BAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya pemerintahan orde baru telah mengubah dasar-dasar

dokumen-dokumen yang mirip
PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses. penyusunan rencana kerja pembangunan daerah.

I. PENDAHULUAN. berwenang menetapkan dokumen perencanaan. Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN 2004) yang kemudian

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup

Artikel Perencanaan Pembangunan Daerah Karya : Said Zainal Abidin BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan-perubahan yang terus. menerus ke arah yang dikehendaki. Menurut Rogers dikutif Zulkarimen

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi yang positif, tercapainya pelaksanaan infrastruktur,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS,

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SELATAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan otomomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem sentralisasi ke desentralisasi menjadi salah satu wujud pemberian tanggungjawab

BUPATI BOYOLALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF DAERAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) adalah forum. Desa/Kelurahan (Musrenbang Desa/Kelurahan).

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan elit. Dengan demikian maka pembangunan sebagai continuously

BAB I P E N D A H U L U A N

BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BAB 4 UPAYA MEREFLEKSIKAN PREFERENSI LOKAL DALAM PENYUSUNAN PRIORITAS PEMBANGUNAN KOTA BANDUNG

Strategi perencanaan pembangunan nasional by Firdawsyi nuzula

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 3

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR : 3 TAHUN : 2006

BAB I P E N D A H U L U A N

LEMBARAN DAERAH KOTA SUKABUMI

RKPD Tahun 2015 Pendahuluan I -1

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sistem pemerintahan yang

KABUPATEN CIANJUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIANJUR NOMOR 08 TAHUN 2011 TENTANG SISTEM PERENCANAANN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN CIANJUR

PETUNJUK TEKNIS PENYELENGGARAAN MUSRENBANG DESA/ KELURAHAN

BUPATI ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA PERATURAN BUPATI ASAHAN NOMOR 39 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. terjadi reformasi yang mengakibatkan pergantian sistem sentralisasi dengan sistem

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. melalui implementasi desentralisasi dan otonomi daerah sebagai salah satu realita

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BUPATI SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATERA UTARA

MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN ( MUSRENBANG )

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lahirnya Undang-undang No. 22 tahun 1999 yang direvisi dengan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi berasal dari kata autonomos atau autonomia (yunani) yang

RKPD KABUPATEN LAMANDAU TAHUN 2015

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN INDRAGIRI HULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAGIRI HULU NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI BANDUNG PERATURAN BUPATI BANDUNG NOMOR 60 TAHUN 2012 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN PAMEKASAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN NOMOR TAHUN.

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG Nomor : 1 Tahun 2009 PEMERINTAH KABUPATEN MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, sekolah,

BAB I PENDAHULUAN. Partisipasi publik (Public Participation) dalam pemerintahan menjadi

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MURUNG RAYA NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN DESA DAN KELURAHAN

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH KABUPATEN BANGKALAN TAHUN BAB I PENDAHULUAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR. No. 1, 2013 Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0085

PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG TATA LAKSANA PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. pemberlakuan otonomi daerah telah berlangsung. dasawarsa sejak pemberlakuan otonomi daerah di tahun 1999.

BAB I PENDAHULUAN. Posisi komunikasi dan pembangunan ibarat dua sisi mata uang yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BUPATI MALANG PROVINSI JAWA TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MELAWI NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 01 TAHUN 2006

11 LEMBARAN DAERAH Januari KABUPATEN LAMONGAN 1/E 2006 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR : 01 TAHUN 2006 TENTANG

RPJMD KABUPATEN LAMANDAU TAHUN

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Desa memasuki babak baru ketika pelaksanaan UU No. 6 tahun 2014 akan segera

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Konsep Aspirasi, Kebutuhan dan Keinginan Masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan tahunan yang disusun untuk menjamin keterkaitan dan

PENDAHULUAN BAB I 1.1. LATAR BELAKANG

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2014

BAB II EVALUASI PELAKSANAAN RENJA SKPK TAHUN LALU 2.1. EVALUASI PELAKSANAAN RENJA SKPK TAHUN LALU DAN CAPAIAN RENSTRA SKPK

BAB I P E N D A H U L U A N

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BUPATI ROKAN HULU PROVINSI RIAU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN DOKUMEN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

PEMERINTAH KABUPATEN PEKALONGAN

1.1. Latar Belakang. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Mandailing Natal Tahun I - 1

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN (STUDI KASUS PADA KECAMATAN SIDIKALANG KABUPATEN DAIRI)

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu persoalan mendasar kehidupan bernegara dalam proses

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2013

KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PEMBANGUNAN DAERAH DI KABUPATEN PATI TUGAS AKHIR

RENCANA STRATEGIS BAPPEDA KOTA BEKASI TAHUN (PERUBAHAN II)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perkembangan pemerintahan di Indonesia semakin pesat dengan adanya era

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) KOTA TANGERANG SELATAN

BAB I P E N D A H U L U A N

PEMERINTAH KABUPATEN SINJAI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 8 TAHUN 2005 TENTANG MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN BERBASIS MASYARAKAT

BAB I PENDAHULUAN. Tahapan dan tatacara penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOLITOLI NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG

WALIKOTA CIREBON PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA CIREBON NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KOTA CIREBON

BEDAH APBD DISAMPAIKAN PADA : JAKARTA, 21 MEI Perencanaan pembangunan daerah : partisipatif, teknokratis, politis, bottom-up, dan top-down

BAB I PENDAHULUAN. Ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) 105 Tahun 2000 tentang pengelolaan

BAB 1 PENDAHULUAN. sumbangan besar dalam menciptakan stabilitas nasional. Pembangunan desa adalah

BAB VI PENUTUP. dapat mendorong proses penganggaran khususnya APBD Kota Padang tahun

LAMPIRAN XXI KEPUTUSAN BUPATI BOGOR NOMOR : TANGGAL : RENCANA KERJA DINAS KESEHATAN KABUPATEN BOGOR TAHUN 2014 BAB I PENDAHULUAN

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berakhirnya pemerintahan orde baru telah mengubah dasar-dasar penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Salah satunya adalah terjadinya perubahan sistem pemerintahan sentralisitik menjadi desentralistik, yang ditandai dengan keluarnya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang direvisi oleh UU Nomor 32 Tahun 2004. Perubahan tersebut juga berimplikasi pada sistem perencanaan pembangunan yang sebelumnya, seperti diakui Bappenas (2005), lebih banyak diwarnai oleh permasalahan inkonsistensi kebijakan, rendahnya partisipasi masyarakat, ketidakselarasan antara perencanaan program dan pembiayaan, rendahnya transparansi dan akuntabilitas, serta kurang efektifnya penilaian kinerja. Seiring dengan pemberian kewenangan yang lebih luas kepada daerah, UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional diterbitkan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Berbeda dengan sistem perencanaan sebelumnya yang lebih menganut pendekatan top-down, sistem perencanaan yang diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 2004 dan aturan pelaksanaannya menerapkan kombinasi pendekatan antara top-down dan bottom-up, yang lebih menekankan cara-cara aspiratif dan partisipatif. Dalam tataran global, kesadaran akan kelemahan pendekatan top-down dalam kegiatan pembangunan dan upaya pengentasan kemiskinan telah mendorong munculnya 1

perhatian pada peranan partisipasi masyarakat dan pentingya memahami dinamika masyarakat dan pemerintah daerah serta interaksinya dengan pemerintahan yang lebih tinggi (Das Gupta et al,2003). Ruang partisipasi yang lebih terbuka mendorong masyarakat untuk bergerak bersama dalam menyampaikan aspirasinya. Dalam studinya di Bangladesh, Mahmud (2001) menunjukkan peran aksi kolektif dalam membuat suara masyarakat lebih terdengar dan membuka peluang untuk memberikan pengaruh terhadap keputusan-keputusan institusi soal pelayanan publik. Aksi kolektif mendorong masyarakat lebih siap untuk terlibat dalam proses partisipasi. Pada era reformasi sekarang ini perubahan tentang prinsip-prinsip penentuan suatu rencana pembangunan mulai dilakukan. Penerapan model bottom up yang benar mulai dirintis. Aspirasi masyarakat maupun daerah mulai jadi pertimbangan utama dalam penentuan pembangunan di daerah yang bersangkutan. Terutama dengan pemberlakuan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan momen awal pelaksanaan otonomi daerah, yakni kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. (UU Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 1 ayat 6). Implementasi dari UU Nomor 32 Tahun 2004 tersebut merupakan pelaksanaan desentralisasi pembangunan yang bertujuan untuk menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan yang bertumpu pada keterlibatan, kemampuan, dan peran serta masyarakat di daerah. 2

Untuk mencapai keberhasilan pembangunan maka banyak aspek atau hal-hal yang harus diperhatikan, yang diantaranya adalah keterlibatan masyarakat di dalam pembangunan. Asumsi para pakar yang berpendapat semakin tinggi kepedulian atau partisipasi masyarakat pada proses-proses perencanaan akan memberikan output yang lebih optimal. Semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan, maka semakin tinggi pula tingkat keberhasilan yang akan dicapai. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa partisipasi masyarakat merupakan indikator utama dalam menentukan keberhasilan pembangunan. Pendapat atau teori tersebut secara rasional dapat diterima, karena secara ideal tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, oleh karena itu sangatlah pantas masyarakat terlibat di dalamnya. (Easterly, 2007) Agar tercapainya keberhasilan pembangunan tersebut maka segala program perencanaan, pelaksanaan serta evaluasi pembangunan harus melibatkan masyarakat, karena merekalah yang mengetahui permasalahan dan kebutuhan dalam rangka membangun wilayahnya serta mereka juga yang nantinya akan memanfaatkan dan menilai tentang berhasil tidaknya pembangunan di wilayah mereka. Tjokroamidjojo (1995) menyimpulkan bahwa pembangunan nasional merupakan : (1) proses pembangunan berbagai bidang kehidupan, baik sosial, ekonomi, politik dan lainnya; (2) proses perubahan sosial yang merupakan proses perubahan masyarakat dalam berbagai kehidupannya ke arah yang lebih baik, lebih maju, dan lebih adil; (3) proses pembangunan dari, oleh dan untuk masyarakat atau adanya partisipasi aktif masyarakat. 3

Uraian mengenai pentingnya partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan sejalan dengan pendapat Conyers (1991) yang lebih lanjut mengemukakan 3 (tiga) alasan utama mengapa partisipasi masyarakat dalam perencanaan mempunyai sifat yang sangat penting : 1. Partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat. 2. Masyarakat akan lebih mempercayai program kegiatan pembangunan apabila mereka dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk beluk program kegiatan tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap program kegiatan tersebut. 3. Mendorong partisipasi umum karena akan timbul anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan. Pendekatan top-down dan partisipatif dalam UU Nomor 25 Tahun 2004 terwujud dalam bentuk rangkaian musrenbang yang dilakukan secara berjenjang dari mulai tingkat desa (musrenbangdes), kecamatan (musrenbang kecamatan) dan kabupaten (musrenbang kabupaten). Rangkaian forum ini menjadi bagian dalam menyusun sistem perencanaan dan anggaran untuk pelaksanaan kegiatan pembangunan setiap tahun. Melalui musrenbang, masyarakat berpeluang menyampaikan aspirasi mereka dan berpartisipasi dalam menghasilkan dokumen perencanaan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian musrenbang sebagai bentuk proses perencanaan pembangunan merupakan wahana publik (public event) yang penting untuk 4

membawa para pemangku kepentingan (stakeholders) memahami isu-isu dan permasalahan daerah mencapai kesepakatan atas prioritas pembangunan, dan konsensus untuk pemecahan berbagai masalah pembangunan daerah. Musrenbang juga merupakan wahana untuk mensinkronisasikan pendekatan top down dengan bottom up pendekatan penilaian kebutuhan masyarakat (community need assessment) dengan penilaian yang bersifat teknis (technical assessment), resolusi konflik atas berbagai kepentingan pemerintah daerah dan non government stakeholder untuk pembangunan daerah, antara kebutuhan program pembangunan dengan kemampuan dan kendala pendanaan, dan wahana untuk mensinergikan berbagai sumber pendanaan pembangunan. Pada penjelasan UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) menjelaskan pada tahap perencanaan pembangunan yang diawali proses penyusunan rencana yang berbunyi: Melibatkan masyarakat (stakeholders) dan menyelaraskan rencana pembangunan yang dihasilkan masingmasing jenjang pemerintahan melalui musyawarah perencanaan pembangunan. Diawali dengan penyelenggaraan musrenbang tingkat desa, musrenbang tingkat kecamatan hingga musrenbang tingkat kabupaten. Terkait dengan hal tersebut, berdasarkan penelitian terdahulu ada fenomena menarik dalam proses perencanaan pembangunan khususnya yang dilaksanakan di Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi, antara lain adalah kurangnya pemahaman masyarakat terhadap arti penting pelaksanaan proses perencanaan pembangunan yang belum diketahui dan dimengerti oleh sebagian besar peserta terutama mengenai 5

bagaimana proses musrenbang, kegiatan seperti apa yang harus diusulkan, untuk kepentingan apa dan sebagainya. Mekanisme perencanaan pembangunan yang seharusnya diawali mulai dari musrenbang desa/kelurahan belum sepenuhnya dilaksanakan oleh masing-masing desa atau kelurahan sehingga belum melibatkan masyarakat untuk pengusulan kegiatan, padahal untuk menciptakan perencanaan pembangunan yang tepat waktu, tepat sasaran, berdaya guna dituntut adanya partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan. Pada pelaksanaan musrenbang kecamatan ada kecenderungan bahwa usulan yang diajukan merupakan rumusan elite desa/kelurahan, sehingga partisipasi masyarakat yang sesungguhnya masih jauh dari harapan. Hal ini juga dapat dilihat ketika proses musrenbang kecamatan tidak ada acara penentuan prioritas kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama dalam forum musrenbang, karena daftar usulan kegiatan prioritas sebagai hasil musrenbang kecamatan yang akan diusulkan ke kabupaten sudah langsung dicetak oleh pihak kecamatan. Selain itu dalam proses perencanaan pembangunan belum diawali dengan kegiatan pendahuluan atau penyelidikan untuk mendapatkan data yang valid mengenai potensi, masalah, dan kebutuhan masyarakat. Riyadi & Bratakusumah (2004) mengemukakan bahwa perencanaan pembangunan tidak mungkin hanya dilakukan di atas kertas tanpa melihat realitas di lapangan. Data valid di lapangan sebagai data primer merupakan ornamen-ornamen penting yang harus ada dan digunakan menjadi bahan dalam kegiatan perencanaan pembangunan. 6

Hal menarik lainnya adalah adanya kecenderungan tingkat kehadiran pemangku kepentingan dalam perencanaan pembangunan seperti tokoh masyarakat, tokoh adat, dan tokoh pemuda relatif rendah, dan tingkat keaktifan peserta relatif rendah serta tim delegasi desa belum mempunyai kemampuan untuk negosiasi pada musrenbang kecamatan. Sehubungan dengan hal tersebut, sebagai bahan masukan kepada seluruh pemangku kepentingan dalam perencanaan pembangunan di daerah, maka pada kesempatan ini akan dilakukan penelitian terhadap pelaksanaan proses perencanaan pembangunan di wilayah Kecamatan Sidikalang yang notabene merupakan ibukota kabupaten. Adapun alasan pemilihan lokasi selain karena keterbatasan waktu dan tenaga juga karena kecamatan ini memiliki heterogenitas baik dari latar belakang profesi, suku, agama maupun tingkat pendidikan dibandingkan dengan kecamatan yang lain. Mengacu pada masalah tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan mengajukan judul tesis sebagai berikut : Partisipasi Masyarakat Dalam Perencanaan Pembangunan (Studi Kasus Pada Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi). 7

1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah disampaikan pada latar belakang diatas, maka rumusan permasalahan penelitian ini adalah : Bagaimanakah partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan di Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi? 1.3. Tujuan Penelitian 1. Mendeskripsikan dan menganalisa partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan di Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi. 2. Mengetahui permasalahan dan faktor-faktor yang menjadi hambatan partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan. 1.4. Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan rekomendasi bagi Pemerintah Kabupaten Dairi dalam era otonomi daerah, demi terlaksananya proses perencanaan pembangunan yang berbasis aspirasi masyarakat. 2. Sebagai bahan untuk menambah khasanah pengetahuan, khususnya Ilmu Administrasi Publik dalam perencanaan pembangunan daerah dan bahan perbandingan bagi penelitian sejenis bagi pihak-pihak yang berkepentingan. 8