KREDIT SAM PERAH, MASALAH DAN PENANGGULANGANNYA

dokumen-dokumen yang mirip
EFESIENSI USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH DALAM MENGHADAPI ERA PERDAGANGAN BEBAS

SISTEM PEMBERIAN PAKAN DALAM UPAYA MENINGKATKAN PRODUKSI SUSU SAN PERAH

PEMELIHARAAN SAM PERAH LAKTASI DI DAERAH DATARAN RENDAH

PELUANG DAN TANTANGAN PENINGKATAN PRODUKSI SUSU NASIONAL

PENINGKATAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH LAKTASI MELALUI PERBAIKAN PAKAN SKRIPSI. Disusun oleh: DEDDI HARIANTO NIM:

PEDOMAN PELAKSANAAN KREDIT USAHA PEMBIBITAN SAPI

UPAYA PENGEMBANGAN AGRIBISNIS SAPI PERAH DAN PENINGKATAN PRODUKSI SUSU MELALUI PEMBERDAYAAN KOPERASI SUSU

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PERTANIAN. Kredit Usaha. Pembibitan Sapi. Pelaksanaan. Pencabutan.

KAJIAN KOPERASI PERSUSUAN DI JAWA BARAT

KAJIAN KOPERASI PERSUSUAN DI JAWA BARAT

KATA PENGANTAR. Jakarta, Januari 2011 DIREKTUR PERBIBITAN TERNAK ABUBAKAR

STUDI KELAYAKAN USAHA TERNAK SAPI PERAH RAKYAT DI WILAYAH KABUPATEN BOGOR OLEH AGITA KIRANA PUTRI H

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dede Upit, 2013

Samarinda, 29 Februari 2012 DIREKTORAT PERBIBITAN TERNAK DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN KEMENTERIAN PERTANIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Peternakan Sapi Perah

DEPARTEMEN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 1. SEJARAH PETERNAKAN SAPI PERAH DAN PERSUSUAN

II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI. Koperasi berasal dari kata ( co = bersama, operation = usaha) yang secara

OPTIMALISASI PENDAPATAN USAHA PEMELIHARAAN SAPI PERAH DALAM UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI SUSU NASIONAL

IV. ANALISIS DAN SINTESIS

Kajian Koperasi Persusuan di Jawa Barat Oleh Achmad Firman 1

KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Perkembangan Koperasi tahun Jumlah

TINJAUAN PUSTAKA. manusia. Kegiatan usaha ini harus diiringi oleh perhatian terhadap keseimbangan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPRODUKSI SUSU SAPI PERAH LAKTASI MELALUI PERBAIKAN PAKAN DAN FREKUENSI PEMBERIANNYA

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Jumlah Tenaga Kerja Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Lapangan Pekerjaan Tahun 2011

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Peluang Pengembangan Usaha Sapi Perah di Daerah Dataran Rendah Kabupaten Cirebon

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 301/KMK.01/2002 TENTANG PENGURUSAN PIUTANG NEGARA KREDIT PERUMAHAN BANK TABUNGAN NEGARA

VII. SISTEM PENGELOLAAN USAHA TERNAK SAPI MANDIRI CISURUPAN. 7.1 Struktur Organisasi dan Pengambilan Keputusan

PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG PENGUATAN PEMODALAN KOPERASI, USAHA MIKRO DAN KECIL POLA BERGULIR

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Peternakan Sapi Perah di Indonesia

7" gk ii;l. DlWAMlKA DAM PARTISIPAS1 Al\bGGOTA KOPERASl SUPRABA. Dl KABUPATEN BAIIIVUMAS. Oleh BUSRO SET10 HARTANTO

KAJIAN TINGKAT INTEGRASI PADI-SAPI PERAH DI NGANTANG KABUPATEN MALANG

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 5/ 19 /PBI/2003 TENTANG PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT ATAU PEMBIAYAAN BANK PERKREDITAN RAKYAT PASCA TRAGEDI BALI

PENDAHULUAN. dimiliki oleh petani masih dalam jumlah yang sangat terbatas.

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Sumber : BPS (2009)

PENDAHULUAN Latar belakang


I. PENDAHULUAN. pasokan sumber protein hewani terutama daging masih belum dapat mengimbangi

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber

I PENDAHULUAN. selesai, seekor induk sapi perah harus diafkir, dan diganti dengan induk baru yang

AKSELERASI IMPLEMENTASI KREDIT USAHA PEMBIBITAN SAM (KUPS) UNTUK SAM PERAH

Tabel 1. Perkembangan Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Menurut Skala Usaha Tahun Atas Dasar Harga Konstan 2000

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

III. KERANGKA PEMIKIRAN

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Koperasi Unit Desa (KUD)

TINJAUAN PUSTAKA. Gaduhan Sapi Potong. Gaduhan adalah istilah bagi hasil pada bidang peternakan yang biasanya

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat. Metode Penelitian

ANALISIS POLA USAHA PEMBIBITAN SAPI BALI YANG DIPELIHARA SECARA EKSTENSIF DAN SEMI INTENSIF

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

I. PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam

PEMELIHARAAN PEDET SAM PERAH

BAB I. PENDAHULUAN. [Januari, 2010] Jumlah Penduduk Indonesia 2009.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional suatu bangsa mencakup di dalamnya

PEDOMAN PELAKSANAAN PENGEMBANGAN USAHA PERBIBITAN TERNAK TAHUN 2015 DIREKTORAT PERBIBITAN TERNAK

MANFAAT BIOPLUS DALAM PENGGEMUKAN SAPI FRIESIAN HOLSTEIN (FH) JANTAN DI KECAMATAN LELES KABUPATEN DT II GARUT

I. PENDAHULUAN. sektor pertanian yang memiliki nilai strategis antara lain dalam memenuhi

MUNGKINKAH SWASEMBADA DAGING TERWUJUD?

BAB I PENDAHULUAN. bentuk negara yang berpulau-pulau menjadikan negeri ini memiliki sumber

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Undang-undang No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian pasal 2

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Ternak perah merupakan ternak yang mempunyai fungsi sebagai penghasil

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 21 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 21 TAHUN 2011

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. Rakyat (KUR) di Desa Ciporeat, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung.

TINJAUAN PUSTAKA. manusia sebagai sumber penghasil daging, susu, tenaga kerja dan kebutuhan manusia

BUPATI PAKPAK BHARAT

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian di Indonesia saat ini sudah semakin maju. Dilihat dari

DAMPAK PELAKSANAAN INSEMINASI BUATAN (IB) TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN PETERNAK SAPI PERAH DI DAERAH JAWA BARAT

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

PENDAHULUAN. memadai, ditambah dengan diberlakukannya pasar bebas. Membanjirnya susu

Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

KAJIAN KEPUSTAKAAN. sumber utama protein, kalsium, fospor, dan vitamin.

Skim Pembiayaan Mikro Agro (SPMA)

ANALISIS EKONOMI USAHATERNAK SAP1 PERAH DI WILAYAH PROPINSI JAWA BARAT

GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT

IV METODE PENELITIAN. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

LOUNCHING PROVEN BULL SAPI PERAH INDONESIA

III. KERANGKA PEMIKIRAN

UPAYA MEMACU PENINGKATAN POPULASI SAPI POTONG MELALUI PELAK- SANAAN INSEMINASI BUATAN DI DAERAH CIAMIS JAWA BARAT ABSTRAK

Lampiran 1. Asumsi, Koefisien teknis dan Koefisien harga

STUDI KELAYAKAN USAHA TERNAK SAPI PERAH RAKYAT DI WILAYAH KABUPATEN BOGOR OLEH AGITA KIRANA PUTRI H

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu produk peternakan yang berperan dalam

PRODUKTIVITAS DAN ANALISA KELAYAKAN USAHA TERNAK SAPI POTONG DI YOGYAKARTA (POSTER) Tri Joko Siswanto

ANALISIS EKONOMI PEMBERIAN KREDIT SAPI TERHADAP TINGKAT PENDAPATAN PETERNAK SAPI PERAH DI KECAMATAN PAKEM KABUPATEN SLEMAN YOGYAKARTA

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Desa Sukajaya merupakan salah satu desa sentra produksi susu di Kecamatan

PERANAN KOPERASI UNIT DESA (KUD) TERHADAP P0ENGEMBANGAN USAHA TERNAK SAPI PERAH

PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 13/26/PBI/2011 TENTANG

dan produktivitasnya sehingga mampu memenuhi kebutuhan IPS. Usaha

POLA PEMBESARAN SAPI PEDET Pola pembesaran pedet yang sangat menonjol di Kab. Boyolali ada 3 sistem yaitu : (1) pembesaran secara tradisional, (2) pem

IR. SUGIONO, MP. Lahir : JAKARTA, 13 Oktober 1961

KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Pola saluran pemasaran terdiri dari: a) Produsen Ketua Kelompok Ternak Lebaksiuh Pedagang

GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR KEPUTUSAN NOMOR 154 TAHUN 1980 TENTANG

ANALISIS EKONOMI PENGGEMUKAN KAMBING KACANG BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL. Oleh : M. Jakfar dan Irwan* ABSTRAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ayat 2 dijelaskan bahwa, bank adalah badan usaha yang menghimpun

I. PENDAHULUAN. Ternak kambing merupakan salah satu ternak ruminansia penghasil protein

Transkripsi:

KREDIT SAM PERAH, MASALAH DAN PENANGGULANGANNYA Sori Basya Siregar (Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan) PENDAHULUAN Pada akhir Pelita V telah direncanakan, bahwa 50% dari kebutuhan susu nasional sudah harus dipenuhi dari produksi susu dalam negeri. Untuk itu perlu berbagai upaya yang mengacu pada peningkatan produksi susu secara cepat. Pada periode tahun 1974-1978, kemampuan produksi susu dalam negeri dalam memenuhi kebutuhan susu nasional baru mencapai 14,5% (Dit.Jen.Nak, 1981). Upaya yang telah dilakukan pemerintah di samping peningkatan produksi susu, adalah juga penambahan populasi sapi-sapi perah betina. Adanya impor sapi perah betina, telah memacu perkembangan populasi clan produksi susu sapi perah dengan cepat dibandingkan de ngan tahun-tahun sebelumnya (1974-1978), yakni 2,1 % clan 2,7% berturut-turut untuk perkembangan populasi clan produksi susu (Dit.Jen.Nak, 1981). Sedangkan pada periode 1979-1984 terjadi peningkatan populasi clan produksi SUSU per tahun berturut-turut 21,2% clan 25,9% (Dit.Jen.Nak, 1990). Kemampuan produksi susu dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan susu secara nasional pada tahun 1989 sudah mencapai 44,8% dan pada tahun 1992 menurun menjadi 41,6% (Dit.Jen.Nak, 1992). PENYALURAN KREDIT SAM PERAH Sapi-sapi perah betina yang telah diimpor disebar luaskan kepada peternak-peternak ke berbagai daerah melalui sistim kredit. Penyebar luasan kredit sapi perah ini dimaksudkan tidak hanya untuk meningkatkan produksi susu nasional, tetapi juga memberikan dampak terhadap peningkatan pendapatan para peternak sapi perah dan peluang kesempatan kerja. Oleh karena itu penyaluran kredit sapi perah kepada para peternak tidak dibebani dengan persyaratan-persyaratan yang memberatkan, tidak perlu agunan, bunga pinjaman yang relatif rendah clan jangka waktu pengembalian kredit yang relatif lama. Ada dua lembaga yang sangat berperan dalam penyaluran kredit sapi perah kepada para peternak, yakni lembaga perbankan clan kope rasi/kud. Lembaga perbankan berperan dalam penyediaan dana yang dibutuhkan untuk mengimpor sapi-sapi perah clan koperasi/kud berperan dalam penyaluran dan pendistribusian sapi-sapi perah serta bertanggung jawab dalam pengembalian kredit tersebut sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan. Lembaga perbankan yang telah menyalurkan dananya untuk impor sapi-sapi perah betina adalah BRI pada periode tahun 1979 clan 1989 serta Bukopin pada periode tahun 1987 clan 1992. Setiap koperasi/kud akan menerima kredit sapi harus mengajukan permohonan dengan berbagai persyaratan, antara lain dan terutama adalah sebagai berikut a. Mempunyai Surat Izin Usaha. b. Administrasi sudah berjalan dengan baik. c. Penyusunan neraca sudah teratur dengan baik. d. Kelayakan usaha. e. Rekomendasi dari Kantor Koperasi dan Dinas Peternakan setempat. f. Telah melunasi pajak usaha. Sedangkan koperasi/kud dalam menyalurkan kredit sapi perah kepada peternak menentukan persyaratan, yaitu a. Sudah terdaftar sebagai anggota koperasi/ KUD. b. Mempunyai pengalaman dalam memelihara sapi perah. c. Kesanggupan dalam memelihara sapi perah. d. Sanggup membayar uang muka sebesar yang telah ditetapkan oleh koperasi/kud. e. Sanggup melunasi kredit yang akan diterima sesuai dengan ketentuan dan jangka waktu yang telah ditetapkan. Penyaluran kredit sapi perah yang terakhir kepada peternak-peternak adalah kredit BRI tahun 1989, yakni sapi perah betina bunting 3-5 bulan dengan harga pada tingkat peternak Rp. 1.700.000/eko r. Jangka waktu pengem-

SORT BASYA SIREGAR: Kredit Sapi Perah balian kredit selama 7 tahun dengan bunga 1,0% per bulan. Tahun pertama ticlak clikenakan pencicilan kredit, sehingga jangka waktu pengembalian berupa pencicilan pokok kredit adalah 6 tahun dengan pembayaran bunga kredit tetap selama 7 tahun. Namun di beberapa daerah seperti Kabupaten Garut di Jawa Barat, terclapat pula kredit sapi perah yang clikeluarkan oleh Bukopin tahun 1992. Nilai kredit adalah Rp. 2.000.000/eko r dengan bunga 1,5% per bulan. Jangka waktu pengembalian clan tata cars pelunasan, sama dengan kredit BRI tahun 1989. DAMPAK POSITIF KREDIT SAM PERAH Kredit sapi perah di samping memacu peningkatan populasi sapi perah sehingga memberikan dampak terhadap peningkatan produksi susu dalam negeri adalah juga peningkatan pendapatan para peternak sapi perah clan peluang kesempatan bekerja. Peningkatan pendapatan tersebut adalah disebabkan bertambahnya skala pemilikan. Di daerah Jawa Timur misalnya rata-rata pemilikan per peternak adalah 2,8 ekor sebelum adanya impor sapi perah clan setelah adanya impor sapi perah atau kredit sapi perah, rata-rata pemilikan sapi perah menjadi 3,05 ekor/peternak. Peningkatan rata-rata pemilikan ini berakibat terhadap adanya peningkatan pendapatan sebesar 7,20% (Dinas Peternakan Dati I Propinsi Jawa Timur, 1990). Walaupun belum diperoleh data kuantitas, namun berdasarkan pendamatan yang dilakukan pada beberapa koperasi/kud di Jawa menunjukkan adanya peningkatan pendapatan peternak penerima kredit sapi perah. Dampak kredit sapi perah terhadap peluang kesempatan kerja adalah timbulnya peternak baru clan berkembangnya koperasi/kud di daerah pemeliharaan sapi perah. Beberapa daerah seperti Jawa Timur menentukan kebijaksanaan, bahwa penyebaran sapi-sapi perah impor berupa kredit adalah untuk mengembang-kan daerahdaerah baru pemeliharaan sapi perah clan untuk menambah skala pemilikan pada peternak yang telah memelihara sapi perah (Dinas Peternakan Dati I Propinsi Jawa Timur, 1990). Sebagaimana diketahui, bahwa sebagian besar susu yang diproduksikan oleh para peternak disalurkan ke inclustri pengolahan susu melalui koperasi/kud. Hal ini berarti, bahwa pengembangan daerah pemeliharaan sapi perah akan diikuti pula oleh pertambahan jumlah koperasi/kud clan hal ini merupakan penyebaran tenaga kerja. Di daerah Jawa Timur saja misalnya telah terjadi pertambahan 10 buah koperasi/kud selama periode tahun 1987-1990 (Dinas Peternakan Propinsi Dati I Jawa Timur, 1990). MASALAH PENGEMBALIAN KREDIT SAM PERAH Impor sapi perah betina yang didistribusikan kepada para peternak melalui sistim kredit, tidak luput dari permasalahan. Sebagian besar kredit sapi perah yang telah disalurkan kepada peternak ke berbagai daerah, mengalami kemacetan dalam pengembaliannya sesuai dengan jadwal clan jangka waktu yang telah ditentukan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya tunggakan pokok clan bunga yang relatif besar pada peternak penerima kredit. Sebagai contoh dapat clikemukakan tunggakan kredit yang terjadi di Propinsi Jawa Timur, daerah Bogor clan Garut di Propinsi Jawa Barat sebagaimana terlihat pada tabel-tabel di bawah ini : Tabel 1. Tunggakan kredit sapi perah program tahun 1979-1983 pada posisi bulan Oktober 1990 di daerah Jawa Timur Program kredit Tunggakan pokok clan bungs Persentasi tunggakan dari plafond kredit 1%1 1. PUSP II 286.931.000 29,1 2. PUSP III 646.559.000 62,1 3. PUSP IV : 1.590.366.377 120,7 4. Kredit Koperasi I : 1.243.926.994 24,5 5. Kredit Koperasi X - XXX : 8.134.051.943 106,5 Jumlah :11.901.835.314 74,1 Sumber data : Dinas Peternakan Propinsi Dati I Jawa Timur (1990) Kredit sapi perah yang telah disalurkan ke Propinsi Jawa Timur berjumlah Rp. 16.053.004.645. Dari jumlah tersebut terdapat tunggakan sebesar Rp. 11.901.835.31 4 berupa tunggakan pokok clan bunga pada posisi bulan Oktober 1990. Tunggakan tersebut mencapai 74,1 % dari kredit pokok. Tunggakan kredit sapi perah di daerah Bogor adalah berdasarkan data yang diperoleh dari koperasi susu (KPS Bogor) berupa kredit Bukopin (tahun 1987/1988) clan kredit BRI (1989), sebagaimana terlihat pada tabel berikut :.

WARTAZOA Vo1: 4 No. 1-2, Pebruari 1995 Tabel 2. Tunggakan kredit sapi perah Bukopin dan BRI per Maret 1993 di daerah Bogor Uraian I. Dari peternak ke KPS : Untuk menanggulangi tunggakan kredit yang terjadi pada peternak di daerah Bogor khususnya kredit yang telah melampaui batas waktu pengembalian, KPS Bogor terpaksa melunasinya ke lembaga perbankan de ngan menyisihkan sebagian dari sisa hasil usahanya. Di daerah Garut terdapat 5 buah KUD yang melakukan penyebaran kredit sapi perah kepada peternak. Jumlah tunggakan yang ter jadi pada kelima KUD tersebut pada posisi bulan Oktober 1992, terlihat sebagai berikut Tabel 3. Tunggakan kredit sapi perah Bukopin tahun 1987/1988 pada bulan Oktober 1992 di daerah Garut Narna KUD Bukopin Tunggakan pokok dan bunga BRI Persentase tunggakan dari plafond kredit (%) 1.Bayongbong 67.915.104 16,8 2. Cisurupan 98.389.723 17,1 3. Cikajang 78.971.220 17,6 4. Samarang 68.521.838 16,3 5. Cilawu 32.392.589 16,6 Jumlah 346.190.474 16,9 Jumlah 1. Pokok : 189.175.060 183.885.579 373.060.640 2. Bunga : 108.362.620 133.371.157 241.733.778 Jumlah 297.537.680 317.256.736 614.794.418 II. Dari KPS ke Bank 1. Pokok 64.860.000 139.830.000 204.690.000 2. Bunga 24.977.866 132.399.287 157.377.153 Jumlah 89.837.866 272.229.287 362.067.153 Surnber data : Departemen Koperasi Kabupaten Garut (1992) Tunggakan kredit sapi perah program Bukopin tahun 1987/1988 di daerah Garut pada posisi Oktober 1992 adalah sebesar Rp. 346.190.474 atau 16,9% dari plafond kredit yang berjumlah Rp.2.043.419.235. Adanya tunggakan kredit sapi perah sebagaimana yang dicontohkan di atas telah menimbulkan permasalahan rumit bagi kope rasi/kud yang dibebani tanggung jawab dalam pengembalian kredit sapi perah sesuaa. dengan jangka waktu clan jadwal yang telah ditetapkan. Walaupun telah dilakukan berbagai upaya antara lain pembentukan Tim Kelompok Kerja (Pokja), Inpres No. 9/1989 clan pengenaan Dana Tanggung Renteng (DTR), namun masalah tunggakan kredit peternak masih belum teratasi secara tuntas. Memang sebagian koperasi/kud ada yang sudah melunasi kredit sapi perah ke bank pemberi kredit terutama kredit yang sudah lewat jangka waktu pengembaliannya. Namun hal ini bukan berarti, bahwa kredit yang telah dibayarkan koperasi/kud itu sudah lunas. Kepada peternak-peternak penerima kredit sapi perah tetap dibebani tanggung jawab untuk melunasi kredit yang telah diterimanya kepada koperasi/kud yang bersangkutan. Terjadinya tunggakan kredit pada sebagian besar peternak adalah karena ketidakmampuan para peternak itu untuk mencicil kreditnya sesuai dengan jadwal clan jangka waktu yang telah ditetapkan. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, namun terutama adalah sebagai berikut 1. Harga penjualan susu peternak yang tidak berimbang dengan harga pakan Biaya produksi yang terbesar pada pemeliharaan sapi perah adalah pada biaya pakan clan terutama pakan konsentrat. Penelitian yang telah dilakukan terhadap pemeliharaan sapi perah di daerah Pangalengan Jawa Barat menunjukkan, bahwa biaya rata-rata pakan mencapai 70,1 % dari keseluruhan biaya produksi (Siregar, 1985). Oleh karena itu perimbangan yang semakin sempit antara harga per liter susu dengan harga per kg pakan konsentrat akan memberikan dampak yang semakin tidak menguntungkan. Berikut diutarakan harga konsentrat clan harga susu serta perimbangannya di beberapa daerah pemeliharaan sapi perah. Dari tabel tersebut terlihat, bahwa perimbangan antara harga per kg konsentrat dengan harga penjualan per liter susu yang paling tinggi adalah di daerah Klaten dengan perimbangan 1 : 2,67. Penelitian yang telah dilakukan pada sapi perah yang sedang berproduksi susu di daerah Pangalengan menunjukkan, bahwa rata- rata susu yang diproduksikan adalah 11,7 I/ekor/hari dengan pemberian konsentrat 7,1 kg/ekor/hari (Siregar, 1985). Dengan demikian konversi kon-

SORT BASYA S%REGAR: K)-edit Sapi Perah sentrat pada sapi perah yang sedang berproduksi susu di daerah Pangalengan adalah 1 : 1,65 yang berarti 1 kg konsentrat hanya mampu menghasilkan 1,65 Itr susu. Oleh karena itu apabila perimbangan harga antara 1 kg konsentrat dengan harga 1 Itr susu (1 : 1,65) maka tidak akan ada lagi perolehan keuntungan clan sudah merugikan. Daryono dkk (1989) dalam penelitian usahatani sapi perah di daerah Pangalengan mendapatkan, bahwa biaya pakan konsentrat dari keseluruhan biaya produksi rata-rata 54,56%. Dengan demikian perimbangan antara 1 kg konsentrat dengan harga 1 liter susu supaya memberikan sejumlah keuntungan bagi peternak haruslah di atas 1 : 100 (1,65)/54,56 = 1 3,0. Sebagai perbandingan dapat dikemukakan perimbangan antara harga konsentrat dengan harga penjualan susu peternak di negara Jepang yang sudah tergolong maju pemeliharaan sapi perahnya adalah berkisar antara 1 : 9,0 sampai dengan 1 : 13,5 (Dit.Jen.Nak, 1991). Tabel 4. Daerah pemeliharaan sapi perah Harga pakan konsentrat, harga susu clan perimbangannya di beberapa daerah pemeliharaan sapi perah Harga konsentrat (Rp/kg) Harga Perimbangan susu antara harga (Rp/Itr) konsentrat dengan susu Sumber data 1. Bogor 200 525 1 : 2,63 Puslitbangnak (a), 1993 2. Garut 200 360 1 : 1,80 Puslitbangnak (al, 1993 3. Lembang 185 375 1 : 2,02 Siregar, 1992 4. Klaten 160 427 1 : 2,67 Puslitbangnak l ", 1993 5. Banyumas 195 420 1 : 2,15 Puslitbangnak ( ' ), 1993 6. Jawa Timur 245 370 1 : 1,51 PuslitbangnaO ), 1993 2. Jumlah pemilikan rata-rata sapi perah induk yang relatif sedikit clan skala usaha yang relatif kecil Jumlah pemilikan rata-rata sapi perah induk peternak penerima kredit sebagian besar masih di bawah 6 ekor clan tergolong dalam Skala usaha kecil. Skala usaha yang masih kecil berakibat pada perolehan keuntungan yang relatif kecil, sehingga keuntungan yang diperoleh itu belum mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya apalagi untuk mencicil kreditnya. Hal ini dapat dilihat pada uraian berikut ini Skala usaha yang diutarakan pada Tabel 5 di atas didasarkan pada rataan pemilikan di bawah 6 ekor induk/peternak tergolong Skala usaha kecil, pemilikan 6-10 ekor induk/peternak tergolong Skala usaha menengah clan pemilikan di atas 10 ekor induk/peternak tergolong Skala usaha besar. Dari tabel tersebut terlihat, bahwa penclapatan berupa keuntungan yang diperoleh dari pemeliharaan sapi perah pada Skala usaha kecil clan menengah belum mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dengan demikian adalah tidak mungkin bagi peternak Skala usaha kecil clan menengah untuk mencicil kreditnya dari usaha sapi perahnya. Tunggakan kredit yang terjadi pada umumnya adalah pada peternak Skala usaha kecil clan menengah. Tabel 5. Uraian Kontribusi usaha pemeliharaan sapi perah terhadap kebutuhan hidup peternak berdasarkan skala usaha Sumber data : Puslitbangnak, 1993 3. Kemampuan berproduksi susu yang rendah A Skala usaha 1. Rataan pemilikan induk sapi perah (ekor/peternak) 2,3 7,3 20,5 2. Rataan pendapatan dari usaha sapi perah (Rp/bln) 59.268,05 330.000,28 1.362.699,90 3. Rataan kebutuhan hidup peternak (Rp/bln) 276.455,44 623.948,31 1.091.393,43 4. Kontribusi usaha sapi perah terhadap kebutuhan hidup (%) : 21,4 52,9 124,9 Sumber utama pemeliharaan sapi perah adalah susu yang diproduksikan oleh sapi induk laktasi. Oleh karena itu selain faktor harga, kemampuan berproduksi susu dari sapi-sapi induk laktasi akan sangat menentukan besarnya penerimaan. Kemampuan berproduksi susu yang relatif rendah umumnya terdapat pada sapi perah induk yang clipelihara di daerah-daerah dataran rendah. Penelitian yang telah dilakukan di daerah Bogor clan Klaten yang merupakan dataran rendah mendapatkan kemampuan berproduksi susu dari sapi perah induk ma-sing-masing 8,9 Itr/ ekor/hari clan 11,0 Itr/ekor/hari (Puslitbangnak, 1993). Sedangkan penelitian yang telah dilakukan di daerah Garut clan Lembang yang merupakan dataran tinggi mendapatkan kemampuan berproduksi susu dari sapi- sapi perah induk masing-masing adalah 15,2 Itr/ekor/hari clan 16,3 Itr/ekor/hari (Siregar clan Praharani, 1992). -Pad' B c

WARTAZOA Vol. 4 No. 1-2, Pebruari 1995 kenyataannya makin rendah kemampuan berproduksi susu dari sapi-sapi perah induk yang dipelihara akan semakin kecil keuntungan yang diperoleh clan akan semakin sedikit kemungkinannya untuk mencicil kredit. Hal inilah yang terjadi pada sebagian besar peternak penerima kredit di daerah dataran rendah. 4. Adanya kematian sapi kredit Sapi-sapi perah yang dikreditkan kepada peternak dilinclungi dengan asuransi ternak. Apabila terjadi kematian sapi selama satu tahun setelah penerimaan kredit akan dilakukan penggantian berupa uang dengan nilai separuh dari nilai kredit sapi perah. Dengan demikian peternak yang mengalami kematian sapi tidak akan mampu untuk membeli sapi perah bunting lagi dengan nilai uang yang diterimanya. Sudah barang tentu peternak yang mengalami musibah demikian ini, tidak akan sanggup membayar bunga pinjamannya apalagi mencicil kredit pokoknya. ALTERNATIF PENANGGULANGANNYA Permasalahan-permasalahan yang diutarakan di atas perlu dicarikan upaya penanggulangannya yang tepat, agar kemacetan kredit yang telah terjadi dapat ditanggulangi sebaikbaiknya clan tidak terulangnya lagi kemacetan kredit di waktu-waktu mendatang. Harga susu yang tidak berimbang dengan harga pakan dapat ditanggulangi dengan meningkatkan harga susu dalam batas-batas daya beli konsumen. Hat ini masih memungkinkan dilihat dari besarnya perbedaan harga susu pada konsumen clan peternak. Di daerah Bogor misalnya pada permulaan Januari 1993 harga susu pada peternak hanya Rp. 540/Itr, sedangkan pada konsumen sudah mencapai antara Rp. 800 - Rp 1000/Itr. Dalam periode tahun yang sama harga susu pada peternak rata-rata Rp. 427/1tr di Klaten clan Rp. 420/Itr di daerah Banyumas ; sedangkan harga pada konsumen susu berkisar antara Rp. 600 - Rp. 750/Itr di daerah Klaten clan Rp. 750 - Rp. 1000/ Itr di daerah Banyumas. Adanya perbedaan harga susu yang masih cukup besar antara peternak dengan konsumen, masih memberi peluang untuk meningkatkan harga susu pada tingkat peternak. Hal ini penting untuk dipikirkan oleh koperasi/kud yang menyerap sebagian besar susu yang diproduksikan peternak, agar penda- patan peternak sapi perah penerima kredit khususnya dapat lebih ditingkatkan. Dengan demikian kesanggupan peternak tersebut dalam mencicil kreditnya dapat lebih ditingkatkan. Upaya lainnya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi harga susu yang sudah tidak berimbang dengan harga pakan adalah menge fisienkan biaya pakan agar biaya produksi menjadi lebih rendah. Hal ini dapat dilakukan dengan mengurangi jumlah pemeliharaan sapi perah non produktif. Tindakan ini akan berakibat pada pengurangan jumlah penggunaan pakan, sehingga jumlah biaya produksi akan lebih rendah. Dengan demikian pendapatan akan meningkat. Pada kenyataannya, semakin tinggi skala usaha akan semakin besar keuntungan yang diperoleh clan akan semakin besar pula kemung kinannya untuk dapat mencicil kredit. Ternyata pula, bahwa sebagian besar tunggakan kredit adalah pada para peternak skala usaha kecil clan menengah dengan rataan pemilikan induk sapi perah berada di bawah 10 ekor. Oleh karena itu skaah satu alternatif yang dapat diajukan dalam penanggulangan tunggakan kredit sapi perah adalah dengan meningkatkan skala usaha melalui penambahan pemilikan sapi perah induk kepada peternak penerima kredit. Dalam hal ini kepada peternak penunggak kredit diberi penambahan sapi perah bunting untuk meningkatkan skala usahanya. Pemberian kredit baru ini ticlak melalui kredit perbankan, namun dalam bentuk pemberian sapi perah dengan pengembalian sapi perah pula. Bentuk pemberian kredit ini telah dilakukan pada sapi potong sebelum kredit sapi melalui perbankan diperkenalkan kepada masyarakat. Pemberian kredit berupa sapi clan pengembaliannya dalam bentuk sapi dikenal dengan Sumba Kontrak. Penyaluran jenis kredit berupa Sum-ba Kontrak berdasarkan pengalaman yang lalu, tidak menimbulkan masalah yang berarti, sebab para peternak ticlak dibebani dengan bunga clan cicilan pokok berupa uang setiap bulannya. Pemberian kredit sapi perah berupa Sumba Kontrak telah dilakukan oleh Dinas Peternakan Kodya Semarang dalam upaya pengembangan populasi sapi perah clan produksi di Kodya Sernarang. Dalam hal ini kepada peternak-peternak sapi perah diberi kredit sapi perah betina umur 1,5 tahun dengan pengembalian 2 ekor sapi perah betina umur 1 ;5 tahun. Jangka waktu pengembalian ditetapkan 5 tahun. Selain di Kotamadya Semarang, di daerah Banyumas dilakukan pula pemberian kredit sapi

SORT BASYA SIREGAR: Kredit Sapi Perah perah kepada peternak sejenis Sumba Kontrak. Kepada peternak diberikan 2 ekor induk sapi perah dengan pengembalian 4 ekor anak betina sapi perah dalam jangka waktu pengembalian 5 tahun. Kelihatannya pemberian kredit sapi perah kepada peternak sejenis Sumba Kontrak sebagaimana diutarakan di dua daerah tadi tidak mengalami hambatan yang berarti dalam pengembalian kredit dan dapat memacu perkembangan populasi sapi perah. Terhadap kemampuan berproduksi susu yang masih rendah, dapat ditanggulangi secara bertahap dengan melakukan seleksi. Sapi perah yang berproduksi susu rendah dan tidak ekonomis untuk dipelihara, sebaiknya dikeluarkan dan diganti dengan sapi perah yang berproduksi susu lebih tinggi. Sapi perah yang tidak ekonomis lagi untuk dipelihara adalah sapi yang berproduksi susu hanya mampu untuk menutupi biaya pemeliharaan dirinya sendiri. Seleksi harus dilakukan secara terus menerus agar kemampuan berproduksi susu dari sapisapi perah yang dipelihara setahap demi setahap mengalami peningkatan. Terhadap kematian sapi-sapi kredit sebaiknya tidak diganti dengan bentuk uang, tetapi dalam bentuk sapi. Dengan demikian pe ternak yang sapi perah kreditnya mati, tidak merasa dirugikan. Hal ini akan terlaksana apabila pihak koperasi/kud dilibatkan dalam pengaturan asuransi sapi perah kredit. DAFTAR PUSTAKA Daryono, J.M., Atmaja dan A.B.D. Martanegara. 1989. Analis a kombinasi usahaternak sapi perah dengan usahatani sayuran di ke camatan Pangalengan, Bandung. Prosiding Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar. Puslitbang Peternakan, Bogor. Departemen Koperasi Kabupaten Garut. 1992. Laporan Perkembangan Kredit Sapi Perah Program Koperasi. Departemen Koperasi Kabupaten Garut, Garut. Dinas Peternakan Propinsi Dati I Jawa Timur. 1990. Evaluasi Pengembangan Sapi Perah di Jawa Timur. Dinas Peternakan Daerah Propinsi Tingkat I Jawa Timur, Surabaya. Dit.Jen.Nak. 1981. Buku Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta. Dit.Jen.Nak. 1990. Buku Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta. Dit.Jen.Nak. 1991. Pengalama n Tarunatani Magang di Jepang clan Pelaksanaan Usahatani Setelah Magang. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta. Dit.Jen.Nak. 1992. Buku Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta. Puslitbangnak. 1993 1x1. Penelitian Sistem Usahatani Sapi Perah di Pulau Jawa. Puslitbang Peternakan, Bogor. Puslitbangnak. 1993 1b1. Laporan Penelitian Sistem Usahatani Sapi Perah di Daerah Cilebut, Bogor. Puslitbang Peternakan, Bogor (belum diterbitkan). Siregar, S.B. 1985. Upaya peningkatan keuntungan peternak dalam pemeliharaan sapi perah di daerah Pangalengan, Jawa Barat. Ilmu clan Peternakan No. 10 : 439-443. Siregar, S.B clan L. Praharani. 1992. Pengembangan usahatani sapi perah di daerah Jawa Barat. Prosiding Pengolahan clan Komunikasi Hasil-hasil Penelitian Peternakan di Pedesaan. Balai Penelitian Ternak, Bogor.