BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pusat pertokoan (mall) di Indonesia semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan perekonomian. Setiap pembangunan mall dapat meningkatkan pendapatan negara melalui pajak yang dikumpulkan. Aktivitas perekonomian yang terjadi di dalam mall tidak hanya didominasi oleh masyarakat dengan perekonomian kelas atas namun juga masyarakat dengan ekonomi kelas menengah. Peningkatan perekonomian suatu daerah cenderung diiringi dengan peningkatan jumlah mall di daerah tersebut. Salah satu kota dengan jumlah mall terbanyak adalah Kota Jakarta. Jumlah mall di Kota Jakarta telah melebihi batas ideal dan menjadikan Kota Jakarta kota dengan jumlah mall terbanyak di dunia (Priliawito, 2010). Hal yang sama juga terjadi di beberapa daerah lainnya di Indonesia, salah satunya adalah Bali. Bali sebagai daerah tujuan wisata domestik maupun mancanegara memiliki beberapa mall yang terkonsentrasi di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar. Setiap pembangunan mall tersebut akan berdampak pada penyerapan tenaga kerja baru. Dari berbagai klasifikasi pekerjaan yang dibutuhkan, sales promotion girl (SPG) merupakan salah satu bidang pekerjaan yang paling banyak menyerap tenaga kerja, khususnya tenaga kerja wanita. Sales promotion girl (SPG) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah perusahaan yang bergerak di bidang penyediaan barang produksi khususnya pada divisi pemasaran produk. Dilihat dari penggunaan bahasa, SPG merupakan profesi yang bergerak dalam pemasaran atau promosi suatu produk. SPG tersebut 1
2 berhadapan langsung dengan end user atau konsumen. Dapat disimpulkan kehadiran SPG berfungsi sebagai presenter dari sebuah produk. Seorang SPG umumnya dituntut memiliki penampilan fisik yang mendukung karakter produk, disamping memerlukan tingkat kecerdasan yang tinggi mengenai produk yang dipromosikan dan memiliki keterampilan persuasi yang baik. Raharti (2001) menyatakan bahwa terdapat beberapa persyaratan yang harus dimiliki oleh SPG yaitu performance, kemampuan komunikasi, dan body language yang mengarah pada gerakan fisik. Performance atau penampilan fisik yang dimaksud dapat diinderakan menggunakan pengelihatan dan juga mengilustrasikan tentang pembawaan seseorang. Pembawaan ini dinilai dari penampilan fisik (outlook) dan desain pakaian. Kemampuan komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi yang mampu menciptakan interaksi antara konsumen dan SPG. Khusus mengenai penampilan fisik, SPG identik dengan pemakaian sepatu tumit tinggi. Memakai sepatu tumit tinggi dapat menimbulkan kesan kaki lebih panjang dan tampak lebih seksi, mengangkat dan menonjolkan bagian belakang tubuh, serta membuat goyangan pinggul saat berjalan menjadi lebih gemulai. Hasil observasi dan wawancara awal yang dilakukan peneliti terhadap sepuluh SPG di Kota Denpasar sebagian besar menyatakan bahwa menggunakan sepatu tumit tinggi membuat penampilan mereka menjadi lebih menarik sehingga merasa lebih percaya diri saat berhadapan langsung dengan konsumen. Namun sebagian besar SPG juga mengeluhkan pegal dan nyeri pada telapak kaki, betis, dan lutut. Bahkan keluhan nyeri dan pegal masih dirasakan meskipun tidak sedang memakai sepatu tumit. SPG umumnya bekerja dengan posisi berdiri memakai sepatu tumit tinggi selama 5-8 jam tiap hari sehingga terjadi pembebanan otot statis pada kaki. Memakai sepatu tumit tinggi setiap hari bisa menimbulkan beberapa masalah kesehatan kaki antara lain
3 lapisan kulit menebal atau kapalan yang biasa terjadi pada ujung jari kaki atau pada bagian samping kaki. Kaki yang bengkak bisa menjadi radang, beban tubuh terpusat di kaki bagian tumit dan stres pada kaki. Selain itu juga sepatu tumit tinggi menyebabkan cidera pada otot kaki, nyeri sendi punggung, sampai masalah yang lebih kompleks seperti sakit pada tulang telapak kaki (Muliani, 2007). Hasil studi Laboratorium Pusat Studi Kesehatan dan Ergonomi ITB tahun 2006-2007 diperoleh data bahwa sebanyak 40-80% pekerja melaporkan keluhan muskuloskeletal sesudah bekerja. Profil masalah kesehatan di Indonesia tahun 2005 menunjukkan bahwa sekitar 40,5% penyakit yang diderita pekerja berhubungan dengan pekerjaannya, gangguan kesehatan yang dialami pekerja menurut studi yang dilakukan terhadap 482 pekerja di 12 kabupaten/kota di Indonesia umumnya berupa gangguan muskuloskeletal 16%, kardiovaskular 8%, gangguan syaraf 6%, gangguan pernapasan 3%, THT 1,5% (Yassierli, 2009). Keluhan muskuloskeletal merupakan keluhan pada bagian-bagian otot skeletal yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan sangat ringan sampai sangat sakit (Tarwaka, dkk., 2004). Saat otot menerima beban statis berulang-ulang dan dalam waktu yang lama dapat menyebabkan keluhan hingga kerusakan pada sendi, ligamen dan tendon. Berbagai studi yang dilakukan mengenai cidera pada sistem muskuloskeletal menunjukkan bahwa bagian otot yang sering dikeluhkan adalah otot rangka (skeletal) yang meliputi otot leher, bahu, lengan, jari, punggung, pinggang, dan otot-otot bagian bawah sakit (Tarwaka, dkk., 2004). Kemungkinan tidak terjadinya keluhan pada otot apabila kontraksi otot hanya berkisar 15-20% dari kekuatan otot maksimum. Kontraksi otot melebihi 20% menyebabkan peredaran darah ke otot berkurang, sehingga suplai oksigen ke otot berkurang dan proses
4 metabolisme tubuh terganggu. Dampaknya adalah penimbunan asam laktat yang menyebabkan rasa nyeri otot (Tarwaka, dkk., 2004). Alas kaki dengan hak tinggi akan mengirimkan gelombang kejut dari tumit hingga tubuh dan memberikan tekanan besar pada bagian dalam lutut. Hal tersebut mengakibatkan pemakai sepatu tumit tinggi berisiko lebih besar mengalami degenerasi sendi. Evans (2006) mencatat kenaikan jumlah pasien dengan kasus cidera akibat memakai sepatu bertumit tinggi. Dalam risetnya dijumpai cidera yang paling sering dialami adalah keseleo, nyeri dan kaku di persendian tulang, dan pada beberapa kasus dapat menyebabkan kerusakan permanen. Tidak jauh berbeda dengan Kerrigan (2006) yang melakukan studi mengenai bahaya pemakaian sepatu tumit tinggi bagi kesehatan. Hasil risetnya menunjukkan bahwa pada pemakai sepatu tumit tinggi terjadi peningkatan pembebanan pada lutut dan pinggul sebesar 25% setiap kali melangkah. Keluhan pada kaki yang dialami pemakai sepatu tumit tinggi diakibatkan terjadinya pemendekan serat otot dan menebalnya tendon achilles pada betis. Hal tersebut pula yang menyebabkan seseorang yang sering memakai sepatu tumit tinggi merasakan sakit pada kakinya sesaat setelah memakai sepatu datar. Keluhan sistem muskuloskeletal menjadi sebuah tanda adanya ketidaksesuaian posisi pada sistem rangka beserta dengan sistem saraf dan pembuluh darah. Keluhan muskuloskeletal yang tidak memperoleh penanggulangan dapat berujung pada penyakit. Otot-otot kaki menjadi lebih tegang yang secara efektif dapat menghambat suplai darah ke otot dan berisiko mengakibatkan radang pembuluh darah. Peradangan tersebut semakin lama dapat berkembang menjadi varises kronis. Penggunaan sepatu tumit tinggi berpengaruh terhadap risiko timbulnya varises pada tungkai bawah (Achmad, 2009). Nyeri punggung bawah (low
5 back pain) juga merupakan salah satu penyakit yang kebanyakan terjadi akibat keluhan muskuloskeletal dan diperberat oleh aktivitas, sedangkan nyeri akibat keadaaan lain tidak dipengaruhi oleh aktivitas (Helmi, 2012). Tidak hanya penyakit akibat kerja, penggunaan sepatu tumit tinggi oleh SPG secara langsung dapat menimbulkan kecelakaan kerja. Kecelakaan kerja dapat berupa terjatuh akibat hilangnya keseimbangan saat berjalan dan keseleo, nyeri dan kaku di persendian tulang dan pada beberapa kasus dapat menyebabkan kerusakan permanen (Evans, 2006). Cidera atau perubahan posisi kaki secara tiba-tiba dapat menyebabkan ruptur tendon achilles dan fraktur pada tulang sehingga perlu memperoleh penanganan medis untuk menyembuhkannya (Helmi, 2012). Berdasarkan uraian di atas memberikan dasar kepada peneliti untuk melakukan penelitian terhadap keluhan muskuloskeletal pada SPG pemakai sepatu tumit tinggi yang bekerja di mall Kota Denpasar. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan masalah: Bagaimanakah keluhan muskuloskeletal pada sales promotion girl (SPG) mall pemakai sepatu tumit tinggi di Kota Denpasar? 1.3 Tujuan Penelitian Secara umum tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah mengetahui keluhan muskuloskeletal yang dialami oleh sales promotion girl (SPG) mall pemakai sepatu tumit tinggi di Kota Denpasar. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keluhan muskuloskeletal pada SPG mall pemakai sepatu tumit tinggi di Kota Denpasar berdasarkan umur, indeks massa tubuh, lama pemakaian sepatu tumit tinggi, dan tinggi hak sepatu.
6 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai keluhan muskuloskeletal pada sales promotion girl (SPG) mall akibat pemakaian sepatu tumit tinggi. Diharapkan pula penelitian ini dapat menambahkan teori tentang pemakaian sepatu di bidang ergonomi, mendukung dan memperkuat hasil penelitian terkait sebelumnya. 1.4.2 Manfaat praktis Manfaat praktis yang diharapkan dari penelitian ini yaitu sebagai sumber informasi dan bahan pertimbangan bagi kaum wanita umumnya dan SPG khususnya sebelum memutuskan untuk memakai sepatu tumit tinggi. Bagi perusahaan mall penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan dan pertimbangan untuk membuat kebijakan baru tentang pemakaian alas kaki yang lebih ergonomis dan nyaman bagi sales promotion girl (SPG) mall untuk mengurangi risiko mengalami keluhan muskuloskeletal. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian di bidang Keselamatan dan Kesehatan Kerja khususnya keluhan muskuloskeletal pada sales promotion girl (SPG) mall di Kota Denpasar akibat pemakaian sepatu tumit tinggi.