BAB II Tinjauan Pustaka

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I. Pendahuluan I.1 Latar Belakang

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at:

EKSTRAKSI JALAN SECARA OTOMATIS DENGAN DETEKSI TEPI CANNY PADA FOTO UDARA TESIS OLEH: ANDRI SUPRAYOGI NIM :

BAB 2 LANDASAN TEORI

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at:

DAFTAR ISI. Lembar Pengesahan Penguji... iii. Halaman Persembahan... iv. Abstrak... viii. Daftar Isi... ix. Daftar Tabel... xvi

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 3 IMPLEMENTASI SISTEM

BAB 2 LANDASAN TEORI

Operasi Bertetangga KONVOLUSI. Informatics Eng. - UNIJOYO log.i. Citra kualitas baik: mencerminkan kondisi sesungguhnya dari obyek yang dicitrakan

BAB II LANDASAN TEORI

ANALISIS PERBANDINGAN METODE PREWITT DAN CANNY UNTUK IDENTIFIKASI IKAN AIR TAWAR

BAB II LANDASAN TEORI

PENDETEKSI TEMPAT PARKIR MOBIL KOSONG MENGGUNAKAN METODE CANNY

Gambar IV-1. Perbandingan Nilai Korelasi Antar Induk Wavelet Pada Daerah Homogen Untuk Level Dekomposisi Pertama

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN PROGRAM APLIKASI

Konvolusi. Esther Wibowo Erick Kurniawan

Klasifikasi Kualitas Keramik Menggunakan Metode Deteksi Tepi Laplacian of Gaussian dan Prewitt

PERBANDINGAN METODE ROBERTS DAN SOBEL DALAM MENDETEKSI TEPI SUATU CITRA DIGITAL. Lia Amelia (1) Rini Marwati (2) ABSTRAK

BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN

Operasi Bertetangga (1)

PENDETEKSIAN TEPI OBJEK MENGGUNAKAN METODE GRADIEN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Batra Yudha Pratama

TEKNIK PENGOLAHAN CITRA. Kuliah 4 Neighborhood Processing. Indah Susilawati, S.T., M.Eng.

Pencocokan Citra Digital

PERANCANGAN DAN PEMBUATAN APLIKASI UNTUK MENDESAIN KARTU UCAPAN

SEGMENTASI ENDAPAN URIN PADA CITRA MIKROSKOPIK BERBASIS WAVELET

PERBANDINGAN METODE PENDETEKSI TEPI STUDI KASUS : CITRA USG JANIN

1. TRANSLASI OPERASI GEOMETRIS 2. ROTASI TRANSLASI 02/04/2016

1. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB III LANDASAN TEORI. 3.1 Metode GLCM ( Gray Level Co-Occurrence Matrix)

Representasi Citra. Bertalya. Universitas Gunadarma

BAB III PENGOLAHAN DATA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN PROGRAM

KONSEP DASAR PENGOLAHAN CITRA

BAB III ANALISIS DAN PERANCANGAN SISTEM. Dalam pengerjaan tugas akhir ini memiliki tujuan untuk mengektraksi

BAB II LANDASAN TEORI

PERANCANGAN APLIKASI PENGURANGAN NOISE PADA CITRA DIGITAL MENGGUNAKAN METODE FILTER GAUSSIAN

Edge adalah batas antara dua daerah dengan nilai gray-level yang relatif berbeda atau dengan kata lain edge

BAB IV ANALISIS. Tabel IV-1 Perbandingan Nilai Korelasi Antar Induk Wavelet pada Daerah Homogen. Wavelet

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

APLIKASI PENGENALAN RAMBU BERBENTUK BELAH KETUPAT

Suatu proses untuk mengubah sebuah citra menjadi citra baru sesuai dengan kebutuhan melalui berbagai cara.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar Teori Citra Digital

BAB 3 ANALISA DAN PERANCANGAN

TEKNIK PENGOLAHAN CITRA. Kuliah 5 Neighboorhood Processing. Indah Susilawati, S.T., M.Eng.

BAB III METODE ROBERTS DAN SOBEL DALAM MENDETEKSI TEPI SUATU CITRA DIGITAL

BAB II LANDASAN TEORI

APLIKASI DETEKSI MIKROKALSIFIKASI DAN KLASIFIKASI CITRA MAMMOGRAM BERBASIS TEKSTUR SEBAGAI PENDUKUNG DIAGNOSIS KANKER PAYUDARA

BAB III METODE PENELITIAN. ada beberapa cara yang telah dilakukan, antara lain : akan digunakan untuk melakukan pengolahan citra.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

LANDASAN TEORI. 2.1 Citra Digital Pengertian Citra Digital

BAB I PENDAHULUAN. menganalisis citra menggunakan bantuan komputer yang bertujuan untuk

BAB II TI JAUA PUSTAKA

DAFTAR TABEL. Tabel 4.1 Struktur Neural Network Backpropagation Tabel 4.2 Hasil Pengujian Identifikasi Data Uji... 34

GLOSARIUM Adaptive thresholding Peng-ambangan adaptif Additive noise Derau tambahan Algoritma Moore Array Binary image Citra biner Brightness

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB II LANDASAN TEORI. Pengolahan Citra adalah pemrosesan citra, khususnya dengan menggunakan

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

Operasi-operasi Dasar Pengolahan Citra Digital

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisa Perbandingan Metode Edge Detection Roberts Dan Prewitt

Oleh: Riza Prasetya Wicaksana

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tegak, perlu diketahui tentang materi-materi sebagai berikut.

Modifikasi Algoritma Pengelompokan K-Means untuk Segmentasi Citra Ikan Berdasarkan Puncak Histogram

SAMPLING DAN KUANTISASI

SATUAN ACARA PERKULIAHAN ( SAP )

BAB II Tinjauan Pustaka

BAB III METODE PENELITIAN DAN PERANCANGAN SISTEM

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

PENERAPAN METODE SOBEL DAN GAUSSIAN DALAM MENDETEKSI TEPI DAN MEMPERBAIKI KUALITAS CITRA

Spatial Filtering Dengan Teknik Operasi Konvolusi

Temu Kenali Citra berbasis Konten Bentuk dan Warna untuk Pengenalan Rambu Lalu-lintas

BAB II LANDASAN TEORI

Jurnal Coding, Sistem Komputer Untan Volume 4, No. 2, Hal ISSN : x

BAB 2 LANDASAN TEORI

ANALISA PERBANDINGAN KINERJA DETEKSI TEPI METODE SOBEL DAN METODE CANNY PADA CITRA LUKISAN ABSTRAK

SISTEM REKOGNISI KARAKTER NUMERIK MENGGUNAKAN ALGORITMA PERCEPTRON

BAB II TEORI PENUNJANG

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan digital watermarking. Watermarking bekerja dengan menyisipkan

SATUAN ACARA PERKULIAHAN ( SAP )

Analisa Hasil Perbandingan Metode Low-Pass Filter Dengan Median Filter Untuk Optimalisasi Kualitas Citra Digital

Pertemuan 3 Perbaikan Citra pada Domain Spasial (1) Anny Yuniarti, S.Kom, M.Comp.Sc

Proses memperbaiki kualitas citra agar mudah diinterpretasi oleh manusia atau komputer

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh)

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. Citra digital sebenarnya bukanlah sebuah data digital yang normal,

Operasi Piksel dan Histogram

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 LANDASAN TEORI. variabel untuk mengestimasi nilainya di masa yang akan datang. Peramalan Merupakan

BAB 4 HASIL DAN ANALISA

ALGORITMA SOBEL UNTUK DETEKSI KARAKTER PADA PLAT NOMOR KENDARAAN BERMOTOR

BAB 3 ANALISA DAN PERANCANGAN

EKSTRAKSI BENTUK JANIN PADA CITRA HASIL USG 3 DIMENSI MENGGUNAKAN DETEKSI TEPI CANNY

Algoritma Kohonen dalam Mengubah Citra Graylevel Menjadi Citra Biner

Transkripsi:

BAB II Tinjauan Pustaka Pada bab ini dibahas mengenai konsep-konsep yang mendasari ekstraksi unsur jalan pada citra inderaja. Uraian mengenai konsep tersebut dimulai dari ekstraksi jalan, deteksi tepi, transformasi wavelet serta beberapa analisis ketetanggaan yang diterapkan pada proses pengenalan jalan. II.1 Ekstraksi Unsur Jalan Pada Citra Proses ekstraksi unsur jalan pada citra inderaja dikembangkan berdasarkan beberapa karakteristik fotometrik dan geometrik yang diantaranya adalah [Zhao et al, 2002]: (1) Batas jalan nampak dengan jelas; (2) Lebar jalan berubah perlahan; (3) Jalan membentuk garis lurus yang sejajar; (4) Arah jalan berubah perlahan; (5) Jalan nampak sebagai area homogen memanjang. Menurut [Baumgartner, et. Al., 1999], karakteristik di atas adalah sudut pandang terhadap jalan dilihat dari dari level real world. Karakteristik tersebut kemudian dijadikan model jalan yang beberapa definisinya pada level citra adalah piksel yang memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) Kelompok piksel homogen yang memiliki perbedaan cukup tajam dengan objek disekitarnya; (2) Perubahan jarak antara titik piksel pusat jalan dengan piksel tepi jalan kecil; (3) Garis tepi tidak bercabang; (4) Untaian piksel membentuk kurva dengan perubahan arah perlahan; (5) Untaian piksel jalan cenderung memanjang. 9

Ekstraksi unsur jalan dilakukan diantaranya dengan memanfaatkan metode deteksi tepi pada citra. Deteksi tepi merupakan salah satu metode dasar dalam ekstraksi unsur yang dapat dilakukan secara otomatis tanpa memerlukan informasi bentuk dari suatu unsur karena memiliki sifat linier [Nixon dan Aguado, 2002]. II.1.1 Deteksi Tepi Unsur Pada Citra Keberadaan tepi unsur ditandai dengan tingginya perubahan nilai piksel atau kontras [Nixon dan Aguado, 2002]. Tepi unsur pada citra dideteksi dengan operator deteksi (detektor) tepi diantaranya berupa matriks template berukuran tertentu, seperti pendeteksi tepi Robert (terdiri dari matriks detektor tepi diagonal M - dan M + ) serta pendeteksi tepi Prewitt dan Sobel (keduanya terdiri dari matriks template vertikal, M x dan horisontal, M y ) seperti ditunjukkan Gambar II.1. M - M + M x M y M x M y 1 0-1 1 1 1 1 0-1 1 2 1 1 0 0 1 1 0-1 0 0 0 2 0-2 0 0 0 0-1 -1 0 1 0-1 -1-1 -1 1 0-1 -1-2 -1 Robert Prewitt Sobel Gambar II.1. Matriks Template Pendeteksi Tepi (Sumber : Nixon dan Aguado, 2002) Dalam mendeteksi tepi, dilakukan perkalian elementer antara matriks template pada Gambar II.1 di atas dengan kelompok piksel pada citra input. Pada hasil perkalian yang diperoleh, nilai setiap elemen dijumlahkan dan dijadikan nilai dari elemen matriks hasil konvolusi [Nixon dan Aguado, 2002]. Lihat Gambar II.2 Citra input Hasil konvolusi Gambar II.2. Gambar proses konvolusi (Sumber : Nixon dan Aguado, 2002) 10

Sebagai contoh, pada pendeteksian tepi metode Prewitt nilai dari piksel tepi pada arah vertikal dari suatu citra diperoleh dari selisih antara jumlah nilai kolom elemen hasil perkalian antara citra asli dengan matriks template. Selengkapnya dapat dilihat persamaan (II.1) dan (II.2) Konvolusi dengan template vertikal (II.1) Konvolusi dengan template horisontal (II.2) Piksel tepi pada citra diperoleh dengan menggabungkan hasil konvolusi pada arah vertikal dan horisontal dengan persamaan (II.3). (II.3) Deteksi tepi dengan metode Prewitt pada suatu citra biner berukuran 8x8 piksel (Gambar II.3.(a)), akan menghasilkan citra konvolusi vertikal (Gambar II.3.(b)) dan citra konvolusi horisontal (Gambar II.3.(c)). Dengan menggunakan persamaan (II.3) diperoleh citra hasil deteksi tepi keseluruhan seperti ditunjukkan Gambar II.3.(d). (a) (b) (c) (d) Gambar II.3. Contoh Hasil Deteksi Tepi Prewitt (Sumber : Nixon dan Aguado, 2002) Keterangan Gambar : (a) Citra Asli (c) Hasil deteksi tepi vertikal (Mx) (b) Hasil deteksi tepi horisontal (My) (d) gabungan (c) dan (d) (M) 11

II.1.2 Deteksi Tepi Canny Deteksi tepi dengan operator-operator pada II.1.1 masih memiliki kelemahan, diantaranya pada satu perubahan nilai piksel akan diperoleh banyak piksel tepi seperti ditunjukkan pada Gambar II.3.(d). Disamping itu, derau dan tekstur yang memiliki variasi nilai piksel yang cukup tinggi (tekstur kasar) pada suatu citra dapat juga terdeteksi sebagai tepi. Sebagai contoh, pada deteksi tepi dengan metode Prewitt, derau pada Gambar II.4.(a) terdeteksi sebagai piksel tepi. Lihat Gambar II.4.(b) (a) (b) Gambar II.4 Citra dengan derau dan tekstur dan hasil deteksi tepi Prewittnya (Sumber : MATLAB R2007a User Guide, 2007) Upaya perbaikan terhadap hasil deteksi tepi telah banyak diteliti orang dengan mengembangkan berbagai metode. Salah satu metode yang dikenal secara luas adalah deteksi tepi metode Canny yang memiliki kriteria sebagai berikut [Nixon dan Aguado, 2002]: Deteksi tepi optimal tanpa adanya kesalahan deteksi; Lokalisasi yang baik dengan jarak minimal antara tepi terdeteksi dengan posisi tepi sebenarnya; Respon tunggal terhadap tepi unsur. Untuk mengakomodasi kriteria-kriteria tersebut di atas, [Canny, 1986] menambahkan pula prosedur-prosedur perbaikan sebelum dan sesudah pendeteksian tepi (pre dan post processing) agar hasil deteksi tepi yang diperoleh 12

menjadi lebih baik. Pre dan post processing yang dilakukan pada deteksi tepi metode Canny menyangkut [Nixon dan Aguado, 2002] : Smoothing (preprocessing); Non maximum suppresion (post-processing); Hysteresis thresholding (post-processing). Proses smoothing dilakukan untuk menghilangkan derau dan menurunkan pengaruh tekstur pada citra sehingga diperoleh hasil deteksi yang lebih baik. Pada metode Canny, digunakan filter gaussian dalam bentuk matriks template yang merupakan bobot (weight) dalam perhitungan nilai rata-rata suatu kelompok piksel pada citra input yang diantaranya berukuran 3x3. Lihat Gambar II.5. 0.37 0.61 0.37 0.61 1 0.61 0.37 0.61 0.37 Gambar II.5. Matriks template dari filter Gaussian Nilai matriks template pada Gambar II.5 tersebut di atas diperoleh dari persamaan (II.4) yang merupakan fungsi sebaran normal gauss g pada koordinat x, y dimana besarnya nilai elemen matriks template ditentukan oleh nilai σ 2 [Nixon dan aguado, 2002]. (, ) = (II.4) Sebagai contoh, penerapan filtering Gaussian pada Gambar II.4.(a) akan menghasilkan citra terfilter yang ditunjukkan oleh Gambar II.6.(a). Pada hasil deteksi tepi dengan metode Prewitt pada citra terfilter tersebut (Gambar II.6.(b)), nampak bahwa sebagian derau yang terdeteksi sebagai tepi berkurang. 13

(a) (b) Gambar II.6. Hasil deteksi tepi pada citra terfilter Keterangan Gambar : (a) Hasil filtering dengan metode Gaussian (b) Hasil deteksi tepi Prewitt pada hasil filtering dengan metode Gaussian Proses Non Maximum Suppression yang mirip dengan proses thinning (perampingan) dilakukan untuk menentukan piksel tepi dengan posisi paling mendekati lokasi terjadinya perubahan nilai piksel diantara banyaknya piksel tepi yang terdeteksi. Dimana pada umumnya, perubahan nilai piksel berada pada pusat kumpulan piksel tepi [Nixon dan Aguado, 2002]. Sebagai contoh nampak pada Gambar II.3.(d), sebagian diantara piksel-piksel tepi perlu dihilangkan karena perubahan nilai piksel pada citra input (Gambar II.3.(a)), hanya pada batas antara piksel hitam dan piksel putih saja. Penentuan pusat kumpulan piksel tepi diantaranya dengan penghitungan jarak Euclides antara setiap piksel tepi p(x,y) ke piksel bukan tepi q(s,t) yang memiliki bentuk persamaan (II.5). D = ([x s] 2 + [y-t] 2 ) 1/2 (II.5) Dimana piksel pada pusat suatu kumpulan piksel akan memiliki jarak ke piksel tepi terjauh. Disamping itu, jarak Euclides pada sumbu vertikal dan horisontal memiliki nilai yang sama dengan selisih koordinat pikselnya. Lihat Gambar II.7. 14

(a) (b) Gambar II.7 Jarak Euclides pada satu piksel dengan piksel sekitarnya (Sumber : Gonzales dan Woods 2002) Keterangan Gambar : (a) Jarak elementer (baris, kolom) dari pusat kelompok piksel (b) Jarak Euklides dari pusat kelompok piksel Sebagai contoh, jarak Euclides antara piksel-piksel tepi (hitam) ke piksel bukan tepi (putih) pada suatu citra tepi biner (Gambar II.8.(a)) akan menghasilkan besaran jarak-jarak Euclides (Gambar II.8.(b)). Pada proses thinning, piksel dengan jarak Euclides lebih besar dari suatu nilai threshold T = 1.4 berdasarkan persamaan (II.6) sehingga pada akhirnya tetap memiliki nilai 0 (hitam). Lihat Gambar II.8.(c). (II.6) Keterangan : a. Hasil deteksi tepi b. Hasil penghitungan jarak euclides c. Hasil thinning (a) (b) (c) Gambar II.8 Contoh proses thinning Jarak Euklides 1 1.4 2 Berbeda dengan metode thinning, pada proses Non Maximum suppresion, pengubahan menjadi citra biner tersebut menggunakan dua nilai threshold T 1 dan T 2 dimana T 1 > T 2 yang sering disebut juga hysteresis thresholding [Nixon dan 15

Aguado,2002]. Setiap piksel tepi dengan nilai lebih besar dari T 1 dipertahankan sebagai piksel tepi. Piksel tepi di sekitar piksel tepi yang nilainya lebih besar dari nilai threshold T 1 di atas juga dipertahankan sebagai piksel tepi jika nilainya masih lebih besar dari T 2. Dari sudut pandang hysteresis thresholding, contoh pada Gambar II.8.(c) dapat diperoleh dengan nilai-nilai threshold T 1 = 2 dan T 2 = 1.4. Hasil dari rangkaian proses deteksi tepi dengan metode Canny pada suatu adalah citra biner yang terdiri dari piksel-piksel tepi tunggal seperti pada Gambar II.9. (a) (b) (c) (d) Gambar II.9 Contoh proses deteksi tepi Canny (Sumber : Nixon dan Aguado, 2002) Keterangan : (a) Citra terfilter (b) Hasil deteksi tepi Sobel (c) Hasil Non maximum suppression (d) Hasil Hysteresis thresholding Variasi nilai piksel pada citra yang merupakan salah satu faktor penentu keberadaan tepi dapat ditinjau sebagai fungsi dari waktu. Sebagaimana dijelaskan pada pendahuluan bahwa citra yang merupakan rekaman dari gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang tertentu adalah juga merupakan suatu rekaman sistem sinyal, variasi nilai piksel akan nampak sebagai fluktuasi gelombang pada satuan waktu tertentu [Bultheel, 2002] yang identik dengan frekuensi dari suatu sistem sinyal [Mallat, 2005]. Sebagai contoh, variasi nilai piksel pada satu baris dari citra pada Gambar II.10.(a) akan nampak sebagai fluktuasi gelombang sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar II.10.(b). Besarnya variasi nilai piksel tersebut identik dengan frekuensi dari sinyal. Lihat Gambar II.10.(c). 16

f(t) 200 100 0 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 t (b). Variasi Intensitas (a) Citra asli t 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 (c). Frekuensi Gambar II.10 Citra, Variasi intensitas dan frekuensinya pada satu baris citra (Sumber : Mallat, 2005) Oleh sebab itu metode analisis untuk sistem sinyal akan dapat diterapkan pada sistem citra. Salah satu metode yang dapat digunakan diantaranya adalah transformasi Wavelet. II.2 Teori Wavelet Suatu jenis data dapat dimodelkan sebagai sistem sinyal yang merupakan fungsi dari waktu. Analisis terhadap karakteristik yang hanya terdapat pada selang waktu tertentu (biasa disebut karakteristik lokal) antara lain dilakukan dengan memisahkan sebagian dari fungsi dengan cara mengalikan fungsi dengan suatu fungsi jendela [Goswami dan Chan, 1999]. (II.7) Fungsi jendela didefinisikan sebagai fungsi dengan nilai (t) pada rentang waktu dan memiliki nilai nol di luar rentang tersebut [Goswami dan Chan, 1999]. Dengan titik pusat awal, fungsi jendela akan memiliki bentuk yang ditunjukkan Gambar II.11. 17

t - 0 Gambar II.11 Fungsi Jendela (Sumber : Goswami dan Chan, 1999) Agar fungsi pada, tercakup oleh fungsi jendela, maka fungsi jendela tersebut perlu digeser sedemikian rupa sehingga memiliki nilai titik pusat. Jika nilai suatu fungsi jendela (t) = 1 maka fungsi pada dapat dihitung dengan persamaan : (II.8) Nilai pada persamaan (II.8) merupakan parameter pergeseran rentang waktu dari fungsi jendela sehingga fungsi jendela dapat digunakan untuk membatasi nilai pada setiap satuan waktu. Sebagai contoh, jika adalah fungsi sinusoidal (Gambar II.12.(a) dengan perturbasi pada t = 0.7 dan t = 1.3, maka fungsi jendela, dengan titik pusat t = 0.4 dan lebar [-0.1, 0.1] akan menghasilkan nilai yang sama dengan elemen fungsi sinusoidal tersebut. Lihat Gambar II.12.(b). (a) (b) Gambar II.12 Fungsi Jendela dan hasil pemisahannya (Sumber : Goswami dan Chan, 1999) 18

Namun fungsi jendela tersebut di atas tidak dapat memisahkan perturbasi yang ada pada Gambar II.12.(a). Ini disebabkan karena lebar rentang fungsi jendela bersifat tetap [Goswami dan Chan, 1999]. Contoh lain, jika pada suatu sistem sinyal yang memiliki frekuensi yang bervariasi (Gambar II.13) dilakukan analisis menggunakan suatu fungsi jendela dengan lebar CD, maka fungsi pada rentang AB tidak tercakup oleh fungsi jendela tersebut. Gambar II.13. Sinyal yang frekuensinya berubah seiring dengan waktu (Sumber : Goswami dan Chan, 1999) Kelompok data pada sistem sinyal yang ditunjukkan oleh Gambar II.13 memiliki rentang waktu yang berbeda-beda. Untuk mengatasi hal ini perlu digunakan fungsi jendela yang rentangnya dapat melebar jika frekuensi menurun, dan menyempit jika frekuensi meningkat. Konsep ini menjadi salah satu dasar pengembangan transformasi Wavelet dimana pemisahan terhadap suatu sistem sinyal dengan fungsi jendela (persamaan (II.7)) digantikan oleh fungsi Wavelet [Goswami dan Chan, 1999]. Lihat persamaan (II.9) (II.9) Fungsi penganalisis wavelet pada persamaan (II.9) di atas nilai rentangnya diperoleh dengan persamaan (II.10) [Goswami dan chan, 1999]. (II.10) 19

Parameter dan masing-masing adalah parameter pergeseran dan penyekalaan yang digunakan untuk memodifikasi fungsi wavelet sehingga dapat mencakup rentang waktu dan posisi yang berbeda-beda. Dapat dilihat dalam (II.10) bahwa dengan mengecilkan nilai skala, akan mencakup rentang waktu yang lebih lebar dari pada bentuk awalnya seperti pada Gambar II.12 dan II.13[Goswani dan Chan 2002]. Beberapa fungsi Wavelet yang biasa digunakan antara lain fungsi Wavelet Haar, Daubechy3, dan Symlets3 yang bentuknya ditunjukkan oleh Gambar II.14 [Bunthel, 2002]. Bentuk dasar fungsi wavelet ini memiliki nilai rata-rata sama dengan 0 [Mallat, 2005]. (a) (b) (c) Gambar II.14 Beberapa bentuk Fungsi Wavelet II.2.1 Dekomposisi Wavelet Pada Citra Proses pemisahan komponen suatu sistem sinyal menjadi komponen berfrekuensi tinggi dan frekuensi rendah disebut juga dengan proses dekomposisi. Sebagai contoh, pada persamaan (II.11) dapat dilihat sebuah sistem sinyal diskrit yang memiliki 8 sampel: x = (x 1, x 2,..., X 8 ) = (1,3,5,7, 2, -1, -3, -2) (II.11) Plot grafis dari data sinyal diskrit dapat digambarkan sebagai diagram batang pada sistem koordinat kartesian seperti pada gambar II.15. 20

Gambar II.15 Plot Sinyal Diskrit (Sumber : Bultheel, 2002) Transformasi Wavelet dengan fungsi penganalisis haar memisahkan data tersebut ke dalam komponen nilai rata-rata yang identik dengan frekuensi rendah (Gambar II.16.(a)) dan nilai selisih antara nilai rata-rata tersebut dengan data aslinya yang identik dengan frekuensi tinggi. Lihat pada Gambar II.16.(b) (a) Gambar II.16 Plot rata-rata (a) dan selisih sampel (b) (Sumber : Bultheel, 2002) (b) Komponen sinyal pada gambar II.16 diatas dapat disederhanakan menjadi unit satuan sinyal yang nilainya sama dengan nilai rata-rata dengan lebar rentang dua kali lebar rentang asli (Gambar II.17.(a)), serta blok Wavelet (Gambar II.17.(b)) tang memiliki bentuk sama dengan fungsi wavelet haar pada gambar II.14.(a). (a) (b) Gambar II.17 a.unit satuan rata-rata sinyal dan b.selisih sinyal (Sumber : Bultheel, 2002) 21

Proses dekomposisi tersebut di atas dapat dilakukan secara berulang (multilevel decomposition). Pada tiap perulangan, nilai aproksimasi dijadikan input dari proses dekomposisi pada level selanjutnya [Arrelano,2003]. Lihat Gambar II.18. Gambar II.18 Dekomposisi Multilevel (Sumber : Arrelano, 2003) II.2.2 Pengolahan Citra Dengan Transformasi Wavelet Dalam konteks dua dimensi, transformasi Wavelet didefinisikan sebagai produk tensor dari transformasi Wavelet satu dimensi pada arah vertikal, horisontal, dan diagonal masing-masing dengan persamaan II.12-II.15 [Arrelano, 2003]. Aproksimasi : (II.12) Detail horizontal, vertikal, dan diagonal : (II.13) (II.14) (II.15) Sebagai contoh, transformasi Wavelet pada elemen baris dari suatu Citra berukuran 4x4 akan menghasilkan data aproksimasi α dan detail δ. Transformasi Wavelet pada a akan menghasilkan nilai A dan Dv yang merupakan komponen aproksimasi, dan detail vertikal sedangkan transformasi Wavelet pada δ, akan menghasilkan nilai Dh, serta Dd yang merupakan komponen detail horisontal dan diagonal dari citra. Lihat Gambar II.19. 22

(1,1) (1,2) (1,3) (1,4) (1,1) (1,2) (1,3) (1,4) 1 1 (2,1) (2,2) (2,3) (2,4) (2,1) (2,2) (2,3) (2,4) 2 2 (3,1) (3,2) (3,3) (3,4) (3,1) (3,2) (3,3) (3,4) 3 3 (4,1) (4,2) (4,3) (4,4) (4,1) (4,2) (4,3) (4,4) 4 4 A Dh Dv Dd Gambar II.19 Proses dekomposisi dua dimensi Nilai pergeseran dan penyekalaan pada transformasi wavelet dua dimensi untuk suatu citra yang memiliki sifat diskrit tersebut memiliki basis 2 [Arrelano, 2003] yang ditunjukkan persamaan (II.16). (II.16) Jika nilai pergeseran dan penyekalaan pada persamaan (II.16) diterapkan pada fungsi wavelet (persamaan (II.10)), akan menghasilkan persamaan (II.17). (II.17) Dekomposisi menghasilkan citra aproksimasi dengan resolusi yang lebih rendah dan data detil atau rekaman komponen frekuensi tinggi dari sinyal [Arrelano, 2003]. Dalam hal ini, citra aproksimasi memiliki resolusi lebih rendah daripada citra input, namun memiliki cakupan (extent) yang sama. Proses dekomposisi multilevel menghasilkan citra aproksimasi dan data detail pada setiap level seperti pada gambar II.20 23

Gambar II.20 Diagram alur dekomposisi multilevel (Sumber : Cohen, 1997) Karena transformasi Wavelet ini bersifat reversibel [Cohen, 1997], maka data aproksimasi dan detail citra dapat dikembalikan (direkonstruksi) ke data asli menggunakan inversi dari fungsi Wavelet yang diterapkan pada proses dekomposisi sebagaimana diilustrasikan pada gambar II.21. Gambar II.21 Diagram alur Rekonstruksi (Sumber : Cohen, 1997) Variasi nilai piksel pada suatu citra memiliki karakteristik tertentu. Sebagai contoh variasi nilai piksel pada suatu baris yang ditunjukkan Gambar II.10.(b) dapat dikelompokkan sebagai tepi, derau, dan juga tekstur yang menyusun suatu unsur. Lihat Gambar II.22 200 f(t) a b c d e 100 0 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 t Gambar II.22 Variasi kelompok nilai piksel Keterangan Gambar : a : Tekstur kasar d : Tekstur halus b,c : Tepi e : Derau 24

Berdasarkan penelitian yang telah dikembangkan orang, transformasi Wavelet dapat menghilangkan derau [Cohen, 1997] dan juga dapat menurunkan variasi dari kombinasi nilai piksel penyusun tekstur [Mallat, 2005] yang terkait dengan proses penghalusan citra. Oleh sebab itu transformasi Wavelet dapat juga digunakan sebagai metode pre-prosessing dalam proses pendeteksian tepi. Sebagai contoh, pada hasil dekomposisi level 1 dari suatu citra yang memiliki derau (Gambar II.4.(a)) deteksi tepi yang dilakukan tidak begitu dipengaruhi oleh derau dan tekstur. Lihat Gambar II.23 (a) (b) Gambar II.23 Citra aproksimasi (level 1) dan hasil deteksi tepinya Gambar II. 23.(a) di atas merupakan hasil dekomposisi ke level 1 dari Gambar 4.a. Hasil deteksi tepi pada Gambar II.23.(b) menunjukkan sebagian besar derau dan tekstur penyusun suatu unsur (permukaan koin) tidak banyak yang terdeteksi sebagai tepi. II.3 Pengenalan Jalan Pada Hasil Deteksi Tepi Pada citra, proses deteksi tepi dilakukan pada masing-masing bagian tepi dari semua unsur. Untuk itu terkait dengan proses deteksi tepi objek jalan, setelah proses deteksi tepi dilakukan diperlukan proses pengenalan khusus untuk unsur jalan. Proses pengenalan ini terdiri dari penentuan koridor jalan dengan analisis Watershed, eliminasi percabangan dengan template matching, eliminasi piksel dengan arah yang berubah cepat dengan penghitungan perubahan arah, serta eliminasi untaian piksel pendek dengan analisis keterhubungan. 25

II.3.1 Analisis Watershed Analisis Watershed merupakan suatu metode yang digunakani untuk mendelineasi suatu area dengan ketinggian tertentu menggunakan buffer pada analisis arah aliran air [Gonzales dan Woods, 2002]. Metode tersebut dicoba digunakan untuk membatasi hasil deteksi tepi hanya pada area jalan dan sekitarnya (koridor jalan). Dengan memodelkan nilai piksel pada citra input sebagai suatu nilai data ketinggian, piksel-piksel yang memiliki variasi rendah antara lain piksel-piksel penyusun unsur jalan akan membentuk area yang cenderung mendatar Metode pengolahan citra pada analisis Watershed ini mirip dengan proses thinning seperti pada II.1.2. Perbedaannya adalah disamping melakukan proses thinning, dilakukan pula penghitungan jarak Euclides terjauh pada untaian piksel tunggal tersebut, untuk kemudian piksel dengan jarak Euclides tertentu dipertahankan sedemikian rupa sehingga akan membentuk area buffer [Gonzales dan Woods, 2002]. Sebagai contoh, pada suatu citra biner (Gambar II.24.(a)) dilakukan penghitungan jarak Euclides yang hasilnya ditunjukkan oleh Gambar II.24.(b). Piksel-piksel dengan jarak Euklides terbesar dipertahankan seperti pada metode thinning sehingga menghasilkan untaian garis Watershed (Gambar II.24.(c)) (a) (b) (c) Gambar II.24 Contoh Analisis Watershed Keterangan Gambar : a. Citra biner b. Jarak Euclides c. Garis Watershed 26

Selanjutnya pada seluruh bagian citra pada Gambar II.24.(c) dilakukan penghitungan jarak Euclides ke untaian garis watershed tersebut. Suatu area buffer akan terbentuk jika Jarak Euklides yang lebih kecil dari jarak r diberi nilai 1 dan piksel dengan jarak Euklides lebih besar dari r diberi nilai 0. Sebagai contoh, dari suatu garis Watershed (Gambar II.24.(c)) dapat dibuat buffer dengan r yang berbeda-beda. Lihat Gambar II.25. (a) (b) (c) (d) Gambar II.25 Contoh Pembuatan buffer Keterangan Gambar : a. Jarak Euclides c. r = 8 piksel b. r = 4 piksel d. r = 16 piksel Tahapan terakhir dari analisis Watershed ini adalah dengan melakukan cliping dengan mengalikan nilai piksel pada citra hasil deteksi tepi Canny dengan piksel buffer jalan tersebut di atas sehingga diperoleh citra tepi dengan piksel-piksel yang hanya berada di dalam area buffer tersebut. II.3.2 Template Matching Template Matching adalah proses penentuan bentuk susunan piksel dari suatu citra [Nixon dan Aguado, 2002]. Secara sederhana, susunan piksel-piksel dibandingkan dengan susunan citra template misalkan berukuran 3x3 yang memuat bentuk yang diinginkan seperti dicontohkan pada gambar II.26. Dalam hal ini citra yang akan diproses dengan template matching dipartisi terlebih dahulu ke citra yang ukurannya sama dengan citra template tadi. Lihat Gambar II.27. Gambar II.26 Contoh bentuk citra template (Sumber : Chiang, et. al, 2001) 27

Gambar II.27 Partisi 3x3 dari suatu citra biner Seandainya terdapat susunan piksel yang bentuknya sesuai citra template, kemudian dilakukan proses lanjutan antara lain eliminasi piksel dengan cara memberikan nilai nol. Lihat Gambar II.28. Gambar II.28 Eliminasi piksel pada template matching II.3.3 Analisis Perubahan Arah Perubahan arah pada data vektor didefinisikan sebagai selisih sudut jurusan dari suatu elemen data vektor (vertex) pembentuk jalan. Sebagai contoh, perubahan arah yang ditunjukkan pada Gambar II.29.(a) selisih antara sudut yang dibentuk oleh segmen c-a-b dengan c-a-b atau c-a-b. Perubahan arah dapat dianggap besar jika selisih sudut tersebut lebih besar dari pada 60 [Chiang, et. al, 2001]. Pada data citra, selisih sudut ini dapat dimodelkan sebagai zone-zone kombinasi arah pada suatu untaian piksel Lihat Gambar II.29.(b). Pada gambar tersebut dua dari tiga piksel berada pada zone biru. Jika piksel ketiga berada pada zone hijau, maka perubahan arah kecil sedangkan jika piksel ketiga berada pada zone merah, maka perubahan arah besar. Oleh sebab itu perubahan arah pada matriks elemen yang ditunjukkan Gambar II.29.(c) dapat dikatakan kecil karena pikselnya berada pada zone biru dan zone hijau. 28

(a) (b) (c) Gambar II.29 Batas perubahan arah pada data vektor dan raster II.3.4 Analisis Keterhubungan Analisis keterhubungan atau connectivity merupakan analisis terhadap posisi piksel-piksel yang bertetangga. Model ketetanggaan tersebut dinyatakan seperti pada gambar II.30 yang dapat berupa ketetanggaan 4 koneksi dan 8 koneksi [Nixon dan Aguado, 2002]. Gambar II.30 Hubungan 4-koneksi dan 8 koneksi (Sumber : Nixon dan Aguado, 2002) Status keterhubungan diperoleh dengan memberikan nilai pada suatu piksel berdasarkan posisinya sebagaimana dicontohkan pada gambar II.30 di atas, kemudian data keterhubungan tersebut disimpan dalam bentuk chain code [Nixon dan Aguado, 2002]. Lihat Gambar II.31 Gambar II.31 Pengkodean untaian piksel (Sumber : Nixon dan Aguado, 2002) Panjang piksel diperoleh dengan menghitung jumlah piksel pada suatu chain. Dari Gambar II.31 di atas nampak bahwa chain 1 memiliki panjang 2 piksel sedangkan chain 2 memiliki panjang 6 piksel. 29