PERTIMBANGAN HAKIM PRAPERADILAN PADA PUTUSAN NOMOR 04/PID.PRAP/2015/PN.JKT.SEL ARTIKEL

dokumen-dokumen yang mirip
Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

PRAPERADILAN SEBAGAI KEWENANGAN TAMBAHAN PENGADILAN NEGERI PRETRIAL COURT AS ADDITIONAL POWERS

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN STATUS TERSANGKA DALAM PUTUSAN PRAPERADILAN

BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

JURNAL PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMERIKSA DAN MENGADILI PERMOHONAN PRAPERADILAN TENTANG SAH ATAU TIDAKNYA PENETAPAN TERSANGKA

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

1. Pendahuluan. Serat Acitya Jurnal Ilmiah UNTAG Semarang ISSN : , Vol. 4 No. 3, 2015

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

DASAR HUKUM KEWENANGAN PRAPERADILAN DALAM MEMUTUS PENETAPAN TERSANGKA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

Analisis Yuridis Putusan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. Tentang Permohonan Praperadilan Diluar Ketentuan Pasal 1 Angka 10 Jo Pasal 77 KUHAP

JURNAL TUNTUTAN GANTI KERUGIAN AKIBAT TIDAK SAHNYA PENANGKAPAN DAN PENAHANAN MELALUI PROSES PRAPERADILAN

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

SAH ATAU TIDAKNYA PENETAPAN TERSANGKA SEBAGAI OBJEK GUGATAN PRAPERADILAN THE LEGITIMACY OF SUSPECT STATUS AS AN OBJECT OF PRETRIAL PETITION

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 6, Nomor 1, Tahun 2017 Website :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

GANTI RUGI ATAS KESALAHAN PENANGKAPAN, PENAHANAN PASCA PUTUSAN PENGADILAN 1 Oleh: David Simbawa 2

BAB I PENDAHULUAN. yang diterapkan dapat sesuai dengan hukum positif dan nilai keadilan.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan

KEABSAHAN PENETAPAN STATUS TERSANGKA DALAM PROSES PENYELIDIKAN (STUDI KASUS PENISTAAN AGAMA Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA)

BAB III PENUTUP. pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan, pada pokoknya dapat

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENYITAAN SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN 1 Oleh: Arif Salasa 2

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

ARRUM BUDI LEKSONO ABSTRACT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEWENANGAN PRAPERADILAN TERHADAP PERMOHONAN PENGHENTIAN PENYIDIKAN YANG DIAJUKAN OLEH TERSANGKA (STUDI KASUS PUTUSAN

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

JURNAL TINJAUAN TERHADAP PUTUSAN PRAPERADILAN YANG BERKAITAN DENGAN PENETAPAN SESEORANG MENJADI TERSANGKA

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMERIKSA DAN MENGADILI PERMOHONAN PRAPERADILAN TENTANG SAH ATAU TIDAKNYA PENETAPAN TERSANGKA

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB I PENDAHULUAN. menjadi tumpuan harapan unuk mencari keadilan. Oleh karena itu jalan yang terbaik untuk

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

BAB III PENUTUP. serta pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa peranan hakim adalah

Michael A.P. Pangaribuan 1, Thorkis Pane 2. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang. menegaskan tentang adanya persamaan hak di muka hukum dan

I. PENDAHULUAN. pelaksanaannya diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

I. PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Kemandirian dan kemerdekaan dalam

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 65/PUU-IX/2011 MENGENAI PENGAJUAN BANDING TERHADAP PUTUSAN PRAPERADILAN

JURIDICAL ANALYSIS PREPROSECUTION MATTER ABOUT DEMAND FOR REHABILITATION TO ILLEGAL ARREST AND RESTRAINT (Verdict Number : 01/Pid.PRA/2002/PN.

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang tertuang pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang menyebutkan bahwa Negara

Jokowi Diuji, KPK Diamputasi Selasa, 17 Pebruari 2015

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENJAMIN APABILA TERSANGKA ATAU TERDAKWA MELARIKAN DIRI DALAM MASA PENANGGUHAN PENAHANAN

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 67/PUU-XII/2014

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. merupakan produk dari sebuah kebudayaan yang didasarkan pada pikiran, akal

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA KAITANNYA DENGAN SPLITSING DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas

BAB IV PERKEMBANGAN PENGATURAN PRAPERADILAN TERHADAP PENETAPAN TERSANGKA DALAM KASUS PIDANA KORUPSI

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Pidana merupakan salah satu dari keseluruhan hukum yang berlaku

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pendahuluan sebelum pemeriksaan sidang di pengadilan. 1 Istilah praperadilan

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat

BUKTI ELEKTRONIK CLOSED CIRCUIT TELEVISION (CCTV) DALAM SISTEM PEMBUKTIAN PIDANA DI INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

Lex Crimen Vol. VI/No. 4/Jun/2017

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

Transkripsi:

PERTIMBANGAN HAKIM PRAPERADILAN PADA PUTUSAN NOMOR 04/PID.PRAP/2015/PN.JKT.SEL ARTIKEL Oleh: FATHUL M. DZIKRI NPM: 1210012111060 Bagian Hukum Pidana FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BUNG HATTA PADANG 2016 No. Reg: 06/PID-02/V-2016

1

THE JUDGE PRETRIAL CONSIDERATIONS ON THE ISSUANCE OF PRETRIAL NUMBER 04/PID.PRAP/2015/PN.JKT.SEL. Fathul M. Dzikri¹, Uning Pratimaratri¹, Syafridatati¹ ¹Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Bung Hatta Email : fathul.mdzikri@yahoo.co.id ABSTRACT Pretrial court is authorized of District Court to examine and decide on the lawfulness of the arrest or detention, the lawfulness of the termination of an investigation or prosecution, as well as the demand for compensation or rehabilitation for cases that are brought to trial. This Pretrial authority contained in Article 1 figures 10 in conjunction with Article 77 of the Criminal Procedure Code. The issuance of pretrial number 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. the applicant party Budi Gunawan against the Respondent the Corruption Eradication Commission, there are legal issues that arise that application submitted by the applicant is not the validity of the determination of the suspect by the defendant. The problems are concerned in are 1) How is judge s pretrial considerations on the issuance of pretrial of issuance number 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel.? 2) How is implementation issuance of pretrial of issuance number 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. toward Article 77 of the Criminal Procedure Code?. Type of the research is normative juridical. They study used secondary data. The data got from documents study. The data were analyzed qualitatively. Research findings showed that : 1) Judge s pretrial considerations on the issuance of pretrial number 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. is the basis of legal used by the judge is Article 1 figures 10 in conjunction Article 77 in conjunction Article 82 paragraph (1) in conjunction Article 95 paragraph (1) and paragraph (2) of the Criminal Procedure Code. The judge assess the validity of the establishment of the suspects are authority institutions pretrial 2) The implementation issuance of pretrial of issuance number 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. toward Article 77 of the expansion of the Article 77 of the Criminal Procedure Code that is associated with the Constitutional Court's Decision Number 21/PUU-XII/2014 regarding the addition determination of the suspect as an object Pretrial. Keywords : Considerations, The Judge, Pretrial, The issuance PENDAHULUAN Setiap aparat penegak hukum dalam rangka menjalankan tugasnya, tidak terlepas dari kemungkinan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin perlindungan terhadap hak asasi seorang tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan pidana melalui lembaga praperadilan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Perlu diketahui dan dipahami konstalasi hukum acara pidana yang berkaitan dengan praperadilan secara 2

normatif termuat dalam Pasal 77 KUHAP yang berbunyi: Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutuskan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini tentang: a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan atas permintaan Tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa Tersangka. b. Sah atau tidaknya penghentian penyelidikan atau penghentian penuntutan atau permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan. c. Permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarga atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Belakangan ini hukum pidana marak dengan beberapa persoalan, apakah dalam bentuk pelanggaran terhadap hukum pidana umum maupun hukum pidana khusus tidak terkecuali dalam proses beracara pidananya. Salah satu persoalan hukum pidana dalam beracara, terjadinya perdebatan tentang pengajuan praperadilan, yakni dalam kasus calon Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dimana Komisaris Jenderal 3 Polisi Drs. Budi Gunawan, SH., Msi, (BG) melakukan terobosan hukum melalui pengajuan praperadilan tentang penetapan dirinya sebagai tersangka. Padahal dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak tercantum tentang penetapan tersangka untuk bisa diajukan praperadilan. Jika dicermati pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka dan permohonan penghentian penyidikan atas diri pemohon yaitu Komjen Budi Gunawan, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Angka 10 jo. Pasal 77 KUHAP. Namun faktanya dalam kasus ini permohonan praperadilan pihak BG tetap diperiksa dipersidangan dan dikabulkan sebagian. Dalam beberapa tahun terakhir pengajuan permohonan prapreradilan yang serupa dengan kasus praperadilan BG yang dapat dikatakan merupakan putusan yang dibuat diluar kewenangan hakim dalam sidang praperadilan sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Angka 10 jo. Pasal 77 KUHAP juga pernah terjadi antara lain: 1 1 Detik, Catat! Ini 2 Vonis Kontroversial PN Jaksel di Kasus Praperadilan, http://news.detik.com/berita/2818530/catat-ini-2- vonis-kontroversial-pn-jaksel-di-kasuspraperadilan, diakses tanggal 22 februari 2016 pukul 8.53 WIB.

1. Putusan Nomor juga berlaku asas-asas dalam hukum pidana, 04/Pid.Prap/2010/PN.Jkt.Sel. dengan dalam konsep asas legalitas dapat dikaitkan pemohon yaitu Toto Chandra, manager Permata Hijau Group dalam kasus faktur fiktif pada tahun 2009 dengan hakim tunggal yang dipimpin oleh karena asas legalitas adalah asas dasar dalam hukum pidana. Dalam beberapa konsep asas legalitas menurut para ahli intinya adalah perbuatan yang dilarang haruslah diatur Hakim Muhammad Razzad yang amar terlebih dahulu dalam undang-undang. putusannya menyatakan bahwa Tujuan dari asas legalitas ini adalah untuk penyidikan atas pemohon harus mencegah adanya tindakan sewenangwenang dihentikan. 2. Putusan Nomor dari penguasa terhadap masyarakat. Sedangkan dalam kaitannya dengan kasus 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt.Sel. dengan permohonan praperadilan BG ini pengaturan pemohon yaitu Bachtiar Abdul Fatah, kewenangan praperadilan dalam memutus manager PT. Chevron Pacifik sah tidaknya penetapan status tersangka dan Indonesia (PT.CPI) dalam kasus perintah penghentian penyidikan melalui korupsi bioremediasi dengan hakim praperadilan bukanlah dalam ruang tunggal yang dipimpin oleh Hakim Suko Harsono yang amar putusannya menyatakan bahwa penetapan status tersangka pada diri pemohon adalah lingkupnya. Hal ini dikarenakan kewenangan praperadilan telah secara jelas dan limitatif tercantum dalam Pasal 1 Angka 10 jo. Pasal 77 KUHAP. tidak sah. Anehnya atau ironis, keputusan Dalam kaitannya putusan tersebut Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dengan konsep asas legalitas dimana seperti waktu sidang itu kontroversial dalam kita ketahui bahwa makna atas asas legalitas perdebatan. Karena hakim sarpin telah adalah suatu tindakan dapat dikatakan memutus penetapan tersangka adalah bagian melanggar undang-undang atau peraturan dari praperadilan. Perluasan objek tertulis jika sebelumnya tidak diatur dalam praperadilan yang dilakukan Hakim Sarpin peraturan tertulis. Dalam hukum pidana dapat memperbaharui sistem hukum pidana formil (KUHAP) memang tidak secara Indonesia. Akibatnya, Pasal yang mengatur eksplisit tercantum dalam pasal-pasalnya objek praperadilan dijuducial review kan yang menerangkan tentang asas legalitas kepada Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan namun pada penjelasan Pasal 2 huruf a pengajuan permohonan tersebut, Hakim KUHAP, menerangkan bahwa dalam kuhap Mahkamah Konsitusi mengabulkan dan 4

menyatakan bahwa penetapan tersangka dikhwatirkan jika hakim mengabulkan menjadi salah satu objek praperadilan gugatan tersebut, maka hal itu dapat berdasarkan putusan Nomor 21/PUU- menimbulkan kesulitan bagi pihak penyidik XII/2014. atau penuntut umum dalam melakukan Disisi lain tentang kewenangan hakim penyidikan. yang mengkabulkan permohonan Berdasarkan uraian latar belakang di praperadilan diluar ketentuan Pasal 77 atas maka penulis tertarik melakukan KUHAP, jika dikaitkan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan penelitian dan menuangkan dalam bentuk skripsi yang berjudul: PERTIMBANGAN Kehakiman, maka hal itu dapat dibenarkan. HAKIM PRAPERADILAN PADA Yang menjadi dasar penulis adalah jika PUTUSAN NOMOR Dikaitkan dengan asas kemerdekaan hakim 04/PID.PRAP/2015/PN.JKT.SEL. dalam Pasal 3 Ayat (2) serta Pasal 10 Ayat Berdasarkan latar belakang masalah (1) tentang kewajiban hakim. Dalam Pasal 3 yang telah diuraikan diatas, maka dapat Ayat (2) menjelaskan jika hakim memiliki dirumuskan beberapa permasalahan sebagai kemerdekaan atau kebebasan dalam berikut: melakukan fungsi yudikatif termasuk dalam menjatuhkan putusan dalam sebuah 1. Bagaimana pertimbangan hakim persidangan. Sedangkan pada Pasal 10 Ayat (1) mengamanatkan bahwa hakim dilarang praperadilan pada Putusan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel? untuk menolak mengadili sebuah perkara 2. Bagaimana penerapan putusan dengan alasan tidak ada hukum yang mengaturnya. Namun jika Dikaitkan dengan kewajiban hakim sebagaimana tercantum dalam pasal 5 ayat (1). Maka putusan praperadilan terhadap permohonan yang pokok gugatannya diluar ketentuan Pasal 1 Angka 10 jo. Pasal 77 KUHAP, dapat dikatakan tidak mengakomodasinya. Hal ini dikarena terhadap putusan tersebut akan membuka peluang bagi tersangka lain untuk mengajukan permohonan praperadilan untuk praperadilan pada putusan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel terhadap Pasal 77 KUHAP? Metode Penelitian Guna memperoleh data yang dibutuhkan sebagai bahan dalam penulisan ini maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Jenis Penelitian Dalam melakukan penelitian ini, hal yang sama seperti kasus kasus BG, penulis menggunakan studi 5

kepustakaan (library research), Tipe penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian hukum normatif (Yuridis Normative) yang merupakan penelitian kepustakaan yang bertujuan untuk meneliti asas-asas hukum, teori hukum, sistematika hukum, singkronisasi hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum. 2 Penelitian hukum normatif dengan mempelajari dan menganalisis putusan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. Peraturan perundang-undangan yang berlaku dan buku-buku, literature, serta dokumen yang berhubungan dengan pokok permasalahan yang dianalisis dari berbagai sumber. 2. Sumber Data Dalam penelitian hukum, digunakan pula data sekunder, yang dari kekuatan sudut mengikatnya digolongkan sebagai berikut: 3 a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat dan terdiri atas: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana; 2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia; 3. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Negara Republik Indonesia; 4. Putusan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer. Seperti Rancangan Undang-Undang, hasil karya dari kalangan hukum, hasilhasil penelitian, dan tulisan lainnya yang relevan. 4 c. Bahan Hukum Tersier Bahan Hukum Tersier yaitu bahan hukum yang memberikan tambahan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti Kamus Hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). 5 3. Teknik Pengumpulan Data 2 Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 11. 3 Ibid. 6 4 Ibid, hlm. 12. 5 Ibid.

Dalam pengumpulan data pada penelitian dan penulisan ini, maka teknik pengumpulan yang digunakan oleh penulis yaitu studi dokumen. Studi Dokumen adalah studi dokumen meliputi pengambilan data-data/ dokumen yang terdapat dilapangan baik berupa berkas perkara maupun dokumen hukum lainnya pada instansi yang relevan dengan objek penelitian seperti Putusan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. 4. Analisis Data Analisis data dilakukan dengan analisis kualitatif yaitu dengan menyimpulkan gejala yang terjadi. Analisa terhadap bahan baku yang dilakukan dengan mengumpulkan semua bahan yang diperlukan kemudian dihubungankan dengan masalah yang diteliti. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pertimbangan Hakim Praperadilan pada Putusan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel Putusan hakim dalam perkara praperadilan merupakan salah satu putusan yang dikenal dalam hukum acara pidana Indonesia. Suatu putusan hakim pada pokoknya terdiri dari empat bagian, yaitu: kepala putusan, identitas para pihak, pertimbangan dan amar. Jadi pertimbangan hakim merupakan salah satu bagian yang terdapat di dalam setiap putusan hakim, termasuk putusan dalam perkara praperadilan. Pertimbangan itu dijadikan sebagai dasar dan alasan bagi hakim sehingga memutuskan seperti yang dicantumkan di dalam putusannya. Dalam konteks putusan perkara praperadilan, maka dasar dan alasan hakim itu harus dimuat dalam putusannya (Pasal 82 ayat (2) KUHAP). Kata harus menunjukkan, bahwa dasar dan alasan hakim sebagai pertimbangan, wajib dimuat di dalam putusannya. Dengan demikian, hakim yang memeriksa dan mengadili gugatan praperadilan yang diajukan oleh BG wajib memuat pertimbangan sebagai dasar dan alasannya dalam Putusan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. Adapun pertimbangan hakim di dalam putusannya tersebut memuat dua bagian, yaitu pertimbangan tentang duduk perkaranya (feitelijke gronden) dan pertimbangan tentang hukumnya (rechts gronden). Dari kedua pertimbangan itu, maka dalam pembahasan ini hanya akan diuraikan pertimbangan tentang hukumnya. Berkaitan dengan pertimbangan tentang hukumnya, Putusan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel memuat dua bagian, yaitu: dalam eksepsi dan dalam 7

pokok perkara. Dari kedua bagian pertimbangan hukum tersebut yang dimuat dalam eksepsi yaitu objek permohonan praperadilan bukan kewenangan hakim praperadilan. Seperti diketahui, bahwa terhadap gugatan praperadilan yang diajukan oleh BG, termohon telah mengajukan jawaban dan salah satu jawabannya berupa eksepsi mengenai objek praperadilan bukan kewenangan hakim praperadilan. Di dalam jawabannya mengenai eksepsi tersebut termohon menyatakan, bahwa lembaga praperadilan tertulis secara tegas dan jelas di dalam Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 KUHAP. Ketentuan yang menjadi dasar praperadilan tersebut juga diatur dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi: 1. Setiap orang yang ditangkap, ditahan dituntut atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi. 2. Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3. Ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti kerugian, rehabilitasi, dan pembebanan ganti kerugian diatur dalam undangundang. Penerapan lebih lanjut terhadap Pasal 9 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman tersebut berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP, dan Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP. Berdasarkan penjelasan di atas, maka harus dipahami bahwa kewenangan praperadilan hanyalah menguji dan menilai tentang kebenaran dan ketepatan tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik dan penuntut umum dalam hal menyangkut ketepatan penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, dan penuntutan serta ganti kerugian dan rehabilitasi. Kemudian berkaitan dengan eksepsi termohon itu, hakim yang memeriksa perkara praperadilan yang diajukan BG di dalam Putusan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: Menimbang, bahwa Pasal 1 angka 10 KUHAP merumuskan pengertian praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undangundang ini, tentang: 8

a. Sah atau tidaknya penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka. b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan. c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Menimbang, bahwa rumusan Pasal 77 KUHAP adalah sebagai berikut: Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan; b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Menimbang, bahwa dari rumusan pengertian Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 jo. Pasal 82 ayat (1) jo. Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP dapat diketahui dengan jelas bahwa sah atau tidaknya penetapan tersangka tidak termasuk sebagai objek praperadilan, karena hal itu tidak diatur. Menimbang, bahwa demikian pula halnya dengan segala ketentuan peraturan perundang-undangan pidana khusus yang berlaku sebagai hukum positif di Indonesia juga tidak ada ditemukan aturan yang mengatur kalau pengujian tentang sah atau tidaknya penetapan tersangka menjadi objek praperadilan. Menimbang, bahwa masalahnya sekarang adalah: karena hukumnya tidak mengatur apakah hakim boleh menolak suatu perkara dengan alasan pertimbangan bahwa hukum tidak mengatur atau hukumnya tidak ada? Menimbang, bahwa undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman melarang hakim untuk menolak suatu perkara dengan alasan bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya, sebagaimana dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009, yang redaksi lengkapnya berbunyi: Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Menimbang, bahwa larangan menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus 9

perkara itu dibarengi dengan kewajiban perkara itu dibarengi dengan kewajiban bagi hakim untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009, yang redaksi lengkapnya berbunyi: Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Menimbang, bahwa larangan bagi hakim menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara dengan dalih atau alasan bahwa hukumnya tidak ada, tentunya melahirkan kewenangan yang diberikan kepada hakim untuk menetapkan hukum yang semula hukumnya tidak ada menjadi ada atau yang semula hukumnya kurang jelas menjadi jelas. Menimbang, bahwa kewenangan hakim untuk menetapkan hukum yang semula hukumnya tidak ada menjadi ada, dilakukan dengan menggunakan metode penemuan hukum (rechtsvinding), yang jika dikaji secara ilmiah (keilmuan) dan secara yuridis harus dapat dipertanggungjawabkan. Menimbang, bahwa kewenangan hakim untuk menetapkan hukum yang semula hukumnya tidak jelas menjadi jelas dilakukan dengan menggunakan dan menerapkan metode penafsiran (interprestasi). Menimbang, bahwa dalam perkara a quo, permohonan dari pemohon adalah tentang sah atau tidaknya penetapan tersangka terhadap pemohon yang dilakukan oleh termohon. Menimbang, bahwa penetapan tersangka adalah merupakan bagian dari proses penyidikan, bahkan ahli hukum pidana, Dr. Bernard Arief Sidharta, S.H., berpendapat bahwa penetapan tersangka adalah merupakan hasil dari penyidikan. Menimbang, bahwa dari rumusan pengertian praperadilan pada Pasal 1 angka 10 KUHAP dan norma hukum pengaturan kewenangan praperadilan sebagaimana tercantum dalam Pasal 77 KUHAP dapat disimpulkan keberadaan lembaga praperadilan adalah sebagai sarana atau tempat menguji tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam tingkat penyidikan dan penuntutan. Apakah tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik pada tingkat penyidikan dan oleh penuntut umum pada tingkat penuntutan sudah dilakukan menurut ketentuan dan tata cara yang diatur dalam undang-undang atau tidak. Menimbang, bahwa dalam kaitannya dengan permohonan dari pemohon 10

praperadilan ini, maka timbul pertanyaan, apakah penetapan tersangka terhadap diri pemohon yang dilakukan oleh termohon dapat dikualifisir sebagai tindakan upaya paksa? Menimbang, bahwa termohon di dalam jawabannya berpendapat bahwa penetapan tersangka atas diri pemohon, maka hakim harus menetapkan hukumnya sebagaimana akan ditetapkan dalam pertimbangan berikut ini: a. Menimbang, bahwa segala tindakan penyidik dalam proses penyidikan dan segala tindakan penuntut umum dalam tersangka terhadap pemohon bukanlah proses penuntutan yang belum diatur tindakan upaya paksa dengan alasan bahwa sampai dengan disidangkannya permohonan dalam Pasal 77 jo. Pasal 82 ayat (1) jo. Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, praperadilan a quo. Termohon belum ditetapkan menjadi objek praperadilan melakukan upaya paksa apapun terhadap diri dan lembaga hukum yang berwenang pemohon, baik berupa penangkapan, menguji keabsahan segala tindakan penahanan, pemasukan rumah, penyitaan atau penggeledahan terhadap diri pemohon, bahkan di persidangan kuasa termohon penyidik dalam proses penyidikan dan segala tindakan penuntut umum dalam proses penuntutan adalah lembaga mempertanyakan apakah penetapan praperadilan. tersangka merupakan tindakan upaya paksa. Menimbang, bahwa pendapat termohon b. Menimbang, bahwa terkait langsung dengan permohonan pemohon, karena tersebut di atas secara hukum tidak dapat penetapan tersangka merupakan dibenarkan, karena harus dipahami arti dan bagian dari rangkaian tindakan makna tindakan upaya paksa secara benar, bahwa segala tindakan penyidik dalam proses penyidik dalam proses penyidikan, maka lembaga hukum yang berwenang penyidikan dan segala tindakan penuntut menguji dan menilai keabsahan umum dalam proses penuntutan adalah merupakan tindakan upaya paksa, karena penetapan tersangka adalah lembaga praperadilan. telah menempatkan atau menggunakan label Menimbang, bahwa tentang penerapan pro justisia pada setiap tindakan. asas legalitas dalam Hukum Acara Pidana Menimbang, bahwa terkait dengan sebagai salah satu dasar dan alasan dalam permohonan pemohon, karena hukum positif mengajukan eksepsi ini tidak dapat Indonesia tidak mengatur lembaga mana dibenarkan, karena asas legalitas yang dapat menguji keabsahan penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat 11

(1) KUHP hanya berlaku dalam penerapan Hukum Pidana Materiil, bahkan dalam perkembangannya dimungkinkan dilakukan diakui sebagai salah satu sumber hukum di Indonesia; b. Menimbang, bahwa oleh karena Hukum penafsiran dengan pembatasan sebagaimana Indonesia tidak menganut sistem pendapat ahli hukum pidana Dr. Bernard Arief Sidharta, S.H. precedent, maka tidak ada keharusan bagi Hakim Indonesia untuk mengikuti Menimbang, bahwa pendapat ahli putusan-putusan hakim terdahulu. tersebut sejalan dengan yurisprudensi, Menimbang, bahwa pemohon di dalam diantaranya: permohonannya mengemukakan beberapa putusan praperadilan sebagai dasar hukum a. Penerapan penafsiran pengertian permohonannya, yaitu: barang dalam tindak pidana pencurian; a. Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang Nomor 01/Pid. Prap/2011/PN.Bky b. Penerapan penafsiran penghalusan tanggal 18 Mei 2011 jo. Putusan hukum (rechtverfijning) dan penafsiran Mahkamah Agung Nomor 88 secara luas (extensieve interpretatie) PK/Pid/2011 tanggal 17 Januari 2012; dalam penegakan Hukum Pidana Materiil tindak pidana subversi di masa b. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta lalu. Selatan Nomor 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt.Sel tanggal Menimbang, bahwa menyangkut 27 November 2012. alasan-alasan termohon sebagaimana tercantum dalam jawaban angka 14 s.d angka Menimbang, bahwa dari jawaban 17 halaman 10 s.d halaman 13, pengadilan negeri mempertimbangkannya sebagaimana termohon pada halaman 10 s.d 13 angka 14 s.d 17 dapat disimpulkan bahwa termohon tercantum dalam pertimbangan-pertimbangan tidak menerima kalau putusan-putusan berikut ini: a. Menimbang, bahwa Hukum Indonesia tersebut di atas disebut sebagai suatu yurisprudensi. tidak menganut sistem precedent yang Menimbang, bahwa terlepas dari dianut dan berlaku di negara-negara apakah Menimbang, bahwa terlepas dari Anglo-Saxon, akan tetapi jangan lupa apakah Nomor 01/Pid.Prap/2011/PN.Bky bahwa yurisprudensi diterima dan tanggal 18 Mei 2011 jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 88 PK/Pid/2011 tanggal 17 12

Januari 2012 dan Putusan Pengadilan Negeri dari upaya paksa dalam penyidikan Jakarta Selatan Nomor sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 95 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt.Sel tanggal 27 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP. November 2012 dapat diterima sebagai Apabila hukum acara pidana Indonesia yurisprudensi atau tidak, namun yang pasti dengan jelas dan tegas memuat asas legalitas, adalah bahwa hakim yang memeriksa perkara maka penyelenggaraan proses pidana harus a quo tidak akan menggunakan putusanputusan tersebut sebagai dasar pertimbangan dilakukan berdasarkan ketentuan yang ada di dalam KUHAP, termasuk yang berkaitan dalam memutus perkara a quo. dengan praperadilan. Adapun ketentuan Menimbang, bahwa berdasarkan KUHAP yang digunakan oleh hakim dalam pertimbangan di atas, maka eksepsi termohon tentang hal ini haruslah ditolak. Putusan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel, sehingga penetapan tersangka dimasukkan ke dalam objek praperadilan adalah Pasal 77 jo. Dari uraian mengenai pertimbangan Pasal 82 ayat (1) jo. Pasal 95 ayat (1) dan hakim di atas, maka dapat dikatakan, bahwa ayat (2) KUHAP. Dari ketiga ketentuan hakim yang memeriksa dan mengadili KUHAP tersebut yang digunakan oleh hakim gugatan praperadilan BG jelas memasukkan sebagai dasar hukumnya adalah Pasal 95 ayat penetapan tersangka sebagai objek gugatan (1) dan ayat (2) KUHAP. Dalam hal ini, praperadilan. Hal itu terlihat dari hakim mengategorikan penetapan tersangka pertimbangan yang secara tegas menolak sebagai salah satu bentuk tindakan lain eksepsi yang diajukan oleh termohon. berupa upaya paksa yang dilakukan penyidik. Adapun dasar hukum yang digunakan oleh hakim adalah Pasal 77 jo. Pasal 85 ayat (1) jo. Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP. Penggunaan dasar hukum tersebut, karena penetapan tersangka merupakan bagian dari rangkaian tindakan penyidik dalam proses penyidikan, maka lembaga yang berwenang Selanjutnya untuk menjawab mengenai tepat atau tidaknya penafsiran hakim yang memasukkan penetapan tersangka sebagai objek gugatan praperadilan, maka akan dilihat rumusan Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP sebagai berikut: menguji dan melihat keabsahan penetapan 1. Tersangka, terdakwa atau terpidana tersangka adalah lembaga praperadilan. berhak menuntut ganti kerugian karena Jadi, hakim memasukkan penetapan ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili tersangka sebagai objek praperadilan karena atau dikenakan tindakan lain, tanpa dikategorikan sebagai bentuk tindakan lain alasan yang berdasarkan undang-undang 13

atau karena kekeliruan mengenai KUHAP merupakan ketentuan yang berada orangnya atau hukum yang ditetapkan. di dalam Bab XII tentang Ganti Rugi dan Rehabilitasi, Bagian Kesatu tentang Ganti 2. Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka Rugi. Apabila dilihat dari segi atau ahli warisnya atas penangkapan sistematikanya, maka Pasal 95 ayat (1) dan atau penahanan serta tindakan lain tanpa ayat (2) KUHAP berkaitan dengan masalah alasan yang berdasarkan undangundang atau karena kekeliruan mengenai ganti rugi. Selanjutnya apabila diperhatikan rumusan Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) orang atau hukum yang diterapkan KUHAP di atas, maka secara substansi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat ketentuan mengenai objek yang yang perkaranya tidak diajukan ke dapat diajukan tuntutan ganti rugi. Dengan pengadilan negeri, diputus di sidang demikian dapat penulis simpulkan, bahwa praperadilan sebagaimana dimaksud ketentuan tersebut tidak mengatur mengenai dalam Pasal 77. objek gugatan praperadilan. Menurut penulis, Frasa tindakan lain tersebut dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 95 ayat (1) KUHAP, yaitu: Yang dimaksud dengan objek gugatan praperadilan telah diatur secara limitatif di dalam Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 KUHAP. kerugian karena tindakan lain ialah Pasal 77 KUHAP mempunyai kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan hubungan dengan Pasal 95 ayat (1) dan ayat rumah, penggeledahan, dan penyitaan yang (2) KUHAP, namun hubungan itu tidak ada tidak sah menurut hukum. Termasuk kaitannya dengan pengujian atas keabsahan penahanan tanpa alasan yang lebih lama tindakan di dalam pemeriksaan pendahuluan daripada pidana yang dijatuhkan. Merujuk sebelum pemeriksaan pokok perkara di pada penjelasan Pasal 95 ayat (1) KUHAP persidangan. Pengujian atas keabsahan itu, maka dapat penulis katakan, bahwa tindakan dimaksud, seperti penangkapan penetapan tersangka tidak termasuk dalam merupakan bagian dari objek gugatan kategori tindakan lain. Adapun yang praperadilan. Hubungan di antara kedua termasuk dalam kategori tindakan lain hanya pasal tersebut hanya terbatas pada meliputi: pemasukan rumah, penggeledahan, permintaan ganti rugi yang juga sebagai dan penyitaan, serta penahanan tanpa alasan bagian dari objek gugatan praperadilan. yang sah atau tidak sah. Dalam hal ini, apabila tuntutan ganti rugi Kemudian perlu juga diketahui, bahwa sebenarnya Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) yang perkara pokoknya tidak diajukan ke pengadilan negeri, maka diputus di sidang 14

praperadilan. Perlu diingat, bahwa ganti rugi Berdasarkan yang telah dipaparkan di yang dapat diminta ke lembaga praperadilan atas, maka dapatlah dipahami, bahwa telah dibatasi oleh Pasal 77 huruf b KUHAP yaitu untuk perkara pidana yang dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. penafsiran hukum yang dilakukan oleh hakim dalam putusannya yang memeriksa dan mengadili gugatan praperadilan BG adalah tidak tepat. Ketidaktepatan itu karena telah Penulis menyesuaikan dengan argumen memasukkan penetapan tersangka sebagai termohon di dalam jawabannya sebagai objek gugatan praperadilan dengan berikut: menggunakan dasar hukum Pasal 95 ayat (1) a. Perlu dipahami pula bahwa konteks tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) KUHAP serta penjelasannya hanya dapat digunakan dan ayat (2) KUHAP dalam hal ini, hakim tidak memperhatikan penjelasan Pasal 95 ayat (1) KUHAP yang secara tegas tidak memasukkan penetapan tersangka dari frasa sebagai alasan dalam pengajuan tindakan lain dan hakim juga tidak tuntutan ganti kerugian bukan dalam rangka mengajukan keberatan terhadap sah atau tidaknya penetapan tersangka. memperhatikan hubungan antara Pasal 77 dengan Pasal 95 berdasarkan sistematikanya. Walaupun demikian, penulis sepakat dengan pertimbangan hakim yang menyatakan b. Tuntutan ganti kerugian sebagaimana penetapan tersangka sebagai bagian dari dimaksud Pasal 95 ayat (1) KUHAP proses penyidikan. diajukan ke pengadilan yang memeriksa perkara pokoknya setelah B. Penerapan Putusan Praperadilan perkaranya diadili dan diputus (Pasal pada Putusan Nomor 95 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) KUHAP), sedangkan dalam hal perkara 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel terhadap Pasal 77 KUHAP pokoknya tidak diajukan ke pengadilan Putusan Praperadilan Nomor negeri maka tuntutan ganti kerugian 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel telah atas tindakan lain berdasarkan Pasal 95 ayat (2) KUHAP, diputus dan mengabulkan pengajuan praperadilan Budi Gunawan. Amar putusannya menetapkan disidang oleh praperadilan sebagai berikut: sebagaimana dimaksud Pasal 77 1. Mengabulkan permohonan Pemohon KUHAP. Praperadilan untuk sebagian; 2. Menyatakan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik- 15

03/01/01/2015 tanggal 12 Januari 2015 yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka oleh Termohon terkait peristiwa pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat (2), Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum, dan oleh karenanya Penetapan aquo tidak mempunyai kekuatan mengikat; 3. Menyatakan penyidikan yang dilaksanakan oleh Termohon terkait Peristiwa pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat (2), Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum, dan oleh karenanya Penyidikan aquo tidak mempunyai kekuatan mengikat; 4. Menyatakan Penetapan Tersangka atas Pemohon yang dilakukan oleh Termohon adalah tidak sah; 5. Menyatakan tidak sah segala keputusan dan penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkaitan dengan Penetapan Tersangka terhadap Pemohon oleh Termohon; 6. Membebankan biaya perkara kepada negara sebesar nihil; 7. Menolak permohonan Pemohon selain dan selebihnya. Hal di atas berarti bahwa Pengajuan Praperadilan atas penetapan BG sebagai tersangka diterima oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik-03/01/01/2015 tanggal 12 tahun 2015 tidak memiliki kekuatan mengikat dan menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh KPK yang berkaitan dengan Penetapan Tersangka terhadap BG oleh KPK. Sehingga tindakan KPK selanjutnya terhadap BG yang berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik-03/01/01/2015 tidak diizinkan. Penambahan objek kewenangan praperadilan tentang sah tidaknya penetapan tersangka dalam perkembangannya melalui putusan mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014 menjadikan objek tersebut adalah sebagai bentuk pengawasan terhadap tindakan kesewenang-wenangan penyidik 16

dalam menetapkan status tersangka sesuai prosedur yang berdasarkan hukum atau tidak. Apabila seorang tersangka merasa penyidikan yang dilakukan oleh penyidik terhadapnya tidak bersasarkan aturan hukum sebagaimana mestinya, maka tersangka dapat melakukan ikhtiar hukum dengan mengujinya melalui pranata praperadilan, dan hal ini tidak menutup kemungkinan apabila seseorang diduga keras telah melakukan tindak pidana dilakukan penyidikan kembali. Dasar penambahan objek tersebut adalah sebagai bentuk pengawasan terhadap tindakan kesewenang-wenangan penyidik dalam menetapkan status tersangka yang tidak sesuai prosedur sebagaimana tercantum dalam KUHAP, dalam perkembangannya banyak peristiwa yang menjadi dasar penambahan objek kewenangan praperadilan ini diantaranya yang paling mendasar adalah tindakan penyidik yang memutar balikan prosedur dalam KUHAP khususnya dalam hal penyidikan, dimana seharusnya dalam proses penyidikan mengumpulkan buktibukti untuk menemukan tersangka namun dalam beberapa peristiwa tersangka ditetapkan terlebih dahulu untuk menemukan barang bukti. Hal ini lah yang dijadikan dasar oleh mahkamah konstitusi untuk menambahkan penetapan tersangka menjadi objek praperadilan. Namun dalam putusan mahkamah konstitusi Nomor 21/PUU- XII/2014 tersebut terdapat 3 hakim dari 9 majelis hakim yang melakukan Dissenting Opinion (pendapat berbeda). Beberapa hal yang menjadi pertimbangan hakim tunggal dalam Putusan Praperadilan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. diantaranya mengenai: Esensi Pasal 77 KUHAP, asas legalitas dalam hukum acara pidana, metode penemuan hukum oleh hakim, penafsiran hukum oleh hakim mengenai upaya paksa, kewenangan hakim dalam menetapkan hukum yang semula tidak ada menjadi ada, dan lain lain. Pengajuan praperadilan dalam hal penetapan tersangka dibatasi secara limilatif oleh ketentuan Pasal 1 angka 10 j0. Pasal 77 huruf a KUHAP. Padahal penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang di dalamnya kemungkinan terdapat tindakan sewenang-wenang dari penyidik yang termasuk dalam perampasa hak asasi manusia. Dalam Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor: 21/PUU- XII/2014 berpendapat, dimasukkannya keabsahan penetapan tersangka sebagai obejk pranata praperadilan adalah agar perlakuan terhadap seseorang dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat dan kedudukan yang sama di hadapan hukum. Dalam perkara Budi Gunawan sebagai pemohon melawan KPK sebagai termohon, 17

maka dari Putusan Praperadilan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel terhadap Pasal 77 KUHAP dan kemudian dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 dalam hal ini penulis berpendapat bahwa adanya perluasan objek Praperadilan mengenai penetapan tersangka. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dari permasalahan yang dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil beberapa simpulan sebagai berikut : 1. Pertimbangan hakim dalam Putusan Praperadilan 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. Nomor didasarkan pada alasan, yaitu penetapan tersangka merupakan bagian dari proses penyidikan sehingga disebut upaya paksa. Setiap pengujian terhadap sah atau tidaknya upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik adalah kewenangan lembaga praperadilan. Dasar hukum yang digunakan oleh hakim tersebut adalah Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 jo. Pasal 82 ayat (1) jo. Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP. Dalam hal ini, hakim menilai keabsahan Penetapan Tersangka adalah wewenang Lembaga Praperadilan. 18 2. Penerapan Putusan Praperadilan pada Putusan Nomor 04/Pid.Prap/2015/ PN.Jkt.Sel. terhadap Pasal 77 KUHAP yaitu adanya perluasan terhadap Pasal 77 KUHAP yang dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014 mengenai penambahan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan. DAFTAR PUSTAKA A. Buku Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta. Amiruddin dan Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta. Andi Hamzah, 2010, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.. Darwan Prints, 1983, Praperadilan dan Perkembangan di dalam Praktek, Citra Aditya Bakti, Bandung. Lilik Mulyadi, 2007, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Loebby Loqman, 1990, Praperadilan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta. M. Yahya Harahap, 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi,

dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta. Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta. B. PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Negara Republik Indonesia. C. SUMBER LAIN Detik, Catat! Ini 2 Vonis Kontroversial PN Jaksel di Kasus Praperadilan, http://news.detik.com/berita/28 18530/catat-ini-2-voniskontroversial-pn-jaksel-dikasus-praperadilan. 19