BAB I PENDAHULUAN. Ensefalopati hepatik merupakan sindrom neuropsikiatri yang dapat terjadi

dokumen-dokumen yang mirip
B A B I PENDAHULUAN. kesehatan global karena prevalensinya yang cukup tinggi, etiologinya yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

Berdasarkan data WHO (2004), sirosis hati merupakan penyebab kematian ke delapan belas di dunia, hal itu ditandai dengan semakin meningkatnya angka

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. bentuk nodul-nodul yang abnormal. (Sulaiman, 2007) Penyakit hati kronik dan sirosis menyebabkan kematian 4% sampai 5% dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyakit perlemakan hati non alkohol atau Non-alcoholic Fatty Liver

BAB I PENDAHULUAN. satu kegawatdaruratan paling umum di bidang bedah. Di Indonesia, penyakit. kesembilan pada tahun 2009 (Marisa, dkk., 2012).

BAB 1 PENDAHULUAN. pemeriksaan rutin kesehatan atau autopsi (Nurdjanah, 2014).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut

BAB I PENDAHULUAN. hidup saat ini yang kurang memperhatikan keseimbangan pola makan. PGK ini

BAB I PENDAHULUAN. yang progresif dan irreversibel akibat berbagai penyakit yang merusak nefron

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Non Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) yang semakin meningkat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Banyak pasien yang meninggal

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan adanya peningkatan tekanan darah sistemik sistolik diatas atau sama dengan

BAB I PENDAHULUAN. digunakan untuk menyebut suatu kondisi akumulasi lemak pada hati tanpa adanya

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. toksin ke dalam aliran darah dan menimbulkan berbagai respon sistemik seperti

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Flaviviridae dan ditularkan melalui vektor nyamuk. Penyakit ini termasuk nomor dua

BAB I PENDAHULUAN. Menurut kamus kedokteran tahun 2000, diabetes melitus (DM) adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Vinkristin adalah senyawa kimia golongan alkaloid vinca yang berasal dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. Gagal jantung kronik (GJK) merupakan penyakit yang sering muncul dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke adalah sindroma yang bercirikan defisit neurologis onset akut yang

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. insulin, atau kedua-duanya. Diagnosis DM umumnya dikaitkan dengan adanya gejala

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan sindroma klinik akibat respon yang berlebihan dari sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. Infeksi bakteri yang berkembang menjadi sepsis, merupakan suatu respons

BAB I PENDAHULUAN. A (HAV), Virus Hepatitis B (HBV), Virus Hepatitis C (HCV), Virus

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke secara nyata menjadi penyebab kematian dan kecacatan di seluruh

BAB 1 PENDAHULUAN. peningkatan kasus sebanyak 300 juta penduduk dunia, dengan asumsi 2,3%

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis adalah inflamasi pada sel-sel hati yang menghasilkan. kumpulan perubahan klinis, biokimia, serta seluler yang khas

BAB 1 PENDAHULUAN. Singapura dan 9,1% di Thailand (Susalit, 2009). Di Indonesia sendiri belum ada

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih

BAB 1 PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. pada awalnya mungkin menimbulkan sedikit gejala, sementara komplikasi

1 Universitas Kristen Maranatha

I. PENDAHULUAN. masalah utama dalam dunia kesehatan di Indonesia. Menurut American. Diabetes Association (ADA) 2010, diabetes melitus merupakan suatu

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Gangguan ginjal akut (GnGA), dahulu disebut dengan gagal ginjal akut,

Bab 1 PENDAHULUAN. tetapi sering tidak diketahui, karena tidak menunjukkan gejala untuk waktu

BAB I PENDAHULUAN. macam, mulai dari virus, bakteri, jamur, parasit sampai dengan obat-obatan,

BAB I PENDAHULUAN. Sirosis hati merupakan stadium akhir dari penyakit. kronis hati yang berkembang secara bertahap (Kuntz, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. dan 8 16% di dunia. Pada tahun 1999 berdasarkan data Global burden of

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian

BAB 1 PENDAHULUAN. traumatik merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan pada anak-anak dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. American Heart Association, 2014; Stroke forum, 2015). Secara global, 15 juta

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Vitiligo merupakan penyakit yang tidak hanya dapat menyebabkan gangguan

BAB I PENDAHULUAN. sangat diperlukan untuk pengambilan keputusan klinis, alokasi sumber daya dan

PERBEDAAN ANGKA KEJADIAN HIPERTENSI ANTARA PRIA DAN WANITA PENDERITA DIABETES MELITUS BERUSIA 45 TAHUN SKRIPSI

BAB 1 PENDAHULUAN. kehamilan 20 minggu. American College Obstetry and Gynecology (ACOG)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regenatif (Nurdjanah, 2009).

BAB 1 PENDAHULUAN. nefrologi dengan angka kejadian yang cukup tinggi, etiologi luas, dan sering diawali

BAB 1 PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, yang mengakibatkan kelainan signifikan dan gangguan pada

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. coco. Berikut data mortalitas uji pendahuluan: Jumlah Ikan (ekor)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dari mulai faal ginjal normal sampai tidak berfungsi lagi. Penyakit gagal ginjal

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Asam format yang terakumulasi inilah yang menyebabkan toksik. 2. Manifestasi klinis yang paling umum yaitu pada organ mata, sistem

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan meningkatnya glukosa darah sebagai akibat dari

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang Penelitian. Diabetes mellitus (DM) adalah suatu penyakit metabolik yang memiliki

Ensefalopati Hepatikum Minimal

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetic foot merupakan salah satu komplikasi Diabetes Mellitus (DM).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pakan. Biaya untuk memenuhi pakan mencapai 60-70% dari total biaya produksi

FUNGSI SISTEM GINJAL DALAM HOMEOSTASIS ph

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus

BAB I PENDAHULUAN. plak yang tersusun oleh kolesterol, substansi lemak, kalsium, fibrin, serta debris

I. PENDAHULUAN. urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner dan Suddarth, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Anemia juga masih

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada sepsis terjadi proses inflamasi sistemik atau systemic inflammatory

BAB 1 PENDAHULUAN (Sari, 2007). Parasetamol digunakan secara luas di berbagai negara termasuk

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG. Sirosis hati (SH) menjadi problem kesehatan utama di

BAB I PENDAHULUAN. besar oleh karena insidensinya yang semakin meningkat di seluruh dunia

ETIOLOGI : 1. Ada 5 kategori virus yang menjadi agen penyebab: Virus Hepatitis A (HAV) Virus Hepatitis B (VHB) Virus Hepatitis C (CV) / Non A Non B

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. Sirosis hati merupakan jalur akhir yang umum untuk histologis berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Hati merupakan organ terbesar dalam tubuh dan. menyumbang 1,5-2% dari berat tubuh manusia (Ghany &

Kinetik= pergerakan farmakokinetik= mempelajari pergerakan obat sepanjang tubuh:

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Mellitus (DM) merupakan gangguan metabolisme dengan. yang disebabkan oleh berbagai sebab dengan karakteristik adanya

BAB I PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang. disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di

Toksikokinetik racun

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi. 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi

KELAINAN METABOLISME KARBOHIDRAT (PENYAKIT ANDERSEN / GLIKOGEN STORAGE DISEASE TYPE IV) Ma rufah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan manifestasi klinis akut penyakit

BAB I PENDAHULUAN. peradangan sel hati yang luas dan menyebabkan banyak kematian sel. Kondisi

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat

DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit kritis merupakan suatu keadaan sakit yang membutuhkan dukungan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

Mekanisme penyerapan Ca dari usus (Sumber: /16-calcium-physiology-flash-cards/)

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan memberatnya penyakit hati, risiko terjadinya ensefalopati hepatik semakin besar. Hal ini memicu pesatnya perkembangan pengetahuan terkait masalah ensefalopati hepatik serta kemajuan dalam diagnosis dan tatalaksananya. Beragam studi terkait diagnosis, tatalaksana, serta pencegahan ensefalopati hepatik menjadi dasar penatalaksanaan ensefalopati hepatik di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. 1 Ensefalopati hepatik merupakan sindrom neuropsikiatri yang dapat terjadi pada penyakit hati akut dan kronik berat dengan berbagai macam manifestasi, mulai dari ringan hingga berat, mencakup perubahan prilaku, gangguan intelektual, serta penurunan kesadaran tanpa adanya kelainan pada otak yang mendasarinya. 1,2 Ensefalopati hepatik minimal (EHM) merupakan variasi klinik ensefalopati hepatik (EH) yang insidennya terjadi pada 60 70 % pasien dengan sirosis hati. Kondisi ini terdiri dari penurunan kognitif yang diamati pada pasien dengan sirosis hati yang tidak memiliki klinis nyata ensefalopati. Ensefalopati hepatik minimal terkait dengan peningkatan insiden kecelakaan lalu lintas, yang tentu sangat membahayakan pasien dan pengguna jalan lainnya. Ensefalopati

hepatik minimal akan menyebabkan berkurangnya kualitas hidup dan mempengaruhi kemampuan dari pasien untuk melakukan tugas sehari-hari. 1,2,3 Ortiz et al (2005) menyatakan bahwa EHM dapat meningkatkan risiko kecelakaan lalu lintas. EHM secara langsung mempengaruhi perhatian, fungsi psikomotor dan memori kerja, yang mana semua faktor tersebut merupakan hal yang penting untuk berkendara yang aman. Bajaj et al (2008) melakukan penelitian di Amerika Serikat tentang kemampuan mengemudi menggunakan tes mengemudi on-road menunjukkan bahwa pasien sirosis hati dengan EHM memiliki kekurangan yang signifikan dalam waktu reaksi, sehingga pasien tersebut dikategorikan sebagai unsafe driver. 4 Selain itu, telah terbukti juga terjadi peningkatan risiko menjadi EH yang nyata dan berbanding terbalik dengan kelangsungan hidup pasiennya. 1,2,3 Ensefalopati hepatik merupakan salah satu komplikasi sirosis hati yang membawa dampak morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Angka kejadian EH pada sirosis hati bervariasi, misalnya sekitar 30-45 % (USA) dan sekitar 50-70% (UK), di mana sebagian besar diantaranya adalah ensefalopati hepatik minimal. 1,3,4 Data kejadian di Asia juga bervariasi, misalnya di India didapatkan kejadian EH sebesar 62,4 %. Di Indonesia, prevalensi EHM tidak diketahui dengan pasti karena sulitnya penegakan diagnosis, namun diperkirakan terjadi pada sekitar 30-84 % pasien sirosis hepatis. Penelitian yang dilakukan di Poliklinik RSCM dan RSUD Koja juga menunjukkan angka kejadian EHM masing-masing sebesar 63,2% dan 94,4 % pada tahun 2009. 3,4,5

Ensefalopati hepatik terjadi akibat peningkatan neurotoksin / toksisitas amonia. Peningkatan kadar neurotoksin mengakibatkan terganggunya fungsi neuron, sitotoksisitas, pembengkakan sel dan pengurangan glutamat. 5,6,7 Neurotoksin yang meningkat antara lain amonia, mercaptan, endogenous benzodiazepine, GABA, phenol, short cain fatty acid, di mana toksin bekerja sinergis dengan hasil metabolisme bakteri usus pada urea dan protein disertai ketidakmampuan pembersihan oleh hati yang sudah rusak, yang mengakibatkan konsentrasi amonia yang meningkat (5-10 kali lebih tinggi pada sistem portal dari hepar). Toksin mercaptan yang merupakan hasil pemecahan methionine oleh bakteri mengakibatkan fetor hepatikum/fruity sweet smell, di mana akan menyebabkan inhibisi Na/K ATPase, potensiasi amonia, demikian juga mekanisme kerja toksin short chain fatty acide. 7,8 Amonia diproduksi oleh banyak organ. Amonia merupakan hasil produksi koloni bakteri usus dengan aktivitas enzin urease, terutama bakteri gram negatif anaerob, Enterobacteriaceae, Proteus, dan Clostridium. Enzim urease bakteri akan memecah urea menjadi amonia dan karbondioksida. Amonia juga dihasilkan oleh usus halus dan usus besar melalui glutaminase usus yang memetabolisme glutamin (sumber energi usus) menjadi glutamat dan amonia. Pada individu sehat, amonia juga diproduksi oleh otot dan ginjal. Secara fisiologis, amonia akan dimetabolisme oleh hati menjadi urea dan glutamin. Otot dan ginjal juga akan mendetoksifikasi amonia jika terjadi gagal hati di mana otot rangka memegang peranan penting dalam metabolisme amonia melalui pemecahan amonia menjadi glutamin melalui jalur glutamin sintetase. Ginjal berperan dalam produksi dan eksresi amonia, terutama dipengaruhi oleh keseimbangan asam basa tubuh. Ginjal

memproduksi amonia melalui enzim glutaminase yang merubah glutamin menjadi glutamat, bikarbonat dan amonia. Amonia yang berasal dari ginjal dikeluarkan melalui urin dalam bentuk amonium (NH4+) dan urea, ataupun diserap kembali ke dalam tubuh yang dipengaruhi oleh ph tubuh. Dalam kondisi asidosis, ginjal akan mengeluarkan amonium dan urea melalui urin, sedangkan dalam kondisi alkalosis, penurunan laju filtrasi glomerolus dan penurunan perfusi perifer ginjal akan menahan ion amonium dalam tubuh sehingga menyebabkan hiperamonemia. 9,10 Amonia akan masuk ke dalam hati melalui vena porta untuk proses detoksifikasi. Metabolisme oleh hati dilakukan di dua tempat, yaitu sel hati periportal yang memetabolisme amonia menjadi urea melalui siklus Krebs- Hensleit dan sel hati yang terletak dekat vena sentral, di mana urea akan digabungkan kembali menjadi glutamin. Pada keadaan sirosis, penurunan massa hepatosit fungsional dapat menyebabkan menurunnya detoksifikasi amonia oleh hati ditambah adanya shunting portosistemik yang membawa darah yang mengandung amonia masuk ke aliran sistemik tanpa melalui hati. 9,10,11 Peningkatan kadar amonia dalam darah menaikkan risiko toksisitas amonia. Meningkatnya permeabilitas sawar darah otak untuk amonia pada pasien sirosis menyebabkan toksisitas amonia terhadap astrosit otak yang berfungsi melakukan metabolisme amonia melalui kerja enzim sintetase glutamin. Disfungsi neurologis yang ditimbulkan pada EH terjadi akibat edema serebri, di mana glutamin merupakan molekul osmotik sehingga menyebabkan pembengkakan astrosit. Amonia secara langsung juga merangsang pembentukan stres oksidatif dan nitrosatif pada astrosit melalui peningkatan kalsium intraselular yang

menyebabkan disfungsi mitokondria dan kegagalan produksi energi seluler melalui pembukaan pori-pori transisi mitokondria. Amonia juga menginduksi oksidasi RNA dan aktivitas protein kinase untuk mitogenesis yang bertanggung jawab pada peningkatan aktivitas sitokin dan respon inflamasi sehingga mengganggu aktivitas pensignalan intraseluler. 11,12,13 Pengobatan untuk EHM dapat meningkatkan kinerja dan berhubungan dengan kualitas hidup penderitanya. Oleh karena itu, secara klinis, sangatlah penting mendiagnosis EHM secara dini sehingga penderitanya dapat terhindar dari kejadian yang tidak diinginkan. Diagnostik yang cepat, akurat, objektif, hemat biaya dan valid masih menjadi kebutuhan yang sangat penting namun belum bisa terpenuhi sampai saat ini, dan tentunya akan lebih memudahkan dalam algoritma penatalaksanaan awal EH. 13,14 Pemeriksaan untuk EHM tidak rutin dilakukan, bahkan pada poliklinik yang khusus melayani dan menangani pasien sirosis hati. Sebuah survei yang dilakukan oleh American Association for the Study of Liver Disease (AASLD) menunjukkan bahwa 72 % pasien yang diuji, setengahnya terdiagnosis sebagai ensefalopati hepatik minimal. 15 Ensefalopati hepatik minimal sulit untuk didiagnosis karena tes psikometrik tidak mudah untuk dilakukan, di mana hasilnya dapat dipengaruhi oleh usia dan tingkat pendidikan, serta dapat menghabiskan banyak waktu. Saat ini, terdapat beberapa tes diagnostik untuk ensefalopati hepatik minimal, tetapi belum didapatkan gold standard yang dapat diterima secara universal. Ahli hepatologi pada tahun 1998 menyarankan pemakaian Psychometric Hepatic

Encephalopathy Score (PHES) sebagai gold standard. Psychometric Hepatic Encephalopathy Score adalah pemeriksaan gabungan dari lima tes psikometrik yang telah divalidasi dan dilakukan di Italia, Jerman, dan Spanyol. Namun, penggunaan metode ini menghabiskan banyak waktu dan rentan terhadap bias, seperti terjadinya gangguan pada saat pemeriksaan dilakukan, suasana perasaan hati, dan interaksi dengan pasien. 15,16,17,18 Tes dengan menggunakan komputer juga telah digunakan untuk diagnostik ensefalopati hepatik minimal, diantaranya dengan melakukan Inhibitory Control Test (ICT), Cognitive Drug Research System (CDRS), Continous Reaction Time Test (CRT) dan Critical Flicker Frequency (CFF). Belakangan ini, tes Critical Flicker Frequency telah dikembangkan untuk diagnosis ensefalopati hepatik minimal, di mana CFF ini memiliki keuntungan karena tidak tergantung pada bahasa, verbal, penghitungan atau numerik dan penggunaaanya telah dilakukan di Amerika Serikat, Eropa, dan beberapa negara Asia. 19,20,21 Critical Flicker Frequency pada awalnya digunakan sebagai tes oftalmologi yang digunakan untuk mengukur ketajaman visual dan untuk menyaring lesi saraf optik. Prinsip tes ini didasarkan pada fakta bahwa sel-sel glial retina pada pasien dengan ensefalopati hepatik mengalami perubahan berupa pembengkakan dengan yang terlihat pada sel glial otak, yang disebut sebagai retinopati hepatik. Tes ini mengukur frekuensi di mana pasien ensefalopati hepatik minimal akan merasakan cahaya tunggal menjadi cahaya yang berkelap-kelip. Perangkat ini akan mencatat perubahan penurunan frekuensi secara bertahap dari 60 Hz ke

25 Hz. Hal ini dilakukan beberapa kali (biasanya 8-10 kali) untuk memungkinkan perhitungan rata-rata dan standar deviasi. Hal ini juga dapat dilakukan secara terbalik, di mana pasien menentukan frekuensi di mana cahaya yang berkelapkelip menjadi terus menerus atau menyatu. Tes ini memiliki keuntungan untuk bisa dilakukan oleh klinis karena menggunakan perangkat yang portable dengan biaya operasional yang tidak mahal. 22,23,24,25 Penelitian oleh Praveen et al (2013) menemukan EHM sebanyak 52 % dengan menggunakan CFF pada pasien sirosis hati tanpa gejala klinis. Praveen juga menemukan bahwa penggunaan Critical Flicker Frequency lebih disukai oleh pasien sebagai alat untuk penilaian EHM dan memiliki sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar 77 % dan 75% untuk diagnosis EHM. Praveen juga menggunakan Inhibitory Control Test (ICT) untuk mendiagnosis EHM, di mana ICT memilki sensitivitas 89 % dan spesifisitas 56 %, namun memiliki banyak bias dan tidak disukai oleh pasien karena rumit untuk dikerjakan. 26,27 Tes psikometri merupakan salah satu tes untuk mendiagnosis EHM karena mudah dilakukan dan tidak memerlukan instrumen yang canggih, namun dibutuhkan aktivitas motorik yang cukup besar dan data yang normatif. Pada penggunaan CFF, caranya cukup dengan menekan tombol saja sehingga lebih gampang dioperasikan dibanding tes yang lain. 28,29,30 Critical Flicker Frequency adalah alat yang handal dan sederhana untuk diagnosis EHM. Data yang didapat tidak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan atau usia, dan dapat berguna dalam pengelolaan pasien dengan sirosis hati. Nilai dari Critical Flicker Frequency di bawah cut-off 39 Hz mendefinisikan risiko tinggi

untuk EH klinis selama satu tahun pertama pada pasien dengan EHM pada sirosis hati Child-Pugh kelas B atau C. 31 Di Indonesia sendiri, telah dilakukan juga penelitian untuk menilai ketepatan tes Critical Flicker Frequency. Penelitian yang dilakukan terhadap pasien sirosis hati di RSCM dan RS Koja mendapatkan bahwa tes ini mempunyai ketepatan yang baik. Berdasarkan hasil uji validasi Critical Flicker Frequency yang dilakukan di Spanyol dan India didapatkan hasil yang lebih baik, serta uji ketepatan Critical Flicker Frequency di Indonesia juga didapatkan hasil yang baik, maka tes Critical Flicker Frequency dapat dilakukan sebagai alat diagnostik EHM di Indonesia. 2,32,33 Critical Flicker Frequency telah digunakan oleh klinisi pada beberapa penelitian, tetapi sayangnya akurasi diagnostik belum pernah dilakukan secara kuantitatif. Oleh karena itu, saat ini banyak dilakukan penelitian yang membuat review sistematis dan meta analisis dari Critical Flicker Frequency untuk menilai akurasi diagnostik dalam mendeteksi EHM dan diharapkan berguna untuk mendiagnosis EHM di masa depan. 34 Pengukuran kadar amonia darah sebagai modalitas diagnostik ensefalopati hepatik dapat dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis pada pasien dengan penyakit hati kronik. Critical Flicker Frequency dan korelasinya dengan kadar amonia darah diharapkan dapat memberikan jawaban dan penegasan diagnosis ensefalopati hepatikum. Berdasarkan latar belakang demikian, kami berkeinginan untuk meneliti korelasi antara nilai Critical Flicker Frequency dengan kadar amonia darah pada keadaan ensefalopati hepatik minimal.

1.2 Rumusan Masalah Apakah terdapat korelasi antara nilai Critical Flicker Frequency dengan kadar amonia darah pada ensefalopati hepatik minimal? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan Umum : Mengetahui nilai Critical Flicker Frequency dan kadar amonia darah serta korelasinya pada ensefalopati hepatik minimal Tujuan Khusus : 1. Mengetahui nilai rerata Critical Flicker Frequency pada pasien sirosis hati dengan EHM. 2. Mengetahui kadar rerata amonia darah pada pasien sirosis hati dengan EHM. 3. Mengetahui korelasi nilai Critical Flicker Frequency dan kadar amonia darah pada pasien sirosis hati dengan EHM. 1.4 Hipotesis Penelitian Penurunan nilai Critical Flicker Frequency berkorelasi dengan peningkatan kadar amonia darah pada ensefalopati hepatik minimal.

1.5 Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini dapat membantu menegakkan diagnosis ensefalopati hepatik minimal pada pasien sirosis hati dengan menggunakan Critical Flicker Frequency. 2. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar untuk deteksi dini ensefalopati hepatik minimal pada pasien sirosis hati dengan menggunakan teknik yang mudah, murah, dan non-invasive, sehingga kualitas hidup pasien sirosis hati dapat ditingkatkan. 3. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar penelitian lanjutan, strategi preventif, kuratif, follow-up dan menentukan prognosis pasien sirosis hati.

1.6 Kerangka Konseptual Sirosis Hati (Fibrosis) Massa hepatosit fungsional Pintasan portosystemic Metabolisme amonia Amonia (Sirkulasi) Sel Glial Otak Disfungsi mitokondria Glutamin Pembentukan stres oksidatif Pembengkakan sel glial otak Disfungsi astrosit Disfungsi neuronal Disfungsi sel glial retina Ensefalopati Hepatik Ensefalopati Hepatik Minimal Nilai Critical Flicker Frequency Gambar 1.1. Kerangka Konseptual

Keterangan : Pada sirosis hati, karena terjadinya fibrosis hati, terjadi penurunan massa hepatosit dan menimbulkan pintasan portosystemic. Dua keadaan ini akan mengakibatkan terjadinya penurunan metabolisme amonia, karena amonia dimetabolisme di hati (bila hati normal). Metabolisme amonia yang menurun karena sirosis hati akan mengakibatkan peningkatan kadar amonia pada sirkulasi sistemik. Keadaan hipermonemia akan berpengaruh pada sel glial otak. Amonia akan meningkatkan glutamin pada sel glial, sehingga terjadi pembengkakan sel glial otak. Amonia yang meningkat pada sirkulasi juga dapat mengakibatkan disfungsi langsung pada mitokondria astrosit, dan atau meningkatkan pembentukan stres oksidatif astrosit. Keadaan-keadaan ini akan menyebabkan terjadinya disfungsi astrosit, dan seterusnya, disfungsi dari sel glial retina. Disfungsi astrosit pada akhirnya menyebabkan disfungsi neuronal. Disfungsi neuronal akan menyebabkan terjadinya ensefalopati hepatik, baik ensefalopati hepatik overt atau pun ensefalopati hepatik minimal. Keadaan ensefalopati hepatik minimal akan dapat dideteksi melalui metode Critical Flicker Frequency, melalui respon pasien terhadap kedipan cahaya pada saat pemeriksaan karena adanya disfungsi dari sel glial pada retina.