BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. tingkat ekonomi tinggi, menengah dan rendah. hukum. Kehadiran berbagai lembaga pembiayaan membawa andil yang besar

BAB I PENDAHULUAN. Munculnya berbagai lembaga pembiayaan dewasa ini turut memacu roda. perekonomian masyarakat. Namun sayangnya pertumbuhan institusi

I. PENDAHULUAN. lembaga pembiayaan melakukan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. A. Pembiayaan Konsumen dan Dasar Hukumnya

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem aturan. Hukum bukanlah, seperti terkadang dikatakan, sebuah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Munculnya berbagai lembaga pembiayaan dewasa ini turut memacu

BAB I PENDAHULUAN. Lembaga Pembiayaan (financing institution) merupakan badan usaha yang

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan dan penggerak ekonomi yang fungsinya tidak dapat dipisahkan dari

BAB I PENDAHULUAN. pembiayaan ini, maka banyak lembaga pembiayaan (finance) dan bank (bank

BAB I PENDAHULUAN. tergiur untuk memilikinya meskipun secara financial dana untuk

BAB I PENDAHULUAN. jika dibandingkan dengan lembaga keuangan konvensial, yaitu bank. Berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan di bidang teknologi telah memacu perusahaan untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kebutuhan untuk mencapai kesejahteraan hidup. Kebutuhan itu

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan perusahaan yang. menghasilkan berbagai macam produk kebutuhan hidup sehari-hari,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang. Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tentang Lembaga Pembiayaan Pada tanggal 20 Desember 1988 (PakDes 20, 1988) memperkenalkan

BAB II TELAAH PUSTAKA. jawab atas kewajiban pembayaran pajak berada pada masyarakat sendiri untuk

I. PENDAHULUAN. pergeseran persepsi mengenai mobil sebagai suatu icon yang menandakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. sehingga meningkatkan pula pendapatan perkapita masyarakat, walaupun. pemerintah untuk bersungguh sungguh mengatasinya agar tidak

BAB I PENDAHULUAN. dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara

DENY TATAK SETIAJI C

Oleh Iwan Sidharta, MM.

BAB I PENDAHULUAN. ini terbukti dengan kinerja pembiayaan di tahun yang lalu.

BAB I PENDAHULUAN. melakukan transaksi dalam kehidupan sehari-hari. Pada awalnya manusia

BAB I PENDAHULUAN. tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian tersebut diperlukan dana yang besar. Dana untuk menunjang

BAB I PENDAHULUAN. atau mesin. Transportasi digunakan untuk memudahkan manusia dalam

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1169/KMK.01/1991 TENTANG KEGIATAN SEWA GUNA USAHA (LEASING) MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Aspek Perpajakan atas Aktiva Tetap

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBIAYAAN. menerus atau teratur (regelmatig) terang-terangan (openlijk), dan dengan tujuan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG LEMBAGA PEMBIAYAAN, PERUSAHAAN PEMBIAYAAN DAN WANPRESTASI. 2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Lembaga Pembiayaan

KEPUTUSAN PEMBIAYAAN AKTIVA TETAP MELALUI LEASING DAN BANK KAITANNYA DENGAN PENGHEMATAN PAJAK

BAB I PENDAHULUAN. Definisi pembiayaan (finance) berdasarkan Surat Keputusan Menteri

BAB I PENDAHULUAN. produk dan ragam yang dihasilkan dan yang menjadi sasaran dari produk-produk

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi sangat memerlukan tersedianya dana. Oleh karena itu, keberadaan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kebutuhan masyarakat akan pembiayaan sekarang ini semakin tinggi,

BAB 4 PEMBAHASAN. Konsep pengenaan pajak atas penghasilan berdasarkan Undang-undang Pajak

BAB I PENDAHULUAN. keuangan dan menarik dana dari masyarakat secara tidak langsung (non

BAB I PENDAHULUAN. adanya modal dalam mengembangkan unit usaha yang sedang dijalankan,

MAKALAH PEMBIAYAAN KONSUMEN

BAB V PENUTUP. menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Bahwa usaha jasa persewaan kendaraan roda 4 (empat) atau lebih

BAB I PENDAHULUAN. harga-harga produksi guna menjalankan sebuah perusahaan bertambah tinggi

BAB I PENDAHULUAN. negara Indonesia yang menganut Negara welfare state yaitu negara yang

BAB I PENDAHULUAN. sangat besar. Sektor sektor ekonomi yang menopang perekonomian di Indonesia

PERSANDINGAN UNDANG-UNDANG PPN DAN PPnBM UU NO 8 TAHUN 1983 stdtd UU NO 18 TAHUN 2000 & UU NO 42 TAHUN 2009

BAB I PENDAHULUAN. alternatif pembiayaan mana yang paling menguntungkan agar dapat

TINJAUAN TENTANG ASPEK JAMINAN DALAM PEMBIAYAAN KREDIT KENDARAAN BERMOTOR MELALUI PT. ADIRA FINANCE DENGAN DAELER TIMBUL JAYA MOTOR

MENTERI KEUANGAN S A L I N A N KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1169/KMK.01/1991 T E N T A N G KEGIATAN SEWA-GUNA-USAHA(LEASING)

BAB I PENDAHULUAN. dibutuhkan terutama untuk meningkatkan profitabilitas perusahaan.

BAB I PENDAHULUAN. dari pelepasan kredit dan pendapatan berbasis biaya (fee based income). Lambatnya

Hidup Lebih Sejahtera Berkat Pembiayaan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RERANGKA PEMIKIRAN. a. Pengertian Lembaga Pembiayaan. Tahun 2009 Tentang Lembaga Pembiayaan, Lembaga Pembiayaan adalah

BAB I PENDAHULUAN. jenis dan variasi dari masing-masing jenis barang dan atau jasa yang akan

BAB I PENDAHULUAN. (pemiliknya). Peningkatan kesejahteraan ini dapat berupa capital gain atau

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, kegiatan ini memegang peranan penting bagi kehidupan bank. umum di Indonesia khususnya dan di negara lain pada umumnya.

BAB I PENDAHULUAN. yang kemudian menyebar ke bagian Asean lainnya termasuk Indonesia.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II DESKRIPSI PERUSAHAAN SUB SEKTOR LEMBAGA PEMBIAYAAN DI INDONESIA Sejarah Perusahaan Sub Sektor Lembaga Pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. pada khususnya, maka kebutuhan akan pendanaan menjadi hal yang utama bagi

BAB I PENDAHULUAN. Pada era globalisasi saat ini perusahaan dihadapkan pada tuntutan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. macam kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk dapat memenuhi

Financial Check List. Definisi Pembiayaan. Mengapa Masyarakat. Memerlukan Jasa. Pembiayaan? Kapan Masyarakat. Memerlukan Jasa. Pembiayaan?

AKUNTANSI PERPAJAKAN. Akuntansi Pajak atas Piutang. Dr. Suhirman Madjid, SE.,MS.i.,Ak., CA. HP/WA :

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan Nasional, peran

BAB I PENDAHULUAN. baik perdagangan besar maupun perdagangan eceran. Sektor perdagangan

BAB I PENDAHULUAN. pembiayaan/leasing) selaku penyedia dana. Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan disebutkan bahwa :

BAB I PENDAHULUAN. kompleks. Berdasarkan kebutuhan, setiap masyarakat memiliki kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Upaya membangun suatu unit usaha bank mikro yang melayani. masyarakat golongan kecil memerlukan suatu cara metode berbeda dengan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MEMUTUSKAN :

I. PENDAHULUAN. Dalam rangka untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh suatu perusahaan, maka

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. dikeluarkan oleh perusahaan untuk mendukung kegiatan operasional agar

PENERAPAN ALASAN PEMAAF DAN PEMBENAR TIDAK DAPAT DILAKSANAKANNYA SUATU PRESTASI OLEH DEBITOR DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN

BAB I PENDAHULUAN. lain sehingga muncul hubungan utang piutang. Suatu utang piutang merupakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam Pasal 1618 menyebutkan bahwa,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam Pasal 1618 menyebutkan bahwa, perseroan

I. PENDAHULUAN. yang melibatkan para investor dan kontraktor asing. Kalau jumlah proyek-proyek skala besar yang berorientasi jangka panjang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 301/KMK.01/2002 TENTANG PENGURUSAN PIUTANG NEGARA KREDIT PERUMAHAN BANK TABUNGAN NEGARA

BAB I PENDAHULUAN. wujud pelayanan pemerintah kepada masyarakat. berasal dari iuran rakyat yang berdasarkan Undang Undang (dapat

Universitas Tarumanagara 19 September 2014

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya pertumbuhan ekonomi mengakibatkan tingkat kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan oleh bank ini membantu

BAB I PENDAHULUAN. yang mencolok agar anak-anak tertarik untuk mengisinya dengan tabungan

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan secara terus menerus dan berkesinambungan, yaitu pembangunan di

BAB 1 PENDAHULUAN. syariah. 2 Perbankan syariah sebenarnya dapat menggunakan momentum ini untuk

I. PENDAHULUAN. Bisnis alat berat / alat konstruksi semakin bergairah seiring dengan

BAB I PENDAHULUAN. roda perekonomian dirasakan semakin meningkat. Di satu sisi ada masyarakat

BAB III OBJEK DAN DESAIN PENELITIAN. dibidang pembiayaan konsumen (consumer finance), anjak piutang (factoring)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINJAUAN TERHADAP RUU TENTANG HIPOTEK KAPAL *) Oleh: Dr. Ramlan Ginting, S.H., LL.M **)

LANDASAN TEORI. konsumen untuk mendapatkan kebutuhan dan keinginan dari masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkatnya kebutuhan hidup masyarakat. Salah satu kebutuhan

BAB 1 PENDAHULUAN. didalam membangun atau mengembangkan suatu usaha dibutuhkan modal awal. menyediakan sejumlah dana untuk keperluan modal.

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kemajuan di bidang teknologi telah memacu perusahaan untuk menghasilkan produk yang semakin canggih dan beragam. Kelebihan-kelebihan atas suatu produk terbaru mendorong masyarakat (konsumen) tergiur untuk memilikinya meskipun barangkali secara finansial dana untuk membelinya tidak mencukupi. Bagi masyarakat kelas menengah ke bawah yang berpenghasilan rendah hal ini tentu merupakan suatu masalah tersendiri. Kondisi inilah yang antara lain menyebabkan tumbuh dan berkembangnya perusahaan pembiayaan sebagai salah satu sumber pembiayaan alternatif untuk memenuhi kebutuhan konsumen atas barang konsumtif yang dibutuhkannya. Melalui pembiayaan konsumen, masyarakat yang tadinya kesulitan untuk membeli barang secara tunai, akan dapat teratasi dengan mudah dan cepat. Perkembangan kegiatan perusahaan pembiayaan ini sampai dengan saat ini semakin meningkat, dimana hal ini dapat dilihat pada data kinerja perusahaan pembiayaan yang dipublikasikan Bank Indonseia (BI) melalui website BI, sebagai berikut: Tabel 1.1 Perkembangan Pembiayaan di Indonesia dalam milyar rupiah Jenis Pembiayaan Tahun 2002 Tahun 2003 Tahun 2004 Tahun 2005 Tahun 2006 Tahun 2007 Tahun 2008 SGU 12.576 11.594 14.484 19.085 32.644 36.482 50.68 Anjak Piutang 3.181 3.18 2.537 1.411 1.28 2.2 2.221 Pembiayaan Konsumen 16.594 22.666 35.958 45.387 57.296 67.562 83.191 Kartu Kredit 1.147 809 1.526 1.763 1.477 1.442 1.145 Jumlah 33.498 38.249 54.505 67.647 92.697 107.686 137.237 Sumber: Publikasi Bank Indonesia Meskipun pada saat ini, dimana terjadi krisis ekonomi global dengan prediksi jumlah nilai pembiayaan di tahun 2009 diperkirakan sebesar Rp120 triliun (Infobank News, 3 Desember 2008), namun angka tersebut masih signifikan,

artinya prospek usaha pembiayaan masih menjanjikan. Adapun jumlah perusahaan pembiayaan di Indonesia sebanyak 158 perusahaan yang terdaftar pada Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (Infobank, Januari 2009). Pembiayaan konsumen merupakan salah satu dari produk yang dihasilkan oleh perusahaan pembiayaan, selain produk lainnya yaitu Sewa Guna Usaha, Anjak Piutang, dan Kartu Kredit. Dibanding jenis produk yang lain, pembiayaan konsumen mempunyai kontribusi terbesar, seperti terlihat pada tabel berikut ini: Tabel 1.2 Kontribusi Pembiayaan Konsumen terhadap Total Pembiayaan Jenis Pembiayaan Tahun 2002 Tahun 2003 Tahun 2004 Tahun 2005 Tahun 2006 Tahun 2007 Tahun 2008 Pembiayaan Konsumen (dalam milyar rupiah) 16.594 22.666 35.958 45.387 57.296 67.562 83.191 Total Pembiayaan (dalam milyar rupiah) 33.498 38.249 54.505 67.647 92.697 107.686 137.237 Kontribusi Pembiayaan Konsumen terhadap Total Pembiayaan (dalam persen) 49,54 59,26 65,97 67,09 61,81 62,74 60,62 Sumber: Publikasi Bank Indonesia 2 Dapat dilihat pada tabel di atas bahwa jumlah pembiayaan dari tahun ke tahun mulai tahun 2002 mengalami peningkatan atau pertumbuhan yang positif, dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 25%. Dalam kegiatan atau transaksi pembiayaan konsumen yang lazim terjadi di Indonesia adalah pembiayaan konsumen dengan mekanisme kredit yang mensyaratkan suatu jaminan, dalam hal ini yang menjadi jaminan adalah barang yang dikonsumsi tersebut, sehingga masyarakat atau konsumen yang mengalami kesulitan keuangan dapat memperoleh barang yang diinginkan dari para pemasok. Jaminan yang ada dalam pembiayaan konsumen pada prinsipnya sama dengan jaminan dalam kredit bank, khususnya kredit konsumen, yaitu jaminan utama, jaminan pokok, dan jaminan tambahan (Fuady,1995). Sebagai pembiayaan dalam bentuk kredit, jaminan utamanya adalah kepercayaan dari perusahaan pembiayaan konsumen kepada konsumen bahwa pihak konsumen dapat dipercaya dan sanggup membayar secara berkala atau angsuran, sampai lunas atas pembiayaan yang telah diterimanya. Di samping jaminan utama, untuk lebih mengamankan dana yang telah diberikan kepada konsumen, perusahaan pembiayaan konsumen biasanya meminta jaminan pokok, yaitu berupa barang yang dibeli dengan dana dari perusahaan pembiayaan

konsumen. Jika dana dari perusahaan pembiayaan konsumen oleh konsumen digunakan untuk membeli kendaraan, maka kendaraan yang bersangkutan menjadi jaminan pokoknya. Biasanya jaminan tersebut dibuat dalam bentuk fiduciary transfer of ownership (fiducia). Sebagai akibat adanya fidusia ini, maka biasanya seluruh dokumen yang berkaitan dengan kepemilikan barang yang bersangkutan akan dipegang oleh pihak perusahaan pembiayaan sampai angsuran dilunasi oleh konsumen, kemudian biasanya perusahaan pembiayaan meminta jaminan tambahan berupa pengakuan utang (promissory notes), kuasa menjual barang, dan assignment of proceed (cessie) dari asuransi. Pembiayaan konsumen ini pada hakikatnya sama saja dengan kredit konsumen (consumer credit). Bedanya hanya terletak pada lembaga yang membiayainya. Pembiayaan konsumen diberikan oleh perusahaan pembiayaan, sedangkan kredit konsumen diberikan oleh Bank. Pembiayaan konsumen yang banyak terjadi yaitu pembiayaan kepemilikan kendaraan dan yang menjadi jaminan adalah kendaraan itu sendiri. Salah satu perusahaan pembiayaan terkemuka yaitu PT Federal International Finance, Tbk. (FIF) yang merupakan anak perusahaan dari PT Astra International, Tbk. Selaku produsen kendaraan roda dua merk Honda, mempunyai andil yang sangat besar atas pemasaran produk Honda ini, seperti terlihat pada data tahun 2006 dan 2007 di bawah ini: Tabel 1.3 Porsi Pembiayaan FIF atas Penjualan Motor merk Honda Uraian Tahun 2006 Tahun 2007 Penjualan Motor merk Honda (dalam unit) 2.340.168 2.141.015 Pembiayaan FIF (dalam unit) 1.206.369 1.026.726 Prosentase pembiayaan FIF (dalam persen) 51,55 47,96 Sumber: Website Astra International (http://www.astra.co.id) 3 Berdasarkan tabel 3 di atas, terlihat andil perusahaan pembiayaan terhadap industri lainnya. Adapun jenis perikatan antara perusahaan pembiayaan dan konsumen adalah berupa Perikatan Fidusia, dengan konsekuensi pada saat terjadi kondisi konsumen gagal bayar seperti skema di bawah ini.

4 Gambar 1.1 KONDISI: DEBITUR DEFAULT Penjualan Kendaraan Tarikan Perusahaan Pembiayaan (Kreditur) Pihak Pembeli Pembayaran Kelebihan hasil penjualan kendaraan tarikan setelah dikurangi saldo hutang Pengembalian/penyerahan kendaraan yang dijaminkan (Saat Debitur Default) Konsumen (Debitur) Sumber: Skema yang dibuat hasil wawancara dengan pemeriksa pajak di KPP Wajib Pajak Besar Satu Skema fidusia tersebut menjelaskan bahwa ketika terjadi default atau gagal bayar, maka jaminan akan ditarik melalui penyerahan kendaraan dari konsumen (debitur) kepada perusahaan pembiayaan yang diberi kuasa untuk menjual kepada pihak pembeli, dimana hasil penjualan kendaraan tersebut dipakai untuk melunasi sisa hutang debitur tersebut. Apabila terdapat kelebihan dari penjualan tersebut maka akan dikembalikan kepada debitur, sebaliknya jika hasil penjualan tidak cukup untuk melunasi sisa hutang maka debitur tetap bertanggungjawab untuk melunasi. Secara substansial, pengertian pembiayaan konsumen pada dasarnya tidak berbeda dengan kredit konsumen. Kredit konsumen adalah kredit yang diberikan kepada konsumen guna pembelian barang konsumsi dan jasa seperti yang dibedakan dari pinjaman yang digunakan untuk tujuan produktif atau dagang (Fuady,1995). Kredit yang diberikan itu dapat mengandung risiko yang lebih besar dari kredit dagang biasa, maka dari itu, biasanya kredit ini diberikan dengan tingkat bunga yang lebih tinggi. Menurut ketentuan Pasal 1 angka (6) Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 juncto Pasal 1 huruf (p) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 yang dimaksud dengan pembiayaan konsumen adalah

5 pembiayaan dalam bentuk dana untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan sistem pembayaran angsuran atau berkala oleh konsumen. Berdasarkan definisi yang diatur dalam ketentuan di atas, Abdulkadir dan Rilda (2000) telah memerinci unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian pembiayaan konsumen sebagai berikut, pertama, subyek adalah pihak-pihak yang terkait dalam hubungan hukum pembiayaan konsumen, yaitu perusahaan pembiayaan konsumen (kreditur), konsumen (debitur), dan penyedia barang (pemasok atau supplier). Kedua, obyek adalah barang bergerak keperluan konsumen yang akan dipakai untuk keperluan hidup atau keperluan rumah tangga, misalnya televisi, kulkas, mesin cuci, alat-alat dapur, perabot rumah tangga, kendaraan. Ketiga, perjanjian yaitu perbuatan persetujuan pembiayaan yang diadakan antara perusahaan pembiayaan konsumen dan konsumen, serta jual beli antara pemasok dan konsumen. Perjanjian ini didukung oleh dokumen-dokumen. Keempat, hubungan hak dan kewajiban, yaitu perusahaan pembiayaan konsumen wajib membiayai harga pembelian barang yang diperlukan konsumen dan membayarnya secara tunai kepada pemasok. Konsumen wajib membayar secara angsuran kepada perusahaan pembiayaan konsumen, dan pemasok wajib menyerahkan barang kepada konsumen. Kelima, jaminan, yaitu terdiri atas jaminan utama, jaminan pokok, dan jaminan tambahan. Pembiayaan konsumen merupakan salah satu lembaga pembiayaan yang secara formal di Indonesia masih relatif baru. Lembaga ini tumbuh dan berkembang seiring dengan dikeluarkannya pranata hukum berupa Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan. Meskipun demikian, dewasa ini keberadaan pembiayaan konsumen menunjukkan perkembangan yang sangat baik. Pesatnya pertumbuhan bisnis pembiayaan konsumen ini sekaligus menunjukkan tingginya minat masyarakat untuk membeli barang-barang dengan cara mencicil seiring dengan meningkatnya taraf hidup masyarakat lapisan menengah ke bawah. Di samping kondisi di atas, perkembangan pembiayaan konsumen juga disebabkan oleh adanya kendala-kendala bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk dapat mengakses dana dari sumber pembiayaan lain, sehingga mereka lebih

6 menyukai dan memanfaatkan jasa pembiayaan konsumen. Menurut Abdulkadir dan Rilda ada beberapa alasan yang mendorong perkembangan pembiayaan konsumen, yang pertama, disebutkan bahwa di dalam masyarakat sebenarnya sudah ada lembaga pembiayaan yang bernama perum pegadaian, namun dalam lembaga pegadaian ini sistem pembiayaan yang diterapkan kurang fleksibel, dimana ada keharusan menyerahkan barang jaminan, kemudian tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan tidak menjangkau masyarakat luas selaku konsumen. Kondisi tersebut berbeda dengan pembiayaan konsumen, dimana sistem pembayarannya fleksibel, tidak memerlukan penyerahan barang jaminan, menyesuaikan dengan tingkat kebutuhan konsumen, serta jumlah pembayaran setiap angsuran relatif kecil, sehingga terasa sangat meringankan konsumen. Hal inilah yang mendorong akan arti pentingnya keberadaan lembaga pembiayaan konsumen bagi masyarakat. Alasan kedua, diutarakan bahwa koperasi simpan pinjam sebenarnya merupakan salah satu bentuk pembiayaan konsumen yang tepat bagi masyarakat lapisan bawah berpenghasilan rendah. Akan tetapi dalam kenyataannya koperasi simpan pinjam belum mampu berfungsi sebagai pembiayaan konsumen. Hal ini dikarenakan beberapa hal, antara lain, manajemen koperasi ditangani oleh orangorang yang tidak berorientasi kepada kepentingan bersama untuk kesejahteraan bersama, dan pembinaan serta pengawasan koperasi tidak kepada pemanfaatan modal usaha dan budaya usaha. Alasan ketiga, sulit untuk mengakses bank untuk memperoleh kredit yang bersifat konsumtif dan dalam jumlah yang kecil. Kemudian alasan yang keempat adalah sumber pembiayaan yang lain yang berasal dari pembiayaan lintah darat yang mencekik. Berdasarkan uraian di atas dapat digambarkan bahwa perusahaan pembiayaan merupakan salah satu bentuk usaha yang mempunyai prospek yang baik. Akan tetapi di masa krisis keuangan seperti yang terjadi pada akhir-akhir ini tentu berakibat juga pada kegiatan pembiayaan konsumen yang dilakukan oleh perusahaan pembiayaan, yang akan mengalami kesulitan dalam pelunasan piutang perusahaan atau proses penagihan. Hal ini dikarenakan sebagian besar debitur

7 mengalami kesulitan likuiditas sehingga terjadi gagal bayar. Kondisi demikian mengakibatkan bahwa atas barang yang dijaminkan tersebut di atas akan ditarik oleh perusahaan pembiayaan untuk kemudian dijual yang hasil penjualan barang jaminan tersebut digunakan sebagai salah satu cara pelunasan utang debitur. Berkenaan dengan hal tersebut di atas, dan mengacu juga pada ketentuan yang mengatur tentang pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang berlaku atas penyerahan barang-barang tersebut, terdapat suatu sengketa atau perbedaan interpretasi dalam pelaksanaannya, antara dunia usaha dan petugas pajak. Sengketa ini terjadi pada saat pemeriksaan pajak yang dilakukan terhadap 3 (tiga) perusahaan pembiayaan oleh Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Satu. Dari hasil pemeriksaan tersebut disimpulkan suatu koreksi atau temuan bahwa atas penjualan atau penyerahan barang atau kendaraan jaminan yang ditarik kembali oleh perusahaan pembiayaan tidak dikenakan PPN. Atas koreksi tersebut, Wajib Pajak dalam hal ini perusahaan pembiayaan, tidak sependapat atau merasa keberatan atas perlakuan atau penerapan ketentuan tersebut, dengan beberapa alasan. Pertama, penjualan barang terikan tersebut adalah suatu kesatuan mekanisme dalam keseluruhan proses bisnis perusahaan, untuk mengantisipasi resiko kerugian yang harus ditanggung perusahaan, sehingga masih dalam rangka utang piutang. Kedua, berdasarkan kontrak yang dilakukan antara perusahaan dan konsumen, tidak berpindah kepemilikan kendaraan tersebut dari konsumen ke perusahaan pembiayaan, sebab penyerahan tersebut dilakukan langsung dari konsumen kepada pihak pembeli, sementara perusahaan pembiayaan hanya diberi kuasa oleh konsumen untuk menjual barang tersebut. Alasan ketiga, disebutkan bahwa penyerahan tersebut tidak dilakukan dalam ruang lingkup usaha perusahaan. Pemahaman ini ditegaskan pula oleh Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) sebagaimana dipublikasikan dalam Harian Investor Daily Indonesia, 5 September 2008, bahwa transaksi tersebut tidak mengandung unsur pertambahan nilai yang layak dikenakan PPN. Dikatakan pula bahwa penjualan atas barang atau agunan yang diambil alih tersebut merupakan upaya perusahaan pembiayaan ketika terjadi default oleh konsumen atas pembiayaan yang disalurkan oleh perusahaan yang bersangkutan.

8 Penjualan kembali ini berlaku atas kredit-kredit yang bermasalah yang pada dasarnya menjadi kerugian dari perusahaan pembiayaan. Jadi ini murni transaksi cut loss sehingga tidak ada pertambahan nilainya, dan diusulkan pula untuk dikecualikan dalam pengenaan PPN. Ditambahkan pula olehnya bahwa petugas pajak di lapangan sering kali menganggap dalam transaksi ini telah terjadi penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) oleh perusahaan pembiayaan kepada pembeli akhir barang tersebut. Akibatnya petugas pajak menilai perusahaan pembiayaan masih memiliki utang PPN. Hal ini yang sering kali menjadi perdebatan antara petugas pajak dengan perusahaan pembiayaan. Dia mengusulkan agar hal ini diluruskan saja dengan menghapus perlakuan pajak atas transaksi tersebut. Pada kesempatan yang sama, Komisi Teknik Bidang Perpajakan APPI Helmy Yusman Santoso 1 mengatakan bahwa usulan atas dibebaskannya PPN atas transaksi ini juga didasarkan pada unsur keadilan, dimana pada dasarnya, penjualan atas barang tarikan tersebut dilakukan untuk menutupi kerugian, bukan sesuatu yang menghasilkan keuntungan atau pendapatan. Sementara itu, pemeriksa pajak berpendapat bahwa penyerahan kendaraan tarikan oleh perusahaan pembiayaan dikenakan PPN 10%, dan bukan merupakan penyerahan kendaraan bekas yang dikenakan tarif PPN 1%, karena penyerahan kendaraan bekas dikenakan PPN 1% atas penyerahan yang dilakukan oleh pedagang kendaraan bekas. Penyerahan kendaraan tarikan oleh perusahaan pembiayaan merupakan kegiatan yang rutin dilakukan dan atas kendaraan tersebut dicatat dalam pembukuan perusahaan sebagai aktiva agunan yang ditarik, sehingga pemeriksa berpendapat bahwa penyerahan masih dilakukan dalam ruang lingkup usaha perusahaan. Menurut Terra (1988) disebutkan bahwa salah satu karakteristik dari PPN/VAT (Value Added Tax) adalah bersifat general indirect tax on consumption atau bersifat umum, sehingga PPN dikenakan terhadap seluruh penyerahan barang atau jasa. Berdasarkan ketentuan PPN diatur bahwa PPN dikenakan dengan memenuhi syarat-syarat, sebagai berikut, pertama, barang berwujud yang 1 Sumber: Investor Daily Indonesia tanggal 6 September 2008

diserahkan merupakan Barang Kena Pajak, kedua, barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak tidak berwujud, ketiga, penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean Republik Indonesia, keempat, penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya. Hal ini juga yang dijadikan landasan pemeriksa untuk melakukan koreksi. Untuk mengkaji alasan keberatan perusahaan pembiayaan untuk dikenakan PPN atas transaksi penjualan barang-barang tarikan. Dimana disebutkan bahwa dalam kegiatan transaksi ini belum terjadi penyerahan dan disebutkan bahwa kegiatan ini tidak dalam rangka kegiatan usahanya. Oleh karena itu perlu mengacu kepada landasan teori bahwa suatu penyerahan dikecualikan dari pengenaan PPN dan teori bahwa untuk menguji suatu kegiatan (bussiness activity) dikatakan sebagai suatu ruang lingkup usahanya, diperlukan syarat-syarat atau kondisikondisi yang membenarkan. Selain daripada itu perlu juga dikaji mengenai perlakuan hukum atau substansi hukum mengenai transaksi pembiayaan tersebut jika ada pada kondisi dimana debitur mengalami kesulitan likuiditas, terutama mengenai kepemilikan barang atau penguasaan barang tersebut. Dikaji pula dari sisi perlakuan akuntansi mengenai pengakuan aktiva atau barang tersebut di dalam pembukuan perusahaan. Dari penjelasan di atas, timbul suatu masalah yang dapat diteliti, karena jika dilihat dari sisi penerimaan negara tentu sangat berpotensi menambah penerimaan pajak secara signifikan, seperti dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 1.4 Penjualan Agunan Kendaraan yang ditarik dibandingkan Jumlah Pembiayaan Konsumen Masing-masing Perusahaan Tahun 2006 9 Penjualan Agunan Yang Ditarik Pembiayaan Konsumen Perbandingan Nama Perusahaan (2) : (3) (dalam rupiah penuh) (dalam rupiah penuh) (dalam persen) (1) (2) (3) (4) PT Federal International Finance 68.809.450.159 9.149.909.000.000 0,75 PT Wahana Otomitra Multifinance 42.681.108.504 4.501.390.000.000 0,95 PT Tunas Financindo 71.650.501.416 1.707.408.000.000 4,20 Sumber: Hasil Pemeriksaan Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Satu Terlihat bahwa terdapat potensial loss penerimaan negara dari pajak berupa PPN atas penjualan agunan yang ditarik yang cukup signifikan jika masih terjadi

10 sengketa. Jika dilihat dari sisi konsep atau teori yang ada, jangan sampai suatu ketentuan bersifat tidak adil atau tidak memberikan kepastian hukum atau menyimpang dari teori yang ada yang dapat menimbulkan distorsi atau pengenaan pajak berganda (cascading effect). Terjadi perbedaan interpretasi dalam hal pengenaan PPN atas Penyerahan Kendaraan Tarikan Yang Dijaminkan oleh Perusahaan Pembiayaan. Sengketa yang ada yaitu Direktorat Jenderal Pajak mengenakan PPN 10%, atas penyerahan kendaraan tarikan (repossessed) yang dilakukan oleh perusahaan pembiayaan kepada pembeli, sementara itu, menurut WP penyerahan tersebut tidak terutang PPN, dengan beberapa alasan sebagaimana diuraikan berikut ini. Pertama, penyerahan tersebut masih dalam satu kesatuan mekanisme utang piutang (transaksi fidusia), dimana transaksi atau kejadian ini tidak terjadi jika tidak didahului adanya perjanjian atau perikatan pembiayaan fidusia. Kedua, tidak terdapat penyerahan yang dilakukan oleh perusahaan pembiayaan, namun hakekatnya penyerahan tersebut dilakukan dari konsumen kepada pihak pembeli, dan berdasarkan perjanjian fidusia, perusahaan pembiayaan hanya diberi kuasa untuk menjualkan kendaraan yang ditarik tersebut. Ketiga, adanya ketidakadilan perlakuan jika dibandingkan dengan transaksi yang dilakukan oleh pedagang kendaraan bekas, dimana atas penjualan kendaraan bekas tersebut dikenakan PPN dengan Dasar Pengenaan Pajak sebesar 10%. Alasan keempat, penjualan atau penyerahan kendaraan tarikan yang terjadi tidak dilakukan dalam lingkup usaha perusahaan pembiayaan. Pengenaan PPN atas transaksi ini tidak memberikan kepastian hukum kepada dunia usaha, karena tidak ada perlakuan yang sama dengan pembiayaan yang dilakukan oleh perbankan dan tidak ada perlakuan yang sama dengan penjualan kendaraan bekas yang dilakukan oleh pedagang kendaraan bekas. Selain itu dianalisa pula mengenai karakteristik transaksi itu sendiri, untuk memahami ciri atau sifat suatu transaksi dalam menentukan apakah dikenakan atau dikecualikan dari pengenaan PPN. Selain itu perlu juga dikaji mengenai cost of taxation dan opportunity cost yang dapat ditimbulkan apabila atas transaksi tersebut dikenakan PPN.

11 Berdasarkan hal tersebut, perlu dibuat penelitian atau kajian mengenai transaksi atau penyerahan dalam perikatan fidusia tersebut. Penelitian yang ditujukan untuk menganalisa implikasi tidak adanya aturan yang secara tegas mengatur mengenai pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas transaksi ini. 1.2. Perumusan Masalah Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai yang diterapkan oleh pemeriksa pajak atas penjualan agunan yang ditarik oleh perusahaan pembiayaan menimbulkan persengketaan. Akhirnya dapat menimbulkan cost of taxation bagi Wajib Pajak. Selanjutnya dapat meningkatkan opportunity cost pula bagi industri pembiayaan, apabila tidak dirumuskan suatu ketentuan yang secara tegas mengaturnya, baik dikenakan maupun diperlakukan dengan alternatif kebijakan lainnya. Selain itu jika dikaji dari sisi penerimaan pajak, terdapat suatu kondisi potensial loss, mengingat potensi penerimaan pajak yang cukup signifikan seperti dijabarkan pada latar belakang masalah di atas. Berdasarkan latar belakang masalah itu, guna memperdalam analisis dan arah penelitian, pokok permasalahan yang akan dievaluasi dalam tesis ini adalah sebagai berikut: 1) Mengapa terjadi sengketa dalam pengenaan PPN atas penyerahan barang atau kendaraan tarikan oleh perusahaan pembiayaan? 2) Bagaimana karakteristik dari transaksi pembiayaan konsumen dengan perikatan fidusia dilihat dari konsepsi taxable supply? 3) Bagaimana implikasi diterapkan aturan tentang pengenaan PPN atas penyerahan repossessed assets? 4) Bagaimana sebaiknya perlakuan PPN (VAT Treatment) atas penyerahan repossessed assets dapat diterapkan secara adil dan memenuhi konsep revenue productivity? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Menganalisis sengketa yang terjadi dalam pengenaan PPN atas penyerahan barang atau kendaraan tarikan oleh perusahaan pembiayaan.

12 2) Menganalisis karakteristik dari transaksi pembiayaan konsumen dengan perikatan fidusia dilihat dari konsepsi taxable supply. 3) Menganalisis implikasi diterapkan aturan tentang pengenaan PPN atas penyerahan repossessed assets. 4) Menganalisis perlakuan PPN (VAT Treatment) atas penyerahan repossessed assets yang dapat diterapkan secara adil dan memenuhi konsep revenue productivity. 1.4. Signifikansi Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1.4.1. Signifikansi Ilmiah Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan suatu kajian mengenai pemajakan atas penyerahan agunan yang ditarik oleh perusahaan pembiayaan, ditinjau dari teori/konsep pajak pertambahan nilai dan teori yang berkaitan dengan transaksi pembiayaan konsumen melalui perikatan fidusia. Dalam penelitian ini diharapkan pula dapat menghasilkan suatu simpulan yang menjelaskan tentang implikasi dari perikatan fidusia. Selanjutnya, penelitian ini dapat menggabungkan teori-teori perpajakan secara lebih komprehensif. Dengan demikian dapat diperoleh pemahaman yang utuh yang dapat menjelaskan tentang pengertian dari penyerahan barang ditinjau dari konsep pajak pertambahan nilai dan konsep perikatan fidusia. 1.4.2. Signifikansi Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi bagi penyelesaian persengketaan yang terjadi dengan tetap mengacu pada teori yang ada. Bagi industri pembiayaan dapat mempunyai suatu kepastian hukum, sehingga dapat diminimalisir cost of taxation maupun opportunity cost yang timbul, yang pada akhirnya berdampak positif pula bagi industri lainnya, dalam hal ini industri kendaraan bermotor. Selain itu dapat memberikan suatu keadilan atau perlakuan perpajakan yang sama untuk bisnis serupa.

13 Penelitian ini diharapkan pula dapat memberikan masukan kepada pemerintah dalam mendesain kebijakan perpajakan yang tidak menghambat kemajuan industri pembiayaan, namun tidak mengganggu penerimaan negara. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi masukan kepada pemerintah dalam membuat kebijakan yang berkaitan dengan karakteristik transaksi pembiayaan konsumen dalam perikatan fidusia. 1.5. Sistematika Penulisan Tesis ini terdiri dari 6 Bab. Bab 1 merupakan bab Pendahuluan yang memaparkan Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, dan pada bagian akhir merupakan Sistematika Penulisan. Pada Bab 2, membahas berbagai teori para ahli mengenai pokok masalah dalam penelitian ini, antara lain mengenai Teori Asas Pemungutan Pajak, Teori Pajak Pertambahan Nilai, Teori Cost of Taxation, dan dibahas pula teori tentang perikatan fidusia pada perusahaan pembiayaan. Bab 3 membahas mengenai proses bisnis pembiayaan itu sendiri serta perbandingan antara pembiayaan oleh perusahaan pembiayaan dan pembiayaan oleh lembaga keuangan lainnya yaitu perbankan. Bab 4 menguraikan bagaimana dan metode apa yang digunakan dalam penelitian untuk memperoleh dan menganalisa data dan informasi yang dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan atas penelitian ini. Bab ini terdiri dari Pengumpulan Data dan Analisa Data. Bab 5 menganalisis karakteristik dari transaksi penjualan agunan yang ditarik oleh perusahaan pembiayaan apakah dapat dikategorikan sebagai penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai. Setelah itu dianalisis pengaruh pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas penjualan atau penyerahan agunan yang ditarik oleh perusahaan pembiayaan, dari sisi Wajib Pajak dengan adanya Cost of Taxation dan Opportunity Cost, juga dari sisi penerimaan negara mengenai potensial loss yang diakibatkan. Selain itu, dianalisis juga manfaat yang dapat diperoleh apabila atas transaksi ini dikecualikan dari pengenaan pajak atau sebaliknya dikenakan pajak dengan desain pemungutan yang berpegang pada prinsip mendorong pula perkembangan industri pembiayaan.

Bab 6 yang merupakan bagian penutup berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan saran-saran perbaikan. 14