PERLINDUNGAN HUKUM PEMEGANG HAK TANGGUNGAN DALAM KAWASAN HUTAN KONSERVASI LEGAL PROTECTION MORTGAGE HOLDER IN PORESTED CONSERVATION Syahruddin, Farida Patittingi, Nurfaidah Said Program Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, Makassar Alamat Korespondensi : Syahruddin Fakultas Hukum Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Hasanuddin Makassar, 90245 HP : 0853-9838-6984 Email : syahruddin_udin23@yahoo.com
ABSTRAK Setiap pemegang hak tanggungan memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan hukum atas kredit yang disalurkan kepada masyarakat. Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap pemegang Hak Tanggungan dalam Kawasan Hutan Konservasi serta bentuk penyelesaian kredit atas objek Hak Tanggungan dalam Kawasan Hutan Konservasi. Penelitian ini berbentuk penelitian empiris, yaitu penelitian hukum yang objek kajiannya meliputi ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan serta penerapannya pada peristiwa hukum. Metode pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik wawancara dengan mengambil sampel secara sengaja ( purposive sampling). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlindungan hukum terhadap pemegang Hak Tanggungan dalam Kawasan Hutan Konservasi dapat dilakukan dengan menggunakan Ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata, dimana kedudukan kreditor berubah dari kreditor preferen menjadi kreditor konkuren. Sementara bentuk penyelesaian kredit oleh kreditor yakni melalui jalur non litigasi (penyelesaian perkara diluar jalur pengadilan) dengan meminta bantuan pada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). Instansi terkait yakni Kantor Pertanahan dan juga Kantor Dinas Kehutanan seharusnya saling berkoordinasi baik dalam hal penerbitan sertipikat hak atas tanah meupun dalam proses penetapan kawasan hutan, sehingga dapat meminimalisir konflik yang terjadi dikemudian hari yang dapat mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Kata Kunci: Perlindungan, Hak Tanggungan, Hutan Konservasi ABSTRACT Each holder of the security rights have the right to obtain legal protection for loans extended to the public. Goals to be achieved in this study was to determine the form of legal protection for the holder of the Mortgage Forested Conservation and settlement forms on objects Mortgage in Forest Conservation Area. This study form empirical research, ie research that is the object of study are the legal provisions of the legislation and its application in the event the law. The data collection method used in this research is to use interview techniques to collect samples (purposive sampling). The results showed that the legal protection of the holders of Mortgage in Forest Area Conservation can be done by using the provisions of Article 1131 of the Civil Code, where the position of a preferred creditor creditors transformed into concurrent creditors. While the shape of the settlement by creditors through non-litigation (settlement outside the court lines) to ask for help on the State Property Office and Auction (KPKNL). Related agencies namely the Land Office and the Office of the Forest Service should also coordinate with each other both in terms of certificate issuance meupun land rights in forest setting process, so as to minimize conflicts that occur in the future which could result in losses for others. Keywords: Protection, Mortgage, Conservation Forest
PENDAHULUAN Salah satu hak yang dapat dinilai dengan uang dan mempunayi nilai ekonomis serta dapat diperalihkan adalah hak atas tanah. Untuk menjamin pelunasan dari debitor maka hak atas tanah itulah yang digunakan sebagai jaminannya. Sebagai jaminan kredit tanah mempunyai kelebihan antara lain adalah harganya yang tidak pernah turun (Salle dkk., 2011). Tanah dapat berfungsi sebagai unsur pendapatan bagi masyarakat baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Kebutuhan akan dana atau pada umumnya dalam dunia perbankan Indonesia disebut kredit, terkadang dikaitkan dengan adanya jaminan demi pengamanan pemberian dana atau kredit itu sendiri. Jaminan merupakan hal yang penting dalam membuat dan melaksanakan perjanjian kredit atau perjanjian pinjam meminjam uang, serta melindungi kepentingan para pihak khususnya kreditor. Secara hukum sarana pengaman bagi terlaksananya pengembalian hutang atau kredit adalah dengan adanya jaminan baik berupa jaminan kebendaan maupun jaminan perorangan. Dalam hal ini jaminan kebendaan lebih bermanfaat dan lebih aman daripada menggunakan jaminan perorangan (Hasan, 2011). Oleh karena itu, dirasakan sangat perlu adanya lembaga jaminan dan hukum jaminan yang mampu mengatur konstruksi yuridis, yang memungkinkan pemberian fasilitas kredit, dengan menjaminkan benda-benda yang akan diberinya sebagai jaminan. Adanya pengaturan hukum jaminan dan lembaga jaminan, kiranya harus dibarengi dengan adanya lembaga kredit yang ampuh, yang mampu menyediakan fasilitas kredit dengan jumlah besar, dengan jangka waktu yang lama dan bunga yang relatif rendah. Hak Tanggungan sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 angka (1) U ndang-undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (selanjutnya disebut UUHT) adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Pada prinsipnya objek Hak Tanggungan adalah hak-hak atas tanah yang memenuhi dua persyaratan, yaitu wajib didaftarkan (untuk memenuhi syarat publisitas) dan dapat dipindah
tangankan untuk memudahkan pelaksanaan pembayaran utang yang dijamin pelunasannya (Sutedi, 2010). Lahirnya Hak Tanggungan tidak terlepas dari adanya perjanjian kredit, hal ini merupakan sifat dari Hak Tanggungan yang merupakan ikutan dari perjanjian pokok, sehingga keberadaan serta hapusnya Hak Tanggungan tergantung dari perjanjian pokoknya. Tahap pemberian Hak Tanggungan diawali atau didahului oleh janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, Janji untuk memberikan Hak Tanggungan tersebut dituangkan didalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut (Usman, 2009). Eksistensi hak atas tanah dalam kawasan hutan konservasi yang dibebani jaminan Hak Tanggungan mengakibatkan timbulnya konflik hukum, hal ini mengacu pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Dari ketentuan tersebut dapat dikatakan bahwa dalam kawasan hutan konservasi tidak dimungkinkan adanya objek Hak Tanggungan dikarenakan dalam hutan negara tidak ada lagi hak atas tanah. Namun dalam kenyataannya terdapat hak atas tanah dalam kawasan hutan konservasi yang menjadi objek Hak Tanggungan. Bermula ketika debitor wanprestasi sehingga mengakibatkan kredit macet, upaya yang ditempuh oleh kreditor dalam hal ini pihak bank untuk melakukan eksekusi terhadap objek Hak Tanggungan ternyata tidak dapat dilaksanakan, karena objek Hak Tanggungan berada dalam kawasan hutan konservasi yang merupakan hutan negara, sehingga tidak dimungkinkan dilakukan eksekusi atas objek Hak Tanggungan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap pemegang Hak Tanggungan dalam kawasan hutan konservasi serta untuk mengetahui bentuk penyelesaian kredit macet atas objek Hak Tanggungan dalam kawasan hutan konservasi. METODE PENELITIAN Daerah Penelitian Untuk mendapatkan data dan informasi dalam penelitian ini, peneliti melakukan pengumpulan data dan informasi dari daerah penelitian di Kota Makassar, Kota Palopo dan Kota Parepare.
Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian empiris yang objek kajiannya meliputi ketentuan peraturan perundang-undangan ( in abstracto) serta penerapannya pada peristiwa hukum ( in Concreto). Informan Penelitian Adapun informan tersebut yakni: (1) Kantor Dinas Kehutanan dan Perkebunan, (2) Kantor Pertanahan, (3) Balai Konservasi Sumber Daya Alam, (4) Tokoh Masyarakat, (5) Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wil. VII Makassar, (6) PT. Bank X Unit Regional Credit Recovery Makassar dan (7) Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Parepare. Pengumpulan Data Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari hasil wawancara kepada informan yang terkait dengan judul penelitian. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari Kantor Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wil. VII Makassar serta Kantor Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kota Palopo. Analisis Data Data yang diperoleh dalam penelitian kemudian dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif yaitu dengan mendeskripsikan data yang diperoleh berupa data primer dan data sekunder kemudian dilakukan penafsiran dan kesimpulan. HASIL PENELITIAN Pembebanan Hak Tanggungan dalam kawasan hutan konservasi, sebagaimana dari hasil penelitian yang penulis lakukan pada Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah VII Makassar diperoleh informasi bahwa objek jaminan Hak Tanggungan merupakan Kawasan hutan yang ditetapkan pada Tahun 1932 oleh Grensregelingskaart van de bij besluiten van het zelfbestuur van LOEWOE, kemudian pada Tahun 1967 Badan Pertanahan Nasional menerbitkan sertipikat Hak Milik No. 1 tanggal 18-05-1968 dan Sertipikat Hak Milik No. 2 tanggal 18-05- 1968, yang dikeluarkan di Palopo. Pada Tahun 1980 kedua Sertipikat Hak Milik tersebut kemudian dijadikan jaminan dalam proses mendapatkan kredit dari Bank X. Pada Tahun 1982 sebagaimana Keputusan Menteri Pertanian No. 760/Kpts-um/10/82 tanggal 12-10-1982 tentang Penunjukan areal hutan di Wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, Kawasan Hutan Nanggala III berfungsi sebagai Kawasan Hutan Lindung. Selanjutnya
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 663/Kpts-II/1992 yang ditetapkan di Jakarta pada Tanggal 1 Juli 1992 tentang Perubahan Fungsi dan Penunjukan Sebagai Kawasan Hutan Lindung Nanggala III yang terletak di Kabupaten Daerah Tingkat II Luwu, Propinsi Sulawesi Selatan menjadi Taman Wisata Alam Nanggala III seluas + 500 ha. Kemudian pada Tahun 1999 berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 890/Kpts-II/1999 Tanggal 14 Oktober 1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan di Wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, Kawasan Hutan Taman Wisata Alam Nanggala III ditunjuk kembali sebagai Kawasan Hutan Konservasi. Selanjutnya pada Tahun 2004 Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah VII Makassar melaksanakan kegiatan Tata Batas Fungsi Kawasan Hutan Taman Wisata Alam Nanggala III Kota Administrasi Palopo sepanjang 16 Km dengan luas 968,82 Ha. Hasil pelaksanaan Tata Batas Kawasan Hutan telah diakomodir kedalam Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan di Wilayah Propinsi Sulawesi Selatan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 434/Menhut-II/2009 tanggal 9 Agustus 2009. Pembebanan jaminan atas objek Hak Tanggungan tersebut dulunya merupakan jaminan hipotek dan setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan maka hipotek jaminan atas tanah dinyatakan tidak berlaku, namun menurut Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Hak Tanggungan, pelaksanaan eksekusi dan pencoretan dapat menggunakan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Hak Tanggungan setelah buku tanah dan Sertipikat Hipotek disesuaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Undang-Undang Hak Tanggungan. Menurut pihak KPKNL Parepare bahwa hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan tersebut sudah sampai pada tahap lelang Hak Tanggungan, namun karena objek Hak Tanggungan ditengarai masuk dalam kawasan hutan konservasi maka pihak KPKNL Parepare melakukan konfirmasi kepada Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah VII Makassar berdasarkan Surat Nomor S-1320/WKN.15/KNL.03/2012 tanggal 30 Agustus 2012 perihal Klarifikasi Peta Tanah Barang Jaminan yang ditengarai masuk dalam Kawasan Hutan Lindung (saat ini sudah dialih fungsikan menjadi Kawasan Hutan Konservasi). Sementara dari pihak BPKH Wilayah VII Makassar mengatakan bahwa Berdasarkan ploting gambar situasi areal objek yang dimaksud terhadap Peta Hasil Tata Batas Fungsi Hutan Taman Wisata Alam dengan Hutan Lindung skala 1:25.000 dan Peta Lampiran Keputusan
Menteri Kehutanan No. 434/Menhut-II/2009 skala 1:250.000, bahwa areal yang dimaksud masuk dalam Kawasan Hutan Taman Wisata Alam Nanggala III Kota Palopo. Hal tersebut mengakibatkan pemegang Hak Tanggungan tidak mendapatkan adanya suatu kepastian hukum terhadap haknya. PEMBAHASAN Penelitian ini menemukan bahwa bentuk perlindungan hukum terhadap pemegang Hak Tanggungan dalam kawasan hutan konservasi yakni dengan menggunakan dasar hukum Pasal 1131 BW, dimana ketentuan tersebut telah menjamin hak kreditor yaitu segala kebendaan pihak yang berutang (debitor), baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan. Ketentuan Pasal 1131 BW ini merupakan jaminan secara umum atau jaminan yang timbul atau lahir dari undang-undang. Menurut Pasal 1131 maka yang dimaksud dengan jaminan adalah meliputi seluruh kekayaan debitor yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, sehingga tanpa harus diperjanjikan secara khusus, benda-benda tersebut telah menjadi jaminan bagi seluruh hutang-hutang debitor. Selanjutnya Pasal 1132 menentukan barang-barang itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditor terhadapnya, hasil penjualan barang-barang itu dibagi menurut perbandingan piutang masing-masing kecuali bila diantara para kreditor itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Dari kedua ketentuan ini dapat diketahui bahwa ada dua (2) macam jaminan, yaitu jaminan yang ditentukan oleh Undang-Undang disebut jaminan umum dan jaminan yang timbul karena perjanjian, disebut jaminan khusus. Jaminan khusus dapat dibedakan lagi, yakni jaminan kebendaan dan jaminan perorangan (Meliala, 2008). Dari pernyataan diatas mengandung pengertian bahwa pihak kreditor dapat melaksanakan haknya terhadap semua benda milik debitor, kecuali terhadap benda-benda yang dikecualikan oleh Undang-Undang (Sofwan, 2004). Agunan menjadi salah satu unsur jaminan kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan nasabah debitur mengembalikan hutangnya, agunan hanya dapat berupa barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Dalam dunia perbankan ada lima faktor yang digunakan untuk penilaian terhadap debitur, faktor tersebut terkenal dengan sebutan, "The Five of Credit Analysis"
atau prinsip 5C's ( Character, capacity, capital, collateral dan condition of economy) (Adjie, 2000). Bank dengan demikian dituntut untuk setiap waktu memastikan bahwa jaminan/agunan yang diterima telah memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga dapat dipastikan bahwa seluruh aspek yuridis yang berkaitan dengan pengikatan jaminan/agunan kredit telah diselesaikan dan akan mampu memberiakan perlindungan yang memadai terhadap bank. Hak Tanggungan merupakan perjanjian jaminan oleh karenanya tunduk pada ketentuan Pasal 1320 BW tentang syarat sahnya perjanjian yakni sepakat mereka yang mengikatkan diri, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Syarat pertama dan kedua merupakan syarat formil sedangkan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat materil. Suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat formil mengakibatkan perjanjian tersebut dapat dibatalkan, sementara apabila suatu perjanjian tidak memenuhi syarat materil maka perjanjian itu menjadi batal demi hukum. Keberadaan Sertipikat Hak Milik dalam kawasan hutan konservasi mengakibatkan sertipikat hak atas tanah menjadi batal demi hukum atau hapus karena hukum dikarenakan bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 angka (4) Undang -Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan yang menyebutkan bahwa hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Kemudian jika hak atas tanah tersebut diletakkan Hak Tanggungan diatasnya, maka Hak Tanggungan tersebut ikut menjadi hapus. Hapusnya Hak Tanggungan sebagai perjanjian kebendaan mempunyai akibat hukum yakni berubahnya posisi pemegang Hak Tanggungan yang semula berkedudukan sebagai kreditor preferen yang mempunyai hak kebendaan kemudian berkedudukan sebagai kreditor konkuren yang mempunyai hak perseorangan. Jika perjanjian kredit berakhir karena kreditnya telah dilunasi atau berakhir karena sebab lain, maka berakhir pula perjanjian pengikatan jaminan. Jika perjanjian kredit cacat yuridis dan batal, maka perjanjian pengikatan jaminan ikut batal juga. Sebaliknya, perjanjian pengikatan jaminan cacat dan batal karena suatu sebab hukum, msalnya barang jaminan musnah atau dibatalkan karena pemberi jaminan tidak berhak menjaminkan maka perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok tidak batal. Debitur tetap harus melunasi hutangnya sesuai perjanjian kredit (Sutarno, 2003)
Jadi sekalipun hak atas tanah dalam kawasan hutan konservasi yang telah dibebani jaminan hak tanggungan menjadi hapus karena hukum, para pihak yakni kreditor dengan debitor tetap mempunyai hubungan hukum, karena dengan hapusnya hak tanggungan, tidak mengakibatkan hapusnya perjanjian hutang piutang atau perjanjian pokok, sehingga perjanjian hutang piutang antara kreditor dengan debitor tetap mengikat secara hukum sampai seluruh hutang yang menjadi kewajiban debitor dinyatakan lunas oleh kreditor. Hal ini dipertegas dalam Pasal 18 ayat (4) UUHT yang menyatakan hapusnya hak tanggungan karena hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan, tidak menyebabkan hapusnya hutang yang dijamin. Dalam hal ini UUHT tetap melindungi kepentingan kreditor walaupun kedudukan kreditor tidak lagi menjadi kreditor preferen. Pemberian kredit oleh bank memiliki resiko kemacetan dalam pengembaliannya, walaupun telah dilakukan analisis secara seksama sebelum adanya persetujuan terhadap permohonan fasilitas kredit yang diajukan oleh calon debitor. Hal yang paling utama dalam kredit bermasalah adalah ketidak sediaan debitor untuk melunasi atau ketidak sanggupan untuk memperoleh pendapatan yang cukup untuk melunasi kredit seperti yang telah disepakati (Ibrahim, 2004). Kredit macet adalah suatu kredit yang setelah melalui maturity date (jatuh tempo) belum juga dapat diselesaikan karena kesulitan usaha dan kemacetan dalam pembayaran hutang pokok dan atau bunganya serta telah diserahkan ke Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang Negara (selanjutnya disingkat BUPN) untuk dapat diselesaikan (Bahsan, 2003). Ada 2 (dua) jalur yang dapat ditempuh oleh kreditor dalam upaya menangani kredit bermasalah yakni Melalui jalur litigasi dan non litigasi. Litigasi adalah upaya penyelesaian perkara melalui jalur pengadilan yakni, eksekusi Sertipikat Hak Tanggungan melalui Pengadilan Negeri, eksekusi grosse akta pengakuan hutang melalui Pengadilan Negeri, mengajukan gugatan perdata melalui Pengadilan Negeri atas dasar wanprestasi, mengajukan permohonan pailit atas debitor melalui Pengadilan Niaga. Dalam memilih penyelesaian kredit macet melalui jalur litigasi, kreditor harus benarbenar mempertimbangkan faktor-faktor seperti efisiensi waktu dan biaya, dikarenakan proses litigasinya relatif berjalan lama, mahal dan berbelit-belit. Penyelesaian dengan jalur litigasi haruslah menjadi jalan terakhir manakala kreditor sudah tidak berhasil menemukan cara-cara penyelesaian alternatif diluar pengadilan.
Sementara non litigasi adalah upaya penyelesaian sengketa diluar jalur pengadilan, yang dilakukan melalui cara, Rescheduling (penjadwalan kembali), reconditioning (merubah sebagian/sekuruh isi perjanjian), restructuring (mengubah struktur pembiayaan). Apabila upaya tersebut tidak berhasil maka sebagai upaya terakhir bank kemudian melakukan eksekusi objek Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 6 UUHT melalui KPKNL. KESIMPULAN DAN SARAN Bentuk perlindungan hukum terhadap pemegang Hak Tanggungan dalam Kawasan hutan konservasi adalah dengan menggunakan dasar hukum Pasal 1131 KUH Perdata. Jadi apabila Hak Tanggungan hapus maka pihak kreditor tetap dapat memperoleh haknya karena perjanjian kredit yang dibuat oleh kreditor dengan debitor tetap mengikat secara hukum, namun dalam hal ini kedudukan kreditor yang dulunya merupakan kreditor preferen berubah menjadi kreditor konkuren. Oleh karena itu dalam rangka memberikan kepastian dan perlindungan hukum hak jaminan atas tanah, sebaiknya pihak kehutanan dan pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) saling berkoordinasi baik dalam hal penetapan kawasan hutan maupun penerbitan sertipikat hak atas tanah, sehingga dapat meminimalisir konflik yang terjadi dikemudian hari yang dapat menimbulkan kerugian bagi orang lain.
DAFTAR PUSTAKA Adjie Habib. (20 00). Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan Hak atas Tanah, Mandar Maju: Bandung. Bahsan M. (2003). Pengantar Analisis Kredit Perbankan Indonesia. CV.Rejeki Agung: Jakarta. Hasan Djuhaendah. (2011). Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepasi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, cet. 2.Nuansa Madani: Jakarta. Ibrahim Johannes. (2004). Cross Default dan Cross Collateral sebagai Upaya Penyelamatan Kredit Bermasalah, Rafika Aditama: Bandung. Meliala S.Djaja. (2008). Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan. Nuansa Aulia: Bandung. Salle Aminuddin.,dkk. (2011). Bahan Ajar Hukum Agraria. Aspublishing: Makassar. Sofwan Masjchoen Soedewi Sri. ( 2004). Hukum Jaminan Di Indonesia, Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, cet.3.liberty Offset: Yogyakarta. Sutarno. (2003). Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta: Bandung. Sutedi Adrian. (2010). Hukum Hak Tanggungan. Sinar Grafika: Jakarta. Usman Rachmadi. (2009). Hukum Jaminan Keperdataan. Sinar Grafika: Jakarta.