BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Polusi yang disebabkan karena minyak merupakan salah satu isu pencemaran lingkungan yang cukup serius selama 30 tahun terakhir ini. Pencemaran oleh minyak terjadi dalam bentuk yang berbeda-beda dan dihasilkan dari berbagai sumber. Penyebab terjadinya polusi minyak mentah baik yang terjadi di laut maupun di aliran air lainnya disebabkan oleh beberapa hal antara lain, kecelakaan dan operasi kapal tanker, kebocoran pipa saluran minyak mentah, meledaknya anjungan minyak lepas pantai, dan kecelakaan pada proses pengeboran minyak baik offshore maupun onshore (Wang, et al, 2012). Dengan semakin meningkatnya konsumsi dan distribusi minyak mentah dan produk turunannya di dunia menimbulkan potensi ancaman pencemaran lingkungan laut (Prendergast, et al, 2014). Masuknya sejumlah minyak mentah ke dalam ekosistem perairan dapat menyebabkan masalah yang serius seperti dapat memberikan efek buruk pada biota laut dan dapat meningkatkan biochemical oxygen demand karena besarnya jumlah bakteri yang dibutuhkan untuk menguraikan minyak (Wang, et al, 2012). Senyawa hidrokarbon yang terkandung dalam minyak berupa benzene, toluen, etil benzen, dan isomer xylena, dikenal sebagai BTEX, merupakan komponen utama dalam minyak mentah yang bersifat mutagenik dan karsinogenik (Fakhruddin, 2004). Ikan yang tercemar oleh senyawa tersebut jika dikonsumsi manusia akan berdampak buruk bagi kesehatan. 1
Penurunan kualitas sumber daya alam hayati di laut yang disebabkan karena tumpahan minyak juga akan mengganggu aktivitas nelayan sehingga mempengaruhi kesejahteraan nelayan. Penanganan masalah tumpahan minyak di laut membutuhkan waktu yang lama dan memakan biaya yang besar mengingat jumlah tumpahan minyak terjadi dalam skala besar dan area yang tercemar sangat luas. Pemilihan metode penanganan yang tepat tergantung pada sejumlah faktor termasuk jenis minyak, lokasi terjadinya tumpahan, jumlah tumpahan, cuaca dan peraturan standar daerah terjadinya tumpahan (Prendergast, et al, 2014). Beberapa metode penanganan pencemaran air laut oleh tumpahan minyak yang saat ini dipakai masih memiliki berbagai kekurangan. Misalnya metode in situ burning atau pembakaran tumpahan minyak pada permukaan air. Cara ini membutuhkan booms yang tahan api untuk membatasi penyebaran minyak. Kendala dari metode ini adalah sulitnya mengumpulkan minyak yang menyebar dan mempertahankan ketebalan minyak yang cukup untuk dibakar serta penguapan komponen minyak yang mudah terbakar. Selain itu, residu pembakaran yang tenggelam di dasar laut akan memberikan efek buruk bagi ekosistem bawah laut serta kemungkinan penyebaran api yang tidak dapat dikendalikan (Riki, 2013). Metode lain yaitu dengan penyisihan minyak secara mekanis. Metode ini dilakukan melalui dua tahap yaitu melokalisir tumpahan dengan menggunakan booms dan melakukan pemindahan minyak ke dalam wadah dengan menggunakan peralatan mekanis yang disebut skimmer. Metode ini cukup mahal dan sulit karena terkendala oleh adanya perubahan angin, arus air laut dan gelombang laut. Metode selanjutnya adalah 2
bioremediasi, yaitu mempercepat proses yang terjadi secara alami, dapat dilakukan dengan menambahkan nutrient sehingga terjadi konversi sejumlah komponen menjadi produk yang tidak berbahaya seperti air, CO2 dan biomassa. Meskipun metode ini memiliki dampak lingkungan yang kecil dan dapat mengurangi tumpahan minyak secara signifikan, namun metode ini tidak dapat diterapkan pada semua jenis pantai dan tidak efektif untuk diterapkan di lautan (Prendergast, et al, 2014). Karena itu, alternatif solusi mengenai permasalahan ini menjadi sangat diperlukan. Salah satu metode yang dapat diterapkan untuk memisahkan minyak dari air adalah dengan menggunakan adsorben melalui proses adsorpsi. Adsorben berfungsi untuk menjerap minyak agar terpisah dari campuran air sehingga mudah dikumpulkan. Proses adsorpsi dirasa paling efisien dibanding metode lain karena dapat membersihkan minyak dari air secara tuntas. Selain itu, adsorben yang telah menjerap minyak mudah untuk diregenerasi (Jintao et al, 2013). Salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai adsorben dalam pemisahan minyak dari air adalah buffing dust atau limbah padat industri penyamakan kulit. Industri kulit menghasilkan sekitar 2-6 kg buffing dust untuk setiap ton berat kulit mentah yang diolah (Sekaran, 1998). Buffing dust merupakan masalah tersendiri yang dihadapi oleh setiap industri kulit. Oleh karena itu diperlukan usaha untuk menangani polusi limbah padat tersebut. Buffing dust yang dihasilkan dari industri penyamakan kulit memiliki permukaan yang sangat berpori dan merupakan kandidat yang baik untuk digunakan sebagai adsorben (Gammoun et al, 2007). 3
Selain dapat menangani masalah pencemaran laut karena tumpahan minyak, proses adsorpsi crude oil menggunakan buffing dust diharapkan juga dapat digunakan pada proses pemisahan minyak dari emulsi air hasil dari proses EOR (Enhanced Oil Recovery). Dalam upaya untuk meningkatkan produksi minyak bumi pada suatu sumur, saat ini banyak dilakukan eksplorasi dengan menggunakan metode EOR (Enhanced Oil Recovery). Metode EOR diterapkan pada tahap tersier eksplorasi minyak bumi yang bertujuan untuk membebaskan minyak yang masih terperangkap di dalam reservoir. Salah satu metode EOR yang saat ini banyak dikembangkan adalah surfactant flooding, yaitu bahan kimia berupa surfaktan diinjeksikan ke dalam reservoir untuk melepaskan minyak yang menempel pada batuan reservoir (Park, et al, 2015). Pada metode ini, surfaktan digunakan untuk menurunkan tegangan permukaan antara minyak dan air di dalam reservoir. Dengan menurunnya tegangan permukaan, maka akan menurunkan tekanan kapiler yang berpengaruh terhadap peningkatan wettability batuan, sehingga akan meningkatkan efisiensi pendesakan minyak lepas dari batuan. Metode injeksi surfaktan akan menghasilkan emulsi antara air, minyak dan surfaktan. Minyak yang terkandung di dalam emulsi harus dipisahkan sebelum dikirim ke proses pengolahan minyak selanjutnya. Beberapa metode pemisahan emulsi yang saat ini digunakan masih memiliki beberapa kekurangan, misalnya settling velocity atau pemisahan yang didasarkan atas perbedaan massa jenis. Penggunaan settling velocity dirasa kurang efektif karena membutuhkan tangki pemisahan dengan ukuran besar dan tidak cocok diterapkan pada sumur minyak lepas pantai, metode demulsifikasi menggunakan bahan kimia yang dapat memberikan dampak 4
negatif pada lingkungan serta membutuhkan biaya yang besar, serta penggunaan electrostatic coalescer yang memiliki kekurangan hanya dapat digunakan untuk konsentrasi air yang rendah (Binner et al, 2014). Pemanfaatan limbah padat industri penyamakan kulit sekaligus digunakan untuk menangani masalah pencemaran laut dan pemisahan emulsi pada proses EOR merupakan topik yang menarik untuk di teliti. Penggunaan buffing dust sebagai adsorben merupakan solusi yang relatif murah sebab adsorben yang dipakai merupakan limbah yang sudah tidak terpakai dan dapat didapatkan dengan harga rendah atau bahkan gratis, serta prosesnya sederhana. 1.2. Keaslian Penelitian Pada penelitian ini akan dilakukan proses adsorpsi crude oil oleh buffing dust dalam air dengan penambahan surfaktan (fase emulsi) maupun tanpa penambahan surfaktan (fase non-emulsi). Proses adsorpsi dilakukan dengan variasi massa buffing dust terhadap waktu untuk mengetahui kapasitas adsorpsi buffing dust serta variasi konsentrasi surfaktan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi surfaktan terhadap proses adsorpsi crude oil. Penelitian penggunaan buffing dust sebagai adsorben pernah dilakukan oleh Sekaran et al, (1998) untuk menjerap pewarna acid brown dye. Pada penelitian tersebut proses adsorpsi mencapai kesetimbangan pada waktu 25 menit dan jumlah pewarna yang mampu dijerap mencapai 6,13 mg pewarna /g buffing dust. Selain itu Sekaran juga meneliti pengaruh dari suhu dan ph pada proses adsorpsi tersebut, 5
dimana setiap peningkatan suhu 10 o C maka kapasitas adsorpsi buffing dust akan turun 0,0003 mg/g, serta jika ph nya naik maka kapasitas adsorpsinya akan turun. Gammoun et al (2007) meneliti kapasitas adsorpsi buffing dust terhadap minyak sebesar 12,8-14,5 g minyak /g buffing dust. Pada penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa minyak hanya terjerap pada daerah yang dekat dengan adsorbent, maka proses adsorpsi dengan buffing dust adalah fungsi dari permukaan yang terekspos minyak. Selain itu, Gammoun juga menjelaskan bahwa adsorpsinya terjadi secara spontan serta release Chromium ke air sangat rendah yaitu 0,06 mg/l. Penelitian tentang adsorpsi minyak dalam emulsi pernah dilakukan oleh Wang et al (2012), penelitian tersebut dilakukan untuk memperoleh kapasitas adsorpsi dan data kinetika pada proses adsorpsi minyak mentah dalam fase emulsi maupun fase minyak tidak terdispersi dalam air menggunakan adsorben hydrophobic silica aerogel. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dengan adanya penambahan surfaktan, kapasitas adsorpsi menurun yang disebabkan karena campuran air dan minyak menjadi stabil. 1.3. Manfaat Penelitian 1. Bagi ilmu pengetahuan diharapkan dapat memberikan kontribusi informasi tentang kondisi optimum yang dapat dipakai dalam metode pemisahan minyak mentah dari emulsi air dan surfaktan dengan menggunakan buffing dust. 2. Bagi bangsa dan negara dapat memberikan metode alternatif untuk menangani masalah limbah padat industri penyamakan kulit yaitu buffing 6
dust dengan memanfaatkannya sebagai adsorben untuk pemisahan emulsi dalam proses EOR dan mengatasi masalah pencemaran air laut yang disebabkan karena adanya tumpahan minyak di lingkungan laut 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini antara lain: 1. Mengetahui pengaruh peningkatan massa adsorben, konsentrasi surfaktan dan suhu pada adsorpsi crude oil oleh buffing dust pada fase emulsi dan fase nonemulsi 2. Mendapatkan model kesetimbangan isotherm adsorpsi yang sesuai pada proses penurunan konsentrasi minyak dalam emulsi air dan surfaktan dengan bahan penjerap buffing dust. 3. Mengetahui mekanisme adsorpsi dan mengembangkan model kinetika adsorpsi minyak dalam emulsi air dan surfaktan dengan menggunakan bahan penjerap buffing dust. 7
8