BAB I PENDAHULUAN. orang termasuk anak berkebutuhan khusus, hal ini dapat pula diartikan sebagai

dokumen-dokumen yang mirip
pada saat ini muncullah paradigma baru pendidikan, dimana anak berkebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. untuk semua (Education For All) yang berarti pendidikan tanpa memandang batas

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR OLEH AGUNG HASTOMO

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO

BAB I PENDAHULUAN. dengan jalan merubah cara pandang dalam memahami dan menyadari. memperoleh perlakuan yang layak dalam kehidupan.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pendidikan yang bermutu merupakan ukuran keadilan, pemerataan

BAB I PENDAHULUAN. menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat, karena itu

PROFIL IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF SEKOLAH DASAR DI KOTA BANDUNG. Juang Sunanto, dkk

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for

PERANGKAT PEMBELAJARAN UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SEKOLAH INKLUSI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

JASSI_anakku Volume 17 Nomor 1, Juni 2016

BAB 1 PENDAHULUAN. merealisasikan hak-hak asasi manusia lainnya. Pendidikan mempunyai peranan

BAB I PENDAHULUAN. kuat, dalam bentuk landasar filosofis, landasan yuridis dan landasan empiris.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan. dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

I. PENDAHULUAN. dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Menengah Pertama Negeri (SMPN) inklusif di Kota Yogyakarta, tema ini penting

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah, masyarakat dan orang tua sebagai penanggung jawab dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ema Rahmawati, 2014 Kompetensi guru reguler dalam melayani anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar

BAB I PENDAHULUAN. atas pendidikan. Unesco Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mencanangkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

MENUJU SEKOLAH INKLUSI BERSAMA SI GURUKU SMART

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Sisdiknas Nomor : 20 Tahun 2003 Bab 1 pasal

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan suatu bangsa karena menjadi modal utama dalam pengembangan

Indeks Inklusi dalam Pembelajaran di Kelas yang Terdapat ABK di Sekolah Dasar

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam kehidupan bernegara, ada yang namanya hak dan kewajiban warga

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia yang melekat pada

Kesiapan Guru dalam Pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun di Sekolah Inklusi

BAB I PENDAHULUAN. itu secara total maupun sebagian (low vision). Tunanetra berhak untuk

37 PELAKSANAAN SEKOLAH INKLUSI DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. dalam melakukan segala aktifitas di berbagai bidang. Sesuai dengan UUD 1945

BAB I PENDAHULUAN. diskriminatif, dan menjangkau semua warga negara tanpa kecuali. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang

PENGUATAN EKOSISTEM PENDIDIKAN MELALUI BATOBO SEBAGAI OPTIMALISASI PENDIDIKAN INKLUSI DI PAUD

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dengan kata lain tujuan membentuk Negara ialah. mengarahkan hidup perjalanan hidup suatu masyarakat.

A. Perspektif Historis

BAB I PENDAHULUAN. manusia, tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus.

BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 735 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rizki Panji Ramadana, 2013

BAB I PENDAHULUAN. serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam

BAB I PENDAHULUAN. tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus. Dalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

AHMAD NAWAWI JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UPI BANDUNG 2010

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan inklusif atau yang sering disebut dengan inclusive class

BAB I PENDAHULUAN. harus dapat merasakan upaya pemerintah ini, dengan tidak memandang

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

BAB 1 PENDAHULUAN. penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan penegasan

SOSIALISASI PROGRAM PENDIDIKAN INKLUSIF NUFA (Nurul Falah) Bekasi, 22 Juni PSG Bekasi

PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

BAB I PENDAHULUAN. warga negara berhak mendapat pendidikan yang layak, tidak terkecuali anak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya sekolah-sekolah regular dimana siswa-siswanya adalah

PELAKSANAAN PENDIDIKAN INKLUSI DI KABUPATEN PELALAWAN PROVINSI RIAU TAHUN Oleh

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF SDN No MEDAN MARELAN

P 37 Analisis Proses Pembelajaran Matematika Pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Tunanetra Kelas X Inklusi SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. untuk suatu profesi, tetapi mampu menyelesaikan masalah-masalah yang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Penelitian tentang indeks inklusi ini berdasarkan pada kajian aspek

1 Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN. kasus yang akan dieksplorasi. SD Negeri 2 Bendan merupakan salah satu sekolah

BUPATI CIAMIS PROVISI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG. PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF Dl KABUPATEN CIAMIS

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan termasuk memperoleh pelayanan pendidikan. Hak untuk. termasuk anak yang memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus.

BAB IV ANALISIS PENELITIAN. A. Analisis Kebijakan Pendidikan Inklusi di SD Negeri 02 Srinahan Kesesi

BAB I PENDAHULUAN. inklusif menjamin akses dan kualitas. Satu tujuan utama inklusif adalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan hak asasi hidup setiap manusia. Oleh karena itu,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Terkait dengan isu Social Development: Eradication of Poverty, Creation of

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF PROVINSI JAWA TIMUR

PENDIDIKAN PENYANDANG CACAT DARI SUDUT PANDANG MODEL PENDIDIKAN INKLUSI DI INDONESIA. Oleh: Haryanto

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 68 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF KABUPATEN BANYUWANGI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

SIKAP GURU TERHADAP PENDIDIKAN INKLUSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah. berkebutuhan khusus ke dalam program program sekolah reguler. Istilah

PERAN GPK DALAM PELAYANAN SISWA ABK DI SEKOLAH INKLUSI PASCA DEKLARASIKAN PROVINSI BALI SEBAGAI PENYELENGARA PENDIDIKAN INKLUSI

BAB I PENDAHULUAN. internasional. Dalam konteks praktis pendidikan terjadi pada lembaga-lembaga formal

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan jumlah sekolah luar biasa di daerah-daerah yang jauh dari perkotaan

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mampu mengemban tugas yang dibebankan padanya, karena

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan yang terjadi ternyata menampakkan andalan pada. kemampuan sumber daya manusia yang berkualitas, melebihi potensi

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KHUSUS DAN LAYANAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah terdekat.

BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

BAB I PENDAHULUAN. sepenuhnya dijamin pemerintah sebagaimana tercantum dalam Pasal 31 UUD

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (SUSENAS) Tahun 2004 adalah : Tunanetra jiwa, Tunadaksa

E-JUPEKhu (JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN KHUSUS)

BAB I. sosialnya sehingga mereka dapat hidup dalam lingkungan sekitarnya. Melalui

BAB I PENDAHULUAN. memandang latar belakang maupun kondisi yang ada pada mereka. Meskipun

PERUBAHAN PARADIGMA PENDIDIKAN KHUSUS/PLB KE PENDIDIKAN KEBUTUHAN DRS. ZULKIFLI SIDIQ M.PD NIP

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

SUMIYATUN SDN Ketami 1 Kec. Pesantren Kota Kediri

BAB V PENUTUP. semakin menjadi penting bagi agenda reformasi pendidikan setelah Education

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan inklusif adalah sebuah sistem pendidikan yang memungkinkan

GURU PEMBIMBING KHUSUS (GPK): PILAR PENDIDIKAN INKLUSI

BAB I PENDAHULUAN. berkebutuhan khusus. Permasalahan pendidikan sebenarnya sudah lama

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. pengendalian diri, keperibadian, kecerdasan ahlak mulia, serta keterampilan yang

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang berusaha menjangkau semua orang termasuk anak berkebutuhan khusus, hal ini dapat pula diartikan sebagai upaya meningkatkan kesempatan dan pemerataan bagi seluruh warga negara untuk memperolah pendidikan yang sesuai dan berkualitas. Perubahan paradigma ini secara keseluruhan merupakan proses peningkatan mutu pendidikan. Implikasi penting dari perubahan paradigma tersebut adalah pengakuan dan penghargaan akan adanya keragaman dan perbedaan kebutuhan individu. Pendidikan inklusif membawa perubahan yang mendasar yaitu adanya pergeseran pemikiran dari pemikiran special education (pendidikan khusus) bergeser ke special needs education (pendidikan kebutuhan khusus). Perubahan tersebut bermakna strategis dan berdampak luas terhadap praktek layanan pendidikan. Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya (Permendiknas No. 70 Tahun 2009). Dengan demikian implementasi pendidikan inklusif berarti memandang anak sebagai individu yang memiliki keragaman, keunikan, kemampuan, minat dan kebutuhankebutuhan yang berbeda sehingga proses pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan anak. Dalam pelaksanaannya, pendidikan inklusif bertujuan

2 untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya dan mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif kepada semua peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus dalam bentuk kelainan fisik, emosional, mental dan sosial, atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Dalam tataran pendidikan inklusif, Johnsen (2003:23) menyatakan, Prinsip pendidikan yang disesuaikan dalam sekolah inklusif menyebabkan adanya tuntutan yang besar terhadap guru reguler maupun pendidikan khusus. Hal ini dimaksudkan menuntut adanya pergeseran dalam paradigma proses belajar mengajar. Perubahan lainnya adalah mengubah tradisi dari mengajarkan materi secara klasikal kepada semua siswa tanpa mempertimbangkan perbedaan individual menjadi mengajar setiap siswa sesuai kebutuhannya dalam seting kelas yang sama. Pendidikan inklusif berarti memandang eksistensi anak agar tumbuh kembang secara alami dan optimal sesuai dengan potensi masing-masing. Kenyataan menunjukkan bahwa masih banyak anak berkebutuhan khusus di Indonesia yang belum memperoleh hak mendapatkan pendidikan. Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa mengemukakan dalam kutipan berikut. Prevalensi jumlah anak-anak berkebutuhan khusus sekitar 3% dari populasi anak usia sekolah, angka tersebut belum termasuk mereka yang tergolong autis, hiperaktif, berbakat dan berkesulitan belajar, baru sekitar 3,7% (33,850 anak) yang terlayani di lembaga persekolahan, baik di sekolah umum maupun sekolah luar biasa (sekolah khusus). Kenyataan ini menandakan bahwa masih banyak anak berkebutuhan khusus (96,3%) belum memperoleh hak mendapatkan pendidikan. Hal ini disebabkan oleh (1) kondisi ekonomi orang tua yang kurang menunjang, (2) jarak antara rumah dan SLB cukup jauh, dan (3) sekolah umum (SD, SMP) tidak mau

3 menerima anak-anak berkebutuhan khusus belajar bersama-sama dengan anak-anak normal, oleh karena itu perlu diupayakan model layanan pendidikan yang memungkinkan anak-anak berkebutuhan khusus belajar bersama-sama dengan anak normal di sekolah umum. Kutipan di atas menggambarkan bahwa anak-anak usia sekolah berkebutuhan khusus di Indonesia berjumlah (96,3%) belum memperoleh hak mendapatkan pendidikan dan baru sekitar 3,7% (33,850 anak) yang terlayani di lembaga persekolahan, baik di sekolah umum maupun sekolah luar biasa (sekolah khusus). Hal ini disebabkan oleh ekonomi orang tua, terbatasnya SLB, dan sekolah umum yang belum menerapkan program pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Dengan demikian pendidikan harus dipandang sebagai upaya memberdayakan individu yang memiliki keragaman dimana semua anak terlepas dari kemampuan dan ketidak mampuan mereka, latar belakang sosial ekonomi, suku, budaya dan bahasa, agama atau jender seyogyanya dapat menyatu dalam komunitas sekolah yang sama tanpa adanya diskriminasi. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah agar semua anak termasuk anak berkebutuhan khusus memperoleh akses ke sekolah adalah dengan menjadikan sekolah umum menjadi sekolah inklusif, yaitu sekolah yang mengijinkan peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus dapat belajar dikelas bersama dengan siswa lain yang tidak berkebutuhan khusus, sehingga anak berkebutuhan khusus memiliki kesempatan yang sama dengan anak yang lain untuk mengikuti kegiatan pembelajaran di sekolah tersebut. Implementasi pendidikan inklusif dalam tataran pembelajaran dan pengajaran di kelas akan bermakna bila guru mampu mengembangkan proses

4 pembelajaran dan pengajaran sesuai dengan perbedaan kebutuhan individu serta mampu mengembangkan program pembelajaran individual bagi siswa berkebutuhan khusus. Secara empirik pemikiran tersebut akan sangat memerlukan keterampilan profesional dalam proses dan pelaksanaannya. Untuk mendukung upaya pemerintah maka perlu dilakukan peningkatan kualitas model layanan pendidikan sebagai bentuk perwujudan tanggungjawab bersama terhadap peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Mutu pendidikan secara umum dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kurikulum, kualitas tenaga pendidik, sarana-prasarana, dana, manajemen, lingkungan dan proses pembelajaran (Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, 2009:1). Faktor tenaga pendidik (guru) memiliki peran yang sangat besar dalam pencapaian kualitas pendidikan secara umum. Kondisi ini dimungkinkan karena posisi guru yang sangat dominan dalam beinteraksi dengan peserta didik dalam proses belajar mengajar. Khusus dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di sekolah inklusif, diperlukan guru kelas, guru mata pelajaran, dan guru pendidikan khusus (GPK) yang bertugas sebagai pendamping guru kelas dan guru mata pelajaran dalam melayani anak berkebutuhan khusus agar potensi yang dimiliki berkembang secara optimal. Sejalan dengan hal tersebut Arum (2004:122) mengemukakan bahwa guru sekolah reguler pada umumnya tidak belajar PLB, dan sekolah reguler juga tidak dipersiapkan untuk menerima anak berkebutuhan khusus, kurikulum yang digunakan di sekolah reguler tidak sepenuhnya sesuai untuk anak berkebutuhan khusus, dan guru reguler tidak dilatih untuk mengembangkan kurikulum yang berdeferensiasi dalam bentuk program-program

5 pembelajaran yang didasarkan atas kebutuhan individu setiap siswa tanpa kecuali bagi siswa berkebutuhan khusus. Hal tersebut dibuktikan pula oleh penelitian yang dilakukan Dyah (2005) dalam penelitiannya mengenai pengkajian pendidikan inklusif di Indonesia ditemukan bahwa tidak adanya pedoman pembelajaran bagi guru-guru di sekolah dan menyebabkan guru inklusi menggantungkan diri pada guru pendidikan luar biasa (PLB) yang tidak selalu dimiliki oleh setiap sekolah. Hal ini membuat guru-guru di sekolah tersebut yang pembelajarannya hanya di dasarkan nalurinya saja yang menyebabkan layanan pendidikan disekolah inklusif menjadi tidak optimal. Dengan demikian penyelenggaraan pendidikan inklusif pada sekolah menengah pertama khususnya dalam tataran proses belajar mengajar akan berdampak pada perubahan penyelenggaraan pembelajaran serta pengelolaan kelas, dimana selain dihadapkan pada kelas klaksikal guru juga diberi tanggung jawab baru untuk melayani siswa dengan kebutuhan yang berbeda. Disadari bahwa penyelenggaraan pembelajaran mengandung serangkaian interaksi timbal balik dalam situasi edukatif antara siswa dengan guru, siswa dengan siswa yang nantinya menghasilkan iklim pembelajaran yang kondusif, efektif, kreatif, produktif dan menyenangkan. Selain itu akan terbina hubungan interpersonal yang sehat dan mendorong munculnya perubahan perilaku belajar siswa. Untuk mencapai iklim kelas tersebut maka diperlukan pengetahuan yang baik oleh guru dalam menyelenggarakan pembelajaran yang inklusif serta memahami kebutuhan siswa dengan kebutuhan khusus.

6 Bukti kepedulian Pemerintah Provinsi Maluku melalui Dinas Pendidikan terhadap pendidikan inklusif adalah dengan menetapkan sebanyak 8 Sekolah Menengah Pertama khususnya di kota Ambon sebagai penyelenggara pendidikan inklusif, berdasarkan SK No 420/537/2010 tgl 28 Juli 2010. Atas dasar tersebut maka sekolah-sekolah yang ditunjuk mulai menyelenggarakan sistem pendidikan inklusif, meskipun dalam kenyataannya masih terdapat berbagai kekurangan, bahkan belum bisa dikatakan inklusif karena belum bisa menjalankan program layanan pembelajaran inklusif di sekolanya. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya tenaga Guru Pendidikan Khusus (GPK), selain itu perencanaan dan implementasi pembelajarannya masih cenderung sama antara anak-anak reguler dengan anak berkebutuhan khusus. Hal lain yang mempengaruhi pelaksaksanaan pendidikan inklusif di sekolah adalah tidak semua guru reguler memiliki pengetahuan yang baik mengenai pendidikan inklusif dan anak berkebutuhan khusus. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan 12 orang guru dan kepala sekolah diketahui bahwa indikasi penyelenggaraan pendidikan inklusif di Kota Ambon belum sesuai dengan apa yang di harapkan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: 1. Anak-anak di sekolah pada umumnya belum bisa menerima atas kehadiran anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama di kelas reguler, dan di pandang mereka hanya menghambat proses pembelajaran. 2. Sistem penerimaan siswa baru yang belum merata sehingga siswa dengan kondisi tertentu tidak dapat di terima di sekolah tersebut.

7 3. Masih rendahnya pengetahuan guru tentang pendidikan inklusif dan ABK dimana guru beranggapan bahwa pendidikan inklusif adalah sekedar menerima ABK di sekolah reguler. 4. Pelaksanaan pembelajaran masih secara klasikal belum mengakomodasi kebutuhan ABK. 5. Guru belum bisa membuat program pembelajaran individual 6. Masih terdapat keterbatasan kesiapan sumber daya dalam hal ini belum adanya Guru Pendamping Khusus pada sekolah penyelenggara inklusif. Selain hal tersebut di atas, sejauh ini belum pernah dilakukan evaluasi keterlaksanaan implementasi pendidikan inklusif pada Sekolah Menengah Pertama di kota Ambon berdasarkan index inklusi yang meliputi budaya, kebijakan dan praktek. Index inklusi merupakan sebuah sumber daya yang mendukung perkembangan pendidikan inklusif. Index inklusi adalah sebuah dokumen yang komprehensif dan lengkap, yang dapat membantu setiap orang untuk menentukan langkah berikutnya dalam mengembangkan seting pendidikan inklusif secara mandiri Booth and Ainscow, (2002:3). Untuk mengetahui keterlaksanaan implementasi pendidikan inklusif Sunanto (2009:4) mengemukakan bahwa keterlaksanaan pendidikan inklusif dapat di evaluasi menggunakan suatu index yang disebut index for inclusion. Berdasarkan uraian-uraian di atas maka penulis merasa perlu mengungkap tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif pada Sekolah Menengah Pertama di Kota Ambon. Masalah ini dianggap penting untuk diteliti guna mengetahui

8 keterlaksanaan implementasi pendidikan inklusif pada Sekolah Menengah Pertama di Kota Ambon. B. Identifikasi dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah Penyelenggaraan pendidikan inklusif pada jenjang Sekolah Menengah Pertama di Kota Ambon sudah dilaksanakan selama kurang lebih tiga tahun terahir, namun masih belum maksimal. Hal ini disebabkan oleh banyaknya kendala yang dihadapi di sekolah antara lain pengetahuan guru mengenai pendidikan inklusi serta anak berkebutuhan khusus yang masih sangat minim serta budaya, kebijakan, dan praktek yang mempengaruhi implementasi pendidikan inklusif itu sendiri. Selain itu belum pernah dilaksanakan evaluasi mengenai keterlaksanaan penyelenggaraan pendidikan inklusif pada Sekolah Menengah Pertama di kota Ambon berdasarkan index yang disebut index for inclussion. Menurut Ainscow (2002) secara konseptual indeks inklusi dibangun dari tiga dimensi yaitu 1) dimensi Budaya (creating inchlusive cultures), 2) dimensi Kebijakan ( producing inclusive policies), 3) dimensi Praktek (evolving inchclucive practies). Berhubung luasnya masalah yang ada, maka dalam penelitian ini akan difokuskan pada dimensi praktik (evolving inchclucive practies). Dimensi praktek yang akan di gali yaitu memiliki 16 indikator yang diadopsi dari Tony Booth dan Mel Ainscow, masing-masing indikator tersebut adalah: 1) pengajaran direncanakan berdasarkan kebutuhan siswa, 2) Guru dan GPK saling berkomunikasi, 3) Sarana sekolah didistribusikan secara maksimal, 4) tenaga ahli bekerja secara maksimal, 5) seluruh guru berpartisipasi dalam

9 pembelajaran, 6) Masyarakat mendukung sumber pembelajaran, 7) semua murid aktif dalam pembelajaran, 8) pembelajaran mengandung arti penting perbedaan, 9) semua murid terlibat aktif dalam pembelajaran, 10) murid belajar secara kolaborasi, 11) peraturan kelas dibuat berdasarkan penghargaan terhadap perbedaan, 12) guru bekerjaasama dengan GPK dalam proses pembelajaran, 13) semua siswa berperan diluar kelas, 14) keanekaragaman digunakan sebagai sumber mengajar dan pembelajaran, 15) penilaian dilakukan dalam memenuhi kebutuhan murid, 16) semua siswa diberikan peluang waktu yang cukup dalam menyelesaikan tugas dan pekerjaan rumah. 2. Rumusan Masalah Kegiatan pembelajaran di kelas merupakan inti penyelenggaraan pendidikan yang ditandai oleh adanya kegiatan pengelolaan kelas, penggunaan media dan sumber belajar, dan penggunaan metode dan strategi pembelajaran. Semua tugas tersebut merupakan tugas dan tanggung jawab guru, yang secara optimal dalam pelaksanaannya menuntut kemampuan guru. Berdasarkan pemikiran tersebut serta identifikasi masalah maka pertanyaan utama penelitian ini adalah Bagaimanakah penyelenggaraan pembelajaran yang inklusif pada 8 Sekolah Menengah Pertama di Kota Ambon?. Merujuk pada pertanyaan utama penelitian, maka pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut: a. Bagaimanakah pengetahuan guru tentang pendidikan inklusif di SMP Kota Ambon?

10 b. Bagaimanakah keterlaksanaan perencanaan pembelajaran inklusif pada SMP di kota Ambon? c. Bagaimanakah keterlaksanaan pelaksanaan pembelajaran inklusif pada SMP di kota Ambon? d. Bagaimanakah keterlaksanaan evaluasi pembelajaran inklusif pada SMP di kota Ambon? C. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui keterlaksanaan pembelajaran inklusif pada 8 SMP di Kota Ambon. Secara khusus tujuan yang hendak di capai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui: a. Pengetahuan guru mengenai pendidikan inklusif. b. Keterlaksanaan perencanaan pembelajaran inklusif pada SMP di Kota Ambon. c. Keterlaksanaan pembelajaran inklusif pada SMP di Kota Ambon. d. Keterlaksanaan evaluasi pembelajaran inklusif pada SMP di Kota Ambon. D. Manfaat Penelitian Secara teori hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberi masukan dan sumbangan berupa kajian konseptual tentang unsur-unsur utama yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan inklusif sehingga turut memperkaya dan mempertajam pengembangan pendidikan inklusif di kota Ambon khususnya dan Indonesia umumnya. Secara praktis diharapkan dapat memberikan penyajian empiris tentang berbagai hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan inklusif di kota

11 Ambon. Secara praktis juga dapat dipergunakan sebagai bahan acuan dalam meningkatkan penyelenggaraan pembelajaran pendidikan inklusif bagi guru-guru pada Sekolah Menengah Pertama di Kota Ambon. E. Struktur Organisasi Penelitan Tesis ini terdiri dari 5 (lima) BAB, pada BAB I memuat tentang latar belakang, idetifikasi masalah, pembatasan dan rumusan masalah, manfaat dan tujuan penelitian. BAB II memuat tentang kajian pustaka,. BAB III memuat tentang metode penelitian, lokasi dan populasi, pendekatan dan metode penelitian, variabel dan definisi operasional, validitas, teknik pengumpulan data dan instrumen penelitian, serta teknik analisa data. BAB IV memuat tentang hasil penelitian dan pembahasan, BAB V memuat tentang kesimpulan dan saran.