BAB I LATAR BELAKANG. A. Latar Belakang Permasalahan. Penderita dengan gangguan jiwa saat ini jumlahnya mengalami peningkatan

dokumen-dokumen yang mirip
GAMBARAN POLA ASUH KELUARGA PADA PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID (STUDI RETROSPEKTIF) DI RSJD SURAKARTA

BAB 1 PENDAHULUAN. sehat, serta mampu menangani tantangan hidup. Secara medis, kesehatan jiwa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. siklus kehidupan dengan respon psikososial yang maladaptif yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Prevalensi penderita skizofrenia pada populasi umum berkisar 1%-1,3% (Sadock

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan gejala-gejala positif seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi,

BAB 1 PENDAHULUAN. klinis bermakna yang berhubungan dengan distres atau penderitaan dan

BAB I PENDAHULUAN. dengan kehidupan sehari-hari, hampir 1 % penduduk dunia mengalami

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan dinamisnya kehidupan masyarakat. Masalah ini merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Peristiwa gangguan jiwa yang terjadi dari tahun ke tahun dan dari. waktu ke waktu akan berdampak negatif pada setiap individu yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa adalah gangguan dalam cara berfikir (cognitive),

BAB I PENDAHULUAN. akan mengalami kekambuhan. WHO (2001) menyatakan, paling tidak ada

BAB 1 PENDAHULUAN. sendiri. Kehidupan yang sulit dan komplek mengakibatkan bertambahnya

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kesalahpahaman, dan penghukuman, bukan simpati atau perhatian.

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah kesehatan jiwa tidak lagi hanya berupa gangguan jiwa yang berat

BAB I PENDAHULUAN. sehat, maka mental (jiwa) dan sosial juga sehat, demikian pula sebaliknya,

BAB 1 PENDAHULUAN. serta perhatian dari seluruh masyarakat. Beban penyakit atau burden of disease

BAB I PENDAHULUAN. Skizofrenia merupakan salah satu jenis gangguan psikis yang paling serius

BAB I PENDAHULUAN. karena adanya kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku di mana. tidak mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain,

PERAN DUKUNGAN KELUARGA PADA PENANGANAN PENDERITA SKIZOFRENIA

BAB I PENDAHULUAN. dapat memenuhi segala kebutuhan dirinya dan kehidupan keluarga. yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan

BAB I PENDAHULUAN. Penyebab yang sering disampaikan adalah stres subjektif atau biopsikososial

BAB I PENDAHULUAN. eksternal, dibuktikan melalui pikiran, perasaan dan perilaku yang tidak sesuai

BAB I PENDAHULUAN. teknologi yang pesat menjadi stresor pada kehidupan manusia. Jika individu

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010 GAMBARAN POLA ASUH

BAB 1 PENDAHULUAN. sisiokultural. Dalam konsep stress-adaptasi penyebab perilaku maladaptif

BAB 1 PENDAHULUAN. juga dengan masyarakat (Maslim, 2002 ; Maramis, 2010). masalah yang mesti dihadapi, baik menggunakan fisik ataupun psikologig

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. World Health Organitation (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. stressor, produktif dan mampu memberikan konstribusi terhadap masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. penyimpangan dari fungsi psikologis seperti pembicaraan yang kacau, delusi,

BAB I PENDAHULUAN. perpecahan antara pemikiran, emosi dan perilaku. Stuart, (2013) mengatakan

BAB I PENDAHULUAN. dapat ditemukan pada semua lapisan sosial, pendidikan, ekonomi dan ras di

BAB I PENDAHULUAN. tinggal di sana. Kehidupan perkotaan seperti di Jakarta menawarkan segala

BAB I PENDAHULUAN. mengalami gangguan kesehatan jiwa (Prasetyo, 2006). pasien mulai mengalami skizofenia pada usia tahun.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

EFEKTIVITAS TERAPI GERAK TERHADAP PERUBAHAN TINGKAT KECEMASAN PADA PASIEN SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dan penarikan diri dari lingkungan (Semiun, 2006). Skizofrenia merupakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya

BAB I PENDAHULUAN. yang menyeluruh dalam menjalankan fungsi-fungsinya, karena keluarga

BAB I PENDAHULUAN. yang sering juga disertai dengan gejala halusinasi adalah gangguan manic depresif

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan penurunan semua fungsi kejiwaan terutama minat dan motivasi

BAB I PENDAHULUAN. mengadaptasikan keinginan-keinginan dengan kenyataan-kenyataan yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berupaya untuk

BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. serta ketidakpastian situasi sosial politik membuat gangguan jiwa menjadi

BAB I PENDAHULUAN. oleh penderita gangguan jiwa antara lain gangguan kognitif, gangguan proses pikir,

ABSTRAK. Kata Kunci: Manajemen halusinasi, kemampuan mengontrol halusinasi, puskesmas gangguan jiwa

Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 18. secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari

BAB I PENDAHULUAN. genetik, faktor organo-biologis, faktor psikologis serta faktor sosio-kultural.

BAB I PENDAHULUAN. ringan dan gangguan jiwa berat. Salah satu gangguan jiwa berat yang banyak

STRATEGI COPING PERAWAT RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA ( Fenomena pada Perawat di RSJD Surakarta )

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Sdr. D DENGAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI DI RUANG MAESPATI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

/BAB I PENDAHULUAN. yang dapat mengganggu kelompok dan masyarakat serta dapat. Kondisi kritis ini membawa dampak terhadap peningkatan kualitas

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan jiwa pada manusia. Menurut World Health Organisation (WHO),

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Konteks Penelitian. perjalanan kronik dan berulang. Skizofrenia biasanya memiliki onset pada masa

BAB I PENDAHULUAN. mental dan sosial yang lengkap dan bukan hanya bebas dari penyakit atau. mengendalikan stres yang terjadi sehari-hari.

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut World Health Organitation (WHO), prevalensi masalah kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. mendasar bagi manusia. World Health Organization (WHO) sejaterah seseorang secara fisik, mental maupun sosial.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEKAMBUHAN PASIEN SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. digambarkan sebagai perasaan yang negatif terhadap diri sendiri, merasa gagal

BAB 1 PENDAHULUAN. deskriminasi meningkatkan risiko terjadinya gangguan jiwa (Suliswati, 2005).

HUBUNGAN PENGETAHUAN TENTANG GANGGUAN JIWA DENGAN DUKUNGAN KELUARGA YANG MEMPUNYAI ANGGOTA KELUARGA SKIZOFRENIA DI RSJD SURAKARTA SKRIPSI

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan disability (ketidakmampuan) (Maramis, 1994 dalam Suryani,

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedaruratan psikiatri adalah sub bagian dari psikiatri yang. mengalami gangguan alam pikiran, perasaan, atau perilaku yang

BAB 1 PENDAHULUAN. kelompok atau masyarakat yang dapat dipengaruhi oleh terpenuhinya kebutuhan dasar

BAB I PENDAHULUAN. efektif, konsep diri yang positif dan kestabilan emosional (Videbeck, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. kurang baik ataupun sakit. Kesehatan adalah kunci utama keadaan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam segi kehidupan manusia. Setiap perubahan situasi kehidupan individu

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan jiwa ditemukan disemua lapisan masyarakat, dari mulai

BAB I PENDAHULUAN. emosi, pikiran, perilaku, motivasi daya tilik diri dan persepsi yang

BAB I PENDAHULUAN. dan kestabilan emosional. Upaya kesehatan jiwa dapat dilakukan. pekerjaan, & lingkungan masyarakat (Videbeck, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. adanya tekanan fisik dan psikologis, baik secara internal maupun eksternal yang

BAB I PENDAHULUAN. ketidaktahuan keluarga maupun masyarakat terhadap jenis gangguan jiwa

BAB I PENDAHULUAN. merupakan suatu keadaan dimana seseorang yang terbebas dari gangguan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. adalah suatu kondisi sehat emosional, psikologis, dan sosial yang terlihat dari

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan jiwa adalah salah satu masalah kesehatan yang masih. banyak ditemukan di setiap negara. Salah satunya adalah negara

Keefektifan terapi keluarga terhadap penurunan angka kekambuhan pasien skizofrenia di rumah sakit khusus jiwa dan saraf Puri Waluyo Surakarta

BAB I PENDAHULUAN. tersebut yang disertai dengan perilaku mengamuk yang tidak dapat dibatasi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Skizofrenia adalah gangguan yang benar-benar membingungkan dan

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan akhir-akhir

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organitation (WHO), prevalensi masalah

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi berkepanjangan juga merupakan salah satu pemicu yang. memunculkan stress, depresi, dan berbagai gangguan kesehatan pada

BAB I PENDAHULUAN. Menurut data World Health Organization (WHO), masalah gangguan

BAB I PENDAHULUAN. kecacatan. Kesehatan jiwa menurut undang-undang No.3 tahun 1966 adalah

BAB I PENDAHULUAN. keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan kedewasaan

Transkripsi:

1 BAB I LATAR BELAKANG A. Latar Belakang Permasalahan Penderita dengan gangguan jiwa saat ini jumlahnya mengalami peningkatan terkait dengan berbagai macam permasalahan yang dialami oleh bangsa Indonesia, mulai dari kondisi perekonomian yang memburuk, kondisi keluarga, dan latar belakang pengasuhan anak yang tidak baik, serta bencana alam yang melanda (Maramis, 2004). Sandra, Rahayu, dan Munjiati (2009) menguatkan dampak yang dapat dimunculkan dari kondisi masalah-masalah psikososial, misalnya kondisi keluarga yang tidak baik dan pengasuhan anak pada waktu kecil yang tidak baik, maka ada kecenderungan anak mengalami skizofrenia. Data American Psychiatric Association, APA (2000) menunjukkan 1% populasi penduduk dunia menderita skizofrenia, sedangkan di Indonesia penderita skizofrenia sekitar 1% hingga 2% dari total jumlah penduduk. Arif (2006) menjelaskan prevalensi penderita skizofrenia di Indonesia adalah 0,3-1% dan biasanya timbul pada usia sekitar 18-45 tahun, namun ada juga yang baru berusia 11-12 tahun atau usia remaja awal sudah menderita skizofrenia. Apabila penduduk Indonesia sekitar 200 juta jiwa, maka diperkirakan 2 juta jiwa menderita skizofrenia atau sekitar 99% penderita di rumah sakit jiwa di Indonesia adalah penderita skizofrenia (Widodo, 2014). Di Pulau Jawa khususnya Provinsi Jawa Tengah, prevalensi gangguan jiwa berat skizofrenia sebesar 12% (Depkes RI, 2008). Data Rumah Sakit Jiwa 1

2 Provinsi Jawa Tengah sampai bulan Desember tahun 2014, penderita skizofrenia yang dirawat sebanyak 3.613 orang terdiri dari rawat inap dan rawat jalan. Kasus skizofrenia merupakan kasus yang terbanyak dibandingkan kasuss gangguan jiwa yang lain yaitu sebanyak 2.589 orang atau 71,66% dari total penderita gangguan jiwa (RSJD Prov. Jateng, 2014). Gangguan Jiwa Lainnya 28% Gangguan Skizofrenia 72% Diagram 1. Perbandingan gangguan skizofrenia dan gangguan jiwa lain di Jawa Tengah Di Surakarta prevalensi gangguan yaitu di Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Surakarta, skizofrenia menjadi jumlah kasus terbanyak yaitu jumlah 1.883 dari 2.605 penderita yang tercatat mulai tahun 2004 seluruhnya adalah penderita skizofrenia. Hal tersebut berarti kasus skizofrenia terjadi sebanyak 72,7% dari jumlah kasus yang ada. Kriteria kasus skizofrenia terdiri dari 471 hebefrenik, 648 paranoid, 317 tak khas, 231 akut, 95 katatonik, 116 residual, dan sebanyak 15 dalam kriteria remisi (Rekam Medik RSJD Surakarta, 2014). Berdasarkan data APA (2000); RSJD Prov. Jateng (2014); Rekam Medik RSJD Surakarta (2014); dan Widodo (2014), diketahui bahwa penderita gangguan

3 jiwa berat terutama skizofrenia sekarang ini semakin meningkat dan tidak mengenal usia. Anak-anak usia 11-12 tahun atau usia yang masuk dalam tahap perkembangan remaja awal dapat menderita gangguan skizofrenia. Keberadaan anak skizofrenia di dalam masyarakat terkadang dianggap berbahaya. Salah satu beban psikologis yang berat bagi orang tua adalah stigmatisasi dari masyarakat mengenai skizofrenia (Vera, 2010). Finzen (dalam Schultz dan Angermeyer, 2003) menyebut stigmatisasi sebagai penyakit kedua, yaitu sebuah penderitaan tambahan yang tidak hanya dirasakan oleh penderita, namun juga dirasakan oleh orang tua. Stigmatisasi semakin membuat kedudukan anak dikucilkan dari lingkungan sosial dan hanya dipandang sebelah mata oleh masyarakat sekitar sehingga rentan mengalami kekambuhan. Hal tersebut menjadikan jumlah penderita skizofrenia terus bertambah, namun masalahnya banyak orang tua yang belum mengerti benar apa itu skizofrenia. Ketidakmengertian tersebut rata-rata melahirkan jalan pintas orang tua dengan memasukkan anak ke rumah sakit jiwa (Sandra, Rahayu, & Munjiati, 2009). Banyak orang tua yang menyerahkan sepenuhnya penanganan dan perawatan anak kepada petugas medis. Orang tua menggambarkan pengalaman merawat penderita sebagai pengalaman yang traumatis, sebuah malapetaka besar, pengalaman yang menyakitkan, menghancurkan, penuh dengan kebingungan, dan kesedihan yang berkepanjangan (Pejlert, 2001). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa orang tua yang kurang memiliki pemahaman dan justru memperlakukan anak dengan kurang baik. Orang tua masih melakukan pembatasan-pembatasan atas apa yang

4 berhak dilakukan anak, tidak diberi dukungan, dan kesempatan dalam bersosialisasi (Nolen, 2001). Dolnick (2005) menyatakan bahwa kondisi keluarga yang cenderung tidak sehat dapat memunculkan kembali gejala skizofrenia pada anggota keluarganya, terutama pada anak. Salah satu faktor penyebab munculnya skizofrenia berasal dari lingkungan keluarga. Penderita berasal dari keluarga yang disfungsi dan perilaku keluarga yang patologis seperti pola komunikasi atau interaksi orang tua yang tidak tepat, tidak memberikan dukungan, serta pengasuhan orang tua yang tidak sesuai dapat meningkatkan stres emosional yang mengarah pada kekambuhan anak. Hal tersebut menjadikan orang tua tidak mengerti bagaimana perannya dalam kesembuhan anak, maka orang tua sendirilah yang dapat menjadi salah satu faktor penyebab kambuhnya gangguan skizofrenia pada anak (Kaplan & Sadock, 2010). Dukungan sosial orang tua terutama yang menyangkut aspek emosi yaitu aspek penghargaan dan kebutuhan akan rasa memiliki terhadap anak menjadikan faktor utama orang tua tidak memberikan dukungan (Deni, 2010; Linda, Aat, & Metty, 2012). Orang tua tidak memberikan pujian atau penghargaan, tetapi justru menampilkan berbagai ekspresi emosi yang tinggi pada anak. Ekspresi emosi tinggi yang ditampilkan yaitu orang tua terlihat berlebihan, kejam, kritis, dan perilaku intrusive serta tidak mendukung sehingga anak yang menderita skizofrenia cenderung mengalami kekambuhan (Nolen, 2001). Dukungan sosial orang tua merupakan bantuan atau sokongan yang diterima anak dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi yang terdapat di dalam sebuah

5 keluarga (Francis & Satiadarma, 2004). Keberhasilan perawatan di rumah sakit yakni pemberian obat dan penyembuhan akan menjadi sia-sia apabila tidak ditunjang oleh peran serta dukungan orang tua. Penelitian yang dilakukan oleh Jenkins, Garcia, Chang, Young, dan Lopez (2006) menunjukkan bahwa family caregivers adalah sumber yang sangat potensial untuk menunjang pemberian obat dan penyembuhan pada skizofrenia sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan kembali. Nurdiana, Syafwani, dan Umbransyah (2007) menyebutkan bahwa orang tua berperan penting dalam menentukan cara atau perawatan yang diperlukan oleh anak di rumah sehingga menurunkan angka kekambuhan. Dinosetro (2008) menguatkan bahwa orang tua memiliki fungsi strategis dalam menurunkan angka kekambuhan, meningkatkan kemandirian dan taraf hidupnya, serta anak dapat beradaptasi kembali pada masyarakat dan kehidupan sosialnya. Dukungan yang dimiliki oleh anak dapat mencegah berkembangnya masalah akibat tekanan yang dihadapi. Individu dengan dukungan yang tinggi akan lebih berhasil menghadapi dan mengatasi masalahnya dibanding dengan yang tidak memiliki dukungan (Taylor, 2014). Pendapat Taylor (2014) diperkuat oleh pernyataan dari Commission on the Family (dalam Dolan, Canavan & Pinkerton, 2006) bahwa dukungan dari orang tua dapat memperkuat setiap individu, menciptakan kekuatan keluarga, memperbesar penghargaan terhadap diri sendiri, mempunyai potensi sebagai strategi pencegahan yang utama bagi seluruh keluarga dalam menghadapi tantangan kehidupan sehari-hari.

6 Anak penderita skizofrenia memerlukan dukungan untuk menjadi individu yang lebih kuat dan menghargai diri sendiri. Dukungan orang tua menjadikan anak dapat mencapai taraf kesembuhan yang lebih baik, meningkatkan keberfungsian dirinya, mengurangi kekambuhan, dan meningkatkan kualitas hidupnya kembali (Sarason, 2010). Tanpa dukungan sosial dari orang tua, anak akan sulit sembuh, mengalami perburukan, dan sulit untuk menjalani peran kehidupan. Penderita skizofrenia yang pernah dirawat di rumah sakit jiwa akan kambuh 50-80% dari jumlah total (Puspitasari, 2009). Kekambuhan adalah kondisi pemunculan kembali tanda dan gejala suatu penyakit setelah mereda (Dorland, 2002). Nasir (2011) menjelaskan penderita skizofrenia diperkirakan akan kambuh 50% pada tahun pertama, 70% pada tahun kedua, dan 100% pada tahun berikutnya. Kekambuhan biasanya terjadi karena adanya kejadian-kejadian buruk yang terjadi sebelum penderita kambuh (Wiramihardja, 2007). Yosep (2009) menyatakan kekambuhan penderita gangguan jiwa disebabkan oleh banyak faktor, salah satu faktor yang menyebabkan kekambuhan penderita gangguan jiwa adalah orang tua yang tidak tahu cara menangani perilaku penderita sehingga tidak mendukung kesembuhan ketika di rumah.

7 120% 100% 80% 60% 40% 20% Tahun Pertama Tahun Kedua Tahun Ketiga 0% Tahun Kambuh Diagram 2. Persentase kambuh pada skizofrenia setiap tahun Tomb (2004) mengungkapkan gejala-gejala kekambuhan pada skizofrenia cenderung tumpang tindih, dan diagnosis dapat berpindah dari satu subtipe seiring berjalannya waktu (baik dalam satu episode atau dalam episode berikutnya). Faktor penyebab kekambuhan pada skizofrenia sifatnya cenderung menyeluruh dan tidak mengacu pada subtipe tertentu. Kekambuhan seringkali timbul setelah adanya peningkatan peristiwa hidup. Rangsangan yang berlebihan telah terbukti menyebabkan kekambuhan, sedangkan rangsangan yang terlalu kecil terbukti meneruskan penarikan diri dan kronisitas. Keliat (2006) menjelaskan ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kekambuhan penderita gangguan skizofrenia meliputi: penderita yang gagal meminum obat secara teratur mempunyai kecenderungan untuk kambuh; dokter yang memberi resep diharapkan tetap waspada mengidentifikasi dosis terapeutik yang dapat mencegah kambuh dan menurunkan efek samping; penanggung jawab (case manager) atau petugas medis tetap bertanggungjawab atas program adaptasi di rumah setelah penderita pulang ke rumah; penderita yang tinggal dengan

8 keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi diperkirakan kambuh dalam waktu 9 bulan; dan lingkungan sekitar tempat tinggal yang tidak mendukung dapat juga meningkatkan frekuensi kekambuhan. Orang tua dan orang sekitar atau masyarakat menganggap skizofrenia sebagai individu yang tidak berguna, mengucilkan, mengejek penderita, dan seterusnya. Berdasar hasil studi pendahuluan tahun 2014-2015 di RSJD Surakarta, faktor-faktor yang dapat membuat penderita mengalami kekambuhan sehingga harus kembali menjalani rawat inap yaitu faktor interaksi yang kurang baik antara orang tua dan anak, seperti jarang mengajak berbicara anak, saat mengajak berbicara dengan nada yang tinggi, dan mengejek atau menyindir anak apabila tidak melakukan sesuatu yang diminta. Setelah anak dinyatakan sembuh atau diperbolehkan pulang oleh pihak rumah sakit, beberapa bulan atau minggu bahkan beberapa hari setelahnya anak kembali dirawat dengan alasan perilaku anak yang tidak dapat diterima oleh orang tua dan lingkungan sekitarnya. Selama di rumah, orang tua melakukan pembatasan pada perilaku anak, tidak diperbolehkan keluar gerak-gerik dan anak selalu diawasi dengan curiga oleh orang tua. Hal tersebut akhirnya memicu kekambuhan pada anak dan harus menjalani perawatan kembali sebagai tanda bahwa menurun kualitas hidupnya (Sarason, 2010). Salah satu faktor penyebab terjadinya penurunan kualitas hidup penderita skizofrenia adalah terjadinya kekambuhan karena kurangnya peran serta dukungan sosial yang diberikan orang tua dalam penanganan terhadap penderita (Rubbyana, 2012). Orang tua yang kurang memahami cara menangani perilaku anak dan kurang dilibatkan oleh petugas medis. Orang tua jarang mengikuti

9 proses keperawatan skizofrenia karena jarang mengunjungi anak di rumah sakit dan tim kesehatan di rumah sakit jarang melibatkan orang tua. Saat anak diperbolehkan pulang ke rumah, orang tua justru memperlakukan tidak sesuai, seperti membatasi perilaku anak, curiga terhadap tindakan anak yang akan menyakiti orang lain, dan tidak diperbolehkan keluar rumah (Keliat, 2006). Orang tua merasa terbebani dengan kondisi anak dan tidak memiliki harapan untuk sembuh. Perasaan terbebani tersebut memunculkan kecemasan ketika menghadapi anak, kurangnya kesadaran akan kebutuhan untuk memahami skizofrenia, dan tekanan dalam perawatan, serta memunculkan stres tersendiri yang ditampilkan orang tua dalam bentuk ekspresi emosi tinggi (Leff & Vaughn, 1985). Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO (2001) menyatakan bahwa dampak yang dirasakan keluarga akibat adanya anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa adalah tingginya beban ekonomi, tingginya beban emosi keluarga, stres terhadap perilaku penderita yang menyimpang, gangguan melaksanakan kegiatan sehari-hari, dan keterbatasan melakukan aktivitas sosial. Perasaan terbebani secara emosi dan stres sebagai tanda strategi koping orang tua yang tidak langsung menyelesaikan masalah terjadi. Strategi koping dipengaruhi oleh dukungan sosial dalam mengatasi masalah (Yuanita, 2013). Pihak keluarga terutama orang tua perlu untuk diberikan penanganan agar dapat menurunkan kecemasan dan stres yang terjadi selama merawat anak sehingga terbentuk kesadaran orang tua terhadap kebutuhan anak dan hubungan baik dalam rangka mendukung anak mencapai kesembuhan (Iman, 2006).

10 Solution focused therapy sering digunakan dalam praktik psikoterapi individual, namun banyak terapis terapi keluarga mengintegrasikan strategi solution focused ini ke dalam penanganan keluarga. Milton Erickson menggambarkan bahwa terapi berfokus solusi digunakan untuk mengubah apa yang dilihatnya atau apa yang dilakukannya yang terkait dengan masalah yang dihadapinya. Pada model ini, terapis tidak melihat suatu permasalahan sebagai suatu kegagalan, melainkan sebagai bagian dari perkembangan kelompok atau keluarga tersebut (Midori, 2001). SFT merupakan terapi dengan metode untuk memperoleh pemahaman terhadap permasalahan, mengembangkan komunikasi, dan meningkatkan fungsi dari setiap individu. SFT adalah suatu bentuk intervensi yang membantu partisipan untuk mengidentifikasi dan merubah masalah maladaptive menjadi lebih sehat. SFT efektif dilakukan dalam tiga tahap yakni tahap initial interview, fase kerja, dan fase terminasi (Anderson, 2000). Trepper, McCollum, De Jong, Korman, Gingerich, dan Franklin (2012) menyatakan SFT efektif untuk menyelesaikan kasus pada penderita sakit fisik dan psikologis depresi serta klinis lainnya yang berfokus untuk penyelesaian masalah. Bukti-bukti menunjukkan bahwa program terapi pada orang tua yang terstruktur dapat mengurangi friksi dalam keluarga, meningkatkan fungsi sosial pada penderita, dan bahkan mengurangi rata-rata kekambuhan (Nevid, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Pemulihan dan Pelatihan Bagi Penderita Gangguan Jiwa Tirto Jiwo (2015) menjelaskan bahwa bila suatu sistem atau kelompok, merupakan tempat salah satu anggotanya menderita gangguan jiwa,

11 mendapat terapi berfokus pada solusi (psikoedukasi ataupun diskusi), maka kondisi penderita akan lebih cepat pulih dan kemungkinan kambuh menjadi lebih sedikit. Terapi berfokus solusi membantu orang tua dan penderita untuk mengatasi permasalahan yang diakibatkan oleh penderita itu sendiri atau keduanya. Dengan membantu orang tua tersebut, maka orang tua dapat membantu pemulihan penderita skizofrenia agar pulih dan hidup sehat di masyarakat. Santrock (2003), mendefinisikan individu dengan usia dewasa madya cenderung menggunakan coping berfokus pada masalah (problem focused coping). Orang tua yang dalam perkembangan termasuk dalam usia dewasa madya seharusnya lebih aktif dalam mencari solusi atas penyelesaian dan menilai stressor sebagai sesuatu yang dapat dikendalikan. Peneliti menggunakan terapi berfokus pada solusi agar orang tua dapat berfokus pada pencarian solusi atas masalah yang dihadapi dalam merawat anak skizofrenia. Orang tua dikembalikan pada tugas perkembangan saat berusia dewasa madya. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa perilaku orang tua terhadap anak skizofrenia yang kurang memberikan dukungan sosial seperti kurang terjalin interaksi atau komunikasi; memunculkan ekspresi-ekspresi emosi yang tinggi seperti mengkritik dan menyindir berpengaruh terhadap kekambuhan anak. Kambuhnya anak merupakan tanda menurunnya kualitas hidup. Di sinilah dukungan sosial dibutuhkan dalam perawatan dan penanganan pada anak, karena dukungan sosial dari orang tua menjadi sangat berharga dan akan menambah semangat hidup penderita untuk sembuh. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti mengangkat penelitian yang berkaitan dengan Peningkatan Dukungan Sosial

12 Orang Tua melalui Solution Focused Therapy dalam Rangka Memulihkan Kualitas Hidup Anak dengan Riwayat Gangguan Skizofrenia. B. Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengetahui perbedaan dukungan sosial orang tua yang mendapatkan solution focused therapy dengan orang tua yang tidak mendapatkan solution focused therapy. 2. Mengetahui efektivitas solution focused therapy dalam meningkatkan dukungan sosial orang tua yang memiliki anak dengan riwayat gangguan skizofrenia. C. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Secara teoritis, hasil penelitian menjadi informasi yang dapat memperkaya hasanah ilmu pengetahuan, terutama dalam pengembangan intervensi dalam praktek profesi psikologi khususnya dalam bidang klinis mengenai pengaruh solution focused therapy bagi dukungan sosial orang tua dalam rangka meningkatkan kualitas hidup anak skizofrenia. 2. Secara praktis, antara lain; a. Bagi pihak Rumah Sakit Jiwa Daerah bahwa hasil penelitian ini memberikan bukti empiris bagaimana keefektifan pengaruh solution focused therapy terhadap peningkatan dukungan sosial orang tua dalam rangka

13 meningkatkan kualitas hidup anak skizofrenia sehingga dapat dijadikan sebagai model terapi yang bersifat utama yang digunakan untuk meningkatkan dukungan sosial orang tua. b. Bagi pihak keluarga bahwa hasil penelitian dapat bermanfaat untuk meningkatkan dukungan sosial sehingga mengurangi terjadinya kekambuhan pada penderita sebagai tanda penurunan kualitas hidup. c. Bagi peneliti selanjutnya, hasil kajian penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat. D. Keaslian Penelitian Penelitian tentang skizofrenia dan dukungan sosial telah beberapa orang atau kelompok orang yang melakukan penelitian. Sandra, Rahayu, dan Munjiati (2009) melakukan penelitian yang berkaitan keluarga dari penderita skizofrenia yaitu dengan judul hubungan tipe pola asuh keluarga dengan kejadian skizofrenia di Ruang Sakura RSUD Banyumas. Hasilnya, sebanyak 29 orang yang menerapkan pola asuh otoriter mengalami skizofrenia, 7 orang yang menerapkan pola asuh demokratis mengalami skizofrenia, 6 orang yang menerapkan pola asuh demokratis mengalami skizofrenia. Ada perbedaan proporsi kejadian skizofrenia antara pola asuh otoriter, permisif dan demokratis yang artinya terdapat hubungan yang signifikan antara tipe pola pengasuhan yang diterapkan keluarga dengan kejadian skizofrenia. Linda, Aat, dan Metty (2012) yang meneliti mengenai gambaran dukungan sosial yang diberikan keluarga dalam perawatan penderita skizofrenia di Instalasi

14 Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat, menyatakan bahwa dukungan keluarga mempengaruhi perawatan penderita skizofrenia. Penderita yaitu sebagian responden sebanyak 48,96% memberikan dukungan sosial dalam perawatan penderita skizofrenia dan sebagian responden sebanyak 51,04% tidak memberikan dukungan sosial dalam perawatan penderita skizofrenia. Dukungan emosional menjadi persentasi tertinggi keluarga tidak memberikan dukungan sosial dalam perawatan sehingga penderita lebih sering memunculkan tanda-tanda gejala kekambuhan. Dukungan sosial orang tua mempengaruhi beban orang tua dan keberfungsian sosial penderita. Penelitian yang menggunakan variabel dukungan sosial dilakukan oleh Deni (2010) dengan judul hubungan antara dukungan keluarga dengan beban keluarga untuk mengikuti regimen terapeutik pada keluarga klien halusinasi di RSUD Serang Tahun 2011 dan Prinda (2010) dengan judul hubungan antara dukungan keluarga dengan keberfungsian sosial pada penderita skizofrenia pasca perawatan di rumah sakit. Dukungan keluarga yang terdiri dari dukungan emosional, informasi, instrumental, dan dukungan penilaian mempengaruhi beban yang dirasakan oleh keluarga. Semakin bertambah dukungan semakin berkurang beban keluarga untuk mengikuti regimen terapeutik pada keluarga dengan penderita halusinasi, berarti dengan dukungan keluarga yang tepat menjadikan beban ditanggung bersama dalam keluarga (Deni, 2010). Hubungan antara dukungan keluarga dengan keberfungsian sosial pada penderita skizofrenia pasca perawatan yaitu semakin keluarga memberikan

15 dukungan, maka semakin baik pula keberfungsian sosial penderita. Sebaliknya semakin keluarga tidak memberikan dukungan, semakin kurang baik pula keberfungsian sosial penderita skizofrenia pasca perawatan di rumah sakit. Sumbangan efektif dukungan keluarga terhadap keberfungsian sosial pada penderita skizofrenia pasca perawatan di rumah sakit sebesar 69,9 % dan faktorfaktor lain memberi pengaruh sebesar 30,1 %. Dukungan sosial berpengaruh terhadap strategi koping sesuai dengan penelitian Yuanita (2013) yang berjudul hubungan antara dukungan sosial dengan coping strategy pada ibu yang memiliki anak penyandang tunagrahita di SLB-C YPLB Cipaganti Kota Bandung. Hasilnya, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara dukungan sosial dengan coping strategy pada ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB-C. Strategi koping berpengaruh terhadap kualitas hidup sesuai dengan penelitian Urifah (2012) dengan judul hubungan antara strategi koping dengan kualitas hidup pada penderita skizofrenia remisi simptom. Hasilnya, semakin tinggi strategi koping adaptif penderita skizofrenia remisi simptom maka semakin tinggi kualitas hidupnya, dan semakin rendah strategi koping adaptif maka semakin rendah pula kualitas hidupnya. Ina, Ridwan, Jahidul, 2013; Riane, Wahiduddin, dan Dian, 2004 menyatakan bahwa terdapat hubungan antara dukungan sosial dengan kualitas hidup pada penderita tubekulosis paru. Dari keempat aspek dari dukungan sosial dengan kualitas hidup yaitu dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan intrumental dan dukungan informatif pada penderita tuberkulosis paru

16 ditemukan bahwa semua variabel memiliki hubungan yang sangat bermakna antara aspek-aspek dukungan sosial dengan kualitas hidup. Selain itu diperoleh bahwa hubungan dukungan informatif dengan kualitas hidup pada penderita tuberkulosis paru yang memiliki tingkat kemaknaaan atau keeratan yang sangat tinggi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sandra, Rahayu, Munjiati, (2009); Linda, Aat, Metty, (2012) menunjukkan bahwa dukungan dan sikap keluarga terutama orang tua mempengaruhi kondisi dan tingkat kekambuhan sebagai tanda tingkat kualitas hidup pada anak dengan riwayat gangguan skizofrenia untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya setelah dinyatakan sembuh oleh pihak rumah sakit. Faktor yang perlu diperhatikan dari penelitianpenelitian tersebut adalah dukungan sosial dari pihak terdekat sangat berpengaruh dan menentukan kondisi anak skizofrenia. Deni (2010); Prinda (2010); dan Urifah (2012) menjelaskan pengaruh dukungan sosial orang tua terhadap kondisi anak dengan riwayat skizofrenia, antara lain kekambuhan dan keberfungsian sosial anak. Dukungan sosial orang tua dihubungkan dengan strategi koping orang tua sendiri untuk menghadapi anak. Selanjutnya strategi koping orang tua mempengaruhi kualitas hidup anak sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh dukungan sosial orang tua dengan kualitas hidup anak sebagai tanda berkurangnya resiko kekambuhan dan meningkatkan kualitas hidup anak. Peneliti memberikan terapi pada orang tua yang berupa solution focused therapy untuk meningkatkan dukungan sosial. Pada penelitian sebelumnya, dukungan sosial hanya dicari hubungannya dengan variabel-variabel

17 lain yang mempengaruhi kondisi anak skizofrenia. Dalam penelitian ini, peneliti meningkatkan dukungan sosial orang terlebih dahulu menggunakan solution focused therapy, selanjutnya mengetahui hubungan dukungan sosial orang tua terhadap kualitas hidup anak skizofenia. Dari berbagai penelitian sebelumnya terkait dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti, sepengetahuan peneliti, penelitian yang berjudul Peningkatan Dukungan Sosial Orang Tua melalui Solution Focused Therapy dalam Rangka Memulihkan Kualitas Hidup Anak Dengan Riwayat Gangguan Skizofrenia belum pernah diteliti sebelumnya sehingga penelitian dengan judul tersebut dapat dikatakan asli. Penjelasan mengenai perbedaan penelitian yang dilakukan peneliti dengan penelitian sebelumnya dapat dijelaskan pada lampiran halaman 222.