KAJIAN REVISI PERPRES 39 TAHUN 2014

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. (AEC) merupakan salah satu bentuk realisasi integrasi ekonomi dimana ini

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

Daya Saing Industri Indonesia di Tengah Gempuran Liberalisasi Perdagangan

BAB I PENDAHULUAN. mengejar ketertinggalan pembangunan dari negara-negara maju, baik di kawasan

BAB I PENDAHULUAN. Pergerakan globalisasi perekonomian yang dewasa ini bergerak begitu

BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang

STRATEGI PENGEMBANGAN INDUSTRI HILIR KARET ALAM DI PROVINSI RIAU

I. PENDAHULUAN. nasional. Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat rata-rata penyerapan tenaga

STRATEGI PEMBANGUNAN NASIONAL BIDANG INVESTASI

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan faktor-faktor produksi yaitu; modal, tenaga kerja dan teknologi

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

Perekonomian Suatu Negara

Menteri Perindustrian Republik Indonesia

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Negara di Dunia Periode (%)

ADHI PUTRA ALFIAN DIREKTUR PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UKM BATAM, 18 JUNI 2014

BAB I PENDAHULUAN. berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, nilai serta norma masyarakat,

Menteri Perindustrian Republik Indonesia SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN RI PADA ACARA RAPAT KERJA DAN KONSULTASI NASIONAL KE XXVII

BAB I PENDAHULUAN. wilayah. Karena pada dasarnya, investasi merupakan satu pengeluaran

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional tersebut agar terlaksananya tujuan dan cita-cita bangsa

BAB IV GAMBARAN UMUM

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang

BAB I PENDAHULUAN. yang harus dihadapi dan terlibat didalamnya termasuk negara-negara di kawasan

Perbandingan Daya Saing Indonesia Diantara Negara-Negara ASEAN 1

IV. GAMBARAN UMUM. 4.1 Gambaran Umum Perekonomian di Negara-negara ASEAN+3

BAB I PENDAHULUAN. interest dan pendapatan non bunga atau fee based income. Pendapatan bunga diperoleh dari

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Penanaman modal atau investasi merupakan langkah awal kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Asosiasi negara- negara Asia Tenggara (ASEAN) didirikan pada tanggal 8

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

PERKEMBANGAN KERJA SAMA ASEAN PASCA IMPLEMENTASI AEC 2015

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang berkelanjutan merupakan tujuan dari suatu negara

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara

VI. STRATEGI PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI AGRO INDONESIA

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dana yang berasal dari dalam negeri, seringkali tidak mampu mencukupi

BAB I PENDAHULUAN. Penanaman modal langsung baik melalui penanaman modal asing maupun

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap

Menteri Perindustrian Republik Indonesia PAPARAN MENTERI PERINDUSTRIAN PADA ACARA RAKER KEMENTERIAN PERDAGANGAN JAKARTA, 27 JANUARI 2016

BAB I PENDAHULUAN. dituntut untuk mampu mengelola usahanya dengan baik dan optimis agar

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Peringkat daya saing negara-negara ASEAN tahun

I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Ekspor, Impor, dan Neraca Perdagangan Komoditas Pertanian Menurut Sub Sektor, 2014 Ekspor Impor Neraca

Daya Saing Global Indonesia versi World Economic Forum (WEF) 1. Tulus Tambunan Kadin Indonesia

I. PENDAHULUAN. Daya saing Indonesia menurut World Economic Forum tahun 2008/2009 berada

CUPLIKAN PROGRAM PEMBANGUNAN PERTANIAN : VISI, MISI DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERTANIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

Indeks PMI Manufaktur Capai Posisi Terbaik Dibawah Kepemimpinan Presiden Jokowi

sektor investasi dalam negeri, namun peningkatan dari sisi penanaman modal asing mampu menutupi angka negatif tersebut dan menghasilkan akumulasi

memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak akibat bahan baku jagung yang harus

V. PERKEMBANGAN MAKROEKONOMI INDONESIA. dari waktu ke waktu. Dengan kata lain pertumbuhan ekonomi merupakan proses

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA

BAB 7 PERDAGANGAN BEBAS

BAB I PENDAHULUAN. samping komponen konsumsi (C), investasi (I) dan pengeluaran pemerintah (G).

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

ARAH KEBIJAKAN PERSUSUAN

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, dimana negara-negara di seluruh dunia

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER

I. PENDAHULUAN. di bidang pertanian. Dengan tersedianya lahan dan jumlah tenaga kerja yang

Menggenjot UMKM dan Pasar Domestik Sebagai Tantangan di MEA Oleh: Mauled Moelyono 2

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan laporan WTO (World Trade Organization) tahun 2007

SATU DEKADE KERJASAMA EKONOMI UNI EROPA-INDONESIA EKSPOR-IMPOR PENDORONG INVESTASI UNI EROPA DI INDONESIA

VI. SIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN. penting dalam perekonomian nasional. Ditinjau dari kontribusinya terhadap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Policy Brief Outlook Penurunan BI Rate & Ekspektasi Dunia Usaha No. 01/01/2016

I. PENDAHULUAN. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan

BAB 1 PENDAHULUAN. negara yang saling membutuhkan satu sama lain. Kegiatan ini diperlukan oleh

BAB IV RUJUKAN RENCANA STRATEGIS HORTIKULTURA

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi diartikan juga sebagai peningkatan output masyarakat yang

LAPORAN LIAISON. Triwulan I Konsumsi rumah tangga pada triwulan I-2015 diperkirakan masih tumbuh

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan

BAB 1 PENDAHULUAN. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan memberikan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mulai menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada awal. ekonomi kawasan ASEAN yang tercermin dalam 4 (empat) hal:

LAPORAN SOSIALISASI HASIL DAN PROSES DIPLOMASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL MEDAN, SEPTEMBER 2013

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan.

I. PENDAHULUAN. secara umum oleh tingkat laju pertumbuhan ekonominya. Mankiw (2003)

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)

I. PENDAHULUAN. Perdagangan internasional merupakan salah satu aspek penting dalam

BAB VI. KESIMPULAN. integrasi ekonomi ASEAN menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: perdagangan di kawasan ASEAN dan negara anggotanya.

ASEAN FREE TRADE AREA (AFTA) Lola Liestiandi & Primadona Dutika B.

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

BAB X PEDOMAN TRANSISI DAN KAIDAH PELAKSANAAN. roses pembangunan pada dasarnya merupakan proses yang berkesinambungan,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KATA PENGANTAR. Terima kasih. Tim Penyusun. Penyusunan Outlook Pembangunan dan Indeks Daya Saing Infrastruktur

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian

BAB 1 PENDAHULUAN. Awal tahun 1990 terdapat fenomena di negara negara pengutang yang

Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. tidak ada hambatan. Hal tersebut memberi kemudahan bagi berbagai negara untuk

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis

BAB I PENDAHULUAN. dengan pemasaran barang dan jasa. Dalam merebut pangsa pasar, kemampuan suatu

BAB I PENDAHULUAN. modal terutama terjadi dari negara-negara yang relatif kaya modal yaitu umumnya

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses pembangunan yang

KEBIJAKAN MANAGEMEN RESIKO

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Transkripsi:

LAPORAN ANALIS KEBIJAKAN KAJIAN REVISI PERPRES 39 TAHUN 2014 Oleh Erwidodo Muchjidin Rachmat Reni Kustiari Saktyanu Kristyantoadi Frans D.M. Dabukke PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2015 i

DAFTAR ISI I. LATAR BELAKANG... 1 II. TUJUAN DAN METODOLOGI... 3 III. PERUBAHAN PERPRES 36/2010 MENJADI PERPRES 39/2014 BIDANG USAHA PERTANIAN.... 4 IV. KINERJA INVESTASI TERKAIT REVISI PERPRES 36/2010 MENJADI PERPRES 39/2014.... 6 V. KINERJA PERDAGANGAN TERKAIT REVISI PERPRES 36/2010 MENJADI PERPRES 39/2014.... 8 VI. KINERJA INVESTASI DAN PERDAGANGAN INDONESIA DALAM PERSPEKTIF ASEAN... 10 VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI... 14 DAFTAR PUSTAKA... 18 Lampiran 1. Hasil-Hasil FGD... 19 i

DAFTAR TABEL Tabel 1. Indeks Daya Saing Investasi Negara Nagara Asean dan China... 2 Tabel 2. Ketentuan Bidang Usaha dan Pemilikan Modal Asing Dalam Prepres 36/2010 dan Prepres 39/2014... 5 Tabel 4. Nilai Ekspor Dirinci Menurut Sektor 2007-2014 (Juta Us$)... 9 Tabel 5. Neraca Perdagangan Sektor Partanian Tahun 2009-2013... 10 Tabel 6. Foreign Direct Investment Extra-ASEAN... 11 Tabel 7. Foreign Direct Investment Intra-ASEAN... 12 Tabel 8. Total Perdagangan Intra-ASEAN... 13 ii

I. LATAR BELAKANG (1) Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 merupakan perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal atau biasa disebut Daftar Negatif Investasi ( DNI ). (2) Pemerintah kembali berencana untukk melakukan revisi Perpres No 39/2014. Rencana revisi tersebut terkesan sangat prematur mengingat Perpres ini berlakunya baru genap satu tahun dan dampak ekonominya belum dirasakan. Namun demikian, pemerintah pasti punya alasan kuat untuk melakukan revisi tersebut. Rencana untuk merevisi Perpres DNI diduga kuat dilatar-belakangi oleh keinginan pemerintah untuk lebih memacu kegiatan penanaman modal, baik PMA maupun PMDN dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi, memacu investasi, memacu ekspor untuk mengurangi defisit neraca transaksi berjalan khususnya neraca perdagangan, serta untuk menciptakan lapangan kerja. Alasan lain, diperkirakan, untuk melonggarkan dan mempermudah persyaratan investasi dan menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif agar dapat memenangkan persaingan dalam menarik investasi asing (Foreign Direct Investment-FDI) menjelang berlakunya pasar tunggal ASEAN 2016. (3) Revisi atau deregulasi Perpres No 39/2014 diarahkan kepada langkah untuk melonggarkan persyaratan baik dengan cara mengurangi persyaratan, melonggarkan berlakunya persyatan, maupun dengan mempercepat prosedur untuk memperoleh rekomendasi. (4) Perkiraan diatas konsisten dengan langkah pemerintah menggulirkan paketpaket kebijakan deregulasi (paket 1-4) beberapa bulan terakhir yang semuanya bertujuan untuk meningkatkan daya saing perekonomian nasional dan memacu pertumbuhan ekonomi, mengingat sampai saat ini menurut Global Competitiveness Index (dari 144 negara), Indonesia berada dalam urutan 34, dibawah Singapore (2), Malaysia (20), dan Thailand (31), meski berada diatas Philippines (52), Vietnam (68), Lao PDR (93), Cambodia (95) dan Myammar (134) seperti terangkum dalam Tabel 1. 1

(5) Lebih merisaukan lagi, mengacu kepada indeks kemudahan berusaha (Ease of Doing Business Index, dari 189), Indonesia menduduki urutan ke 109, jauh dibawah Singapore (1), Malaysia (18), Thailand (49), Brunei (84), Vietnam (90) dan Philippines (103). Situasi inilah yang diperkirakan menjadi perhatian serius dan alasan kuat pemerintah untuk terus berbenah menciptakan iklim investasi dan usaha yang kondusif agar lebih berdaya saing. Kalau langkah ini tidak dilakukan dikuatirkan Indonesia akan semakin tertinggal dan tidak memperoleh manfaat dari berlakunya pasar tunggal ASEAN (Tabel 1) Tabel 1. Indeks Daya Saing Investasi Negara Nagara Asean dan China Negara Global competitiveness Index 2014-2015 (144 negara) * Ease of Doing Business rank 2015 ** Singapore 2 1 Malaysia 20 18 Thailand 31 49 Indonesia 34 109 Brunei Darussalam - 84 Vietnam 68 90 Phillipines 52 103 Cambodja 95 127 Lao PDR 93 134 Myanmar 134 167 Timor Leste 136 173 China 28 84 Sumber : * World Economic Forum.2015 ** World Bank Group.2015 (6) Namun langkah ini tidaklah mudah untuk dilakukan dan selalu memicu prokons, karena ada pihak yang dirugikan dan diuntungkan dalam jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Kepentingan sektoral yang ditopang kepentingan politik praktis seringkali juga menjadi penghambat dalam melakukan perubahan. Disamping itu, belum adanya konsensus nasional dalam memaknai kedaulatan dan kemandirian, membuat pemerintah 2

tidak satu suara dalam memaknai dan menyikapi keberadaan modal asing (FDI) dalam perekonomian Indonesia. Diperlukan sikap politik pemerintahan yang kuat dengan visi dan misi yang jelas untuk melakukan perubahan menuju perekonomian nasional yang kuat dan berdayasaing. (7) Revisi Perpres No 39/2014 diperkirakan mengundang pro-kons khususnya terkait persyaratan kepemilikan modal asing (PMA). Sebagai salah satu bukti adalah digugatnya UU No 13/2010 tentang Hortikultura, yang terkait dengan kepemilikan modal asing maksimun 30%. Pihak yang merasa dirugikan telah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 17 Februari 2014, meskipun akhirnya MK memutuskan menolak gugatan tersebut (19 Maret 2015). II. TUJUAN DAN METODOLOGI (8) Kajian ini bertujuan menilai dampak positif-negatif secara komprehensif dari langkah perubahan/deregulasi. Idealnya untuk menganalisa dampak kebijakan dilakukan Regulatory Impact Assessement (RIA). Namun karena keterbatasan waktu, RIA tidak dapat dilakukan. Sebagai gantinya, dilakukan pendekatan sebagai berikut: (i) analisa deskriptif dampak perubahan Prespres no 36/2010 menjadi Perpres No 39/2014, (ii) Focus Group Discussion (FGD). (9) Laporan kajian dituangkan akan mecakup uraian tentang : (1) Perubahan Perpres 36/2010 menjadi Perpres 39/2014 Bidang Usaha Pertanian, (2) Kinerja Investasi terkait Revisi Perpres 36/2010 menjadi Perpres 39/2014, (3) Kinerja Perdagangan terkait Revisi Perpres 36/2010 menjadi Perpres 39/2014, (4) Kinerja Investasi dan Perdagangan Indonesia dalam Perspektif ASEAN, dan (5) Kinerja Investasi dan Perdagangan Indonesia dalam Perspektif ASEAN. Sedangkan hasil hasil FDG terangkum dalam Lampiran1. 3

III. PERUBAHAN PERPRES 36/2010 MENJADI PERPRES 39/2014 BIDANG USAHA PERTANIAN. (10) Daftar Negatif Investasi terdiri dari (i) usaha yang tertutup untuk penanaman modal, dan (ii) usaha terbuka dengan persyaratan. Adapun persyaratan yang berlaku mencakup : (a) Dicadangkan untuk UMKMK (Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi), (b) Kemitraan, (c) Kepemilikan modal asing, (d) Lokasi tertentu, (e) Perizinan khusus, (f) Modal dalam negeri 100%, (g) Kepemilikan modal asing serta lokasi, (h) Perizinan khusus dan kepemilikan modal asing, (i) Modal dalam negeri 100% dan perizinan khusus, (j) Persyaratan kepemilikan modal asing dan/atau lokasi bagi penanam modal dari negara negara ASEAN. (11) Di bidang usaha pertanian, revisi Perpres DNI mencakup : (i) perubahan kepemilikan asing untuk usaha hortikultura dari yang semula tidak diatur dalam Perpres 36/2010 menjadi maksimal 30% dalam Perpres 39/2014, sesuai dengan amanat UU No 13/2010 tentang Hortiultura, (ii) usaha perbenihan dan pembibitan tanaman pokok tanpa batasan luas yang semula dalam Perpres 36/2010 dapat diusahakan oleh asing dengan maksimal kepemilikan modal asing 49% menjadi dapat diusahakan oleh asing dengan batasan luas diatas 25 ha dan maksimum kepemilikan modal 49%, sedangkan yang dibawah 25 ha tidak diatur, (iii) dalam perpres 36/2010 diatur usaha pembibitan dan usaha budidaya tanaman pangan lain dapat diusahakan dengan asing maksimal kepemilikan 95% sedangkan di dalam Perpres 39/2014 tidak lagi diatur, dan (iv) perubahan pengelompokan ulang dan penyederhanaan bidang usaha pertanian (Tabel 2). 4

Tabel 2. Ketentuan Bidang Usaha dan Pemilikan Modal Asing Dalam Prepres 36/2010 dan Prepres 39/2014 Komponen Prepres 36/2010 Prepres 39/2014 A. Tanaman Pangan Pokok 1. Usaha perbenihan tanaman pangan kurang dari 25 ha Modal asing maksimal 49 % Tidak diatur 2. Usaha perbenihan tanaman pangan lebih dari 25 ha Modal asing maksimal 49 % Modal asing maksimal 49 % 3. Usaha budidaya tanaman pangan kurang dari 25 ha UMKMK UMKMK 4. Usaha budidaya tanaman pangan lebih dari 25 ha Modal asing maksimal 49 % Modal asing maksimal 49 % 5. Usaha perbenihan tanaman pangan lainnya Modal asing maksimal 95% Tidak diatur 6. Usaha budidya tanaman pangan lainnya lebih dari 25 ha Modal asing maksimal 95 % Tidak diatur B. Perkebunan 1. Usaha perbenihan perkebunan kurang dari 25 ha UMKMK UMKMK 2. Usaha perbenihan perkebunan lebih dari 25 ha Modal asing maksimal 95% Modal asing maksimal 95% 3. Usaha perkebunan kurang dari 25 ha UMKMK UMKMK 4. Usaha budidaya perkebunan lebih dari 25 ha Modal asing maksimal 95% Modal asing maksimal 95% 7. Usaha industry pengolahan hasil perkebunan dibawah kapasitas UMKMK UMKMK tertentu sesuai dengan peraturan perundangan 8. Usaha industry pengolahan hasil perkebunan sama atau diatas kapasitas tertentu sesuai dengan peraturan perundangan Modal asing maksimal 95% Modal asing maksimal 95% C. Hortikultura 1. Usaha perbenihan hortikultura Tidak diatur Modal asing maksimal 30% 2. Usaha budidaya hortikultura Tidak diatur Modal asing maksimal 30% 3. Usaha industry pengolahan hortikultura Tidak diatur Modal asing maksimal 30% 4. Usaha penelitian hortikultura Tidak diatur Modal asing maksimal 30% 5. Usaha wisata agro hortikultura Tidak diatur Modal asing maksimal 30% 6. Usaha jasa hortikultura Tidak diatur Modal asing maksimal 30% D. Peternakan 1. Jumlah Kurang atau sama dengan 125 ekor UMKMK UMKMK 2. Jumlah lebih dari 125 ekor Lokasi tertentu tidak bertentangan dengan Perda Lokasi tertentu tidak bertentangan dengan Perda 3. Pembibitan dan budidaya ayam buras serta persilangannya UMKMK UMKMK E. Peneliian dan Pengembangan ilmu teknologi dan rekayasa Modal asing maksimal 49% rekomendasi menteri Modal asing maksimal 49% rekomendasi menteri 5

IV. KINERJA INVESTASI TERKAIT REVISI PERPRES 36/2010 MENJADI PERPRES 39/2014. (12) Dalam uraian berikut dipaparkan hasil analisis indikator ekonomi (investasi, perdagangan) selama beberapa tahun. Periode analisis dibagi kedalam periode sebelum revisi, menjelang revisi, dan setelah revisi. Namun demikian, harus dipahami bahwa dampak ekonomi dari kegiatan investasi tertunda atau mengalami delay atau lags. Artinya, peningkatan realisasi investasi pada tahun ke-t kemungkinan baru akan berdampak ekonomi pada tahun ke t+1 bahkan sampai t+5. (13) Sektor pertanian (tanaman pangan dan perkebunan termasuk peternakan serta hortikultura) merupakan salah satu sektor yang diminati oleh para investor asing, dilihat dari realisasi nilai investasi PMA, yaitu urutan ke-4 (empat) terbesar pada tahun 2014 setelah sektor perindustrian, sektor pertambangan/penggalian, dan sektor transportasi/pergudangan/komunikasi. (14) Kinerja PMA agregat (semua sektor) setelah berlakunya Perpres 36/2010 (2010-2013) memperlihatkan pertumbuhan pesat, baik dari jumlah maupun nilai proyeknya. Nilai total investasi meningkat hampir dua kali lipat dari USD 16.2b pada tahun 2010 menjadi USD 28.6b pada tahun 2013, atau tumbuh dengan laju rata-rata 19.0% per tahun selama periode tersebut. Namun, pertumbuhan ini tidak berlanjut pada periode 2013-2014, dimana laju pertumbuhan investasi justru menurun 0.31% dari USD 28.6b pada tahun 2013 menjadi USD 28.5b. Realisasi nilai investasi tahun 2015 diperkirakan akan terus menurun, karena realisasi sampai dengan bulan Juni 2015 baru mencapai USD 8.3b kurang dari sepertiga nilai investasi 2014. (15) Kinerja PMA di sektor pertanian (subsektor tanaman pangan dan perkebunan serta peternakan) setelah berlakunya Perpres 36/2010 (2010-2013) memperlihatkan perkembangan positif dan nyata, baik dari jumlah maupun nilai proyeknya. Jumlah proyek investasi di sektor pertanian meningkat dari 170 unit proyek pada tahun 2010 menjadi 539 unit pada tahun 2013, atau tumbuh dengan laju rata-rata 35.0% per tahun selama periode tersebut. Angka laju pertumbuhan ini merupakan resultante dari laju pertumbuhan jumlah proyek di subsektor pertanian pangan dan perkebunan sebesar 35.9% 6

per tahun dan laju pertumbuhan jumlah proyek di subsektor peternakan sebesar 16.6% per tahun. Namun, pertumbuhan ini tidak berlanjut pada periode 2013-2014, dimana realisasi jumlah proyek investasi justru menurun drastis dari 539 unit pada tahun 2013 menjadi 124 unit, atau turun lebih dari 125 persen (Tabel 3). Tabel 3. Perkembangan Investari sektor pertanian 2009-2015 Uraian 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015* A. Jumlah Proyek (Unit) Pertanian 11 170 278 275 539 124 259 1. Tan Pangan dan Kebun 7 159 264 261 520 119 2. Peternakan 4 11 14 14 19 5 B. Nilai Investasi ($ Juta) Pertanian 125.7 776 1243.6 1621.7 1616.6 493.3 862.9 1. Tan Pangan dan Kebun 122.9 751 1222.5 1601.9 1605.3 481.2 2. Peternakan 2.8 25 21.1 19.8 11.3 12.1 * Januari sampai Juni Sumber : Statistik Indonesia, Badan Pusat Statistik (16) Nilai investasi di sektor pertanian juga memperlihatkan perkembangan yang sama. Nilai realisasi investasi di sektor pertanian meningkat dari USD 0.8b pada tahun 2010 menjadi USD 1.6b pada tahun 2013, atau tumbuh dengan laju rata-rata 22.1% per tahun selama periode 2010-2013. Angka laju pertumbuhan ini merupakan resultante dari laju pertumbuhan nilai investasi di subsektor pertanian pangan dan perkebunan sebesar 22.7% per tahun dan laju penurunan nilai investasi di subsektor peternakan sebesar -22% per tahun. Namun, pertumbuhan ini tidak berlanjut pada periode 2013-2014, dimana realisasi jumlah proyek investasi justru menurun drastis dari USD 1.6b pada tahun 2013 menjadi USD 0.5b tahun 2014, atau turun lebih dari 106 persen. Menurunnya nilai investasi usaha pertanian pada periode 2013-2014 seharusnya menjadi alasan yang legitimate bagi pemerintah (dhi kementan) untuk menggulirkan revisi aturan investasi di sektor pertanian kearah yang lebih longgar baik untuk PMDN dan PMA. 7

(17) Perkembangan nilai investasi agregat 2013-2014 menjadi alasan kuat bagi pemerintah untuk menerbitkan Perpres no 39/2014 menggantikan Perpres no 36/2010, sedangkan perkembangan investasi 2014-2015 yang terus menurun dapat menjadi alasan kuat untuk kembali melakukan revisi Perpres no 39/2014 yang masa berlakunya baru genap satu tahun. V. KINERJA PERDAGANGAN TERKAIT REVISI PERPRES 36/2010 MENJADI PERPRES 39/2014. (18) Sesuai dengan munculnya Perpres 36/2010 dan Perpres 39/2014, maka keragaan ekspor impor dibagi dalam tiga periode yaitu antara 2007-2009, antara 2010-2013, dan 2013-2014: (1) Pada periode 2007-2009, pertumbuhan ekspor hanya mengalami peningkatan sebesar 0,98 persen, hal ini diakibatkan oleh beberapa sektor mengalami pertumbuhan negatif seperti sektor migas dan industri. Pada periode tersebut sektor pertanian tumbuh dengan laju 8,28%; (2) Pada periode 2010-2013, pertumbuhan ekspor nasional mengalami peningkatan lebih baik sebesar 3,32 persen dimana terjadi pertumbuhan positif di seluruh sektor. Pada periode tersebut sektor pertanian tumbuh dengan laju 4,73%; (3) Selanjutnya, pada periode 2013-2014, pertumbuhan ekspor mengalami pertumbuhan negatif sebesar -3,43 persen. Pertumbuhan tersebut diakibatkan beberapa sektor mengalami pertumbuhan negatif seperti sektor migas, pertambangan, lainnya (jasa). Pada periode tersebut sektor pertanian masih tumbuh dengan laju 1,01% (Tabel 4) 8

Tabel 4. Nilai Ekspor Dirinci Menurut Sektor 2007-2014 (Juta Us$) Tahun Migas Non Migas Pertanian Industri Tambang Lainnya Total Total Ekspor 2007 22.088,6 3.657,8 76.460,8 11.884,9 8,8 92.012,3 114.100,9 2008 29.126,3 4.584,6 88.393,5 14.906,2 9,9 107.894,2 137.020,4 2009 19.018,3 4.352,7 73.435,8 19.692,3 10,7 97.491,7 116.510,1 Pertumbuhan (2007-2009) -6,56 8,28-1,90 25,19 9,80 2,76 0,98 2010 28.039,6 5.001,9 98.015,1 26.712,6 9,9 129.739,5 157.779,1 2011 41.477,0 5.165,8 122.188,7 34.652,0 13,0 162.019,6 203.496,6 2012 36.977,3 5.569,2 116.125,1 31.329,9 18,7 153.043,0 190.020,3 2013 32.633,1 5.713,0 113.029,9 31.159,5 16,3 149.918,8 182.551,8 Pertumbuhan (2010-2013) 2,67 4,73 3,47 3,24 17,15 3,47 3,32 2014 30.331,9 5.770,6 117.329,9 22.850,0 10,4 145.960,8 176.292,7 Pertumbuhan (2013-2014) -7,05 1,01 3,80-26,67-36,56-2,64-3,43 Sumber : Badan Pusat Statistik. (19) Neraca perdagangan sektor pertanian menunjukkan surplus yang terutama disebabkan oleh surplus perdagangan di sub sektor perkebunan, yang lebih besar dari deficit yang terjadi pada sub sektor tanaman pangan, hortikultura dan peternakan. Dalam tahun 2009-2010 surplus neraca perdagangan pertanian tumbuh dengan laju 34,09%, namun laju pertumbuhan surplus perdagangan produk pertanian dalam tahun 2010-2013 menurun hanya menjadi 2,57%. Kondisi ini dapat dijadikan alasan munculnya revisis perpres 39/2014 (Tabel 5). 9

Tabel 5. Neraca Perdagangan Sektor Partanian Tahun 2009-2013 Ekspor/ Impor Sub sektor Tahun Laju (%) 2009 2010 2011 2012 2013 2009-2010 2010-2013 Export (Juta $ US) T.Pangan 321.3 477.7 584.9 162.9 187.3 39.15-16.8 hortikultura 379.7 390.7 491.3 472.9 422.5 2.86 3.89 Perkebunan 21581.7 30702.9 40689.7 32453.1 29476.5 34.89 5.66 Peternakan 754.9 951.7 1599.1 578.3 609.7 23.06-7.39 Pertanian 23037.6 32523 43365 33667.2 30696 34.14 5.04 Impor (Juta $ US) T. Pangan 2737.9 3893.8 7023.9 8270.8 7479.9 34.86 23.57 hortikultura 1077.5 1292.9 1686.1 1754.9 1529.4 18.17 9.3 Perkebunan 3949.2 6028.2 8843.8 3123.4 2669.6 41.67-11.1 Peternakan 2132.8 2768.3 3044.8 2856.9 3173.5 25.93 7.76 Pertanian 9897.4 13983.2 20598.6 16006 14852.4 34.22 7.92 Neraca (Juta $ US) T. Pangan -2416.6-3416.1-6439 -8107.9-7292.6 34.27 26.1 hortikultura -697.8-902.2-1194.8-1282 -1106.9 25.55 11.56 Perkebunan 17632.5 24674.7 31845.9 29329.7 26806.9 33.29 8.83 Peternakan -1377.9-1816.6-1445.7-2278.6-2563.8 27.47 14.94 Pertanian 13140.2 18539.8 22766.4 17661.2 15843.6 34.09 2.57 Sumber : Badan Pusat Statistik. VI. KINERJA INVESTASI DAN PERDAGANGAN INDONESIA DALAM PERSPEKTIF ASEAN (20) Secara nilai nominal dan pangsa FDI di ASEAN pada tahun 2013, FDI extra- ASEAN di Indonesia menduduki urutan keempat dengan nilai nominal sebesar USD 9.7b dan pangsa (9.9%), dibawah Singapura (USD 52.5b dan 53.4%) dan Thailand (USD 11.7b dan 11.9%) dan Malaysia (USD 10.1b dan 10.3%), diatas Vietnam (USD 7.7b dan 7.8%) dan Philippines (USD 6.1b dan 6.2%). Kinerja FDI Indonesia sedikit membaik pada tahun 2014, yakni menduduki urutan ketiga dengan nilai nominal sebesar USD 8.8b dan pangsa (7.9%), dibawah Singapura (USD 67.6b dan 60.5%) dan Thailand (USD 10.8b dan 9.7%), sedikit diatas Malaysia (USD 7.9b dan 7.1%), Vietnam (USD 7.7b dan 6.9%) dan Philippines (USD 6.1b dan 5.5%). Namun, kalau dilihat besarnya 10

jumlah penduduk dan angkatan kerja, luas wilayah, besarnya perekonomian (GDP), kinerja FDI di Indonesia belum menggembirakan, artinya Indonesia dengan potensi ekonomi dan pasar yang begitu besar belum cukup atau tidak terlalu menarik bagi investor asing. Hal ini kemungkinan disebabkan relatif sulit dan ketatnya persyaratan FDI untuk masuk di Indonesia dibandingkan dengan negara ASEAN lain. Dugaan ini konsisten dengan indeks kemudahan berusaha di Indonesia yang berada pada urutan ke 109, jauh dibawah negara ASEAN lain, sebagaimana telah diuraikan diatas (Tabel 6) Tabel 6. Foreign Direct Investment Extra-ASEAN Country Brunei Darussalam 2012 2013 2014 USD b % USD b % USD b % 833.3 0.9 783.5 0.8 427.0 0.4 Cambodia 1,034.1 1.1 976.1 1.0 1,354.0 1.2 Indonesia 11,550.0 12.2 9,722.7 9.9 8,817.5 7.9 Lao PDR 220.7 0.2 322.1 0.3 775.3 0.7 Malaysia 6,586.1 6.9 10,109.9 10.3 7,943.0 7.1 Myanmar 1,203.0 1.3 1,434.1 1.5 262.6 0.2 Philippines 2,651.8 2.8 3,901.5 4.0 6,121.9 5.5 Singapore 52,678.3 55.5 52,473.3 53.4 67,565.6 60.4 Thailand 11,041.2 11.6 11,743.0 11.9 10,884.0 9.7 Viet Nam 7,105.5 7.5 6,821.4 6.9 7,653.0 6.8 Total 94,904.0 100 98,287.5 100 111,803.9 100 Sumber: ASEAN Foreign Direct Investment Statistics Database as of 26 May 2015. (21) Yang menarik Indonesia selalu menduduki urutan atas untuk FDI intra- ASEAN, kecuali tahun 2012 sedikit dibawah Singapore. Pada tahun 2013, FDI intra-asean di Indonesia tercatat sebesar USD 8.7b dan kemudian meningkat menjadi USD 13.5b pada tahun 2014, nilainya jauh diatas FDI intra-asean di singapore dan negara ASEAN lain. Situasi ini mudah dipahami, karena Indonesia memang merupakan tujuan investasi dan target pasar ekspor bagi negara anggota ASEAN lain. Pertanyaannya, mana yang lebih menguntungkan 11

bagi Indonesia menjadi target tujuan investasi atau tujuan pasar ekspor? Pertanyaan ini yang harus dijawab oleh pemangku kebijakan dan para-pihak dalam membahas kebijakan investasi termasuk merancang Perpres baru tentang DNI yang sedang diwacanakan saat ini Tabel 7). Tabel 7. Foreign Direct Investment Intra-ASEAN Country 2012 2013 2014 USD b % USD b % USD b % Brunei Darussalam 31.5 0.2-58.0 (0.3) 141.2 0.6 Cambodia 523.0 2.5 298.8 1.5 372.5 1.5 Indonesia 7,587.9 36.9 8,721.1 45.0 13,458.8 55.2 Lao PDR 73.6 0.4 104.6 0.5 137.9 0.6 Malaysia 2,813.9 13.7 2,187.5 11.3 2,771.1 11.4 Myanmar 151.2 0.7 1,186.8 6.1 683.6 2.8 Philippines 145.2 0.7 (41.7) (0.2) 78.6 0.3 Singapore 8,302.0 40.4 3,665.0 18.9 4,532.7 18.6 Thailand -342.0-1.7 1,256.8 6.5 653.9 2.7 Viet Nam 1,262.5 6.1 2,078.6 10.7 1,547.1 6.3 Total 0,548.8 100 19,399.6 100 24,377.4 100 Sumber: ASEAN Foreign Direct Investment Statistics Database as of 26 May 2015. (22) Dari total nilai perdagangan intra-asean sebesar USD 608.3b, Indonesia menduduki ke-4 dengan nilai USD 90.7b atau pangsa 14.9% dibawah nilai perdagangan Singapura USD 203.2b (33.4%), Malaysia USD 119.1b (19.6%) dan Thailand USD 102.7b (16.9%). Dari total ekspor intra-asean sebesar USD 329.7b, nilai ekspor Indonesia ke negara-negara ASEAN berada di urutan ke-4 dengan total ekspor USD 39.8b atau pangsa 12.1%, jauh dibawah nilai ekspor Singapura sebesar USD 127.7b (38.7%), Malaysia USD 65.3b (19.8%) dan Thailand USD 59.4b (18.0%), diatas nilai ekspor Vietnam USD 18.3b (5.5%) dan Philippines USD 9.2m (2.8%). Sementara itu, dari total impor intra-asean sebesar USD 278.6b, Indonesia berada di urutan ke-3 dengan total impor USD 50.9b atau dengan pangsa 18.3%, dibawah nilai impor 12

Singapura USD 75.5b (27.1%), Malaysia USD 53.8b (19.3%), diatas Thailand USD 43.3b (15.5%) dan Vietnam USD 22.5b (8.1%) seperti terangkum dalam Tabel 8. Tabel 8. Total Perdagangan Intra-ASEAN Country Brunei Darussalam Intra-ASEAN export Intra-ASEAN import Intra-ASEAN trade Value % Value % Value % 2,093.0 0.6 1,767.6 0.6 3,860.6 0.6 Cambodia 2,037.9 0.6 5,577.6 2.0 7,615.5 1.3 Indonesia 39,822.1 12.1 50,903.1 18.3 90,725.3 14.9 Lao PDR 1,451.3 0.4 2,045.0 0.7 3,496.3 0.6 Malaysia 65,297.0 19.8 53,779.1 19.3 119,076.0 19.6 Myanmar 4,362.3 1.3 7,092.6 2.5 11,455.0 1.9 Philippines 9,211.2 2.8 16,158.8 5.8 25,370.0 4.2 Singapore 127,739.2 38.7 75,457.2 27.1 203,196.4 33.4 Thailand 59,425.8 18.0 43,299.5 15.5 102,725.3 16.9 Viet Nam 18,260.5 5.5 22,537.1 8.1 40,797.7 6.7 ASEAN 329,700.4 100 278,617.6 100 608,318.0 100 Sumber: ASEAN Merchandise Trade Statistics Database (23) Kinerja perdagangan ekstra-asean Indonesia juga kurang menggembirakan, berada jauh dibawah kinerja ekspor Singapore, Malaysia dan Thailand. Total nilai perdagangan ekstra-asean tahun 2014 sebesar USD 1920.6b, Indonesia menduduki urutan ke-4 dengan nilai USD 263.7b atau dengan pangsa (13.7%) jauh dibawah Singapura sebesar USD 572.8b (29.8%), Thailand USD 352.8b (18.3%) dan Malaysia USD 324.0b (16.8%), sedikit diatas Vietnam USD 253.0b (13.2%). Dari total ekspor ekstra-asean sebesar USD 962.9b, Indonesia berada di urutan ke-4 dengan total ekspor USD 136.5b atau dengan pangsa 14.1%, dibawah nilai ekspor Singapura USD 282.0b (29.3%), Malaysia USD 168.8b (17.5%) dan Thailand USD 168.1b (17.4%), sedikit 13

diatas nilai ekspor Vietnam USD 129.8b (13.5%) seperti terangkum dalam Tabel 9. Tabel 9. Total Perdagangan Ekstra-ASEAN Country Extra-ASEAN export Extra-ASEAN import Extra-ASEAN trade Value % Value % Value % Brunei Darussalam 8,491.1 0.9 1,828.9 0.2 10,320.1 0.5 Cambodia 8,643.5 0.9 13,395.6 1.4 22,039.1 1.1 Indonesia 136,470.5 14.2 127,275.7 13.3 263,746.2 13.7 Lao PDR 1,188.6 0.1 703.9 0.1 1,892.5 0.1 Malaysia 168,864.2 17.5 155,139.1 16.2 324,003.3 16.9 Myanmar 6,668.3 0.7 9,133.4 1.0 15,801.7 0.8 Philippines 52,598.7 5.5 51,598.2 5.4 104,196.9 5.4 Singapore 282,029.5 29.3 290,790.1 30.4 572,819.6 29.8 Thailand 168,147.8 17.5 184,652.8 19.3 352,800.6 18.4 Viet Nam 129,831.0 13.5 123,148.4 12.9 252,979.4 13.2 ASEAN 962,933.2 100 957,666.2 100 1,920,599.4 100 Sumber: ASEAN Merchandise Trade Statistics Database (24) Kinerja investasi dan perdagangan Indonesia yang jauh lebih rendah dibandingkan Singapore, Malayasia dan Thailand inilah yang nampaknya menjadi alasan kuat bagi pemerintah untuk terus mempermudah persyaratan investasi, baik bagi PMDN dan PMA, melalui revisi Perpres DNI, termasuk Perpres no 39/2014 yang baru genap satu tahun masa berlakunya. VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI (25) Dalam era globalisasi dan terutama dengan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2016, maka perdagangan produk-produk pertanian antar negara akan semakin bebas dan terbuka, dilakukan liberalisasi 14

perdagangan barang, jasa, investasi, dan tenaga kerja terampil secara leluasa dan arus modal yang lebih bebas. Indonesia harus mempersiapkan diri sehingga dapat mengambil manfaat dari MEA tersebut. Apabila tidak maka Indonesia akan dirugikan karena akan menjadi negara importir dan pasar domestik yang besar akan diambil oleh Negara anggota MEA lain. (26) Namun, kenyataannya sampai saat ini kinerja perdagangan dan investasi Indonesia jauh dibawah kinerja Singapura, Malaysia dan Thailand. Total nilai ekspor Indonesia, baik dalam perdagangan intra-asean maupun ekstra- ASEAN, jauh lebih kecil dibandingkan nilai ekspor ketiga negara anggota ASEAN tersebut. Indonesia juga kalah bersaing dengan ketiga negara tersebut dalam menarik investasi asing, baik intra-asean maupun ekstra- ASEAN. Jika tidak dilakukan pembenahan dan perbaikan dalam iklim usaha dan investasi, diperkirakan nilai ekspor Indonesia akan semakin tertinggal dari ketiga negara tersebut, dan bahkan sangat mungkin disusul oleh Vietnam. (27) Sebagai negara dengan potensi sumberdaya yang dimilikinya, seharusnya indonesia dapat menjadi eksportir utama produk pertanian. Hal ini dapat dicapai melalui peningkatan produksi pertanian yang berdaya saing, dengan mendayagunakan semaksimal mungkin potensi sumberdaya yang dimiliki dan membuka peluang pengembangan usaha pertanian melalui kegiatan investasi di segala bidang usaha. Jika kenyataan selama ini kinerja PMDN di sektor pertanian pangan dan hortikultura masih sangat terbatas, maka PMA seharusnya dapat menjadi alternatif untuk meningkatkan produksi, produktivitas dan daya saing dari sub-sektor ini. (28) Kegiatan investasi dan perdagangan tidak dapat dipisahkan. Kemampuan untuk meningkatkan ekspor produk pertanian sangat ditentukan oleh investasi untuk meningkatkan produksi dan nilai tambah produk pertanian. Idealnya untuk memaksimalkan nilai tambah, kegiatan investasi usaha pertanian dapat dilakukan sebesar-besarnya oleh pelaku usaha domestik (PMDN), namun kenyataannya hal ini belum dapat sepenuhnya dilakukan, sehingga dibutuhkan investasi asing (PMA). Disamping membantu peningkatan produksi dan ketersediaan produk dalam negeri, PMA juga berguna dalam 15

rangka mendorong alih teknologi untuk dapat menghasilkan produk secara efisien, berkualitas dan berdaya saing. (29) Dalam kaitan tersebut maka evaluasi terhadap Perpres No 39/2014 tentang DNI menjadi relevan. Salah satu aspek penting dalam Prepres No 39 Tahun 2014 adalah adanya ketentuan tentang kepemilikan asing dalam usaha pertanian, baik dalam usaha perbenihan, usaha budidaya tanaman dan usaha industri pengolahan pertanian. Ketentuan pemilikan modal asing pada usaha tanaman pangan maksimal 49% dan usaha perkebunan maksimal 95%, sedangkan pada usaha hortikultura maksimal 30 % (sesuai UU 13/2010 tentang Hortikultura). (30) Pada saat ini, upaya untuk lebih melonggarkan persyaratan kepemilikan asing (PMA) di bidang usaha hortikultura tidak dapat dilakukan karena akan bertentangan dengan perintah UU No. 13/2010 tentang Hortikultura. Namun perlu disadari bahwa persyaratan ini menjadi dilematis karena dikuartirkan akan menjadi penghambat pertumbuhan sub-sektor hortikultura yang berakibat terjadinya stagnasi produksi, produktivitas dan nilai tambah produk hortikultura. Akibat lebih lanjut, Indonesia tidak akan mampu memenuhi permintaan domestik produk hortikultura yang terus meningkat sehingga akan semakin tergantung impor, apalagi untuk tujuan peningkatan ekspor. (31) Pada sub sektor perkebunan, ketentuan kepemilikan modal asing sebesar 95% dinilai sudah maksimal. Kinerja investasi di subsektor perkebunan telah berjalan sesuai yang diharapkan. Kalaupun pemerintah ingin terus mendorong investasi di subsektor ini dapat dilakukan dengan mempermudah persyaratan lain yang berlaku, termasuk prosedur untuk memperoleh rekomendasi (32) Pada sub sektor tanaman pangan, peluang untuk meningkatkan kepemilikan asing lebih besar dari 49%, sebagaimana diatur dalam Perpres 39/2014, masih dimungkinkan. Namun, usulan untuk melonggarkan persyaratan investasi di subsektor tanaman pangan, termasuk persyaratan kepemilikan asing, selayaknya dikaji lebih cermat. (33) Dalam kaitan itu dalam jangka pendek yang perlu dilakukan adalah bagaimana mengoptimalkan situasi yang ada, yaitu: (a) memaksimalkan upaya untuk mendorong investasi asing pada bidang usaha perkebunan yang 16

memberikan peluang investasi sampai 95 %, dan (b) memaksimalkan upaya untuk tumbuhnya investasi terutama investasi domestik pada usaha bidang tanaman pangan dan terlebih lagi pada usaha hortikultura. (34) Upaya untuk mendorong investasi, baik PMDN maupun PMA, dapat dilakukan melalui beberapa instrumen kebijakan, diantaranya: a. Bidang moneter: instrumen suku bunga yang lebih rendah, nilai tukar yang sesuai dan perlakuan kredit khusus akan merangsang minat investasi. b. Bidang fiskal: kebijakan penerapan pajak perlu dilakukan secara bijak agar tetap mampu merangsang dunia usaha untuk investasi di pertanian. c. Bidang pengembangan industri pertanian: kemudahan perijinan dan dukungan kredit/pembiayaan terutama bagi usaha yang menghasilkan produk bermutu sesuai permintaan pasar. d. Bidang perdagangan: mengurangi distorsi pasar dalam rangka memperlancar arus barang dan jasa, serta meningkatkan efisiensi pemasaran. e. Bidang infrastruktur: penyediaan infrastruktur publik terutama infrastuktur yang banyak dibutuhkan oleh pelaku usaha dan dapat merangsang tumbuhnya investasi baru, seperti jalan, listrik, pelabuhan, transportasi, komunikasi, sarana pengairan dan drainase dan lainnya. f. Bidang penelitian dan pengembangan: mendorong kegiatan penelitian untuk menghasilkan teknologi dan teknik budidayapertanian g. Bidang SDM: meningkatkan kualitas SDM pertanian untuk mendukung pengembangan usaha mikro-kecil-menengah pertanian. 17

DAFTAR PUSTAKA 1. ASEAN Foreign Direct Investment Statistics Database as of 26 May 2015 2. ASEAN Merchandise Trade Statistics Database 3. Badan Pusat Statistik. Statistik Indonesia, Berbagai Tahun 4. Prepres 36 tahun 2010, Tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dsn Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Dibidang Penanaman Modal. 5. Perpres 39 tahun 2014 entang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dsn Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Dibidang Penanaman Modal. 6. World Bank Group.2015. Doing Bsiness Measuring Business Regulation. http// www.doingbusiness.org/rankings. 7. World Economic Forum. 2015. The Global Competitiveness Report 2014-2015. 18

Lampiran 1. Hasil Hasil FGD 1) Banyak UU di luar UU hortikultura yang mempengaruhi pengembangan industri hortikultura. Oleh karena itu, perlu dipelajari UU lain terkait dengan investasi. UU 13/2010 berisi tentang investasi asing di bidang hortikultura. Dampak dari diberlakukannya UU 13 ini terlihat dari perkembangan investasi PMA dan PMDN di bidang pertanian dan Non Pertanian. Ada kemungkinan investasi di sektor pertanian sangat dipengaruhi oleh investasi di sektor non pertanian. Data investasi di bidang hortikultura secara khusus tidak tersedia. Untuk memacu kinerja investasi diperlukan insentif ekonomi dan non ekonomi, misalnya tidak membayar pajak pada saat melakukan investasi awal. 2) Batang tubuh Perpres 39 dapat direvisi dan pada Tabel Lampiran dapat dimasukkan asek lain seperti tenaga kerja, alat dan mesin, dan pestisida. Perlu penyempurnaan di aspek GMO. Ketentuan skala 25 Hektar dalam Perpres perlu diusulkan menjadi 10 hektar. Perlu didefinisikan dalam UU tentang industri hortikultura. Sebaiknya industri hortikultura adalah industri yang menggunakan bahan baku komoditas hortikultura lebih dari 50%. 3) Hasil kajian UU 13/2010 yang dilakukan pada 2013 menunjukkan bahwa sebagian besar PMDN mau menerima UU 13/2010, namun PMA tidak mau menerima. Hal ini disebabkan industri perbenihan hortikultura adalah industri dengan keuntungan yang besar. Banyak mantan pekerja di perusahaan perbenihan PMA (East west) yang membuat perusahaan sendiri dan memproduksi benih hortikultura, mengimpor benih induk dari negara lain (karena iklim Indonesia tidak cocok untuk memproduksi benih induk) untuk kemudian diperbanyak di Indonesia. Pengusaha pemasok benih ini bermitra dengan penangkar benih hortikultura. Benih hortikultura yang dihasilkan tidak diberi merk dagang. Teknologi dan saluran pemasaran mengikuti metode pemasaran perusahaan PMA. Perusahaan seperti ini yang saat ini banyak memasok benih hortikultura di Indonesia, namun tidak tercatat secara resmi. 19

4) Perubahan kinerja investasi di bidang pertanian dapat disebabkan oleh Perpres dan performa ekonomi global. Perlu juga melihat indicator lainnya, seperti Neraca Perdagangan sektor yang dibuka, seperti perkebunan, selalu mengalami surplus perdagangan. Terkait dengan masalah daya saing industri kecil, ada baiknya dilihat indicator lainnya untuk memastikan keterkaitan daya saing dengan peraturan investasi yang ada. 5) Untuk tujuan keamanan pangan maka perlu restriksi produk-produk GMO, oleh karena itu masih diperlukan rekomendasi menteri untuk investasi di industri produk GMO. Paket I-V menunjukkan bahwa Indonesia sudah semakin liberal. Misalnya, Indonesia sudah mengijinkan impor sapi dari Negara-negara zona PMK (paket V). 6) Pasar untuk produk organic sudah mulai berkembang pesat namun peningkatan produksi produk organic terkendala oleh kekhawatiran petani akan adanya serangan hama dan penyakit. Selain itu, karena penyuluhan dari pemerintah terkalahkan oleh promosi penggunaan pestisida oleh perusahaan pemasok pestisida tersebut. Oleh karena itu, perlu ditambahkan aturan pada regulasi hortikultura untuk produk-produk yang sehat dan organic. 7) Untuk meningkatkan kapasitas penangkar benih hortikultura maka perlu dilakukan kegiatan pendampingan agar dapat dihasilkan benih hortikultura yang berkualitas. Petani hortikultura harus diberdayakan agar mampu menjadi penangkar. Saat ini sudah ada investasi di bidang breeding dan muncul berbagai ragam investasi di bidang hortikultura. Aturan impor benih harus dilaksanakan dengan benar. 8) Perlu kerjasama pengembangan bidang hortikultura melalui konsorsium antara Balitbang pertanian, Dikti, dan Ristek agar sektor hortikultura dapat lebih maju. Perlu ada ketentuan skala usaha yang harus diberikan insentif/fasilitas Balitbang. Paket teknologi yang dihasilkan oleh Balitbang tentang pengurangan penggunaan pestisida pada tanaman hortikultura harus disosialisasikan ke petani agar dapat dihasilkan produk hortikultura yang sesuai dengan ketentuan keamanan pangan dan aspek lainnya. Terkait UU 12, Balitbang dan Perguruan Tinggi dapat melakukan inovasi di 20

lokasi kelompok tani. Perlu diketahui pemanfaatan hasil penelitian dan pengembangan di luar Kementerian Pertanian. Kegiatan penelitian harus ada insentif yang berbeda dengan kegiatan pengembangan. 9) Sesuai dengan pasal 33, investasi tidak harus bebas seperti bidang perdagangan. Indonesia mengimpor lebih dari 50% dari total input produksi tanaman pangan, seperti pertisida, benih, pupuk (kecuali urea). Pilihan kebijakan/regulasi harus mempertimbangkan untuk perkembangan yang lebih merata. 10) Kegiatan penelitian dan pengembangan memerlukan investasi asing (teknologi maju) untuk kemajuan pertanian jadi pertanian harus take a lead. Oleh karena itu, penelitian dan pengembangan harus open minded terhadap investasi asing, dengan kata lain harus ada keterbukaan terhadap investor asing yang teknologinya dapat dimanfaatkan untuk kemajuan sektor pertanian di masa yang akan datang. Manfaatkan kerjasama penelitian yang sudah ada dengan organisasi internasional. 11) Perdagangan internasional produk pertanian bersifat asimetri. Investasi asing ini kemungkinan berkaitan dengan perdagangan internasional. Misal jika impor kedelai dibatasi, maka PMA akan berlomba melakukan investasi di bidang kedelai. 21