PENANGANAN KAWASAN BENCANA LONGSOR DAS WAI RUHU. Steanly R.R. Pattiselanno, M.Ruslin Anwar, A.Wahid Hasyim

dokumen-dokumen yang mirip
PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Tinjauan Umum 1.2 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

BAB I PENDAHULUAN. topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PERENCANAAN MITIGASI BENCANA LONGSOR DI KOTA AMBON Hertine M. Kesaulya¹, Hanny Poli², & Esli D. Takumansang³

ANALISIS KESESUAIAN UNTUK LAHAN PERMUKIMAN KOTA MALANG

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bencana banjir dan longsor (Fadli, 2009). Indonesia yang berada di

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO

DAFTAR ISI Keaslian Penelitian... 4

PENERAPAN IPTEKS ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DELI. Nurmala Berutu W.Lumbantoruan Anik Juli Dwi Astuti Rohani

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Berbasis Masyarakat untuk Hutan Aceh Berkelanjutan Banda Aceh, 19 Maret 2013

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam.

PEMBUATAN PETA TINGKAT KERAWANAN BANJIR SEBAGAI SALAH SATU UPAYA MENGURANGI TINGKAT KERUGIAN AKIBAT BENCANA BANJIR 1 Oleh : Rahardyan Nugroho Adi 2

BAB I PENDAHULUAN. tinggi. Kebutuhan tersebut terkait untuk pemenuhan kebutuhan hidup

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) DI KABUPATEN KENDAL

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Oleh: Ir. Alwis, MM Nden Rissa H, S.Si. M.Si

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB III PENGENDALIAN LONGSOR Identifikasi dan Delineasi Daerah Rawan Longsor

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

POTENSI DAS DELI DALAM MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN BERDASARKAN EVALUASI KEMAMPUAN PENGGUNAAN LAHAN ABSTRAK

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR xiii BAB I PENDAHULUAN... 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi Di SUB DAS CIRASEA

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian

Analisis Spasial Untuk Menentukan Zona Risiko Bencana Banjir Bandang (Studi Kasus Kabupaten Pangkep)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jenuh air atau bidang luncur. (Paimin, dkk. 2009) Sutikno, dkk. (2002) dalam Rudiyanto (2010) mengatakan bahwa

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

2015 ZONASI TINGKAT BAHAYA EROSI DI KECAMATAN PANUMBANGAN, KABUPATEN CIAMIS

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV METODE PENELITIAN

TINJAUAN HIDROLOGI DAN SEDIMENTASI DAS KALI BRANTAS HULU 1

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I. PENDAHULUAN. sebagai sebuah pulau yang mungil, cantik dan penuh pesona. Namun demikian, perlu

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) WALANAE, SULAWESI SELATAN. Oleh Yudo Asmoro, Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVIII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 27 Juli 2013

Manajemen Pemulihan Infrastruktur Fisik Pasca Bencana

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode penelitian adalah sebuah cara yang digunakan untuk mencapai

TOMI YOGO WASISSO E

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

BAB I PENDAHULUAN. Banjir adalah peristiwa meluapnya air hingga ke daratan. Banjir juga

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan

PEMANFAATAN LAHAN BERBASIS MITIGASI BENCANA LONGSOR DI KOTA MANADO

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah longsor merupakan bencana yang sering terjadi di Indonesia. Selama periode telah terjadi 850

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Proses erosi karena kegiatan manusia kebanyakan disebabkan oleh

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...

PENGELOLAAN DAS TERPADU

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak sungai,

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PERSETUJUAN... KATA PENGANTAR... PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL...

I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB III METODA ANALISIS. desa. Jumlah desa di setiap kecamatan berkisar antara 6 hingga 13 desa.

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. alam tidak dapat ditentang begitu pula dengan bencana (Nandi, 2007)

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Wilayahnya meliputi bagian hulu, bagian hilir, bagian pesisir dan dapat berupa

GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG

4.17 PERENCANAAN DAN PEMETAAN GARIS SEMPADAN KALI SEMEMI

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi di kehidupan manusia. Itu terjadi dikarenakan proses alam dan tatanan

BAB I PENDAHULUAN I-1

III. METODE PENELITIAN. Lokasi penelitian ini adalah di saluran Ramanuju Hilir, Kecamatan Kotabumi, Kabupaten Lampung Utara, Provinsi Lampung.

ANALISIS DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN WAY KRUI TAHUN 2015 (JURNAL) Oleh. Catur Pangestu W

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

Bencana Longsor yang Berulang dan Mitigasi yang Belum Berhasil di Jabodetabek

ARAHAN PENANGANAN LAHAN KRITIS DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI LESTI KABUPATEN MALANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Potensi bencana alam yang tinggi pada dasarnya tidak lebih dari sekedar

BENCANA GERAKAN TANAH DI INDONESIA

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penanganan banjir pada sistem drainase perlu dilakukan dalam beberapa

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x, No. x, (2014) ISSN: xxxx-xxxx (xxxx-x Print) 1

Transkripsi:

PENANGANAN KAWASAN BENCANA LONGSOR DAS WAI RUHU Steanly R.R. Pattiselanno, M.Ruslin Anwar, A.Wahid Hasyim Program Magister Teknik Sipil Minat Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Jalan. MT. Haryono No.167 Malang email: steanly.r.r.pattiselanno@gmail.com ABSTRAK Das Wai Ruhu merupakan salah satu daerah aliran sungai yang terdapat di kota Ambon. Proses degradasi lahan pada DAS Wai Ruhu, sebagai akibat konversi lahan tangkapan yang diubah fungsinya menjadi pemukiman warga, berdampak pada debit air sungai yang semakin berkurang, tingkat sedimentasi yang tinggi dan banjir, serta berkurangnya area hijau sebagai area tangkapan air pada daerah aliran sungai yang dapat mengakibatkan kerawanan bencana longsor sebagai akibat penambahan beban pada lereng. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka diperlukan proses penanganan secara baik, melalui pemetaan fungsi lahan eksisting yang berbasis konservasi. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif melalui kegiatan survey lapangan di DAS Wai Ruhu. Hasilnya, menunjukkan ada tingkat kerawanan bencana longsor pada DAS Wai Ruhu, yang tergolong kategori tinggi sebesar 58.88 area DAS dan kategori sedang sebesar 41.12 area DAS. Melalui perbaikan indikator ini mampu menekan tingkat resiko pada luas guna lahan pemukiman (23.94) dari total skor resiko 2.6 (kelas tinggi) menjadi skor resiko 2.1 (kelas sedang). Kata Kunci: DAS Wai Ruhu, kerawanan longsor, fungsi kawasan PENDAHULUAN DAS adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung- punggung gunung, berfungsi menampung dan menyimpan air hujan (catchment area) untuk kemudian disalurkan ke laut melalui sungai utama (Asdak, 2004). Pengelolaan suatu DAS merupakan sebuah proses formulasi serta implementasi kegiatan, yang bersifat memanipulasi sumber daya alam dan manusia, yang berada di daerah aliran sungai, dengan tujuan memperoleh manfaat produksi dan jasa, tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumber daya air dan tanah. Sehingga dalam pengelolaan suatu DAS, diperlukan keterkaitan antara tata guna lahan, tanah dan air, serta keterkaitan antara daerah hulu dan hilir suatu DAS. Berdasarkan data Departemen Kehutanan (Dephut), secara umum kondisi DAS di Indonesia telah mengalami kerusakan berat sampai sangat berat. Berdasarkan hasil identifikasi Dephut di tahun 1999, tercatat sebanyak 458 DAS kritis di Indonesia, terdiri dari 60 area DAS dalam kategori rusak berat sampai sangat berat (16 DAS berada di Pulau Jawa), 222 DAS termasuk kategori sedang sampai berat dan 176 DAS potensial rusak. Jumlah DAS yang telah mengalami kerusakan saat ini, kondisinya tidak semakin membaik, hal ini dibuktikan terjadinya peningkatan kejadian bencana alam, berupa tanah longsor, banjir dan kekeringan. Upaya rehabilitasi DAS telah banyak dilakukan, tetapi belum memberikan hasil yang signifikan. 17

DAS Wai Ruhu, merupakan daerah aliran sungai, yang berada di Kota Ambon, Propinsi Maluku. Secara geografis, tata letak DAS Wai Ruhu berada antara 3 39 44,18-3 41 39 LS dan 128 11 49,06-128 13 46,47 BT. Gambar 1. Lokasi DAS Wai Ruhu Kota Ambon sebagai pusat pemerintahan Propinsi Maluku, yang berfungsi juga menjadi pusat perdagangan, pelabuhan maupun pariwisata, dijadikan sebagai tempat tujuan utama aktivitas masyarakat urban di Maluku. Tahun 2010, tercatat penduduk kota Ambon berjumlah 331.254 jiwa, dengan kepadatan penduduknya sebesar 921,56 jiwa/km 2 (http://ambon.bps.go.id/tabel- 23-penduduk.html). Hal ini berdampak pada kebutuhan akan lahan untuk tempat tinggal dan air bersih sangatlah penting, sehingga mengharuskan penduduknya cenderung bertempat tinggal di tepi kota Kota Ambon, dengan lahan yang berada di lereng-lereng bukit. Dampak yang dihasilkan terhadap lingkungan sekitarnya yaitu berkurangnya area hijau sebagai area tangkapan air pada daerah aliran sungai (DAS), ancaman longsor dan banjir akibat penambahan beban pada lereng. DAS yang terkontaminasi dari degradasi lahan, akibat konversi lahan tangkapan yang diubah fungsinya menjadi pemukiman warga, salah satunya adalah DAS Wai Ruhu. Hal tersebut berdampak pada debit air sungai Wai Ruhu yang semakin berkurang, tingkat sedimentasi yang tinggi di sekitar area Teluk Ambon yang bermuara pada sungai Wai Ruhu dan banjir sebagai bukti konkritnya di tahun 2012. Melalui gambaran singkat di atas, maka diperlukan solusi untuk dapat mengidentifikasi masalah tersebut secara baik, dalam korelasinya terhadap degradasi akibat perubahan fungsi lahan, melalui pemetaan fungsi lahan eksisting berdasar pada analisis tingkat kerawanan longsor di DAS Wai Ruhu serta menentukan arahan rehabilitasi lahan berbasis konservasi tanah. TINJAUAN PUSTAKA Penataan DAS Penataan ruang DAS, dapat dilakukan melalui pendekatan aturan yang berlaku di Indonesia, salah satunya adalah Peraturan Menteri Pekerjaan Umum NO.22/PRT/M/2007, tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor. Arti longsor (sesuai PerMen PU NO.22/PRT/M/2007) adalah suatu proses perpindahan massa tanah/batuan dengan arah miring dari kedudukan semula, sehingga terpisah dari massa yang mantap, karena pengaruh gravitasi, dengan jenis gerakan berbentuk rotasi dan translasi. Prisipnya longsor terjadi apabila gaya pendorong pada lereng lebih besar dari pada gaya penahan. Gaya pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut lereng, air, beban, dan berat jenis tanah dan batuan, sedangkan gaya penahan umumnya dipengaruhi oleh kekuatan batuan dan kepadatan tanah. Tipologi Wilayah Rawan Bencana Longsor Dalam Peraturan Menteri PU No.22/PRT/M/2007, pembagian wilayah terdiri dari 3 zona berpotensi bencana longsor sesuai kondisi karakter dan 18

kondisi fisik alaminya, yaitu (Gambar 2): 1. Zona berpotensi longsor tipe A, (kemiringan lereng >40). 2. Zona berpotensi longsor tipe B, (kemiringan lereng 20 s/d 40). 3. Zona berpotensi longsor tipe C, (kemiringan lereng 0 s/d 20). Gambar 2. Tipologi zona berpotensi longsor Tingkat Kerawanan Penentuan kelas tipe zona berpotensi longsor untuk tingkat kerawanan, ditetapkan 2 kelompok kriteria, yaitu: 1. Kelompok kriteria berdasarkan aspek fisik alami (aspek kerentanan) meliputi kemiringan lereng, kondisi tanah, batuan penyusun lereng, curah hujan, tata air lereng dan vegetasi. 2. Kelompok kriteria berdasarkan aspek aktifitas manusia (aspek resiko) meliputi pola tanam, penggalian dan pemotongan lereng, pencetakan kolam, drainase, pembangunan konstruksi, kepadatan penduduk dan usaha mitigasi. Arahan Fungsi Kawasan dan Tata Untuk mengurangi bencana alam banjir dan tanah longsor, disusun suatu program yang didasarkan pada berbagai data antara lain pertimbangan potensi kemampuan lahan, kondisi lahan kritis, topografi, curah hujan, dan fungsi lahan terhadap lingkungan sekitarnya. Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut maka dapat disusun alternatif penggunaan lahan yang mungkin diterapkan. Konservasi Tanah dan Air Konservasi tanah adalah penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syaratsyarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah (Arsyad, 2012). Metode konservasi tanah digolongkan menjadi 3 golongan utama, yaitu metode vegetatif, metode mekanik dan metode kimia. Dalam Aipassa Marlon (2003), dalam penelitiannya pada Sub DAS Sambutan, Samarinda Ilir dikemukakan bahwa penetapan pemerintah terhadap kawasan DAS sebagai kawsasan yang tidak terbangun (non-build up area) 19

namun seiiring bertambahnya waktu, penduduk, dan peningkatan aktifitas ekonomi, kebutuhan lahan untuk di alih fungsikan mulai nampak dan itu sangat mengancam, yang ditandai dengan mulai terjadinya erosi dan banjir. Hasil yang diperoleh, ditemukan bahwa kawasan yang menjadi prioritas arahan rehabilitasi, sebagian besar adalah pemukiman, sehingga arahan konservasi perlu melibatkan masyarakat dan pengembang perumahan melalui sosialisasi berbagai upaya konservasi tanah dan air untuk menurunkan tingkat bahaya erosi di kawasan Sub DAS Sambutan. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian deskriptif, untuk menjelaskan fakta terjadinya sedimentasi pada muara DAS Wai Ruhu, dalam kaitan dengan mulai terjadinya alih fungsi lahan pada DAS Wai Ruhu sebagai pemukiman. Alur pelaksanaan tahapan penelitian ini, tergambar secara jelas pada bagan kerangka metode penelitian berikut ini. Gambar 3. Bagan alir metode penelitian 20

Tinggi Sedang Tahapan pelaksanaan penelitian ini, terdiri dari: 1. Memperoleh data curah hujan dan intensitas hujan untuk 10 tahun (tahun 2003-2013) pada BMKG Stasiun Meteorologi Pattimura Ambon. 2. Akumulasi rerata data curah hujan tahunan, yang kemudian dibuat peta curah hujan. 3. Berdasarkan peta RBI, dari data kontur dan sungai, maka dibuat peta topografi untuk pemodelan dan batas DAS. 4. Peta jenis tanah berdasarkan digitasi peta asosiasi satuan lahan Pulau Ambon yang dikeluarkan oleh tim lembaga penelitian Universitas Pattimura tahun 1989. 5. Menentukan peta guna lahan berdasarkan kombinasi asosiasi satuan lahan dan digitasi peta sarana prasarana yang dikeluarkan oleh BAPPEKOT Kota Ambon tahun 2008. 6. Membuat klasifikasi tingkat kerawanan berdasarkan aspek fisik alami (tingkat kerentanan) dan aspek aktivitas manusia (tingkat resiko). 7. Tahapan tipe zona potensi longsor (tipe A, B, dan C) dengan kriteria tinggi, sedang, rendah berdasarkan Permen PU No. 22/PRT/M/2007. 8. Mengeluarkan arahan penanganan kawasan DAS yang rawan longsor sesuai kriteria Permen PU No. 22/PRT/M/2007. Tabel 1. Rekapitulasi Data Atribut Tingkat Kerawanan Bencana Longsor - Aspek Fisik Alami (Tingkat Kerentanan) DAS Wai Ruhu Nilai Luas Total Harkat lereng solum batuan hujan tata air vegetasi (m 2 ) Ha 0.3 0.15 0.4 0.45 0.07 0.3 1.67 564,991.28 56.50 0.3 0.3 0.4 0.45 0.14 0.2 1.79 176,326.10 17.63 0.3 0.45 0.4 0.45 0.21 0.1 1.91 898,234.15 89.82 0.3 0.45 0.4 0.45 0.14 0.2 1.94 2,398,985.27 239.90 0.3 0.45 0.4 0.45 0.07 0.3 1.97 4,597,210.73 459.72 0.6 0.3 0.4 0.45 0.14 0.2 2.09 107,032.23 10.70 0.6 0.45 0.4 0.45 0.21 0.1 2.21 237,583.15 23.76 0.6 0.45 0.4 0.45 0.14 0.2 2.24 961,076.59 96.11 0.6 0.45 0.4 0.45 0.07 0.3 2.27 2,195,513.42 219.55 0.9 0.3 0.4 0.45 0.14 0.2 2.39 67,411.09 6.74 0.9 0.45 0.4 0.45 0.21 0.1 2.51 440,498.28 44.05 0.9 0.45 0.4 0.45 0.14 0.2 2.54 1,118,123.43 111.81 0.9 0.45 0.4 0.45 0.07 0.3 2.57 3,514,661.39 351.47 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian yang diperoleh adalah: 1. Tingkat Kerawanan Bencana Longsor Dalam menganalisa tingkat kerawanan DAS Wai Ruhu, tahapan awal dilakukan penilaian didasarkan pada 6 indikator aspek fisik alami (tingkat kerentanan) dan 7 indikator aspek aktivitas manusia (tingkat resiko). Zona berpotensi longsor untuk aspek fisik alami, terlihat pada data atribut dan peta tingkat kerentanan bencana longsor seperti yang terangkum pada Tabel 1 dan Gambar 4. Data curah hujan rerata adalah 3,443.2 mm/tahun. Penilaian bobot tertimbang indikator tingkat resiko longsor telah ditentukan, maka tahapan selanjutnya adalah menjumlahkan semua nilai tersebut untuk mendapatkan total skoring tingkat resiko. Hasil yang diperoleh, kemudian dibagi atas 3 zona yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Zona berpotensi longsor untuk aspek aktivitas manusia, terlihat pada data atribut dan peta tingkat resiko bencana longsor, yang 21

Rendah terangkum pada Tabel 2 dan Gambar 5. Penggabungan data atribut dari aspek fisik alami dan aspek aktifitas manusia menghasilkan peta tingkat kerawanan bencana longsor setelah direklasifikasi sesuai kriteria PerMen PU No.22/PRT/M/2007. Hasilnya terangkum pada Tabel 3. Persentase guna lahan DAS Wai Ruhu, tersebar pada 3 zona potensi longsor, yaitu tipe C (kemiringan 0-20), tipe B (kemiringan 21-40), dan tipe A (kemiringan >40). Hasilnya ditunjukkan pada Gambar 6. Gambar 4. Peta Penilaian Tingkat Kerentanan Bencana Longsor (aspek fisik alami) DAS Wai Ruhu Tabel 2. Rekapitulasi Data Atribut Tingkat Kerawanan Bencana Longsor dari Aspek Fisik Aktifitas Manusia (Tingkat Resiko) DAS Wai Ruhu Pola Tanam Potong Lereng Cetak Kolam Nilai Jlh Harkat Luas Drain. Konstr. Pnddk Mtgsi (m 2 ) Ha 0.1 0.2 0.1 0.1 0.2 0.2 0.2 1.1 1,576,784.62 157.68 0.2 0.4 0.1 0.1 0.2 0.2 0.2 1.4 3,265,402.66 326.54 0.3 0.4 0.1 0.1 0.2 0.2 0.3 1.6 8,299,998.62 830.00 0.3 0.6 0.3 0.2 0.4 0.6 0.2 2.6 Tinggi 4,136,360.69 413.64 22

Type C Type B Type A Resiko Rentan Kelas Kemiringan () Zona Gambar 5. Penilaian Tingkat Resiko Bencana Longsor (aspek aktifitas manusia) DAS Wai Ruhu Tabel 3. Rekapitulasi Data Atribut Klasifikasi Tingkat Kerawanan Bencana Longsor DAS Wai Ruhu Luas Persentase (m 2 ) Ha Zona Kelas Renta n Resik o >40 1 t t 504,579.00 50.46 r 4,124,247.0 8 412.42 28.08 27.04 26.79 2.92 23.87 t 43,735.62 4.37 0.25 s 1.30 40-50 2 r 180,051.85 18.01 1.04 1.04 20-40 4 s 20-35 5 r 0-20 7 t s 0-15 8 r Jumlah t t t 113,188.92 11.32 0.66 2.05 r t 240,274.47 447,924.44 24.03 44.79 13.94 4.64 1.39 2.59 1,607,438.2 7 t 680,070.46 68.01 r 1,672,973.6 8 2,346,856.9 4 5,317,202.1 8 17,278,542. 91 11.90 160.74 9.30 9.30 27.20 13.62 3.94 167.30 57.97 9.68 13.58 234.69 531.72 1,727.8 5 30.77 44.36 30.77 100 100 100 100 Berdasarkan kriteria Permen PU No.22/PRT/M/2007, persentase guna lahan yang tersebar pada 3 zone longsor (tipe A, B dan C) di atas, terbagi atas 2 kelas kerawanan longsor yaitu kelas tinggi (58,88) dan kelas sedang (41,12). Faktor yang paling mempengaruhi suatu satuan lahan masuk kategori tingkat kerawanan longsor kelas tinggi adalah dari aspek fisik alami (tingkat kerentanan). Jika harkat tingkat kerentanan adalah tinggi, maka dapat dikatakan bahwa satuan lahan tersebut termasuk kategori kerawanan longsor kelas tinggi. 23

Persentase Klasifikasi Tinggi Persentase () Zone Potensi Longsor Persentase (1,727.85 Ha) 17.52 22.86 30 11.48 20 10 0 6.12 0.81 2.37 3.25 5.06 2.20 3.17 17.66 7.52 Tipe A Tipe B Tipe C Gambar 6. Grafik Sebaran Persentase terhadap Zone Longsor DAS Wai Ruhu Persentase Tkt. Kerawanan Longsor Kelas Tinggi (58.88 ) 20 17.52 16.81 8.55 10 0 0.361 0.77 3.25 0.044 0.043 4.92 2.14 3.17 1.30 Tipe A (1) Tipe B (4) Tipe C (7) Gambar 7. Grafik Sebaran thd. Kelas Kerawanan Tinggi DAS Wai Ruhu Indikator yang paling bisa direkayasa untuk diturunkan nilainya oleh kemampuan manusia adalah indikator vegetasi. Indikator ini akan mempengaruhi salah satu indikator lainnya, yaitu tata air. Jika kedua indikator ini bisa diturunkan nilainya, harkat kerentanan dapat diperbaiki. Secara langsung berpengaruh ke arah perbaikan kelas kerawanan terhadap bahaya longsor. Pada aspek aktifitas manusia (tingkat resiko), seluruh indikator sangat mungkin direkayasa untuk diturunkan tingkat resikonya. Meskipun hal ini belum otomatis menurunkan tingkat kerawanan terhadap bencana longsor menjadi lebih baik. Untuk kelas kerawanan tinggi, guna lahan pemukiman menempati kuantitas tertinggi pada zona tipe C (17,52) dan tipe B (3,25), sedangkan untuk zona tipe A, ada pada fungsi guna lahan 24

Persentase Klasifikasi Rawan Longsor Persentase Klasifikasi Sedang tegalan, semak dan alang-alang (16,81). Persentase pola sebarannya untuk hubungan guna lahan dengan zone longsor DAS Wai Ruhu, tergambar melalui Gambar 7. Untuk kelas kerawanan sedang, kuantitas guna lahan terbesar ada pada zone tipe C dengan fungsi guna lahannya yang tertinggi adalah tegalan, semak dan alang-alang (14,30), dan terendah pada hutan (5,76). Pola yang sama terlihat pada zona tipe B dan tipe A, yang ditunjukkan pada Gambar 8. Persentase Tkt. Kerawanan Longsor Kelas Sedang (41.12) 14.30 15 10.71 10 5 0 5.76 6.22 0.76 2.33 0.05 0.14 0.85 Tipe A (2) Tipe B (5) Tipe C (8) Gambar 8. Grafik Sebaran thd. Kelas Kerawanan Sedang DAS Wai Ruhu Persentase thd. Tkt. Kerawanan Longsor 30 23.94 26.67 20 21.37 10 0 6.58 2.55 13.17 5.73 0 Tinggi (1,4,7) Sedang (2,5,8) Gambar 9. Grafik Persentase Sebaran per Kelas Kerawanan Longsor DAS Wai Ruhu. 25

Persentase Klasifikasi Rawan Longsor Hasil kajian menunjukkan bahwa guna lahan yang sebarannya paling rawan terhadap longsor (kelas tinggi), adalah pada fungsi pemukiman dan tegalan. Sehingga fokus satuan lahan yang harus menjadi prioritas untuk dilakukan perbaikan berdasar pada indicator tingkat kerawanan bencana longsor tinggi, adalah guna lahan pemukiman dan tegalan, semak, alang-alang. Hasil rekapitulasi persentase grafik sebaran guna lahan per kelas kerawanan longsor DAS Wai Ruhu dapat dilihat pada Gambar 9. Melalui pengaplikasian ArcGIS Map Ver.9.3 dengan proses di-overlay untuk peta tingkat kerentanan dan peta tingkat resiko, maka dihasilkan peta tingkat kerawanan bencana longsor DAS seperti Gambar 10. Persentase thd. Tkt. Kerawanan Longsor 30 23.94 26.67 20 21.37 10 0 6.58 2.55 13.17 5.73 0 Tinggi (1,4,7) Sedang (2,5,8) Gambar 9. Grafik Persentase Sebaran per Kelas Kerawanan Longsor DAS Wai Ruhu. Gambar 10. Peta Klasifikasi Tingkat Kerawanan Bencana Longsor DAS Wai Ruhu 26

2. Penanganan dan Arahan Rencana penanganan kawasan rawan bencana longsor, difokuskan pada perbaikan aspek fisik alami (aspek kerentanan) yaitu pada indicator vegetasi serta aspek aktivitas manusia (aspek resiko) pada guna lahan pemukiman. Indikator yang dilakukan perbaikan adalah indikator pola tanam, pemotongan lereng, drainase, dan mitigasi. Berikut rencana penanganan, nilai sebelum dan setelah rencana perbaikan. Melalui pengklasifikasian ke dalam 4 fungsi kawasan meliputi kawasan lindung, kawasan penyangga, kawasan budidaya tanaman tahunan, dan kawasan budidaya tanaman semusim, maka sesuai hasil analisa didapatkan nilai terendah adalah 75 maka fungsi kawasan budidaya tanaman semusim tidak masuk dalam rekomendasi arahan fungsi kawasan. Adapun hasil arahan fungsi kawasan DAS Wai Ruhu, terangkum seperti pada Tabel 5. Tabel 4. Perbaikan Aspek Resiko Bencana Longsor Kawasan Pemukiman Indikator pola tanam pemotongan lereng Rencana penataan Penanaman tanaman yang bisa membantu menstabilkan tanah, khususnya pada kawasan berlereng seperti jenis bambu, tanaman berakar tunjang, dll. Memperkuat lereng bekas dipotong dengan memberikan talud / dinding penahan. Mewajibkan pembuatan struktur penguat lereng untuk bangunan yang ada di lereng. Nilai Sebelum Sesudah 0.3 0.2 0.6 0.4 pencetakan kolam Intensifkan himbauan perbaikan dan pengawasan 0.3 0.3 drainase Pembuatan, perbaikan sistem drainase yang terencana dengan lebih baik dari sisi kapasitas maupun kualitas. Perawatan dari sumbatan akibat sampah maupun sedimentasi. 0.2 0.1 pembangunan konstruksi kepadatan penduduk Intensifkan himbauan perbaikan dan pengawasan 0.4 0.4 Intensifkan sosialisasi perbaikan kondisi eksisiting 0.6 0.6 usaha mitigasi Perbaikan koordinasi mitigasi bencana dan pola penanganannya antara seluruh stakeholder (pemerintah, masyarakat, pihak lainnya). 0.2 0.1 Total 2.6 2.1 Harkat Tinggi Sedang Tabel 5. Rekapitulasi Data Atribut Arahan Fungsi Kawasan DAS Wai Ruhu (Sebelum) Analisa Fsi. Kawasan (Sesudah) Luas (m 2 ) Persentase G. Lahan F. Kawasan G.Lahan F. Kawasan Hutan 275,697.80 2.58 Kebun campuran 356,194.31 3.33 Kawasan Lindung 1,131,780.41 Tegalan, semaksemak, 499,888.29 4.68 alang-alang Hutan 163,032.76 1.53 Kebun campuran Kawasan 798,005.28 7.47 4,202,109.96 Penyangga Tegalan, semaksemak, 3,241,071.92 30.34 alang-alang Hutan 1,623.49 0.02 Kebun campuran Kawasan Budidaya 18,396.44 0.17 1,213,336.90 Tanaman Tahunan Tegalan, semaksemak, 1,193,316.96 11.17 alang-alang 17.29 64.18 18.53 Pemukiman Pemukiman 4,136,359.89 4,136,359.89 38.72 38.72 Total 10,683,587.15 10,683,587.15 100 100 27

Skor Tingkat Re siko 3. Pembahasan hasil perbaikan tingkat resiko longsor Hasil analisa perbaikan tingkat resiko terhadap bahaya longsor (aspek aktifitas manusia) setelah pengembalian fungsi kawasan menunjukkan perubahan yang cukup baik. Kondisi sesudah perbaikan indikator pada aspek aktifitas manusia adalah penurunan tingkat resiko dari 2,6 (harkat tinggi) menjadi 2,1 (harkat sedang). Hal tersebut ditunjukkan pada grafik perbandingan harkat tingkat resiko longsor per. guna lahan yang terlihat jelas pada Gambar 11. Proses pemetaan tingkat resiko bencana, dengan penyesuaian nilai indikator pada satuan guna lahan pemukiman yang telah dilakukan perbaikan, tergambar pada Gambar 12. Perbandingan Nilai Tingkat Resiko thd. Bahaya Longsor DAS Wai Ruhu 3 2.4 1.8 1.2 1.1 1.4 1.6 2.6 2.1 0.6 0 (B) (A ) (B) (A ) (B) (A ) (B) (A ) B: Se be l um (Be f ore ) A : Se sudah (A f te r) Gambar 11. Perbandingan Harkat Tingkat Resiko Longsor per. Gambar 12. Peta Tingkat Resiko Hasil Perbaikan Indikator Aspek Aktifitas Manusia 28

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil dan analisa, maka dapat disimpulkan: 1. Tingkat kerawanan bencana longsor pada DAS Wai Ruhu terdiri dari kelas tinggi (58.88 area DAS) dan sedang (41.12 area DAS). Untuk tingkat resiko (aspek aktifitas manusia), terdapat beberapa indikator yang bisa dilakukan perbaikan untuk menekan resiko terhadap bahaya longsor, yaitu indikator pola tanam, penggalian dan pemotongan lereng, drainase, dan usaha mitigasi. Perbaikan indikator ini mampu menekan tingkat resiko pada luas guna lahan pemukiman (23.94) dari total skor resiko 2.6 (kelas tinggi) menjadi 2.1 (kelas sedang). 2. Perbaikan tingkat resiko dan kerawanan longsor serta harkat tingkat bahaya erosi bisa dicapai karena adanya pengembalian fungsi kawasan (rehabilitasi) sesuai kriteria BRLKT dari semula dengan fungsi dan persentase pada poin dua di atas menjadi pola sebaran baru, dengan komposisi fungsi kawasan hutan (6.59), kebun campuran (12.14), tegalan, semak, alang-alang (19.57), pemukiman (23.94), lindung (6.56), penyangga (24.24), dan budidaya tahunan (6.96). Saran Hal-hal yang direkomendasikan untuk perbaikan terhadap kondisi kerawanan longsor dan tingkat bahaya erosi, yaitu untuk indikator aspek aktifitas manusia (tingkat resiko) terhadap bahaya longsor, rencana penataan kawasan pemukimannya antara lain pada indikator pola tanam (penanaman tanaman yang bisa membantu menstabilkan tanah, khususnya pada kawasan berlereng seperti jenis bambu, tanaman berakar tunjang, dll), indikator penggalian dan pemotongan lereng (memperkuat lereng bekas dipotong dengan memberikan talud/dinding penahan. Mewajibkan pembuatan struktur penguat lereng untuk bangunan yang ada di lereng), indikator drainase (pembuatan, perbaikan sistem drainase yang terencana dengan lebih baik dari sisi kapasitas maupun kualitas, perawatan dari sumbatan akibat sampah maupun sedimentasi), dan indikator usaha mitigasi (perbaikan koordinasi mitigasi bencana dan pola penanganannya antara seluruh stakeholder misalnya pemerintah, masyarakat, pihak lainnya). DAFTAR PUSTAKA Asdak, C. (2004). Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. (2013). Stasiun Meterorologi Pattimura Ambon. Badan Informasi Geospasial.(2008). Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Brantas. 2003. Departemen Kehutanan http://ambon.bps.go.id/tabel-23-penduduk.html Peraturan Menteri Pekerjaan Umum. No.22/PRT/M/2007, tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor. Sitanala, Arsyad. 2012. Konservasi Tanah dan Air, Edisi Kedua. IPB Press. Bogor. 29