penelitian ini juga ingin membuktikan apakah pengukuran moral reasoning akuntan bisa diwakili dengan melakukan penelitian terhadap mahasiswa akuntansi. Hasil yang sama ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan terhadap mahasiswa akuntansi yaitu skor prescriptive moral reasoning yang lebih tinggi. Pola hasil penelitian yang sama juga ditunjukkan oleh kedua penelitian tersebut sehingga penelitian mengenai moral 4

reasoning mahasiswa akuntansi dianggap bisa mewakili penilaian moral reasoning praktisi akuntan. Mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Thorne (2000), penelitian mengenai moral reasoning akhirnya banyak dilakukan terhadap mahasiswa akuntansi. Alasan lain dipilihnya mahasiswa sebagai subjek penelitian karena sebagian besar dari mereka nantinya akan menjadi auditor dan akuntan yang pasti menghadapi persoalan dilema etika selama masa kerjanya. Salah satu penelitian terhadap mahasiswa dilakukan oleh Maroney & McDevitt (2008). Penelitian dilakukan terhadap mahasiswa Master of Business Administration (MBA) yang juga terlibat dalam pasar modal di Amerika. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa dengan moral reasoning yang lebih rendah cenderung lebih memahami aturan dan lebih terpengaruh oleh rasa takut terhadap hukuman atau penalti dalam pengambilan keputusannya. Berdasarkan hasil tersebut bisa disimpulkan bahwa moral reasoning berhubungan positif dengan proses pengambilan keputusan mahasiswa. Semakin tinggi moral reasoning individu maka semakin baik pula proses pengambilan keputusan yang dilakukan sebab hal-hal yang dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan tidak hanya peraturan tetapi juga baik atau buruknya keputusan yang dibuat tersebut. Penelitian lain terhadap mahasiswa akuntansi dilakukan oleh Flemming, Romanus, & Lightner (2009) yang lebih berfokus pada deliberative moral reasoning. Hasil penelitian menunjukkan mahasiswa akuntansi mempunyai deliberative moral 5

reasoning yang lebih tinggi ketika menyelesaikan persoalan dilema etika audit dibanding dilema akuntansi perusahaan. Hal ini membuktikan bahwa mahasiswa akuntansi kesulitan untuk mengaplikasikan pengetahuan etika mereka ketika dihadapkan pada persoalan yang lebih kompleks yaitu kasus dilema etika akuntansi perusahaan. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Kelly pada tahun 2004. Penelitian yang dilakukan oleh Kelly (2004) mengukur general moral reasoning mahasiswa akuntansi yang baru saja memulai kuliahnya dengan mahasiswa akuntansi yang sudah menyelesaikan studinya. Hasilnya tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Alasan tidak adanya perbedaan yang signifikan tersebut mungkin bisa dijawab dengan penelitian yang dilakukan oleh Delaney (2005). Penelitian yang dilakukan Delaney menunjukkan mahasiswa akuntansi memiliki skor moral reasoning ability (MRA) yang lebih tinggi ketika dihadapkan pada kasus dilema etika bisnis dibanding ketika dihadapkan pada kasus dilema etika yang umum. Delaney berpendapat hal ini mungkin terjadi karena mata kuliah yang selama ini diajarkan di kampus lebih berfokus kepada etika bisnis. Perlu diketahui juga bahwa pada penelitian yang dilakukan oleh Kelly di Eastern State University, tidak terdapat mata kuliah etika bisnis dalam kurikulum pembelajaran mereka. Berdasarkan kedua penelitian tersebut maka bisa dikatakan bahwa mata kuliah etika juga bisa berpengaruh terhadap moral reasoning mahasiswa. 6

The Association to Advance Collegiate School of Business (AACSB), salah satu organisasi non-profit internasional yang mengabdi pada kemajuan pendidikan manajemen, juga menyetujui bahwa pendidikan etika semasa kuliah merupakan hal yang penting dan perlu mendapat perhatian. Hal tersebut dibahas secara mendalam dalam laporan yang diajukan oleh Ethics Education Task Force, salah satu divisi di AACSB, dalam judul Ethics Education in Business School. Dalam laporan tersebut mereka berpendapat bahwa pendidikan etika yang baik semasa kuliah akan membuat mahasiswa memiliki moral reasoning yang lebih baik. Selain itu, pendidikan etika juga diperlukan terutama karena nantinya mahasiswa akan menghadapi keempat hal ini dalam dunia bisnis, yaitu: tanggung jawab bisnis ke masyarakat; pengambilan keputusan etis; kepemimpinan yang etis; dan tata kelola pemerintahan (Force, 2004). Pendidikan etika yang baik tentunya akan membantu mahasiswa dalam memecahkan persoalan-persoalan dilema etika yang dihadapi selama masa kerjanya. Pendapat ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Mintchik & Farmer (2009). Mereka menyatakan bahwa mata kuliah etika memang diperlukan karena level moral reasoning yang tinggi tidak muncul dengan sendirinya. Penelitian yang dilakukan oleh Eynon, Hill, & Stevens (1997) juga menemukan pengaruh positif atas pendidikan etika terhadap moral reasoning ability seorang akuntan. Walau begitu, beberapa penelitian seperti yang dilakukan oleh Ponemon (1993) dan Flemming (2009) menunjukkan hasil berbeda yaitu tidak adanya pengaruh pendidikan etika semasa kuliah dengan moral reasoning seseorang. 7

Penelitian yang dilakukan oleh Ponemon (1993) menunjukkan bahwa ethical reasoning tidak terpengaruh karena adanya intervensi pemahaman etika. Hasil yang sama juga didapatkan oleh Flemming dkk. (2009) yang tidak menemukan hasil signifikan antara penyelesaian mata kuliah etika dengan tinggi rendahnya deliberative moral reasoning yang dimiliki oleh mahasiswa akuntansi. Adanya perbedaan hasil penelitian mengenai ada tidaknya pengaruh pendidikan etika terhadap moral reasoning seseorang membuat peneliti ingin melakukan kembali penelitian serupa dengan melakukan replikasi terhadap penelitian yang dilakukan oleh Flemming dkk. (2009). Penelitian kepada para mahasiswa diyakini penting untuk mengukur dan memahami ethical reasoning mereka terutama karena sosialisasi profesi akuntan sudah dilakukan semenjak kuliah (Richmond, 2001). Penelitian akan dilakukan dengan lebih berfokus kepada deliberative moral reasoning yang dimiliki mahasiswa akuntansi. Fokus terhadap pengukuran level deliberative moral reasoning mahasiswa akuntansi ini dipilih karena peneliti ingin mengetahui gambaran yang realistis mengenai tindakan apa yang akan dilakukan mahasiswa akuntansi ketika menghadapi persoalan dilema etika. Deliberative moral reasoning diukur dengan mengajukan pertanyaan yang mengacu pada apa yang akan dilakukan ketika terjadi persoalan dilema etika tertentu dan bukannya apa yang seharusnya idealnya dilakukan (Thorne, 2000). Berbeda dengan penelitian sebelumnya, subjek penelitian kali ini ialah mahasiswa akuntansi yang sudah menempuh mata kuliah pengauditan 2 sehingga 8

diyakini mahasiswa akan mempunyai pengetahuan audit dan akuntansi dasar yang cukup untuk menjawab kasus dilema etika yang akan diberikan oleh peneliti. Sedangkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Flemming dkk. (2009) subjek penelitiannya ialah mahasiswa akuntansi yang baru menempuh mata kuliah audit selama 1 minggu. 1.2 Rumusan Masalah Banyaknya permasalahan yang terjadi di bidang bisnis dan melibatkan profesi akuntan seperti kasus yang menimpa Enron, WorldCom, maupun kasus dalam negeri yang melibatkan KAP KPMG-Siddharta Siddharta & Harsono tentunya menurunkan kepercayaan publik terhadap profesi akuntan saat ini. Pendidikan dinilai menjadi salah satu penyebab rusaknya moral para pelaku tindak kecurangan tersebut. Penelitian akhirnya banyak dilakukan terhadap mahasiswa akuntansi yang merupakan calon-calon akuntan di masa mendatang. Salah satu penelitian yang melibatkan mahasiswa tersebut dilakukan oleh Flemming dkk. (2009). Penelitian dilakukan terhadap mahasiswa akuntansi yang mengambil kuliah di universitas Amerika dan sudah diakreditasi oleh AACSB. Penelitian ini mengukur deliberative moral reasoning mahasiswa terhadap kasus dilema etika spesifik di bidang akuntansi. Mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Flemming dkk. (2009), peneliti ingin melakukan kembali penelitian tersebut pada mahasiswa akuntansi di Indonesia yang khususnya sudah mengambil mata kuliah Pengauditan 2. Peneliti ingin 9

mengetahui apakah terdapat perbedaan dalam skor deliberative moral reasoning mahasiswa akuntansi ketika mereka menyelesaikan persoalan dalam konteks profesional di bidang audit maupun akuntansi perusahaan. Hasil penelitian nantinya akan menggambarkan apakah mahasiswa telah dapat mengaplikasikan pengetahuan yang mereka dapat selama ini dengan baik. Selain itu penelitian juga berfokus pada pengaruh pendidikan etika terhadap moral reasoning yang dimiliki oleh mahasiswa. Tidak dapat dipungkiri nantinya dalam dunia kerja para mahasiswa akuntansi ini akan sering menghadapi persoalan dilema etika yang tidak mudah dipecahkan. Oleh karena itu tidak menutup kemungkinan bahwa adanya pemahaman dan pengetahuan mengenai etika bisnis semasa kuliah bisa membantu mereka menjadi lebih bijaksana dalam memecahkan persoalan dilema etika yang akan dihadapi semasa kerja. Adanya perbedaan hasil penelitian yang telah dilakukan, seperti yang disebutkan dalam latar belakang masalah, juga menjadi salah satu penyebab peneliti ingin meneliti lebih dalam mengenai pengaruh pendidikan etika terhadap moral reasoning mahasiswa. 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan maka tujuan dari penelitian ini ialah mengukur deliberative moral reasoning mahasiswa akuntansi ketika dihadapkan pada kasus dilema etika spesifik di bidang akuntansi. Pengukuran ini dilakukan dengan membandingkan skor deliberative moral reasoning mahasiswa 10

pada situasi auditor dan akuntan perusahaan sehingga dapat diketahui pada situasi mana terdapat skor yang lebih tinggi. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui apakah penyelesaian mata kuliah etika bisnis mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap level deliberative moral reasoning mahasiswa akuntansi. 1.4 Kegunaan Penelitian Berdasarkan tujuan yang telah disebutkan maka penelitian ini diharapkan akan memberikan kegunaan sebagai berikut: 1.4.1. Memberikan referensi baru bagi penelitian di bidang etika mahasiswa akuntansi terutama karena penelitian ini masih sangat jarang dilakukan sebelumnya. 1.4.2. Bagi praktisi pendidikan, diharapkan hasil penelitian ini nantinya akan memberikan evaluasi yang berarti mengenai sistem pengajaran pengauditan ataupun etika bisnis. 1.4.3. Bagi mahasiswa akuntansi, diharapkan penelitian ini akan memperluas wawasan mengenai persoalan dilema etika yang nantinya akan dihadapi semasa kerja dan bagaimana menyikapinya. 1.5 Sistematika Penulisan Penelitian ini akan menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut: 11

BAB I : PENDAHULUAN; berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II : KAJIAN PUSTAKA; berisi landasan teori, penelitian terdahulu, kerangka pemikiran, dan hipotesis. BAB III : METODE PENELITIAN; berisi uraian mengenai variabel penelitian dan definisi operasional variabel, populasi dan sampel penelitian, jenis dan sumber data, metode pengumpulan data, dan metode analisis. BAB IV : ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN; berisi deskripsi objek penelitian, analisis data, dan interpretasi hasil. BAB V : PENUTUP; berisi kesimpulan, keterbatasan penelitian, dan saran bagi penelitian selanjutnya. 12