4. GAMBARAN UMUM 4.1 Pertumbuhan Ekonomi

dokumen-dokumen yang mirip
IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

IV. GAMBARAN UMUM INFRASTRUKTUR

Tabel PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Kecamatan Ngadirejo Tahun (Juta Rupiah)

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. perubahan struktur sosial, sikap hidup masyarakat, dan perubahan dalam

BAB I P E N D A H U L U A N. sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 /

Analisis Isu-Isu Strategis

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2008

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

PERTUMBUHAN EKONOMI PADANG LAWAS TAHUN 2011

I. PENDAHULUAN. mengimbangi pertambahan angkatan kerja yang masuk ke pasar kerja. memungkinkan berlangsungnya pertumbuhan ekonomi secara terus-menerus

Pendapatan Regional / Product Domestic Regional Bruto

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya.

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan teknologi dan serta iklim perekonomian dunia.

No. 64/11/13/Th.XVII, 5 November 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI SUMATERA BARAT TRIWULAN III 2014

BAB VII PENGEMBANGAN WILAYAH MALUKU TAHUN 2011

BERITA RESMI STATISTIK

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

PERTUMBUHAN PDRB TAHUN 2013 MENCAPAI 6,2 %

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan proses perubahan sistem yang direncanakan

I. PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat menggambarkan bahwa adanya peningkatan

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2007

PERTUMBUHAN EKONOMI PADANG LAWAS TAHUN 2012

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tujuan utama pembangunan ekonomi di negara berkembang adalah

BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR

TIPOLOGI WILAYAH HASIL PENDATAAN POTENSI DESA (PODES) 2014

BAB I PENDAHULUAN. indikator keberhasilan pelaksanaan pembangunan yang dapat dijadikan tolok ukur

PERTUMBUHAN EKONOMI KEPULAUAN RIAU TRIWULAN I TAHUN 2012

Tipologi Wilayah Hasil Pendataan Potensi Desa (Podes) 2014 Provinsi Banten

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. mengedepankan dethronement of GNP, pengentasan garis kemiskinan,

I. PENDAHULUAN. dapat menikmati hasil pembangunan. Salah satu bukti telah terjadinya

IV. GAMBARAN UMUM KABUPATEN TULUNGAGUNG

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah

I. PENDAHULUAN. dalam proses pembangunan, khususnya di negara-negara berkembang. Hal ini

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

Pemerintah Kabupaten Bantul. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Akhir TA 2007 Kabupaten Bantul

PERTUMBUHAN EKONOMI KEPULAUAN RIAU TRIWULAN III TAHUN 2009

INDIKATOR EKONOMI PROVINSI JAMBI TAHUN

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN III TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi. Pertumbuhan ekonom i biasanya hanya diukur berdasarkan kuantitas

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu bangsa. Industrialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan masyarakat. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

No.11/02/63/Th XVII. 5 Februari 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI KEPULAUAN RIAU TRIWULAN I TAHUN 2011

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2007

IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Gambaran Umum Inflasi di Pulau Jawa

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN II-2011

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 -

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masalah pembangunan ekonomi bukanlah persoalan baru dalam

Potensi Desa (Podes) 2014 Provinsi Riau

PERTUMBUHAN EKONOMI PAPUA BARAT TRIWULAN II-2013

BAB I PENDAHULUAN. Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan komoditas yang memegang. peranan sangat vital dalam menggerakkan semua aktivitas ekonomi.

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BAB I PENDAHULUAN. bukan lagi terbatas pada aspek perdagangan dan keuangan, tetapi meluas keaspek

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional secara makro pada hakekatnya bertujuan untuk

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Model ekonomi keseimbangan umum digunakan untuk menganalisis secara

4 DINAMIKA PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN JAWA BARAT

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. membentuk kerja sama antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses bagaimana suatu

I. PENDAHULUAN. itu pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan perkapita serta. yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk maju dan berkembang atas

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

PERTUMBUHAN EKONOMI KEPULAUAN RIAU TRIWULAN III TAHUN 2013

DAFTAR ISI. PERATURAN BUPATI MURUNG RAYA KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... vii

I. PENDAHULUAN. lainnya dapat hidup dan beraktivitas. Menurut Undang-Undang Nomor 24

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI NTT. 4.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi NTT

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2011

V. PEMBAHASAN. perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk

PERTUMBUHAN EKONOMI KEPULAUAN RIAU TRIWULAN I TAHUN 2010

BAB I PENDAHULUAN. rakyat. Pembangunan merupakan pelaksanaan dari cita-cita luhur bangsa. desentralisasi dalam pembangunan daerah dengan memberikan

Katalog BPS :

BAB I PENDAHULUAN. daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan potensi, aspirasi

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

A. Proyeksi Pertumbuhan Penduduk. Pertumbuhan Penduduk

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya dalam jangka panjang akan berdampak terhadap perubahan

Transkripsi:

4. GAMBARAN UMUM 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan dasar pengukuran atas nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha yang timbul akibat adanya aktivitas ekonomi dalam suatu wilayah tertentu. PDRB sering dianggap sebagai ukuran terbaik untuk kinerja perekonomian. Tujuan dari penghitungan PDRB adalah meringkas aktivitas ekonomi di suatu wilayah dalam suatu nilai uang tertentu selama periode waktu tertentu. Ada tiga pendekatan untuk menghitung statistik ini. Pertama, pendekatan produksi, yaitu dengan menghitung jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi. Kedua, pendekatan pendapatan, PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi. Ketiga, pendekatan pengeluaran, dengan menghitung semua komponen permintaan akhir. Ukuran yang dihitung dari PDRB atas dasar harga konstan yang menunjukkan peningkatan volume output ekonomi dari tahun ke tahun setelah menghilangkan unsur inflasi (kenaikan harga secara terus-menerus) yaitu pertumbuhan ekonomi. Ukuran ini masih digunakan sampai sekarang sebagai ukuran kinerja pembangunan. % Sumber: BPS (diolah), Tahun 1994-2009 Gambar 9 Pertumbuhan ekonomi di Jawa dan Luar Jawa, Tahun 1994-2009 Pada kurun waktu 1994-2009 rata-rata pertumbuhan ekonomi provinsi di pulau Jawa dan Luar Jawa cukup berfluktuatif. Penurunan aktivitas ekonomi

terjadi pada kurun waktu 1997-1999, dimana pada kurun waktu tersebut Indonesia mengalami krisis ekonomi. Pertumbuhan ekonomi tertinggi baik di Jawa maupun Luar Jawa tercatat di Tahun 1994. Hal ini cukup menarik mengingat pada tahun tersebut belum dilaksanakan desentralisasi fiskal, sehingga kondisi ini memberikan dugaan awal bahwa proses desentralisasi kiranya tidak memberikan pengaruh terhadap membaiknya aktifitas perekonomian. Mengamati kontribusi PDRB per sektor selama periode 2000-2009, ternyata sektor industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran yang paling banyak memberikan kontribusi terhadap PDRB di Jawa. Hal yang berbeda terjadi di Luar Jawa, dimana sektor pertanian dan sektor pertambangan dan penggalian yang berkontribusi paling besar terhadap PDRB di Luar Jawa. Sektor industri memberikan kontribusi sekitar 29,93 persen dan sektor perdagangan, hotel dan restoran sekitar 22,66 persen terhadap PDRB Pulau Jawa. Sedangkan sektor pertanian memberikan kontribusi sekitar 21,93 persen, dan untuk sektor pertambangan dan penggalian sekitar 20,78 persen terhadap PDRB Luar Jawa. Sumber: BPS (diolah), Tahun 2000-2009 Gambar 10 Kontribusi PDRB Per Sektor di Jawa dan Luar Jawa, Tahun 2000 2009 4.2 Perkembangan Infrastruktur 4.2.1 Infrastruktur Listrik Energi listrik merupakan salah satu unsur yang sangat diperlukan bagi jalannya roda perekonomian, baik bagi sektor rumah tangga untuk pemenuhan kebutuhan bagi pemerintah untuk mendorong terciptanya kesejahteraan

masyarakat. Keperluan tersebut meningkat sejalan dengan perkembangan teknologi, karena banyaknya kegiatan produksi dan penggunaan sarana kehidupan berteknologi tinggi yang menggunakan listrik. Ketersediaan pasokan listrik merupakan prasyarat bagi terselenggaranya kegiatan ekonomi karena hampir semua aktivitas masyarakat bergantung pada tenaga listrik. Sebagian besar kebutuhan listrik di Indonesia dipenuhi oleh PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) walaupun masih belum menjangkau seluruh wilayah nusantara karena belum semua wilayah di Indonesia tersambung dalam jaringan PLN. Sumber: PLN (diolah), Tahun 1993-2009 Gambar 11 Banyaknya Energi Listrik Terjual di Jawa dan Luar Jawa, 1993-2009 Banyaknya energi listrik yang terjual di Jawa lebih banyak dibandingkan di Luar Jawa. Hal ini disebabkan karena jumlah penduduk, rumahtangga dan industri memang lebih banyak di Pulau Jawa. Berdasarkan kelompok pelanggan PLN, kelompok industri merupakan yang paling banyak mengkonsumsi energi listrik baik di Jawa maupun Luar Jawa. Gambar 12 menunjukkan bahwa banyaknya energi listrik yang terjual di Jawa melebihi dari dua kalinya energi listrik yang terjual di Luar Jawa. Kondisi ini seharusnya menjadi concern pemerintah mengingat kondisi perekonomian Luar Jawa yang selama ini tidak lebih maju dari Jawa. Dengan demikian, diperlukan upaya pemerintah untuk lebih memperhatikan infrastruktur listrik di Luar Jawa. Berdasarkan kelompok pelanggan, rumahtangga merupakan pelanggan yang mendominasi pembelian listrik PLN. Pada tahun 2009, ada sekitar 92,48

persen pelanggan rumahtangga di seluruh Indonesia.Namun, tidak berarti bahwa rumahtangga pula yang mengkonsumsi energi listrik paling banyak. Justru pelanggan industri yang jumlahnya sangat sedikit tapi mengkonsumsi energi liatrik paling banyak. Hal ini disebabkan karena pelanggan industri menggunakan energi listrik lebih banyak, terutama untuk proses produksi yang menggunakan mesin-mesin. Gwh/Rumahtangga Sumber: PLN dan BPS (diolah), Tahun 1993-2009 Gambar 12 Perbandingan Jumlah Produksi Listrik per Rumahtangga antara Jawa dan Luar Jawa, Tahun 1993-2009 Gambar 13 menunjukkan bahwa kualitas infrastruktur listrik Pulau Jawa jauh di atas Luar Jawa. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya capaian jumlah produksi listrik per rumah tangga di Pulau Jawa yang jauh mengungguli Luar Jawa. Tercatat pada tahun 2009 jumlah produksi listrik per rumah tangga di Jawa mencapai 2,86 Gwh per rumah tangga sedangkan di Luar Jawa hanya mencapai 1,44 Gwh per rumah tangga. 4.2.2 Infrastruktur Air Bersih Penyediaan infrastruktur air bersih berkaitan dengan aspek-aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Dalam aspek ekonomi, sektor air bersih dituntut menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah ekonomi dalam rangka memandu alokasi sumber daya air dan mendorong terselenggaranya sektor usaha selayaknya corporate yang profesional, berperilaku efisien, dan menghasilkan manfaat bagi sektor ekonomi lainnya. Dalam aspek sosial, sektor air bersih berhubungan dengan nilai-nilai sosial yang harus diaspirasikan dalam pembangunan serta

kedudukannya sebagai sektor publik yang paling mendasar. Sedangkan dalam aspek lingkungan, sektor air bersih berhadapan dengan implikasi yang bernuansa sosial dan memengaruhi alokasi sumber daya air. Sinergi antara aspek lingkungan dan sosial dapat menentukan perilaku pengelolaan sumber daya air dan permintaan air bersih (Nugroho, 2003). m 3 Sumber: BPS (diolah), Tahun 1993-2009 Gambar 13 Banyaknya Volume Air Bersih yang Disalurkan PDAM, 1993-2009 Banyaknya volume air bersih yang disalurkan PDAM di Jawa lebih banyak daripada Luar Jawa. Gambar 14 menunjukkan bahwa pada periode 1993-2001, perbedaan volume air yang disalurkan PDAM di Jawa dan Luar Jawa tidak sebesar perbedaan yang terjadi pada periode 2002-2009. Kondisi tersebut terkait erat dengan melonjaknya peningkatan volume air yang disalurkan PDAM di Jawa. M 3 /Rumahtangga Sumber: BPS (diolah), Tahun 1993-2009 Gambar 14 Perbandingan Air Bersih yang Disalurkan PDAM per Rumahtangga Di Jawa dan Luar Jawa, Tahun 1993-2009

Pada periode 1993-2009, akses rumahtangga terhadap air bersih di Jawa sebelum tahun 2002 lebih buruk daripada akses rumahtangga di Luar Jawa. Mulai tahun 2002 akses rumahtangga di Jawa terhadap air bersih membaik bahkan lebih baik di Jawa pada tahun 2002 yaitu sebesar 47,52 persen dibandingkan tahun sebelumya. Oleh karena itu, terdapat perubahan pola akses rumhatangga terhadap air bersih mulai tahun 2002 (gambar 15). 4.2.3 Infrastruktur Jalan Infrastruktur jalan sangat penting dalam perekonomian karena angkutan darat sampai saat ini masih menjadi sistem transportasi yang utama. Pelayanan dan kapasitas jalan berkaitan dengan terselenggaranya mobilitas penduduk maupun barang dan jasa, menunjang aktivitas ekonomi dalam pembangunan dan menjadi penghubung antar wilayah yang menjadi pusat produksi dengan daerah pemasarannya. Ketersediaan jalan yang efektif memungkinkan penularan pertumbuhan ekonomi ke daerah lainnya. Penularan disini memiliki arti bahwa prasarana jalan turut berperan dalam merangsang tumbuhnya wilayah-wilayah baru yang akhirnya akan menimbulkan trip generation baru yang akan meningkatkan volume lalu lintas yang terjadi. km Sumber: BPS (diolah), 1993-2009 Gambar 15 Panjang Jalan Kondisi Baik dan Sedang di Jawa dan Luar Jawa, Tahun 1993-2009 Panjang jalan di Jawa dengan kondisi baik dan sedang lebih pendek dibandingkan di Luar Jawa. Kondisi ini disebabkan karena luas wilayah Pulau

Jawa jauh lebih kecil yaitu sekitar 6,4 persen dibandingkan Luar Jawa. Pertumbuhan panjang jalan baik dan sedang di Jawa dan Luar Jawa pada periode 1993-2009 masing-masing sebesar 6 persen dan 6,84 persen per tahunnya. Dan ketika dilihat pertumbuhan jumlah kendaraan pada periode yang sama, di Jawa tumbuh sebesar 16,34 persen per tahun dan di Luar Jawa sebesar 19, 54 persen per tahun. Namun, lebih tingginya jumlah kendaraan di Luar Jawa ternyata tidak menyebabkabkan akses di Luar Jawa lebih buruk dibandingkan Jawa. Hal ini disebabkan lebih panjangnya jalan di Luar Jawa. Pulau Jawa yang panjang jalannya lebih pendek dengan jumlah kendaraan yang lebih banyak menyebabkan kemacetan sehingga mobilitas akan terganggu. Selain itu, kemacetan juga menyebabkan biaya transportasi tinggi dan terganggunya sistem distribusi. Km/kendaraan Sumber: BPS (diolah), Tahun 1993-2009 Gambar 16 Rasio Panjang Jalan terhadap Jumlah Kendaraan di Jawa dan Luar Jawa, Tahun 1993-2009 Tingkat mobilitas merupakan rasio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan. Semakin rendah nilai ini menggambarkan semakin padat kendaraan dan semakin menuju kemacetan. Gambar 16 menunjukkan bahwa rasio jalan per kendaraan di Luar Jawa masih sangat tinggi dan sebaliknya di Pulau Jawa rasio jalan per kendaraan sangat rendah. Hal ini tidak mengherankan mengingat kepadatan lalulintas di Jawa sudah cukup tinggi sehingga akses kendaraan terhadap jalan menjadi sangat rendah. Apabila dibandingkan tiap tahunnya, rasio jalan per kendaraan baik di Jawa maupun di Luar Jawa menunjukkan tren penurunan, artinya tiap tahunnya terjadi tren penurunan akses kendaraan terhadap jalan (semakin padat lalulintasnya).

Keunggulan bagi suatu negara untuk bersaing secara kompetitif dalam memasarkan produknya harus didukung dengan sistem jalan yang baik. Disisi lain, sistem jalan yang berkualitas juga dapat meningkatkan pengembangan industri, mendistribusikan populasi dan meningkatkan pendapatan. Sebaliknya, prasarana jalan yang minim dan buruk menjadi hambatan dalam mengembangkan perekonomian. Sistem jalan yang tidak memadai dapat menghambat aktivitas ekonomi. 4.2.4 Infrastruktur Kesehatan Sarana dan prasarana kesehatan yang memadai mencerminkan kualitas sumber daya manusia dalam wilayah tersebut. Dalam penelitian ini, variabel yang digunakan sebagai infrastruktur kesehatan adalah puskesmas. Puskesmas pada saat ini tidak hanya berfungsi untuk memberikan layanan kesehatan, akan tetapi berperan pula untuk memberikan perbaikan gizi keluarga. Semakin tinggi jumlah penduduk yang tidak mendapatkan fasilitas akses kesehatan, maka akan semakin tinggi resiko penularan penyakit ataupun gizi buruk, yang selanjutnya kualitas kesehatan masyarakat akan menurun. Kualitas kesehatan yang buruk akan berdampak pada produktifitas yang dihasilkan. Peningkatan modal manusia, peningkatan produktifitas, kemampuan mengadaptasi dan menggunakan teknologi dalam produksi dan kemampuan mengadaptasi perubahan kapasitas dan teknologi tersebut pada akhirnya akan mendorong perekonomian suatu negara serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi. unit Sumber: Departemen Kesehatan (diolah), 1993-2009 Gambar 17 Jumlah Puskesmas di Jawa dan Luar Jawa, Tahun 1993-2009

Selama periode 1993-2009, jumlah puskesmas di Luar Jawa selalu lebih banyak dibandingkan Jawa (gambar 17). Hal ini dapat dipahami mengingat pembangunan puskesmas yang dilakukan di setiap kecamatan, dimana jumlah kecamatan di Luar Jawa lebih banyak daripada di Jawa. Unit/penduduk Sumber : Departemen Kesehatan dan BPS Gambar 18 Perbandingan Rasio Puskesmas per Penduduk antara Jawa dan Luar Jawa, 1993-2009 Puskesmas sebagai unit pelayanan kesehatan yang terinstitusionalisasi mempunyai kewenangan yang besar dalam mencipta inovasi model pelayanan kesehatan. Untuk itu dibutuhkan komitmen dan kemauan untuk meningkatkan/meratakan kualitas dan kuantitas pelayanan kesehatan. Kualitas infrastruktur kesehatan diukur dengan nilai rasio puskesmas per penduduk. Gambar 18 menunjukkan bahwa akses infrastruktur kesehatan di Luar Jawa masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan Pulau Jawa. Hal ini tercermin dari tingginya nilai rasio puskesmas per penduduk di Luar Jawa. Rendahnya nilai rasio ini juga menunjukkan bahwa akses penduduk terhadap fasilitas kesehatan (dalam hal ini adalah puskesmas) di Luar Jawa masih lebih tinggi dari Pulau Jawa. Nilai rasio puskesmas per penduduk di Luar Jawa berfluktuatif tiap tahunnya. Meskipun demikian pada kurun waktu 1993-2009 nilai rasio ini menunjukkan tren yang meningkat. Nilai rasio puskesmas per penduduk di Pulau Jawa, sebaliknya menunjukkan tren penurunan tiap tahunnya. Tercatat pada tahun 2009 rasio puskesmas per penduduk di Pulau Jawa mencapai nilai terendah yaitu sebesar 25,75 puskesmas per 1 juta penduduk. Angka yang cukup

mengkhawatirkan mengingat 1 puskesmas harus melayani sebanyak 38.831 penduduk. 4.3 Kemiskinan Dinamika kemiskinan per provinsi antara Pulau Jawa dan Luar Jawa cukup berfluktuatif pada kurun waktu 1993-2009. Jumlah penduduk miskin di Pulau Jawa tiap tahunnya jauh melebihi jumlah penduduk miskin di Luar Jawa, hal ini dipicu oleh jumlah penduduk di Pulau Jawa yang melebihi penduduk di Luar Jawa. Sumber: BPS (diolah), Tahun 1993-2009 Gambar 19 Perbandingan Persentase Jumlah Penduduk Miskin di Pulau Jawa dan Luar Jawa, Periode 1993-2009 Persentase penduduk miskin tertinggi di Pulau Jawa tercatat terjadi di tahun 1999 yaitu sebesar 59,62 persen. Tingginya jumlah penduduk miskin di tahun ini merupakan imbas dari adanya krisis ekonomi tahun 1997-1998. Sebaliknya Jumlah penduduk miskin di Luar Jawa pada tahun 1999 justru menurun. Hal ini terkait erat dengan kondisi masyarakat di Luar Jawa yang bergantung terhadap hasil pertanian (agricultural base economic) sehingga penduduk di Luar Jawa tidak terimbas terhadap krisis ekonomi 1997-1998. Selama periode 1993-2009, persentase penduduk miskin tertinggi di Luar Jawa terjadi pada tahun 2001, yaitu sebesar 44,52 persen.