1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring dengan laju pertambahan penduduk yang terus meningkat. Pertambahan penduduk ini menjadi ancaman bagi ketahanan pangan sejalan dengan menurunnya produksi sektor pertanian yang mengakibatkan adanya ketergantungan impor, khususnya pada beberapa komoditas pangan utama. Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena itu, negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional maupun daerah hingga perseorangan secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal. Lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang menggantikan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan seharusnya dapat menjadi landasan kuat bagi berbagai upaya bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar untuk dapat mengatur kedaulatan, kemandirian dan ketahanan pangan sendiri dan dan tanpa tergantung pada organisasi atau negara lain dalam
2 memenuhi kebutuhan pangan nasional bagi seluruh warganya. Dalam hal ini, ketahanan pangan nasional idealnya sudah tidak lagi mengandalkan ketersediaan pangan dari produk-produk impor, tetapi lebih mengedepankan produk-produk lokal. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, tingkat ketergantungan pada komoditas pangan impor semakin tidak terbendung. Menurut Neonbasu (2013 : 15), fakta empiris menunjukkan bahwa kondisi pemilikan dan penguasaan lahan petani Indonesia sangat sempit, yakni rata-rata seluas 0,25 hektar saja. Akibatnya kesempatan petani untuk meningkatkan kesejahteraan dan kapasitas produksinya terbatas, terlebih budidaya pertanian masih dilakukan melalui mekanisme yang sederhana. Konsekuensi lebih jauh lagi berupa rendahnya kualitas ketahanan pangan Indonesia. Sebenarnya Indonesia berpotensi menjadi salah satu kekuatan utama dunia. Sumber kekayaan alam yang melimpah serta lahan pertaniannya termasuk dalam kategori lahan tersubur di dunia. Namun, Indonesia justru berkembang hanya menjadi pasar saja bagi berbagai produk global tanpa diimbangi dengan kemampuan mendayagunakan segenap potensi sumber kekayaan alam untuk dikelola sebagai potensi pasar global. Pertumbuhan sektor pertanian sebagai salah satu tolok ukur ekonomi kinerja pembangunan hampir selalu lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Sasaran utama pembangunan pertanian, yaitu terwujudnya ketahanan pangan nasional yang diukur dari aspek ketersediaan, konsumsi dan juga distribusi. Pemerintah sepenuhnya menyadari bahwa dalam rangka mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan salah satu upaya yang
3 dapat ditempuh di antaranya melalui penyelenggaraan pembangunan pertanian secara berkelanjutan. Oleh karena itu, lahan pertanian memiliki peran dan fungsi strategis sebagai sumber daya pokok dalam usaha pertanian berbasis lahan. Lahan merupakan sumber daya alam yang bersifat langka karena jumlahnya tidak bertambah, tetapi kebutuhan terhadap lahan selalu meningkat. Hal inilah yang mendorong pemerintah untuk menetapkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Dalam Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 disebutkan bahwa alih fungsi lahan pertanian merupakan ancaman terhadap pencapaian ketahanan dan kedaulatan pangan. Alih fungsi lahan mempunyai implikasi yang serius terhadap produksi pangan, lingkungan fisik, serta kesejahteraan masyarakat pertanian dan perdesaan yang kehidupannya bergantung pada lahan. Alih fungsi lahan-lahan pertanian subur selama ini kurang diimbangi oleh upaya-upaya terpadu untuk mengembangkan lahan pertanian melalui pencetakan lahan pertanian baru yang potensial. Di sisi lain, alih fungsi lahan pertanian pangan menyebabkan makin sempitnya luas lahan yang diusahakan dan sering berdampak pada menurunnya tingkat kesejahteraan petani. Oleh karena itu, pengendalian alih fungsi lahan pertanian pangan melalui perlindungan lahan pertanian pangan merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan, dalam rangka meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan petani pada khususnya, dan masyarakat pada umumnya. Menurut Direktur Perluasan dan Pengelolaan Lahan Ditjen PSP Kementerian Pertanian, Tunggul Imam Panuju (2013), alih fungsi lahan pertanian
4 menjadi non pertanian dinilai sudah tidak terkendali, menyusul pesatnya perkembangan sektor industri dan permukiman di Indonesia. Setiap tahun diperkirakan 80 ribu hektar areal pertanian hilang, berubah fungsi ke sektor lain atau setara 220 hektar setiap harinya. Oleh karena itu, regulasi tentang alih fungsi lahan harus dijalankan secara ketat, terkontrol mulai tingkat pusat sampai ke daerah. Apabila tidak dilaksanakan, maka diperkirakan pada tahun 2025 luas lahan sawah di Indonesia hanya akan tersisa dua juta hektar. Kondisi ini bertolak belakang dengan keinginan pemerintah yang ingin mempertahankan produksi pangan nasional di masa datang, sebaliknya justru menjadi ancaman bagi ketahanan pangan nasional (Anonim, 2013). Terkait alih fungsi lahan ini, Menteri Perumahan Rakyat, Djan Faridz (2014), menyatakan bahwa implementasi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang di seluruh wilayah Indonesia masih kacau balau. Rencana Tata Ruang Wilayah telah mencantumkan keharusan untuk tidak mengubah peruntukan lahan, terlebih melakukan konversi lahan hijau, sawah produktif, dan hutan menjadi permukiman, komersial, dan industri (Anonim, 2014). Karini (2013 : 4) menyatakan bahwa sektor pertanian dianggap kurang menguntungkan, sehingga keberadaannya semakin termarginalkan bila dibandingkan dengan aktivitas ekonomi lainnya. Beban alih fungsi lahan pertanian bagi pembangunan dirasa sangat berat karena menyangkut pertambahan penduduk yang memerlukan lahan semakin luas, tidak saja guna perluasan permukiman namun juga sebagai ruang perluasan kegiatan-kegiatan perekonomian agar kebutuhan manusia dapat terpenuhi dengan baik.
5 Permasalahan akan timbul ketika penduduk membangun tempat permukiman serta prasarana pendukungnya pada areal pertanian yang subur. Fenomena alih fungsi lahan ini juga terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Menurut Kepala Dinas Pertanian DIY, Nanang Suwandi (2011), pengalihan fungsi lahan di DIY dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Data menunjukkan lahan pertanian seluas 200 hektar di DIY setiap tahun beralih fungsi menjadi permukiman, sehingga mengancam produksi pangan. Pengalihan lahan pertanian tersebut berdampak pada menurunnya produksi tanaman pangan, khususnya padi. Berdasarkan perhitungan, setiap satu hektar lahan yang ditanami padi rata-rata mampu memproduksi 10 ton gabah per tahun. Apabila alih fungsi lahan per tahunnya mencapai 200 hektar, berarti produksi gabah yang hilang mencapai 2.000 ton, sementara target produksi setiap tahun selalu mengalami peningkatan (Anonim, 2011). Sehubungan dengan hal tersebut dan dalam rangka mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009, Pemerintah Provinsi DIY telah menetapkan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Peraturan Daerah ini mengatur mengenai keluasan lahan pertanian produktif yang harus dipertahankan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan seluas 35.911,59 Hektar. Pembagiannya untuk lahan di Kabupaten Sleman seluas 12.377,59 Hektar, Kabupaten Bantul seluas 13.000 Hektar, Kabupaten Kulonprogo seluas 5.029 Hektar dan Kabupaten Gunungkidul seluas 5.505 Hektar. Diantara kabupaten/kota di wilayah DIY, alih fungsi lahan pertanian
6 menjadi permasalahan tersendiri bagi Pemerintah Kabupaten Bantul. Hal ini didasarkan pada fakta terjadinya pergeseran kecenderungan wilayah alih fungsi lahan. Jika beberapa tahun sebelumnya sebagian besar alih fungsi lahan pertanian di DIY terjadi di wilayah Kabupaten Sleman, namun sejak dua tahun terakhir justru didominasi Kabupaten Bantul. Kabupaten Bantul sendiri merupakan daerah penghasil beras utama di DIY. Menurut Nurhadi (2010 : 81), pada tahun 2006 di Kabupaten Bantul telah terjadi alih fungsi lahan pertanian menjadi tanah non pertanian seluas 19,5692 Hektar. Data tersebut diperoleh dari hasil analisis ijin pengeringan tanah yang dilakukan sepanjang tahun 2006. Alih fungsi lahan pertanian tersebut umumnya digunakan untuk permukiman dan tempat usaha. Ironisnya, aktivitas alih fungsi lahan ini justru meningkat setiap tahunnya. Hal ini dapat dilihat dari data Kantor Pertanahan Kabupaten Bantul Tahun 2010 yang menunjukkan terjadi perubahan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian di Kabupaten Bantul seluas 57,2824 Hektar. Dari total keluasan lahan tersebut, mayoritas dialihfungsikan untuk pembangunan perumahan seluas 17,7608 Hektar dan tempat tinggal seluas 15,3589 Hektar (Pemerintah Kabupaten Bantul, 2014). Saat ini pembangunan perumahan di Kabupaten Bantul memang marak terjadi akibat lokasinya yang dekat dengan Kota Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian di DIY. Hal ini menjadikan Kabupaten Bantul tumbuh sebagai daerah penyangga kawasan perkotaan. Kecamatan Banguntapan, Kecamatan Sewon dan Kecamatan Kasihan di Kabupaten Bantul tercatat sebagai daerah paling cepat terjadi penyusutan lahan pertanian, yakni sebesar 20 persen
7 dari total lahan pertanian yang diklaim susut dalam setahun. Fenomena ini juga didorong oleh Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Pemerintah Kabupaten Bantul yang memperbolehkan kawasan tersebut digunakan untuk perumahan atau tidak dipertahankan sebagai kawasan pertanian. Kecamatan Banguntapan, Kecamatan Sewon dan Kecamatan Kasihan yang secara geografis berbatasan langsung dengan Kota Yogyakarta mengalami tingkat penyempitan lahan sawah yang paling tinggi. Lahan-lahan pertanian produktif (sawah) yang tersebar di tiga kecamatan tersebut mayoritas beralih fungsi untuk penggunaan non pertanian, seperti perumahan, perdagangan, industri, dan lain sebagainya. Fakta empiris menunjukkan bahwa kebutuhan akan lahan non pertanian cenderung mengalami peningkatan. Kecenderungan ini menyebabkan alih fungsi lahan pertanian sulit untuk dihindari seiring pertumbuhan dan perkembangan peradaban manusia. Konsekuensinya, alih fungsi lahan pertanian apabila tidak dikendalikan dapat mendatangkan permasalahan yang serius, seperti mengancam kapasitas penyediaan pangan. Mengingat kebutuhan akan bahan pangan memerlukan lahan untuk budidaya pertanian, mendesak Pemerintah Kabupaten Bantul untuk melindungi lahan pertaniannya dalam bentuk peraturan daerah yang memiliki kekuatan hukum. Saat ini Pemerintah Kabupaten Bantul sedang dalam proses mematangkan bahan Raperda Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Bantul yang direncanakan seluas 13.000 hektar. Penelitian ini berusaha mengkaji kebijakan Pemerintah Kabupaten Bantul dalam rangka penyusunan regulasi dan implementasi Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 41
8 Tahun 2009 dan Peraturan Daerah Provinsi DIY Nomor 10 Tahun 2011. Lebih jauh lagi berupaya untuk mengidentifikasi dan menganalisa perencanaan kebijakan, kendala yang dihadapi serta strategi pemecahannya. Berdasarkan fenomena tersebut, penelitian ini mengambil judul Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Guna Memperkokoh Ketahanan Pangan Wilayah (Studi di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta). 1.2 Permasalahan Penelitian Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, disusun rumusan permasalahan penelitian sebagai berikut: a. Bagaimana perencanaan kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Bantul? b. Kendala apa yang dihadapi dalam rangka perencanaan dan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Bantul? c. Bagaimana strategi yang dilakukan untuk mewujudkan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan guna memperkokoh ketahanan pangan wilayah di Kabupaten Bantul? 1.3 Keaslian Penelitian Beberapa penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya guna mengkaji implementasi kebijakan alih fungsi lahan pertanian maupun kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dapat diuraikan sebagai berikut :
9 1. Penelitian yang dilakukan oleh Harjono pada tahun 2005 mengenai implementasi kebijakan alih fungsi lahan di Kabupaten Kendal pada tahun 2005 dengan judul Evaluasi Implementasi Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan Pertanian di Kabupaten Kendal. Menurut Harjono, tidak efektifnya implementasi kebijakan pengendalian konversi lahan pertanian yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Kendal disebabkan oleh faktor tidak lengkap dan tidak berfungsinya secara sempurna peraturan pengendalian alih fungsi lahan, serta ketidakpatuhan terhadap peraturan yang dilakukan oleh masyarakat dan pemberi izin. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Iqbal pada tahun 2007 dengan judul Fenomena dan Strategi Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam Pengendalian Konversi Lahan Sawah di Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat. Hasil penelitian menunjukkan lemahnya implementasi regulasi yang mengatur tentang pemanfaatan ruang wilayah (Rencana Tata Ruang Wilayah), termasuk kemampuan Pemerintah Provinsi dalam mengantisipasi aktivitas konversi lahan sawah. 3. Penelitian yang dilakukan oleh Handari pada tahun 2012 dengan judul Implementasi Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Magelang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sangat berkaitan dengan kelestarian lingkungan. Dampak dari kerusakan tanah tidak secara langsung berpengaruh pada pada hasil produksi pertanian, namun tanpa adanya upaya
10 konservasi maka produktivitas lahan pertanian yang tinggi dan usaha pertanian berkelanjutan tidak akan terwujud. 4. Penelitian yang dilakukan oleh Karini pada tahun 2013 dengan judul Dampak Alih Fungsi Lahan Persawahan Terhadap Produksi Beras Dalam Rangka Ketahanan Pangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alih fungsi lahan persawahan di Kabupaten Tangerang dari tahun ke tahun semakin meningkat, hal ini dipengaruhi oleh perubahan struktur ekonomi serta peningkatan fasilitas infrastruktur dan tingginya pertumbuhan penduduk. Luas lahan sawah secara nyata berpengaruh pada peningkatan produksi padi secara total, sedangkan luas lahan sawah yang beralih fungsi ke non sawah belum dapat membuktikan berpengaruh menurunkan produksi padi total di Kabupaten Tangerang jika ditunjang dengan teknologi pertanian serta intensifikasi pertanian. Meskipun demikian, pemenuhan kebutuhan penduduk Kabupaten Tangerang akan beras masih kurang, sehingga Pemerintah Daerah Kabupaten Tangerang harus mendatangkan beras dari daerah lain untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Fokus penelitian ini terletak pada aspek perencanaan kebijakan dalam bentuk penyusunan regulasi Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Bantul sebagai wujud implementasi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009, kendala-kendala yang dihadapi serta strategi yang ditempuh dalam rangka optimalisasi Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Penelitian dilakukan di Kabupaten Bantul karena secara geografis berbatasan langsung dengan Kota Yogyakarta dan mengalami tingkat aktivitas alih fungsi
11 lahan paling tinggi dibandingkan Kabupaten lain di wilayah DIY. Kabupaten Bantul sendiri selama ini dikenal sebagai daerah produsen beras di DIY dan menerima Penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara Tingkat DIY Tahun 2013. 1.4 Tujuan Penelitian Sesuai dengan permasalahan yang diteliti, tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : a. Untuk mengetahui perencanaan kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Bantul. b. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi dalam perencanaan dan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Bantul. c. Untuk mengetahui dan menganalisis strategi yang dilakukan untuk mewujudkan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan guna memperkokoh ketahanan pangan wilayah di Kabupaten Bantul. 1.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, masyarakat dan pengambilan kebijakan sebagai berikut: 1. Memberikan wacana terkait perencanaan perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan guna memperkokoh ketahanan pangan wilayah di Kabupaten Bantul.
12 2. Mendorong implementasi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan secara optimal dan konsisten di Kabupaten Bantul. 3. Sebagai bahan evaluasi sekaligus masukan bagi Pemerintah Kabupaten Bantul pada khususnya dan Pemerintah Daerah DIY pada umumnya dalam Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. 4. Sebagai bahan kajian dan pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan yang terkait dengan strategi atau upaya optimalisasi Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan guna memperkokoh ketahanan pangan wilayah.