4. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
EKOLOGI KEONG BAKAU (Telescopium telescopium, Linnaeus 1758) PADA EKOSISTEM MANGROVE PANTAI MAYANGAN, JAWA BARAT

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Biologi Klasifikasi Morfologi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

2.2. Struktur Komunitas

IDENTIFIKASI POPULASI MAKROZOOBENTOS DI KAWASAN EKOSISTEM MANGROVE DESA LADONG ACEH BESAR. Lili Kasmini 11 ABSTRAK

BAB III METODE PENELITIAN

Gambar 2. Peta lokasi pengamatan.

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN

DI DWERAN INTERTlDAk PBNTAI KAMAL

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Kerang tahu (Meretrix meretrix L. 1758)

BAB III METODE PENELITIAN

STUD1 HABITAT KOMUNITAS POLIKAETA DI PERAIRAN PANTAI TECUK LAMPUNG

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

BAB 2 BAHAN DAN METODA

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

Keanekaragaman dan Kelimpahan Gastropoda Ekosistem Mangrove Desa Lamu Kecamatan Tilamuta Kabupaten Boalemo

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air

I. PENDAHULUAN. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai saluran air bagi daerah

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi penelitian tingkat kesesuaian lahan dilakukan di Teluk Cikunyinyi,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sungai Tabir terletak di Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin. Sungai Tabir

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013.

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

DINAMIKA EKOSISTEM PERAIRAN BUDIDAYA TIRAM DAN PEMANFAATANNYA. IRMA DEWIYANTI, S.Pi., M.Sc

Estimasi Populasi Gastropoda di Sungai Tambak Bayan Yogyakarta

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Laju Pertumbuhan Spesifik Benih Ikan Mas (SGR)

BAB 2 BAHAN DAN METODA

III. METODE PENELITIAN

BAB 2 BAHAN DAN METODA

bentos (Anwar, dkk., 1980).

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos

KEPADATAN DAN BIOMASSA LAMUN Thalassia hemprichii PADA BERBAGAI RASIO C:N:P SEDIMEN DI PERAIRAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU

BAB III METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON

3. METODOLOGI PENELITIAN

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

V HASIL DAN PEMBAHASAN. pengamatan tersebut diberikan nilai skor berdasarkan kelompok hari moulting. Nilai

BAB III BAHAN DAN METODE

METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan

BAB V PEMBAHASAN. hari dengan batas 1 minggu yang dimulai dari tanggal Juli 2014 dan

3. METODE PENELITIAN

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. memberikan kontribusi yang besar dalam penyediaan pangan bagi masyarakat Indonesia.

Stasiun 1 ke stasiun 2 yaitu + 11,8 km. Stasiun '4.03"LU '6.72" BT. Stasiun 2 ke stasiun 3 yaitu + 2 km.

BAB III METODE PENELITIAN

Udayana, Denpasar. Alamat (Diterima Juli 2017 /Disetujui September 2017) ABSTRAK

BAB 2 BAHAN DAN METODA

Lampiran 1. Sketsa lokasi tambak penelitian

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 sampai dengan April 2014.

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif,

ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. Oleh : Indra Ambalika Syari C

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN KRONJO, KABUPATEN TANGERANG BANTEN DEDY FRIYANTO

3. METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisa kesesuaian lahan perairan Abalon ini

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

BAB III METODE PENELITIAN. adalah Indeks Keanekaragaman ( H) dari Shannon-Wiener dan Indeks Nilai Penting

Total rata-rata kemelimpahan plankton pada media air sumur sebesar 3,557 x. tertinggi didapatkan pada media air rendaman kangkung.

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

Spesies yang diperoleh pada saat penelitian

Kelimpahan, Keanekaragaman dan Kemerataan Gastropoda di Ekosistem Mangrove Pulau Dudepo, Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai

PENDAHULUAN. di darat maupun di laut. Kandungan bahan organik di darat mencerminkan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. hubungan bebas dengan laut terbuka dan menerima masukan air tawar dari

KESESUAIAN KUALITAS AIR KERAMBA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) DI DANAU SENTANI DISTRIK SENTANI TIMUR KABUPATEN JAYAPURA PROVINSI PAPUA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi

BAB 2 BAHAN DAN METODA

Kelimpahan Populasi dan Pola Distribusi Remis (Corbicula sp) di Sungai Borang Kabupaten Banyuasin

3. METODE PENELITIAN

PENDAHULUAN. seperti analisis fisika dan kimia air serta biologi. Analisis fisika dan kimia air

Transkripsi:

16 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Kajian populasi Kondisi populasi keong bakau lebih baik di lahan terlantar bekas tambak dibandingkan di daerah bermangrove. Hal ini ditunjukkan oleh nilai kepadatan yang lebih tinggi di lahan bekas tambak dengan nilai kepadatan rata-rata 21 ind/m 2 sedangkan kepadatan di daerah bermangrove 12 ind/m 2. Selain itu ditunjukkan oleh nilai faktor kondisi keong bakau dan indeks berat daging yang memiliki nilai lebih tinggi di lahan terlantar bekas tambak dibandingkan daerah bermangrove. Pola sebaran yang terbentuk di lahan terlantar bekas tambak yaitu acak; sedangkan di daerah bermangrove seragam. Hubungan panjang-bobot keong bakau di kedua stasiun memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif (Tabel 5). Tabel 5. Parameter populasi keong bakau Habitat Kepadatan (ind/m 2 ) Pola Sebaran Lahan bekas tambak 21 Acak Mangrove 12 Seragam Hubungan panjangbobot Allometrik negatif Allometrik negatif Faktor kondisi Indeks berat daging (IBD) 1,0133 23,3965 0,9406 20,1740 Kepadatan Kepadatan keong bakau dinyatakan dalam satuan individu/m 2. Populasi keong bakau di lahan terlantar bekas tambak lebih banyak dibandingkan populasi keong bakau di Mangrove. Rata-rata kepadatan keong bakau di lahan terlantar bekas tambak dari Mei sampai dengan Oktober adalah 13, 11, 23, 32, 31, dan 16 ind/m 2. Rata-rata kepadatan keong bakau di daerah bermangrove dari Mei sampai dengan Oktober adalah 8, 9, 6, 15, 21, dan 8 ind/m 2 (Gambar 6). 16

17 Kepadatan (Ind/m2) 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Lahan bekas tambak Mangrove Mei Juni Juli Agustus September Oktober Bulan Gambar 6. Kepadatan keong bakau (ind/m 2 ) Kepadatan keong bakau paling tinggi di lahan terlantar bekas tambak adalah pada Agustus dengan nilai rata-rata kepadatan populasi 32 ind/m 2. Jumlah keseluruhan keong bakau yang ditemukan paling banyak pada Agustus dengan jumlah sampel 86 individu; sedangkan pada Mangrove, kepadatan keong bakau tertinggi terdapat pada September dengan nilai 21 ind/m 2 serta jumlah sampel terbanyak yang ditemukan pada September yaitu 62 individu. Pola sebaran populasi Pola sebaran populasi keong bakau berdasarkan hasil perhitungan indeks morisita, pola sebarannya adalah seragam, acak, dan mengelompok. Nilai indeks morisita yang didapat dari kedua stasiun didapatkan memiliki pola sebaran seragam, acak, dan mengelompok. Kemudian dilanjutkan dengan perhitungan uji chi-square pada selang kepercayaan 95 % (Tabel 6). Tabel 6. Pola sebaran populasi keong bakau Lahan Bekas Tambak Indeks Bulan morisita Chi-square Pola sebaran (Id) Indeks morisita (Id) Mangrove Chi-square Pola sebaran Mei 0,3050 4,7692 Acak 0,1511 13,0000 Seragam Juni 0,3023 21,3548 Seragam 0,1768 13,2308 Seragam Juli 1,0985 14,8955 Mengelompok 0,0337 0,8235 Acak Agustus 1,9136 5,5106 Acak 0,3684 0,4000 Acak September 1,6802 0,0879 Acak 1,1727 31,0968 Mengelompok Oktober 0,4872 6,1250 Seragam 0,1471 12,2500 Seragam Keterangan: X 2 tabel (α = 0,05) = 5,991 17

18 Setelah dilakukan uji chi-square, di lahan terlantar bekas tambak pola sebaran seragam terjadi saat Juni dan Oktober. Pola sebaran acak terjadi saat Mei, Agustus, dan September. Pola sebaran mengelompok terjadi saat Juli. Di daerah bermangrove, pola sebaran seragam terjadi saat Mei, Juni, dan Oktober. Pola sebaran acak terjadi saat Juli dan Agustus. Pola sebaran mengelompok terjadi saat September. Kelompok umur Pertumbuhan populasi keong bakau dari Mei sampai dengan Oktober menunjukkan kelompok umur sebanyak satu sampai dengan lima kelompok umur setiap bulannya. Di lahan terlantar bekas tambak, pertumbuhan menunjukkan keong bakau memiliki tiga kelompok umur pada Mei, lima kelompok umur pada Juni, dua kelompok umur pada Juli, tiga kelompok umur pada Agustus, satu kelompok umur pada September, dan tiga kelompok umur pada Oktober. Di mangrove, terdapat tiga kelompok umur pada Mei, satu kelompok umur pada Juni, dan tiga kelompok umur pada Juli, Agustus, September, dan Oktober. Di lahan terlantar bekas tambak, terdapat tiga kelompok umur dengan nilai panjang rata-rata 75,18 mm, 83,06 mm, dan 95,30 mm pada Mei. Pada Juni terdapat lima kelompok umur dengan nilai panjang rata-rata 72,86 mm, 77,64 mm, 83,41 mm, 87,41 mm, dan 92,25 mm. Pada Juli terdapat dua kelompok umur dengan nilai panjang rata-rata 79,85 mm dan 87,50 mm. Pada Agustus terdapat tiga kelompok umur dengan panjang rata-rata 71,31 mm, 80,50 mm, dan 87,39 mm. Pada September terdapat satu kelompok umur dengan panjang rata-rata 81,62 mm. Pada Oktober terdapat tiga kelompok umur dengan rata-rata panjang 81,71 mm, 87,81 mm dan 94,25 mm (Gambar 6). 18

19 Lahan bekas tambak Mangrove Gambar 7. Pertumbuhan populasi keong bakau Kemudian pada Mei di mangrove terdapat tiga kelompok umur dengan nilai rata-rata panjang 65,45 mm, 74,53 mm, dan 82,64 mm. Pada Juni terdapat satu kelompok umur dengan nilai rata-rata panjang 72,12 mm. Pada Juli terdapat tiga kelompok umur dengan nilai rata-rata panjang 59,45 mm, 73,70 mm, dan 83,31 mm. Pada Agustus terdapat tiga kelompok umur dengan rata-rata panjang 64,31 mm, 70,39 mm, dan 77,54 mm. Pada September terdapat tiga kelompok umur dengan rata-rata panjang 73,70 mm, 81,04 mm, dan 93,45 mm. Pada Oktober terdapat tiga kelompok umur dengan nilai panjang rata-rata 67,02 mm, 75,19, dan 87,45 mm. Di lahan terlantar bekas tambak, pada Mei terdapat tiga kelompok umur kemudian pada Juni terdapat lima kelompok umur. Hal ini dapat menunjukkan 19

20 adanya pertambahan individu yang baru. Dari Juni ke Juli mengalami penurunan kelompok umur hal ini dapat diakibatkan karena adanya beberapa kelompok umur yang sudah tergantikan oleh individu baru. Dari Juli ke Agustus terdapat tiga kelompok umur baru dan pada September terdapat kelompok umur yang baru. Pada Oktober, terdapat tiga kelompok umur yang menunjukkan petumbuhan dari individu pada September. Adanya individu baru yang muncul menunjukkan bahwa terdapat pertumbuhan dari hasil reproduksi pada bulan sebelumnya. Di mangrove, dari bulan Mei ke Juni terjadi penurunan kelompok umur. Dari Juni ke Juli terdapat tiga kelompok umur yang menunjukkan pertumbuhan individu dari bulan sebelumnya, hal yang sama terjadi pada Agustus dan September. Hubungan panjang-bobot dan faktor kondisi Keong bakau memiliki bentuk tubuh kerucut yang memiliki pola pertumbuhan ke arah apex. Berdasarkan hasil pengamatan panjang-bobot menunjukkan nilai b=1,8798 untuk stasiun lahan terlantar bekas tambak dan b=1,8683 untuk stasiun bermangrove, yang berarti pola pertumbuhannya adalah allometrik negatif. Nilai b menunjukkan nilai kurang dari 3. Jika b lebih besar atau lebih kecil dari 3 dinamakan pertumbuhan allometrik. Apabila harga b kurang dari 3 menunjukkan keadaan kurus yaitu pertambahan panjangnya lebih cepat dari pertambahan bobotnya (Effendi 2005). Nilai koefisien determinasi (R 2 ) tertinggi keong bakau yang hidup di lahan terlantar bekas tambak yaitu 0,6334 pada Juli dan terendah yaitu 0,4077 pada Oktober. Hal ini menunjukkan bahwa panjang keong bakau mempengaruhi bobot total keong bakau sebesar 63,34% pada Juli dan 40,77% pada Oktober; sedangkan nilai koefisien determinasi (R 2 ) tertinggi keong bakau yang hidup di daerah bermangrove yaitu 0,8749 pada Juli dan terendah yaitu 0,3949 pada Oktober. Hal ini menunjukkan bahwa panjang keong bakau mempengaruhi bobot total keong bakau sebesar 87,49% pada Juli dan 39,49% pada Oktober (Gambar 8). 20

21 Gambar 8. Hubungan panjang bobot keong bakau di Pantai Mayangan 21

22 Faktor kondisi menunjukkan keadaan secara fisik untuk bertahan hidup dan bereproduksi. Faktor kondisi juga digunakan untuk mengetahui kemontokan dalam bentuk angka dan faktor kondisi dihitung berdasarkan panjang dan bobot (Gambar 9). Faktor Kondisi 1,3000 1,2000 1,1000 1,0000 0,9000 0,8000 0,7000 0,6000 0,5000 Lahan bekas tambak Mangrove Mei Juni Juli Agustus September Oktober Bulan Gambar 9. Faktor kondisi keong bakau Nilai faktor kondisi rata-rata keong bakau dari Mei sampai dengan Oktober di lahan terlantar bekas tambak yaitu 1,0244; 1,0389; 1,0293; 0,9717; 1,0255; dan 0,9902. Nilai faktor kondisi tertinggi yaitu pada Juni sebesar 1,0389 dan terendah pada Agustus sebesar 0,9717. Nilai faktor kondisi rata-rata keong bakau di daerah bermangrove dari Mei sampai dengan Oktober yaitu 0,9309; 0,8802; 0,9689; 0,9741; 0,9249; dan 0,9647. Nilai faktor kondisi tertinggi yaitu pada Agustus sebesar 0,9741 dan terendah pada Juni sebesar 0,8802. Indeks berat daging (IBD) Berdasarkan hasil perhitungan, nilai indeks berat daging di lahan terlantar bekas tambak dari Mei sampai dengan Oktober yaitu 20,4091; 22,8618; 23,2759; 27,2842; 22,9295; dan 23,6286. Nilai indeks berat daging di daerah bermangrove dari Mei sampai dengan Oktober yaitu 17,9824; 20,5749; 20,7214; 21,6132; 20,6297; dan 19,5227 (Gambar 10). 22

23 30 Indeks Berat Daging (%) 25 20 15 10 5 Lahan Bekas Tambak Mangrove 0 Mei Juni Juli Agustus September Oktober Bulan Gambar 10. Indeks berat daging keong bakau Nilai IBD menunjukkan bahwa pertumbuhan keong bakau mengalami kenaikan dari Mei sampai dengan Agustus dan mulai menurun dari Agustus sampai Oktober. Nilai IBD paling tinggi terjadi saat Agustus. Nilai IBD lahan bekas tambak lebih tinggi dibandingkan IBD daerah bermangrove. 4.1.2 Kondisi lingkungan perairan Kondisi lingkungan perairan di kedua stasiun tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Umumnya konsidi perairan di kedua stasiun mendukung untuk kehidupan keong bakau. Hal ini diperlihatkan oleh beberapa parameter lingkungan perairan yang memiliki kisaran normal. Namun demikian, beberapa parameter perlu dicermati karena berpotensi menjadi faktor pembatas, salah satunya adalah konsentrasi oksigen terlarut yang memiliki nilai di bawah 5 mg/l (Tabel 7). 23

24 Tabel 7. Parameter fisika kimia dan perairan Lahan bekas tambak Mangrove Parameter Rata-rata Simpangan baku Rata-rata Simpangan baku Suhu ( C) 31,67 2,34 31,08 2,11 Salinitas 30,33 3,39 29,00 4,15 Kedalaman (cm) 126,67 42,27 147,50 23,18 TSS (mg/l) 29,20 24,32 26,60 21,14 TDS (mg/l) 24724,00 12562,76 25954,00 13524,63 Tekstur Substrat Liat ph 7,67 0,52 7,33 0,52 DO (mg/l) 2,67 0,41 4,00 1,27 C-Organik (%) 5,50 0,57 5,07 1,07 COD (mg O 2 /l) 735,10 601,94 235,23 276,39 Nilai suhu rata-rata di lahan bekas adalah 31,67 o C dan di Mangrove 31,08 o C, hal ini menunjukkan bahwa suhu di kedua stasiun masih dalam batas normal suhu untuk wilayah mangrove yaitu 28-32 o C (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup 2004). Salinitas di lahan terlantar bekas tambak dan mangrove memiliki nilai rata-rata salinitas 30,33 dan 29. Salinitas tersebut masih sesuai untuk lingkungan mangrove yaitu dengan batas salinitas sampai dengan 34 (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup 2004). TSS di kedua stasiun masih dapat dikatakan normal untuk wilayah mangrove dengan batas nilai TSS 80 mg/l (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup 2004). Nilai TDS di lahan terlantar bekas tambak memiliki nilai rata-rata 24724 mg/l dan 25954 mg/l di daerah bermangrove. Nilai TDS di kedua stasiun termasuk tinggi karena termasuk TDS air laut. TDS air laut yang tinggi dikarenakan banyaknya kandungan senyawa kimia yang juga mengakibatkan tingginya nilai salinitas (Effendi 2007). Nilai ph di lahan terlantar bekas tambak dan mangrove memiliki nilai ph 7-8. Nilai ph tersebut masih dalam batas normal, yaitu dalam kisaran 7-8,5 (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup 2004). Nilai rata-rata oksigen terlarut lahan terlantar bekas tambak adalah 2,67 mg/l dan mangrove 4 mg/l. Nilai tersebut menunjukkan bahwa oksigen terlarut di kedua stasiun tidak dalam batas normal untuk biota laut yaitu harus lebih besar dari 5 mg/l (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup 2004). Nilai C-organik di lahan terlantar bekas tambak memiliki nilai rata-rata 5,50 % dan mangrove memiliki nilai rata-rata 5,07 %. Nilai C-organik tersebut termasuk dalam kategori sedang sampai tinggi, karena berada dalam kisaran nilai 2,31-7,09 % (Kusumahadi 2008). Nilai COD di lahan terlantar 24

25 bekas tambak memiliki nilai rata-rata 735,12 mgo 2 /l dan mangrove memiliki nilai rata-rata 235,23 mgo 2 /l. Tekstur substrat yang ditempati oleh keong bakau di kedua stasiun adalah liat (Gambar 10). 160 12 25000 120 80 40 8 4 20000 15000 10000 5000 Lahan bekas tambak Mangrove 0 Suhu ( C) Salinitas ( ) Kedalaman (cm) Kecerahan (cm) TSS (mg/l) 0 ph DO (mg/l) C-Organik (%) 0 TDS (mg/l) COD (mg O2/l) Gambar 11. Kondisi lingkungan perairan keong bakau 4.2 Pembahasan Hasil akhir menunjukkan populasi keong bakau lebih baik kondisinya di lahan terlantar bekas tambak daripada daerah bermangrove. Hal ini terutama ditunjukkan oleh parameter kepadatan, faktor kondisi, indeks berat daging (IBD), dan kondisi lingkungan perairan terutama COD dan C-organik. Kepadatan populasi keong bakau di lahan terlantar bekas tambak yang tinggi dapat disebabkan oleh beberapa faktor utama yang mempengaruhi keanekaragaman dan distribusi moluska yaitu pasir, lumpur dan tanah liat, organik, oksigen terlarut, ph, salinitas dan sulfida (Yap dan Noorhaidah 2011). Selain itu, kondisi lahan terlantar bekas tambak sesuai untuk keong bakau dengan ketersediaan makanan lebih banyak dibandingkan di mangrove. Keberadaan suatu individu dalam suatu wilayah juga sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi yaitu keberadaan COD dan C-Organik. Keterkaitan jumlah karbon, dalam hal ini COD dan C-Organik dalam mempengaruhi kepadatan keong bakau terkait dengan aktivitas pertumbuhan keong bakau. Berdasarkan analisis didapatkan nilai COD dan C-organik substrat di lahan terlantar bekas tambak lebih tinggi dibandingkan dengan di mangrove. Nilai COD di lahan terlantar bekas tambak memiliki nilai rata-rata 735,12 mgo 2 /l dan mangrove memiliki nilai rata-rata 235,23 mgo 2 /l serta. Suasana tambak yang baik untuk pertumbuhan pakan memperbesar keberhasilan aktivitas reproduksi dan rendahnya musuh alami atau penyakit, sehingga dapat meninggikan populasi keong bakau. 25

26 Selain itu, keong bakau menyukai tempat lahan terbuka dan banyak sinar matahari (Budiman 1991). Kondisi lingkungan perairan seperti ph yang sesuai untuk gastropoda. Moss in Suwondo et al. (2006) menyatakan bahwa gastropoda umumnya banyak dijumpai pada daerah yang phnya lebih besar dari 7 dan menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (2004) nilai ph untuk biota laut di daerah mangrove adalah 7-8,5. Hasil pengukuran sesuai dengan kondisi lingkungan perairan yang disukai oleh keong bakau, sehingga keong bakau dapat hidup dan berkembang di lahan bekas tambak dibandingkan pada mangrove yang hasil pengukuran derajat keasamannya jauh dibawah batas yang disukai oleh keong bakau. Pengukuran kepadatan keong bakau dapat menjadi awalan untuk penentuan pola sebaran dari keong bakau. Pada dasarnya, pola sebaran keong bakau terbagi atas tiga jenis yaitu pola sebaran acak, seragam, dan mengelompok. Masing-masing pola sebaran memiliki karakteristik yang berbeda. Hasil analisis terdapat tiga jenis pola sebaran keong bakau pada lokasi penelitian yaitu pola sebaran seragam, acak, dan mengelompok. Hal ini berbeda dengan pernyataan Houbrick (1991) yang menyatakan bahwa individu keong bakau sering berkelompok. Pola sebaran pada tingkat jenis maupun marga moluska di hutan bakau tidak punya pola tetap. Pola persebaran akan bertambah dengan adanya kebiasaan migrasi dalam pola hidup (Budiman 1991). Kemungkinan pasang surut dan suhu juga dapat mempengaruhi penyebaran keong bakau. Sebagian besar gastropoda ketika air surut akan turun ke bawah batang pohon dan terkadang merayap di dasar perairan; sedangkan saat pasang naik gastropoda merayap ke atas sampai ketinggian sedikit di atas air pasang, bahkan dapat mencapai 200 cm dari tempat semula (Tee 1982 in Maulana 2004). Suhu merupakan salah satu faktor penting dalam mengatur proses kehidupan dan juga pola penyebaran organisme (Nybakken 1988). Hasil analisis pola sebaran pada penelitian ini lebih diakibatkan oleh adanya hal teknis yang mempengaruhi pengambilan keong bakau menggunakan transek, yaitu jarak antar transek yang hanya berjarak 1 m. Jarak antar transek yang berdekatan dapat menunjukkan hasil yang tidak akurat dikarenakan saat keong yang diambil dalam transek kemungkinan masih dalam satu kumpulan individu yang membentuk pola sebaran tertentu. 26

27 Perbedaan distribusi kelompok umur disebabkan karena adanya kemampuan daya tahan hidup dan keseimbangan antara laju kelahiran dan kematian. Distribusi umur dalam populasi menggambarkan kemampuan daya tahan, potensi reproduksi populasi, dan potensi pertumbuhan populasi (Krebs 1994 in Leimena et al. 2006). Selama enam bulan, keong bakau mengalami pertumbuhan populasi serta melakukan reproduksi. Hal ini digambarkan oleh distribusi umur keong bakau dalam populasi yang menunjukkan adanya individu baru dan pertumbuhan keong bakau dari individu sebelumnya dengan munculnya panjang rata-rata keong bakau yang baru serta adanya panjang tubuh keong bakau yang mengalami peningkatan dari bulan sebelumnya. Kelompok umur berkaitan dengan pertumbuhan dari keong bakau. Banyaknya kelompok umur digambarkan dengan titik-titik yang membentuk garis pertumbuhan keong bakau. Apabila titik menyebar maka terdapat kelompok umur lebih dari satu sedangkan jika titik tersebut mengumpul menjadi satu kumpulan titik maka hanya ada satu kelompok umur. Terdapat satu kelompok umur saat Juni dan terlihat dari titik hasil regresi panjang bobot yang mengumpul menunjukkan bahwa hanya ada satu kelompok umur saat itu; sedangkan selain bulan Juni, terdapat lebih dari satu kelompok umur, terlihat dari titik hasil regresi yang menyebar. Berdasarkan nilai b tiap bulan, keong bakau mengalami pertumbuhan yang berfluktuasi. Di lahan terlantar bekas tambak, pertumbuhan keong bakau mengalami kenaikan dari Mei sampai dengan bulan Juli. Kemudian pertumbuhan mengalami penurunan pada Agustus, naik kembali pada September, dan turun pada Oktober. Di mangrove, pertumbuhan keong bakau naik dari Mei sampai dengan Juli, dan mengalami penurunan dari Agustus sampai dengan Oktober. Pertumbuhan dapat mengalami penurunan hal ini dapat diakibatkan oleh aktivitas keong bakau yang bereproduksi, menurut Wahono (1991) keong bakau lebih banyak menghabiskan energi dari makanan untuk bereproduksi dibandingkan untuk tumbuh. Hal ini dapat terlihat pula dari faktor kondisi. Perbedaan faktor kondisi setiap bulannya dapat disebabkan oleh umur dan strategi reproduksi setiap individu, apakah suatu individu mengumpulkan energi untuk pertumbuhan atau untuk persiapan reproduksi (Beesley 1988 in Komala et al. 2011). Nilai faktor kondisi 27

28 yang menurun dapat diakibatkan adanya kegiatan bereproduksi; sedangkan faktor kondisi yang meningkat akibat adanya pertumbuhan dari keong bakau. Faktor kondisi berkaitan dengan indeks berat daging (IBD). IBD saat Agustus merupakan nilai tertinggi IBD di kedua stasiun. Faktor kondisi dan IBD di daerah bermangrove menunjukkan nilai tertinggi saat Agustus. Hal ini berarti pertumbuhan keong bakau mencapai puncak saat bulan Agustus di daerah bermangrove. Kondisi keong bakau yang kurus dapat diakibatkan karena lingkungan yang sudah terganggu. Faktor lingkungan yang terganggu dapat mengakibatkan keong bakau stress dan salah satu faktor lingkungan yang dapat menyebabkan hal tersebut adalah kelarutan oksigen yang rendah. Kelarutan oksigen yang rendah dapat diakibatkan oleh bahan organik tinggi yang berasal dari buangan aktivitas tambak atau serasah mangrove (Purnamaningtyas dan Syam 2010). Bahan organik yang dihasilkan dapat dikurangi dengan mengurangi jumlah air tambak yang dibuang, sistem resirkulasi, penggunaan tambak/kanal pengendapan, dan penanaman mangrove. Selain itu, keong bakau yang kurus diakibatkan oleh energi yang digunakan keong bakau lebih banyak untuk bereproduksi dibandingkan untuk tumbuh. Populasi keong bakau di mangrove rendah, sedangkan di lahan tambak tinggi. Hal ini diakibatkan oleh berkurangnya luasan mangrove, karena mangrove adalah habitat asli keong bakau dan adanya predator alami keong bakau yaitu kepiting bakau. Pengelolaan untuk keong bakau dapat dilakukan dengan melakukan penanaman mangrove dan apabila melakukan penangkapan keong bakau, dapat dilakukan di lahan bekas tambak yang memiliki populasi keong bakau lebih tinggi (Tabel 8). 28

29 Tabel 8. Matriks pengelolaan keong bakau di Pantai Mayangan No. Masalah Faktor Penyebab Strategi Pengelolaan 1. Keong bakau kurus -Kondisi keong yang stress dapat diakibatkan oleh lingkungan yang terganggu, salah satunya adalah nilai oksigen terlarut yang rendah -Kekurangan makanan -Energi lebih banyak digunakan untuk reproduksi daripada untuk pertumbuhan -Mengurangi jumlah air tambak yang dibuang -Sistem resirkulasi -Penggunaan tambak/ kanal pengendapan 2. Populasi keong bakau di mangrove rendah -Luasan hutan mangrove berkurang menyebabkan keong bakau kekurangan makanan dan berpindah tempat ke lahan bekas tambak -Pemangsaan oleh kepiting bakau -Penanaman mangrove -Penangkapan keong bakau dilakukan di lahan bekas tambak 29