STRUKTUR KOMUNITAS PELECYPODA DI PERAIRAN PANTAI LOLA DESA KALANG BATANG KABUPATEN BINTAN. Jemathir Indra Jaya

dokumen-dokumen yang mirip
KEANEKARAGAMAN GASTROPODA DI PERAIRAN PESISIR TANJUNG UNGGAT KECAMATAN BUKIT BESTARI KOTA TANJUNGPINANG

BAB III METODOLOGI. Gambar 1. Peta Lokasi penelitian

KEANEKARAGAMAN BIVALVIA PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN PULAU PENGUJAN. Herry Mahasiswa Jurusan Ilmu Kelautan, FIKP UMRAH,

BAB III METODE PENELITIAN

ANALISIS SUMBERDAYA BIVALVIA PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN DAN PEMANFAATANNYA DI DESA PENGUDANG KABUPATEN BINTAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN. analisa Indeks Keanekaragaman (H ) Shannon Wienner, Indeks Dominansi (D)

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. yang dilaksanakan adalah penelitian survei yaitu menelusuri wilayah (gugus

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 sampai dengan April 2014.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Kerang tahu (Meretrix meretrix L. 1758)

BAB III METODE PENELITIAN. Pb, Cd, dan Hg di Pantai perairan Lekok Kabupaten Pasuruan.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kabupaten Gorontalo Utara, yang meliputi 4 stasiun penelitian yaitu:

BAB III METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Stasiun 1 ke stasiun 2 yaitu + 11,8 km. Stasiun '4.03"LU '6.72" BT. Stasiun 2 ke stasiun 3 yaitu + 2 km.

BAB III METODE PENELITIAN. Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo pada bulan September-Oktober 2012.

3. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. yang dilaksanakan adalah penelitian survei. Penelitian survei yaitu

BAB III METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN INTERTIDAL BUKIT PIATU KIJANG, KABUPATEN BINTAN

III. METODE PENELITIAN

2.2. Struktur Komunitas

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif, dengan teknik penentuan lokasi

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua

BAB III METODE PENELITIAN. Fakultas Pertanian, Universitas Negeri Gorontalo pada bulan Mei sampai Juli

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. muka bumi ini oleh karena itu di dalam Al-Qur an menyebutkan bukan hanya

BAB III METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Maret

Gambar 2. Peta lokasi pengamatan.

Fisheries and Marine Science Faculty Riau University ABSTRACT. 1). Students of the Faculty of Fisheries and Marine Science, University of Riau

STUDI EKOLOGI TERIPANG (Holothuroidea) DI PERAIRAN DESA PENGUDANG KABUPATEN BINTAN

POLA SEBARAN BIVALVIA DI ZONA LITORAL KAMPUNG GISI KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU

BAB III METODE PENELITIAN. adalah Indeks Keanekaragaman ( H) dari Shannon-Wiener dan Indeks Nilai Penting

3. METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Pengambilan data sampel menggunakan metode eksplorasi, yaitu pengamatan atau

BAB III METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. zona intertidal pantai Wediombo, Gunungkidul Yogyakarta.

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif,

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Telaga Bromo terletak di perbatasan antara desa Kepek kecamatan

KEANEKARAGAMAN JENIS BIVALVIA DI PERAIRAN KELURAHAN SENGGARANG KOTA TANJUNGPINANG PROVINSI KEPULAUAN RIAU

3. METODOLOGI PENELITAN

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif.

STUDI SEBARAN GASTROPODA DI ZONA LITORAL DAERAH PULAU PUCUNG. Alman Jurusan Ilmu Kelautan, FIKP UMRAH,

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 2 BAHAN DAN METODA

TINJAUAN PUSTAKA. kelangsungan hidup yang panjang. Oleh karena itu peran bentos dalam

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. membuat gambaran mengenai situasi atau kejadian. 1 Sehingga dalam jenis

III. METODE PENELITIAN

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

BAB V PEMBAHASAN. hari dengan batas 1 minggu yang dimulai dari tanggal Juli 2014 dan

IDENTIFIKASI POPULASI MAKROZOOBENTOS DI KAWASAN EKOSISTEM MANGROVE DESA LADONG ACEH BESAR. Lili Kasmini 11 ABSTRAK

3. METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penelitian dan pengambilan sampel di Pulau Pramuka

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Pengambilan

BAB III METODELOGI PENELITIAN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai

Gambar 3. Peta lokasi penelitian

III. METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif. Penentuan

BAB III BAHAN DAN METODE

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROALGAE PADA DAERAH LITORAL DI PERAIRAN TELUK DALAM KECAMATAN GUNUNG KIJANG KABUPATEN BINTAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode

BAB III METODE PENELITIAN

ABSTRAK. Kata kunci: Kelimpahan dan Pola sebaran mangrove, Perairan Sungai Ladi

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tingkat keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi sehingga disebut

ADI FEBRIADI. Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji

III. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan

BAB 2 BAHAN DAN METODA

II. MATERI DAN METODE PENELITIAN. 1. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1.1. Materi Penelitian Bahan

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Penelitian dilakukan di perairan Pulau Penjaliran Timur, Kepulauan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 2 BAHAN DAN METODE

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Biologi Klasifikasi Morfologi

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

TINGKAT KEANEKARAGAMAN JENIS GASTROPODA PADA ZONA INTERTIDAL PERAIRAN KAMPUNG SUNGAI CENOT DESA MANTANG BARU KECAMATAN MANTANG KABUPATEN BINTAN

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juni Pengambilan

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif eksploratif dengan metode

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia termasuk kedalam negara kepulauan yang memiliki garis

III. METODE PENELITIAN. Gambar 3.1. Lokasi Penelitian (Google Map, 2014)

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang didominasi oleh perairan,

KEPADATAN DAN DISTRIBUSI BIVALVIA PADA MANGROVE DI PANTAI CERMIN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATRA UTARA

KEANEKARAGAMAN GASTROPODA DI PERAIRAN LITORAL PULAU PENGUJAN KABUPATEN BINTAN

Transkripsi:

STRUKTUR KOMUNITAS PELECYPODA DI PERAIRAN PANTAI LOLA DESA KALANG BATANG KABUPATEN BINTAN Jemathir Indra Jaya Mahasiswa Jurusan Ilmu Kelautan, FIKP UMRAH, Jemathir Andi Zulkfikar Dosen Jurusan Manajemen Sumber Daya Perairan, FIKP UMRAH Tengku Said Razai Dosen Jurusan Manajemen Sumber Daya Perairan, FIKP UMRAH, ABSTRAK Penelitian ini dilakukan di Pantai Lola, Desa Kalang Batang, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2014 sampai dengan Januari 2015. Penentuan lokasi penelitian Pelecypoda dilakukan berdasarkan tehnik Purposive sampling. Dari hasil penelitian yang dilakukan di temukan 6 jenis-jenis pelecypoda yang terdapat di kawasan Pantai Lola yaitu Gafrarium pectinatum, Matra pura, Tellina radiate, Anadara fultoni, Isognomon dunkeri,dan Jolya letuomeuxi Sedangkan total spesies yang ditemukan untuk seluruh jenis sebanyak 168 individu, dengan nilai kelimpahan tertinggi adalah jenis Gafrarium pectinatum dengan kelimpahan 2,37 (ind/m2). Sedangkan untuk jenis yang kelimpahannya paling sedikit adalah jenis Tellina radiata dengan nilai kelimpahan jenis tesebut adalah 0,07 (ind/m2). Kemudian dari hasil penelitian di dapatkan nilai indeks keanekaragaman pelecypoda adalah sebesar 2,63 dengan kategori keanekaragaman jenis yang tergolong sedang. Nilai indeks keseragaman adalah sebesar 0,13 yang secara kategori termasuk kedalam nilai keseragaman spesies yang tergolong rendah. Untuk nilai indeks dominansi berdasarkan hasil perhitungan didapatkan nilai dominansi sebesar 0,59 dengan demikian terkategorikan dominansi jenis tertentu masih tergolong sedang. Kata Kunci : Struktur Komunitas, Pelecypoda, Pantai Lola

ABSTRACT Jaya, Jemathir Indra.2015. Community Structure of Bivalve in Lola Beach Waters Kalang Batang Village, Bintan, Thesis. Tanjungpinang: Study Programme of Aquatic Resources Management Faculty of Marine Science and Fisheries, Maritim Raja Ali Haji University. Advisor: Andi Zulfikar, S.Pi, MP. Co-advisor: Tengku Said Raza i, S.Pi, MP. This study were conducted at Lola Beach Waters Kalang Batang Village, Bintan, in November 2014 to January 2015. This study using the Purposive Samling Method. The aim of study to found 6 species pelecypoda in Lola beach are Gafrarium pectinatum, Matra pura, Tellina radiate, Anadara fultoni, Isognomon dunkeri,and Jolya letuomeuxi. Total individu Pelecypoda was values of 168 individu, the highest density value of species Gafrarium pectinatum is values 2,37 (ind/m 2 ). The lowest density value of species Tellina radiata with density values is 0,07 (ind/m 2 ). Diversity index of pelecypoda value is 2,63 with categories of medium. Similarity index of pelecypoda value is 0,13 with categories of Low. The dominant index of pelecypoda value is 0,59 with categories of medium. Keywords : Community Structure, Pelecypoda, Lola Beach

pantai dan pengembangan kawasan resort dan perhotelan. Kawasan Pantai Lola menjadi habitat hidup berbagai hewan makrozoobhentos yang berpotensi dan bernilai ekonomi serta dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber pendapatan serta konsumsi sehari hari. Jenis jenis biota makrozoobhentos yang hidup di perairan pantai Lola salah satunya adalah jenis - jenis biota invertebrata dari filum Mollusca (bivalvia/pelecypoda, gastropoda). II. METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pantai Lola, Desa Kalang Batang, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2014 sampai dengan Januari 2015. Lokasi penelitian dapat dilihat pada gambar 4 peta satelit (Google Earth,2013). I. PENDAHULUAN Pulau Bintan merupakan salah satu bagian gugus pulau yang berada di wilayah Provinsi Kepulauan Riau. Pulau Bintan termasuk daerah yang beriklim tropis, suhu rata-rata antara 22,5oC - 26,2oC, suhu terendah rata-rata 23,9oC dan tertinggi rata-rata 31,8oC, kelembaban udara berkisar antara 83%-89% (Sitorus,2011). Perairan Pesisir Pulau Bintan menyimpan potensi kelautan dan perikanan yang sangat besar, terutama potensi marikultur serta keanekaragaman biota perairan yang tinggi dan bernilai ekonomis salah satunya adalah jenis kerang-kerangan moluska, krustasea, policaeta. Namun, potensi kelautan dan perikanan di Pulau Bintan belum dimanfaatkan secara optimal dan sungguhsungguh (DKPP,2011). Potensi perikanan terutama keanekaragaman kerang kerangan moluska juga terdapat di perairan Pantai Lola Desa Kalang Batang. Perairan Pantai Lola yang terletak di Desa Kalang Batang, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan merupakan kawasan wisata Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian (Google Earth, 2014) B. Bahan Penelitian Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian meliputi bahan yang menjadi objek penelitian di lapangan dan bahan yang digunakan dalam analisis laboratorium Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Bahan yang digunakan dalam penelitian No. Bahan Keterangan 1. Pelecypoda Objek Penelitian 2. Substrat Analisis Fraksi Substrat 3. Aquades Kalibrasi alat dan membilas alat 4. Aluminium Foil Wadah pembungkus substrat 5. Kertas Label Menandai sampel 6. Plastik sampel Wadah sampel

7. 8. Tissue Formalin 10 % C. Alat Penelitian Mengeringkan alat Mengawetkan sampel Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat pengamatan objek penelitian, pengukuran parameter fisika dan kimia. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Alat yang digunakan dalam penelitian No. Keterangan Alat Kegunaan 1. Pengamatan Pelecypoda 2. Parameter fisika dan kimia pelecypoda yang secara visual hampir merata, maka ditentukan lokasi penelitian adalah perairan pantai Lola, Desa Kalang Batang, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau. Penentuan titik sampling dilakukan dengan metode simple Random Sampling dengan bantuan software VSP (Visual Sampling Plan) yaitu dengan langkah pertama menentukan area yang akan di sampling kemudian mencari luasan area sampling, lalu software tersebut akan mengacak secara otomatis area sampling yang diambil secara langsung tersebar 54 titik - Meteran pengamatan Menarik Pelecypoda garis transek yang tersebar sepanjang - Transek kuadran 100 x 100 cm perairan Pengamatan Pantai Lola Pelecypoda pada zona Pasang surut - Skop (intertidal). Pengambilan Sampel Pelecypoda - GPS 2. Alat Penentuan Bantu contoh titik koordinat / Sampel - Buku identifikasi Identifikasi Pelecypoda - Buku dan pena Pengamatan Mencatat hasil Pelecypoda penelitian menggunakan - Kamera Petak contoh Dokumentasi (Transect Plot) yang digunakan - Multi tester dalam penelitian Mengukur ini ph, adalah DO, petak suhu contoh berbentuk persegi yang dibuat dengan pipa paralon ukuran ¾ - Salt meter Mengukur kadar garam inch dan dilubangi dengan ukuran 100 x 100 cm 2. (Salinitas) Sketsa petak contoh (plot) yang digunakan untuk - Turbidity meter Mengukur kekeruhan pengamatan Pelecypoda dapat dilihat pada gambar - Current drouge Mengukur kecepatan arus 5. - Saringan bertingkat Analisis substrat D. Prosedur Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei, yaitu metode penelitian yang tidak melakukan perubahan/perlakuan khusus terhadap variabel yang akan diteliti dengan tujuan untuk memperoleh serta mencari keterangan secara faktual tentang objek yang diteliti. Data yang digunakan dalam penelitian adalah data primer dan data skunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari objeknya. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari pihak lain dan telah dilaporkan dalam bentuk publikasi. Data primer yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data yang meliputi data jenis dan struktur komunitas pelecypoda, dan data kondisi perairan. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari data pustakapustaka, penelitian terdahulu, masyarakat, Kantor Kelurahan dan Kantor Dinas Kelautan dan Perikanan. 1. Penentuan Titik Pengamatan Penentuan lokasi penelitian Pelecypoda dilakukan berdasarkan teknik Purposive sampling. Purposive sampling merupakan teknik pengambilan sampel yang digunakan apabila sampel yang akan diambil mempunyai pertimbangan tertentu (Fachrul, 2007). Berdasarkan pertimbangan habitat dan penyebaran hidup Paralon ¾ inch Gambar 5. Petak Contoh (plot) 100 cm untuk pengamatan Pelecypoda 3. Cara Pengambilan Sampel Pelecypoda Contoh (sampel) Pelecypoda diambil langsung dengan menggunakan skop dengan menggali sedalam 15 cm kedalam substrat. Pengambilan sampel dilakukan dengan bantuan skop karena substrat pada lokasi penelitian merupakan pasir, sehingga tidak memungkinkan untuk diambil langsung dengan tangan. Pelecypoda yang diambil adalah pelecypoda yang berada dalam petak contoh (plot) yang telah ditentukan sepanjang jarak pasang surut (intertidal). Contoh (sampel) Pelecypoda dimasukkan ke dalam kantong plastik bening yang telah diberi label sesuai untuk setiap titik dan plotnya. Kemudian bersihkan dari lumpur/kotoran yang menempel dan sortir berdasarkan titik dan plotnya. Contoh Pelecypoda yang sudah bersih kemudian sebelum diidentifikasi diawetkan dengan menggunakan formalin 10 %. 100 cm

4. Identifikasi Pelecypoda Contoh Pelecypoda yang sudah diawetkan, dilakukan identifikasi untuk mengetahui jenis Pelecypoda yang ditemukan. Identifikasi dilakukan dengan melihat bentuk cangkang, warna, corak dan jumlah putaran cangkang. Setiap jenis yang ditemukan dicocokan karakteristik morfologinya dengan melihat pada web identifikasi biota. Web identifikasi yang digunakan yaitu; http://www.coremap.or.id/datin/molusca.com, http://www.microseashell.com, http://www.seashellhub.com. Proses identifikasi awal dengan memisahkan jenis-jenis ditemukan setiap plot pengamatan. Bersihkan cangakang dengan air bersih untuk memperjelas corak warna. Proses identifikasi dilakukan dengan melihat corak cangkang. Bentuk puncak cangkang, warna cangkang, bentuk operculum (bukaan cangkang). E. Pengukuran Parameter Perairan Pengukuran parameter kualitas air di lakukan sebagai data pendukung dalam menggambarkan kondisi perairan pada lokasi penelitian. Pengukuran parameter perairan yang dilakukan adalah suhu, salinitas, kekeruhan, kecepatan arus, ph, DO. Pengukuran kualitas perairan dilakuan sebanyak 3 kali sampling di 3 titik (barat, tengah, dan timur) sepanjang area pengamatan, untuk pengukuran Kualitas perairan yang meliputi Salinitas, Kekeruhan, Kecepatan arus dilakukan pada saat pasang dan surut, sedangkan pengukuran Suhu, DO, dan ph dilakukan dengan ulangan pagi, siang, dan sore. 1. Suhu (ISO 9001) Pengujian suhu dilakukan dengan menggunakan multi tester (YK-2005WA),pengujian suhu dilakukan bersamaan dengan pengukuran Oksigen Terlarut (DO). Pengukuran suhu dilakukan dengan menghidupkan multi tester dengan menekan tombol ON kemudian Probe dimasukkan untuk pengukuran Suhu. Kemudian Probe pada alat tersebut dicelupkan kedalam perairan. Seluruh bagian dari probe suhu harus tercelup kedalam air yang diukur. Setelah itu didiamkan beberapa menit sampai dapat dipastikan angka yang ditunjukkan pada layar berada dalam kondisi tidak bergerak (stabil). Kemudian nilai suhu yang ditunjukkan pada layar sebalah kiri bawah multi tester tersebut dicatat hasilnya. 2. Salinitas (ISO 9001) Salinitas diukur dengan menggunakan alat Salt Meter (YK-31SA). Prosedur penggunaan alat adalah dengan menyiapkan Probe dan dimasukkan pada bagian atas Salt Meter sampai rapat dan posisi yang benar, kemudian tombol ON pada alat ditekan untuk menghidupkan alat, dan ujung Probe dimasukkan kedalam air hingga sebatas kepala probe. Probe digerakkan beberapa saat agar mempermudah dalam pembacaan pada alat dan tunggu beberapa saat hingga menunjukkan angka tetap pada tampilan (layar) alat. Tombol HOLD ditekan, jika angka yang ditunjukkan sudah benarbenar tetap (tidak berubah), catat angka yang ditunjukkan oleh alat. 3. Kekeruhan (ISO 9001) Pengukuran kekeruhan perairan diukur dengan menggunakan Turbidity meter model (TU 2010) dengan satuan NTU (Nephelometrik Turbidity Unit). Sebelum melakukan pengukuran dilakukan kalibrasi pada alat Turbidity Meter agar dapat menunjukkan angka yang sesuai. Untuk memulai kalibrasi, tombol POWER ditekan dan NTU solution (0 NTU dan 100 NTU) secara bergantian dimasukkan kedalam alat sejajar dengan tanda titik yang tertera pada alat dan botol NTU solution. Tombol TEST/CAL ditekan untuk memulai proses kalibrasi, jika angka yang ditunjukkan pada alat sesuai dengan NTU solution yang dimasukkan, maka pengukuran kekeruhan dapat dilakukan. Sampel yang telah disiapkan digoncangkan, lalu dimasukkan kedalam botol uji kekeruhan sebatas tanda tera pada botol (10 ml). Tombol TEST/CAL ditekan, ditunggu hingga layar alat menunjukkan angka tetap. 4. Kecepatan Arus (SNI 03-2819-1992) Kecepatan arus diukur dengan menggunakan tali pada Current drouge dan diletakkan pada permukaan perairan kemudian diukur jarak tempuh Current drouge tersebut dalam satuan waktu yaitu meter per detik (m/det) dari jarak awal diletakkan. Nilai kecepatan arus diperoleh dengan rumus : Keteranganan: v : Kecepatan arus (m/det) s : Jarak (m) t : Waktu (det) 5. ph (ISO 9001) Derajat Keasaman (ph) diukur dengan menggunakan alat multi tester (YK-2005WA). Prosedur pengukuran ph dengan multi tester adalah dengan menyiapkan Probe elektroda ph dan dimasukkan kedalam socket pada alat dengan benar dan pada posisi yang tepat, Tombol POWER ditekan untuk menghidupkan alat. Tombol MODE pada alat ditekan hingga layar alat menunjukkan tampilan ph dan masukkan

indikator manual untuk Suhu. Larutan Buffer Solution yang akan digunakan pada ph 4,00 disiapkan untuk mengkalibrasi alat yang ditempatkan pada Botol kalibrasi. Proses kalibrasi alat dilakukan sebelum melakukan pengukuran, dengan cara menekan tombol REC dan HOLD secara bersamaan hingga pada layar alat menunjukkan angka 4,00. Tombol ENTER ditekan untuk mengakhiri proses kalibrasi, lalu buka botol kalibrasi pada ujung alat, dan pengukuran ph dapat dilakukan, kemudian hasil yang ditunjukkan pada layar alat dicatat setelah angka yang ditunjukkan stabil (tidak berubah). 6. DO (ISO 9001) Untuk mengukur oksigen terlarut, dilakukan dengan menggunakan multi tester (YK- 2005WA). Prosedur pengukuran Oksigen Terlarut dilakukan dengan cara; Probe Oksigen terlarut (DO) disiapkan dan dimasukkan kedalam socket DO pada alat dengan benar dan pada posisi yang tepat, tombol POWER ditekan untuk menghidupkan alat. Tombol MODE pada alat ditekan, hingga layar alat menunjukkan tampilan % O2 dan indikator manual untuk Suhu dimasukkan, Dibiarkan selama 5 menit hingga angka stabil dan tidak berubah. Kalibrasi alat dilakukan sebelum melakukan pengukuran, dengan cara menekan tombol REC dan HOLD secara bersamaan. Tombol ENTER ditekan, tunggu selama 30 detik, hingga pada layar menunjukkan tampilan %O2 menunjukkan angka 20.9. Tombol FUNC ditekan hingga menunjukkan tampilan mg/l kemudian alat dapat digunakan untuk pengukuran Oksigen Terlarut. 7. Substrat (Buchanan,1984 dalam Pratama, 2013) Contoh sedimen diambil pada stasiun yang sama dengan pengambilan dan pengukuran air sampel. Sedimen diambil dengan menggunakan Ekman Grab dan dimasukkan ke dalam kantong sampel yang diberi label serta disimpan dalam cool box. Sampel sedimen selanjutnya dianalisis di laboratoriun Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan UMRAH. Analisis sampel sedimen dilakukan dengan metode pengayakan basah yang selanjutnya diklasifiksikan menurut kriteria Wenthwort untuk mengetahui ukuran butir sedimen. Prosedur metode pengayakan kering sebagai berikut: 1. Membersihkan sampel dari kotoran dan lamun yang menempel pada sedimen, kemudian sampel sedimen dikeringkan dengan membungkus sampel menggunakan Aluminium foil dan dimasukkan kedalam oven dengan suhu 60-70 0 C dalam waktu 24 jam. 2. Menimbang sampel sedimen seberat ± 100 gram sebagai berat awal, tempatkan dalam beaker Glass berisi 250 ml air dan diduk selama 10-15 menit. 3. Kemudian disaring menggunakan Sieve net yang tersusun secara berurutan dengan ukuran 2 mm, 1 mm, 0.5 mm, 0.25 mm, 0.0125 mm, 0.063 mm dan < 0.063 mm. 4. Memisahkan sampel sedimen dari setiap tingkatan, lalu dimasukkan kedalam Aluminium foil yang sudah dibentuk seperti wadah mangkuk, sampel sedimen setiap tingkat ayakan dimasukkan kedalam Aluminium foil dan di oven selama 4 jam dengan suhu 100 0 C hingga kering. 5. Sampel yang telah kering ditimbang dan dianalisis serta mengklasifikasikan dalam skala Wentworth, dipisahkan antara kerikil, pasir, dan lumpur. Selanjutnya dilakukan analisis besar butir sedimen dilakukan dengan perhitungan. Untuk menghitung % berat sedimen pada metode ayakan basah dapat digunakan rumus sebagai berikut: Setelah dilakukan perhitungan berat sedimen yang telah dikeringkan, disesuaikan dengan Tabel Klasifikasi besar butiran seperti Tabel 3 dibawah ini: Tabel 3. Skala Wentworth (1922) Untuk mengklsifikasikan partikel-partikel sedimen. Diameter Butir (mm) Kelas Ukuran Butir >256 Boulders (Kerikil Besar) 2 256 Gravel (Kerikil Kecil) 1 2 Very Coarse Sand (pasir sang 0.5 1 Coarse sand (Pasir Kasr) 0.25 0.5 Medium sand (pasir sedang) 0.125 0.25 Fine sand (pasir halus) 0.625 0.125 Very fine sand (pasir sangat h 0.002 0.00625 Silt (debu/lanau) 0.0005 0.002 Clay (lempung) < 0.0005 Dissolved material (material t Sumber: Skala Wentworth (1922) dalam Pratama (2013) Setelah ditimbang dan diketahui persentase butiran sedimen (kerikil, Pasir, Lumpur) dianalisis menggunakan segitiga Shepard untuk mengetahui jenis sedimen yang terdapat pada Stasiun Penelitian. Segitiga Shepard untuk analisis butiran sedimen dapat dilihat pada gambar 6.

dipergunakan adalah indeks Shannon-Wiener (Insafitri, 2010). Rumus yang digunakan adalah: - Pi.Log2.Pi Menurut Wilhm and Dorris (1986) dalam Insafitri, (2010) kriteria indeks keanekaragaman dibagi dalam 3 kategori yaitu : H` < 1 : Keanekaragaman jenis rendah 1 < H` < 3 : Keanekaragaman jenis sedang H` > 3 : Keanekaragaman jenis tinggi 3. Indeks Keseragaman Gambar 6. Segitiga Shepard untuk Analisis Butiran Sedimen (Shepard, 1954 dalam Pratama, 2013) Segitiga shepard tersebut menggambarkan tipe substrat dasar perariran. Nilai (presentase) yang di dapatkan dari hasil ayakan dimasukkan kedalam segitiga tersebut. Sehingga terdapat titik potong yang menunjukkan tipe substrat nya. F. Pengolahan Data 1. Kelimpahan Jenis dan Relatif Kelimpahan diartikan sebagai satuan jumlah individu yang ditemukan per satuan luas. Menurut Fachrul (2007) Perhitungan kelimpahan jenis Bivalvia/Pelecypoda dapat di rumuskan sebagai berikut : Ki= Keterangan : Ki= Kelimpahan jenis (individu/m 2 ) ni= Jumlah individu dari spesies ke-i (individu) A= Luas area pengamatan (m 2 ) Kelimpahan relatif dihitung dengan rumus kelimpahan relative menurut Fachrul (2007) sebagai berikut: KR= x 100% KR= Kelimpahan Relatif (%) ni= Jumlah individu dari spesies ke-i (individu) N= Jumlah individu dari seluruh spesies (individu) 2. Indeks keanekaragaman Indeks keanekaragaman dapat digunakan untuk mencirikan hubungan kelompok genus dalam komunitas. Indeks keanekaragaman yang Untuk mengetahui keseimbangan komunitas digunakan indeks keseragaman, yaitu ukuran kesamaan jumlah individu antar spesies dalam suatu komunitas. Semakin mirip jumlah individu antar spesies (semakin merata penyebarannya) maka semakin besar derajat keseimbangan. Rumus indeks keseragaman (e) diperoleh dari (Insafitri, 2010): Keterangan : H : Indeks keanekaragaman S : Jumlah species e : Indeks Keseragaman Evenness Dengan kisaran sebagaiberikut : E < 0,4 : Keseragaman populasi kecil 0,4 < E < 0,6 : Keseragaman populasi sedang E > 0,6 : Keseragaman populasi tinggi 4. Indeks Dominasi Indeks dominansi (C) digunakan untuk mengetahui sejauh mana suatu kelompok biota mendominansi kelompok lain. Dominansi yang cukup besar akan mengarah pada komunitas yang labil maupun tertekan. Dominansi ini diperoleh dari rumus (Insafitri, 2010): Dengan kisaran sebagaiberikut : 0,00 < C 0,50 = Rendah 0,50 < C 0,75 = Sedang 0,75 < C 1,00 = Tinggi Semakin besar nilai indeks dominansi (C), maka semakin besar pula kecenderungan adanya jenis tertentu yang mendominasi. 5. Pola Sebaran Untuk mengetahui pola sebaran jenis suatu organisme pada habitat digunakan metode pola sebaran Morisita (Brower dan Zar, 1977 dalam

Insafitri,2010). Pola sebaran dihitung dengan menggunakan rumus: Pola sebaran diuji dengan menggunakan uji Chi-square dengan membandingkan nilai harapan hitung dengan nilai pengamatan (Insafitri,2010). Chi-square dihitung dengan menggunakan rumus: Disebelah selatan berbatasan dengan Desa Gunung Kijang Disebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Sei Lekop dan Disebelah timur berbatasan dengan laut. Akses jalan yang ada di wilayah Desa Kalang Batang saat ini masih dapat dikatakan kurang bagus hanya ada =+ 11 KM yang bagus. Di sepanjang jalan masih terdapat sisa-sisa galian tambang yang sampai saat ini belum dapat dipastikan kegunaannya. Keterangan : I d = Indeks Sebaran Morisita n = Jumlah Titik Pengambilan Contoh N = Jumlah Total Individu yang terdapat dalam n plot X 2 = Jumlah Individu yang diperoleh G. Analisis Data Data yang diperoleh di tabulasi secara keseluruhan. Untuk kualitas perairan akan mengacu kepada Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut (KEPMEN LH no 51 tahun 2004). Untuk keanekaragaman gastropoda mengacu pada indeks keanekaragaman Shannon- Wiener, Selanjutnya di analisis secara deskriftif Kuantitatif dengan studi literatur dan penelitian terdahulu, serta jurnal yang diterbitkan. Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian Wilayah Desa Kalang Batang secara geografis dilihat dari topografi ketinggian wilayah Kalang Batang berada pada 0 40 m dari permukaan air laut dengan keadaan curah hujan rata-rata per tahun 30 C. Secara administrasi Desa Kalang Batang terletak diwilayah Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan. Wilayah Desa Kalang Batang secara administrasi dibatasi oleh wilayah desa-desa tetangga serta laut. Disebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Kawal, B. Komposisi Jenis & Kelimpahan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di perairan Pantai Lola, Kabupaten Bintan ditemukan 6 jenis yang terdiri dari 2 Sub-class, 4 Ordo, 6 Subfamili, 6 Famili, 6 Genus, dan 6 Spesies. Secara lengkap dapat dilihat pada tabel 4 berikut. Tabel 4. Jenis Pelecypoda yang ditemukan di Pantai Lola Class Sub Class Ordo Sub Ordo Famili Genus Spesies Nama Lokal Bivalvia (Pelecypoda) Heterodonta Veneroida Veneroidea Veneridae Gafranium Gafrarium pectinatum Kerang darah Mactroidea Mactridae Mactra Mactra pura Lokan Tellininae Tellinidae Tellina Tellina radiata Remis Pteriamorphia Arcoida Arcoidea Arcidae Anadara Anadara fultoni Kerang bulu Pterioida Pterioidea Pterjidae Isognomon Isognomon dunkeri Kerang batu Mytilaida Mytilaidea Mytilidae Jolya Jolya letuomeuxi kupang Sumber : Data Primer (2014) Hasil penelitian menunujukkan bahwa jenis pelecypoda terdapat 2 sub class yaitu Heterodonta dan Pteriamorphia, terdapat 4 ordo yaitu Veneroida, Arcoida, Pterioida, serta Mytilaida. Terdapat 7 sub family dari biota Pelecypoda yang teridentifikasi yaitu Veneroidea, Mactroidea, Tellininae, Arcoidea, Pterioidea, serta Mytilaidea. Terdapat 7 famili yang ditemukan yaitu Veneroidae, Mactroidae, Tellinidae, Arcoidae, Pterioidae, serta Mytilaidae. Terdapat 7 genus dari

kelompok Pelecypoda yang ditemukan yaitu Gafranium, Mactra, Tellina, Anadara, Isognomon, serta Jolya, dan terdapat 7 spesies yang teridentifikasi antara lain yaitu Gafranium pectinatum, Mactra pura, Tellina radiata, Anadara fultoni, Isognomon dunkeri, serta Jolya letuomeuxi. C. Kelimpahan dan Komposisi Pelecypoda Kelimpahan individu menggambarkan perbandingan banyaknya suatu individu biota akuatik per satuan luas pengamatan (m2). Hasil pengukuran kelimpahan jenis dan relatif Pelecypoda di lokasi penelitian di uraikan pada tabel 5. berikut. Tabel 5. kelimpahan jenis dan relatif Pelecypoda di Pantai Lola No. Jenis Total Kelimpahan (Ind/m2) Kelimpahan Relatif (%) 1. Gafrarium pectinatum 128 2,37 76,2 2. Matra pura 6 0,11 3,6 3. Tellina radiata 4 0,07 2,4 4. Anadara fultoni 9 0,17 5,4 5. Isognomon dunkeri 7 0,13 4,2 6. Jolya letuomeuxi 14 0,26 8,3 Jumlah 168 3,11 100 Sumber : Data Primer (2014) Berdasarkan hasil perhitungan kelimpahan Pelecypoda, jumlah total spesies yang ditemukan untuk seluruh jenis sebanyak 168 individu, dengan nilai kelimpahan tertinggi adalah jenis Gafrarium pectinatum dengan kelimpahan 2,37 (ind/m2). Sedangkan untuk jenis yang kelimpahannya paling sedikit adalah jenis Tellina radiata dengan nilai kelimpahan jenis tesebut adalah 0,07 (ind/m2). Komposisi jenis Pelecypoda yang ditemukan pada lokasi penelitian digambarkan kedalam grafik seperti pada gambar 7 berikut. Gambar 7. Komposisi Jenis Pelecypoda di pantai Lola Sesuai dari hasil gambaran komposisi jenis pelecypoda ytang ditemukan di lokasi penelitian, komposisi jenis tertinggi adalah jenis adalah jenis Gafrarium pectinatum dengan persentase 76 %, Sedangkan untuk jenis yang komposisinya paling rendah adalah jenis Tellina radiata dengan nilai komposisi jenis tesebut adalah 3 %. Banyaknya jenis Gafrarium pectinatum diduga karena jenis ini umumnya mendiami perairan dengan tipe substrat pasir, berarus, dan bergelombang. Sesuai dengan lokasi penelitian yang lebih didominasi oleh jenis substrat pasir. Menurut Riniatsih (2007) jenis Gafrarium pectinatum merupakan hewan dari kelompok Pelecypoda yang bersifat kosmopolit dan hidup tersebar sepanjang pantai tropis dan subtropis dengan tipikal dasar perairan berlumpur hingga berpasir. D. Indeks Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominansi Indeks keanekaragaman, keseragaman, serta doninasi menggambarkan nilai kondisi ekologi jenis/spesies pada lokasi tertentu sehingga dapat menggambarkan kondisi perairan yang menjadi media hidupnya. Nilai Indeks keanekaragaman, keseragaman, serta doninasi dapat dilihat seperti pada gambar 8 berikut. Gambar 8. Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi Pelecypoda di Pantai Lola Dari hasil perhitungan indeks ekologi (keanekaragaman, keseragaman, serta dominansi) berdasarkan data jenis dan jumlah pelecypoda yng dijumpai di lokasi penelitian, nilai indeks keanekaragaman adalah sebesar 2,63 dengan kategori keanekaragaman jenis yang tergolong sedang. Secara keseluruhan, kondisi keanekaragaman spesies Pelecypoda pada lokasi penelitian masih dalam kondisi yang sesuai karena tidak tergolong keanekaragaman yang rendah. Dengan demikian, keanekaraman spesies masih menggambarkan kondisi perairan yang cukup baik. Menurut (Odum, 1971) keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap spesies/genera tinggi, kestabilan komunitas tinggi dan perairannya masih belum tercemar mengindikasi bahwa lingkungan tersebut masih baik. Komunitas yang stabil menandakan ekosistem tersebut mempunyai keanekaragaman yang tinggi, tidak ada jenis yang dominan serta pembagian jumlah individu merata. Nilai indeks keseragaman adalah sebesar 0,13 yang secara kategori termasuk kedalam nilai keseragaman spesies yang tergolong rendah. Untuk nilai indeks dominansi berdasarkan hasil perhitungan didapatkan nilai dominansi sebesar 0,59 dengan demikian terkategorikan dominansi jenis tertentu masih tergolong sedang artinya pada lokasi penelitian kondisi spesies Pelecypoda cenderung ada yang mendominasi namun tidak begitu tinggi. Rendahnya nilai indeks keseragaman yang diperoleh dapat mengindikasikan bahwa komunitas Pelecypoda dalam kondisi yang tidak stabil, artinya penyebaran jumlah individu tiap jenis tidak sama, ada kecenderungan didominasi oleh jenis tertentu (Chalid, 2014).

E. Pola Sebaran Jenis Bivalvia Penentuan sebaran jenis dengan menggunakanindeks Sebaran Morisita dimaksudkan untuk mengetahui pola sebaran jenis yang didapat berupa seragam, mengelompok, atau acak. Hasil perhitungan pola sebaran individu Pelecypoda dapat dilihat pada tabel 6 berikut. Tabel 6. Sebaran Individu Pelecypoda di Pantai Lola. No. Jenis X2 Nilai Kritis X2 Sebaran jenis 1. Gafrarium pectinatum 77,9 70,99 Mengelompok 2. Matra pura 66,0 70,99 Acak 3. Tellina radiate 77,0 70,99 Mengelompok 4. Anadara fultoni 93,0 70,99 Mengelompok 5. Isognomon dunkeri 93,3 70,99 Mengelompok 6. Jolya letuomeuxi 55,4 70,99 Acak Sumber : Data Primer (2014) Berdasarkan table diatas dapat disimpulkan bahwa ke 6 jenis Pelecypoda dapat dikelompokkan menjadi dua sebaran yaitu, sebaran mengelompok dan sebaran acak, Jenis Pelecypoda Gafrarium pectinatum sebaran jenis nya mengelompok, jenis Matra pura sebaran jenisnya acak, kemudian jenis Pelecypoda Tellina radiate sebaran jenis nya mengelompok, jenis Pelecypoda sebaran jenisnya Anadara fultoni mengelompok, jenis Pelecypoda Isognomon dunkeri sebaran jenis nya mengelompok, dan kemudian jenis Pelecypoda jolya letuomeuxi sebaran jenis nya Acak. Kondisi sebaran jenis Pelecypoda pada lokasi penelitian umumnya adalah sebaran yang mengelompok. Kondisi morfologi pantai akan mempengaruhi kerapatan dan jenis-jenis biota yang terdapat didalamnya, termasuk juga akan mempengaruhi distribusi dan komposisi jenis bivalve (kerang-kerangan) yang hidup pada habitat tersebut (Riniatsih, 2007). Pola sebaran mengelompok, berkaitan erat dengan hewan bentik untuk memilih daerah yang akan ditempatinya, khususnya substrat yang ada. Tipe substrat tertentu akan menarik atau menolak jenis hewan bentik untuk mendiami serta faktor-faktor fisik kimia yang berpengaruh pada kehidupan hewan bentik. Terdapatnya hewan bentik dewasa berarti daerah tersebut cocok untuk habitat hidup. Kemampuan hewan bentik memilih daerah untuk menetap serta kemampuannya untuk menunda metamorfosis membuat penyebarannya tidak acak (Nybakken,1998). F. Parameter Perairan Parameter perairan diukur untuk mengetahui sebarapa besar nilai parameter perairan di Pantai Lola untuk mendukung kehidupan dan keberadaan Pelecypoda pada lokasi tersebut. Parameter perairan yang diukur yaitu meliputi parameter fisika dan parameter kimia. 1. Parameter Fisika Parameter fisika yang diukur meliputi Salinitas, Suhu, Kekeruhan, dan Kecepatan Arus. Hasil pengukuran parameter fisika di lokasi penelitian dapat dilihat pada tabel 7 berikut ini. Tabel 7. Hasil Pengukuran Parameter Fisika di Pantai Lola No Parameter Satuan Titik Rata- Rata 1 2 3 1 Salinitas 0/00 30,2 30,8 29,8 30,3 2 Kekeruhan NTU 5,98 5,97 5,96 5,97 3 Suhu 0C 29,5 29,6 29,5 29,6 4 Arus m/dtk 0,080 0,086 0,105 0,090 Sumber : Data Primer (2014) a. Suhu Hasil pengukuran suhu pada lokasi penelitian menunjukkan bahwa kisaran suhu di perairan Pantai Lola adalah 29,5 29,6 0C, dengan rata rata suhu di permukaan perairan yaitu 29,6 0C. Menurut Sukarno (1981) dalam Wijayanti (2007) bahwa suhu dapat membatasi sebaran hewan makrobenthos secara geografik dan suhu yang baik untuk pertumbuhan hewan makrobenthos termasuk kelas Pelecypoda berkisar antara 25-31 C, apabila melampaui batas tersebut akan mengakibatkan berkurangnya aktivitas kehidupannya. Dilihat dari pernyataan tersebut, kondisi suhu pada lokasi penelitian masih sesuai dengan kehidupan Pelecypoda dan masih dalam ambang batas optimal yang ditentukan. Kondisi tersebut juga didukung oleh KEPMEN LH (2004) yang menganjurkan kisaran suhu perairan untuk kehidupan biota akuatik adalah kisaran 28 30 0C. b. Salinitas Hasil pengukuran salinitas pada lokasi penelitian menunjukkan bahwa kisaran salinitas yang ada diperairan Pantai Lola adalah 29,8 30,8 0/00 dengan rata rata salinitas yang ada diperairan Pantai Lola yaitu 30,3 0/00. Kisaran optimal untuk kehidupan pelecypoda adalah 20 36 0/00

(Ariestika,2006). Secara keseluruhan, kondisi salinitas pada lokasi penelitian masih dalam kondisi yang sesuai dengan kehidupan Pelecypoda. Lebih lanjut hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Riniatsih (2007) mengemukakan bahwa hewan invertebrata pada kelas Bivalvia/Pelecypoda masih dapat mentolelir rentang suhu pada kisaran 5-350/00. Berdasarkan perbedaan salinitas, dikenal biota yang bersifat stenohaline dan euryhaline. Biota yang mampu hidup pada kisaran yang sempit disebut sebagai biota bersifat stenohaline dan sebaliknya biota yang mampu hidup pada kisaran luas disebut sebagai biota euryhaline, kelompok biota pada kelas Mollusca umumnya memiliki sifat euryhaline yang memiliki toleransi yang tinggi terhadap perubahan kondisi salinitas (Supriharyono, 2000). c. KecepatanArus Hasil pengukuran kecepatan arus pada lokasi penelitian menunjukkan bahwa kisaran kecepatan diperairan Pantai Lola adalah 0,080 0,105 m/detik dengan rata rata kecepatan arus yaitu 0,090 m/detik. Pada daerah sangat tertutup dimana kecepatan arusnya sangat lemah, yaitu kurang dari 0,1 m/dtk, organisme benthos dapat menetap, tumbuh dan bergerak bebas tanpa terganggu sedangkan pada perairan terbuka dengan kecepatan arus kuat yaitu > 0,1 m/dtk menguntungkan bagi organisme dasar; terjadi pembaruan antara bahan organik dan anorganik dan tidak terjadi akumulasi (Wood, 1987 dalam Wijayanti, 2007). Berdasarkan kondisi arus perairan, pada lokasi penelitian tergolong pada kecepatan arus yang lemah, Arus yang tergolong lambat juga berpengaruh terhadap kelimpahan hewan bhentos karena pengadukan bahan organik yang kurang optimal, sehingga tidak sesuai dengan sifat biota dasar yang memanfaatkan bahan organik untuk makanan (deposit feeder) (Putra, 2014). d. Kekeruhan Hasil pengukuran kekeruhan pada lokasi penelitian menunjukkan bahwa kisaran kekeruhan diperairan Pantai Lola adalah 5,96 5,98 NTU dengan rata rata kekeruhan yaitu 5,97 NTU. Kekeruhan adalah kondisi perairan yang menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan bahan yang terdapat didalam air (Effendi, 2003). Baku mutu kekeruhan untuk biota perairan adalah < 5 NTU (KEPMEN LH, 2004). 2. Parameter Kimia Parameter fisika yang diukur meliputi Derajat Keasaman dan Oksigen Terlarut. Hasil pengukuran parameter kimia di lokasi penelitian dapat dilihat pada tabel 8 berikut ini. Tabel 8. Hasil Pengukuran Parameter Kimia di Pantai Lola No Parameter Satuan Titik Rata- Rata 1 2 3 1. Derajat Keasaman - 8,08 8,14 8,06 8,10 2. Oksigen Terlarut mg/l 7,83 7,79 7,82 7,81 Sumber: Data Primer (2014) a. Derajat Keasaman Hasil pengukuran derajat keasaman pada lokasi penelitian menunjukkan bahwa kisaran derajat keasaman diperairan Pantai Lola adalah 8,06 8,14 dengan rata rata Derajat keasaman yaitu 8,14. Secara keseluruhan kondisi Derajat Keasaman pada lokasi penelitian masih dalam kondisi sesuai dan optimal untuk mendukung kehidupan Pelecypoda. Menurut Pennak (1978) dalam Wijayanti (2007) bahwa ph yang mendukung kehidupan Mollusca berkisar antara 5,7 8,4, dan untuk bivalvia/pelecypoda hidup pada batas kisaran ph 5,8-8,3. Nilai ph < 5 dan > 9 menciptakan kondisi yang tidak menguntungkan bagi kebanyakan organisme makrobenthos. Effendi (2003) menyatakan bahwa sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan ph dan menyukai nilai ph sekitar 7 8,5. b. Oksigen Terlarut Hasil pengukuran Oksigen Terlarut pada lokasi penelitian menunjukkan bahwa kisaran oksigen terlarut yang ada diperairan Pantai Lola adalah 7,79 7,83 mg/l dengan rata rata oksigen terlaut yang ada diperairan Pantai Lola yaitu 7,81 mg/l. Kadar oksigen terlarut masih sesuai dengan kisaran optimal yang dianjurkan dengan kondisi oksigen terlarut rata rata 7,81 mg/l. Kadar Oksigen Terlarut bagi kehidupan hewan /biota akuatik adalah > 5 mg/l (KEPMEN LH, 2004), sedangkan batas minimum yang masih dapat ditolelir oleh hewan mollusca adalah 4 mg/l (Clark, 1974 dalam Ariestika,2006). 3. Substrat Ukuran partikel substrat merupakan salah satu faktor ekologis utama dalam mempengaruhi struktur komunitas makrobentik seperti kandungan bahan organik substrat. Penyebaran makrobenthos

dapat dengan jelas berkorelasi dengan tipe substrat. Makrobenthos yang mempunyai sifat penggali pemakan deposit cenderung melimpah pada sedimen lumpur dan sedimen lunak yang merupakan daerah yang mengandung bahan organik yang tinggi (Nybakken, 1988). Kondisi substrat sangat menentukan komposisis dan keberadaan jenis biota Pelecypoda di suatu perairan. Substrat dijadikan tempat untuk menetap dan meliang serta memanfaatkan bahan organic di substrat untuk makanan. Secara lengkap kondisi substrat dapat dilihat pada gambar 9 berikut. Gambar 9. Kondisi Substrat di Pantai Lola Kondisi substrat secara keseluruhan pada titik I terdiri atas kerikil 31 %, Pasir 60 %, dan Lumpur 9 %. Komposisi kandungan substrat pada titik II yaitu kerikil 9 %, Pasir 87 %, dan Lumpur 4 %, sedangkan pada titik III komposisi substrat terdiri atas kerikil 9 %, Pasir 85 %, dan Lumpur 6 %. Dilihat dari data diatas, kondisi substrat berbeda dari 3 titik pengambilan di perairan Pantai Lola. Tabel 9. Jenis Substrat di perairan Pantai Lola No. Titik Pengambilan Jenis Substrat 1. Titik 1 Pasir Berkerikil 2. Titik 2 Pasir 3. Titik 3 Pasir Sumber : Data Primer (2014) Berdasarkan hasil analisis substrat pada lokasi penelitian menggunakan segitiga shepard menunjukkan kondisi substrat pada titik I adalah pasir berkerikil, pada titik II komposisi substrat pasir, dan pada titik III didominasi oleh substrat pasir. Titik I pengambilan sampel merupakan bagian timur dari lokasi penelitian yang terdiri dari jenis substrat pecahan batu dan karang. Secara keseluruhan kondisi substrat pada lokasi penelitian jenis pasir hingga pasir berkerikil. Dengan demikian, kondisi substrat pada lokasi penelitian sangat mendukung untuk hidup pelecypoda yang bersifat sesil (menempel) di pecahan karang/batu dan bersifat hidup masuk dalam substrat (infauna). Menurut Suwignyo (2005); Riniatsih (2007) hewan kelas Pelecypoda kebanyakan hidup di daerah litoral umumnya hidup pada dasar perairan dengan tipe substrat berpasir, serta beberapa dapat hidup pada substrat yang lebih keras seperti pada kayu atau bebatuan.