BAB V KESIMPULA DA SARA

dokumen-dokumen yang mirip
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 130/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Tata cara penetapan kursi DPRD Provinsi

I. PARA PEMOHON Deden Rukman Rumaji; Eni Rif ati; Iyong Yatlan Hidayat untuk selanjutnya secara bersama-sama disebut Para Pemohon.

I. PARA PEMOHON 1. Dr. Andreas Hugo Pareira; 2. H.R. Sunaryo, S.H; 3. Dr. H. Hakim Sorimuda Pohan, selanjutnya disebut Para Pemohon.

Ringkasan Putusan.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 70/PUU-XV/2017

BAB IV KEADILA SUBSTA TIF PUTUSA MAHKMAH KO STITUSI

Kuasa Hukum Badrul Munir, S.Sg., SH., CL.A, dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 2 April 2015.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XV/2017. I. PEMOHON 1. Hadar Nafis Gumay (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I);

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 72/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIV/2016 Penambahan Kewenangan Mahkamah Kontitusi untuk Mengadili Perkara Constitutional Complaint

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 62/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 44/PUU-XV/2017

BAB I PENDAHULUAN. mengawal dan menjaga agar konstitusi sebagai hukum tertinggi (the supreme

BEBERAPA MASALAH DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM 1

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PUTUSAN. Perkara Nomor 17/PUU-V/2007 : Henry Yosodiningrat, SH, dkk

URGENSI MENYEGERAKAN PEMBAHASAN RUU KITAB HUKUM PEMILU Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 17 Juli 2016; disetujui: 15 September 2016

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 121/PUU-XII/2014 Pengisian Anggota DPRP

Muchamad Ali Safa at

Kuasa Hukum Dwi Istiawan, S.H., dan Muhammad Umar, S.H., berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 29 Juli 2015

Kuasa Hukum Dwi Istiawan, S.H., dan Muhammad Umar, S.H., berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 29 Juli 2015

BAB III KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SENGKETA PEMILIHAN KEPALA DAERAH. A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Sengketa Pilkada

RINGKASAN PUTUSAN. 2. Materi pasal yang diuji: a. Nomor 51/PUU-VI/2008: Pasal 9

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

I. PARA PEMOHON 1. Dr. Andreas Hugo Pareira; 2. H.R. Sunaryo, S.H; 3. Dr. H. Hakim Sorimuda Pohan, selanjutnya disebut Para Pemohon.

Kuasa Hukum Badrul Munir, S.Sg., SH., CL.A, dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 2 April 2015.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 142/PUU-VII/2009 Tentang UU MPR, DPR, DPD & DPRD Syarat menjadi Pimpinan DPRD

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi No. 3/SKLN-X/2012 Tentang Sengketa Kewenangan Penyelenggaraan Pemilu Antara KPU dengan DPRP

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 18/PUU-IX/2011 Tentang Verifikasi Partai

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RechtsVinding Online

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 32/PUU-XIV/2016 Pengajuan Grasi Lebih Dari Satu Kali

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

DAFTAR PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PENGUJIAN UU PEMILU DAN PILKADA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 103/PUU-XIII/2015 Penolakan Pendaftaran Calon Peserta Pemilukada

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 69/PUU-XV/2017

PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 75/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 4/PUU-XV/2017 Pemilihan Pimpinan DPR oleh Anggota DPR Dalam Satu Paket Bersifat Tetap

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 21/PUU-XIV/2016 Frasa Pemufakatan Jahat dalam Tindak Pidana Korupsi

I. PEMOHON Indonesian Human Rights Comitee for Social Justice (IHCS) yang diwakilkan oleh Gunawan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu

BAB V PENUTUP. penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XIII/2015 Penyalahgunaan Wewenang oleh Pejabat

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Pointers Hakim Konstitusi Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H.,M.S. Dalam Acara

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 53/PUU-XV/2017 Verifikasi Partai Peserta Pemilu serta Syarat Pengusulan Presiden dan Wakil Presiden

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 9/PUU-XIV/2016 Upaya Hukum Kasasi dalam Perkara Tindak Pidana Pemilu

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 67/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 86/PUU-XIV/2016 Pemidanaan Bagi Penyedia Jasa Konstruksi Jika Pekerjaan Konstruksinya Mengalami Kegagalan Bangunan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 89/PUU-XIV/2016 Bilangan Pembagi Pemilihan

I. PEMOHON 1. Perhimpunan Magister Hukum Indonesia (PMHI), diwakili oleh Fadli Nasution, S.H., M.H. 2. Irfan Soekoenay, S.H., M.H

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 47/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 96/PUU-XIII/2015 Penundaan Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Calon Tunggal)

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 69/PUU-XII/2014 Sistem Rekapitulasi Berjenjang

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 55/PUU-X/2012 Tentang Persyaratan Partai Politik Peserta Pemilu

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 28/PUU-XIV/2016 Dualisme Penentuan Unsur Pimpinan DPR Provinsi Papua dan Papua Barat

TINDAK LANJUT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG VERIFIKASI PARTAI POLITIK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 45/PUU-XI/2013 Tentang Persyaratan Pemberhentian Anggota Partai Politik

BAB I PENDAHULUAN. Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 104/PUU-XIV/2016 Keterwakilan Anggota DPD Pada Provinsi Baru Yang Dibentuk Setelah Pemilu 2014


I. PENDAHULUAN. Kedaulatan rakyat menjadi landasan berkembangnya demokrasi dan negara republik.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XVI/2018 Dua Kali Masa Jabatan Bagi Presiden atau Wakil Presiden

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 123/PUU-XII/2014 Pengisian Pimpinan DPRD

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 90/PUU-XV/2017 Larangan Bagi Mantan Terpidana Untuk Mencalonkan Diri Dalam Pilkada

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 38/PUU-VIII/2010 Tentang Pengujian UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD Hak Recall

Ringkasan Putusan.

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

SILABUS PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PENINGKATAN PEMAHAMAN HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA PUSAT PENDIDIKAN PANCASILA DAN KONSTITUSI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 140/PUU-XIII/2015 Hak Konstitusional Untuk Dipilih Dalam Hal Pasangan Calon Berhalangan Tetap

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU 30/2014).

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 51/PUU-VIII/2010 Tentang Pengujian UU No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji

I. PEMOHON 1. Perhimpunan Magister Hukum Indonesia (PMHI), diwakili oleh Fadli Nasution, S.H., M.H. 2. Irfan Soekoenay, S.H., M.H

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XIV/2016 Hak Konstitusional untuk Dipilih Menjadi Kepala Daerah di Provinsi Aceh

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 68/PUU-XII/2014 Syarat Sahnya Perkawinan (Agama)

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang

PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

PUTUSAN. Nomor 024/PUU-IV/2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

I. UMUM

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 111 /PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Pembagian kursi tahap kedua

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

Transkripsi:

152 BAB V KESIMPULA DA SARA 5.1 Kesimpulan Bertitik tolak dari uraian dalam bab III dan IV yang merupakan analisa terhadap beberapa putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian UU No. 10 tahun 2008 dan Perselisihan hasil pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD tahun 2009, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut; 1. Bahwa Mahkamah Konstitusi dengan kewenangan yang dimilikinya terutama kewenangan melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar dan memutus perselisihan hasil pemilu sesuai dengan pasal 24C UUD NRI Tahun 1945 memiliki keterkaitan dengan pelaksanaan Pemilu tahun 2009 sebagai mekanisme demokrasi untuk menjamin terpenuhi hak-hak politik warga Negara untuk memilih wakil-wakilnya. Keterkaitan tersebut ditunjukkan oleh Mahkamah Konstitusi dengan memeriksa dan memutus perkara pengujian UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD dan DPRD yang menjadi dasar pelaksanaan Pemilu 2009. Bahkan dengan dilakukannya pemeriksaan pengujian undang-undang tersebut, menunjukkan peran Mahkamah Konstitusi sangat signifikan dalam turut serta menentukan system pemilu berikut mekanismenya. Hal ini dibuktikan dengan putusan atas pengujian pasal 214 tentang tatacara penetapan calon terpilih yang merupakan inti dari system pemilu sehingga terjadi perubahan yang sangat besar dari proporsional dengan daftar calon terbuka tetapi berdasarkan nomor urut menjadi proporsional terbuka dengan suara terbanyak. Perubahan system tersebut secara praktik sangat mempengaruhi strategi partai politik dan calon legislative dalam memperoleh dukungan serta memperluas kesempatan kepada pemilih untuk menentukan siapa yang tepat untuk dipilih menjadi wakil rakyat di DPR, DPD dan DPRD. Dengan putusan tersebut, maka system suara terbanyak menjadi system yang dapat dilaksanakan di pemilu berikutnya tentunya dengan perbaikanperbaikan yang tidak merubah prinsip. Peran Mahkamah Konstitusi lainnya juga ditunjukkan dalam memutus perselisihan hasil pemilu yang akibat putusannya merubah keputusan KPU tentang tatacara

153 penetapan perolehan kursi tahap ketiga sehingga merubah nama-nama calon yang terpilih yang sebelumnya telah ditetapkan oleh KPU. Perubahan nama-nama calon terpilih juga terjadi akibat putusan-putusan mahakamah konstitusi lainnya yang menyangkut perselisihan hasil pemilu secara damai. Bahkan Mahkamah Konstitusi menetapkan untuk mengakomodir tatacara pelaksanaan pemilu sesuai dengan adat istiadat setempat sebagaimana putusan terhadap perselisihan hasil pemilu di Kabupaten Yahukimo, Papua. Dalam putusan perselisihan hasil pemilu, Mahkamah Konstitusi merasa ikut bertanggungjawab terhadap pelaksanaan pemilu yang demokratis dan jauh dari pelanggaran atau penyimpangan sehingga asas pemilu yang langsung, umum, rahasia, jujur dan adil dapat terpenuhi. Atas dasar tersebut, Mahkamah Konstitusi tidak mau terjebak dalam putusan yang bersifat kuantitatif namun juga melihat aspek-aspek kualitatif terhadap jalannya proses pemilu. 2. Bahwa Mahkamah Konstitusi telah membuat putusan-putusan yang strategis dalam pelaksanaan pemilu tahun 2009 sebagaimana diuraikan dalam Bab IV. Putusanputusan strategis tersebut mendapatkan perhatian masyarakat termasuk penulis karena terdapat beberapa ketentuan peraturan-perundang-undangan yang tidak dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Konstitusi membuat putusan yang setidaknya tidak diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan. a. Dalam perkara pengujian Pasal 214 huruf a,b,c,d dan e UU No. 10 Tahun 2008, selain membatalkan pasal tersebut, Mahkamah Konstitusi justru tidak memerintahkan legislative untuk merevisi ketentuan yang dibatalkan atau setidaknya memerintahkan pembentukan payung hukum sejajar dengan undangundang namun justru berpendapat bahwa putusan Mahkamah Konstitusi dapat segera dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi dengan pertimbangan hukum putusan sebagai norma yang dijadikan dasar peraturan KPU dalam menindaklanjutinya. Hal ini terkesan melampaui peran Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator dan justru mengambil kewenangan DPR dalam membentuk norma hukum sebagaimana yang diatur dalam pasal 20 UUD NRI Tahun 1945.Dalam Putusan No. 110-111-112-113 PUU-VII/2009 Mahkamah

154 Konstitusi menyatakan pasal 205 ayat (4) adalah konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) yaitu Konstitusional sepanjang diterapkan sesuai tafsir dari Mahkamah Konstitusi. Konstitusional bersarat (conditionally constitutional) tidak dikenal dalam UU No. 24 tahun 2003. Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan para pemohon dalam pengertian UU No. 24 tahun 2003 pasal 56 ayat 3 Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sedangkan pasal 57 ayat (1) menyatakan bahwa ketentuan yang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa putusan Konstitusional bersyarat (conditionally constitusional) telah melampaui kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang walaupun Mahkamah Konstitusi mendasarkan pada ketentuan pasal 45 ayat (1) yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim. Pasal 45 ayat (1) tersebut adalah pengaturan yang bersifat umum sedangkan yang bersifat khusus pengujian undang-undang telah diatur pada pasal 56 dan pasal 57. b. Dalam perkara perselisihan hasil pemilu khususnya yang termuat Putusan Nomor 74 80 94 59 67/PHPU.C-VII/2009 Mahkamah Konstitusi melakukan penggabungan perkara dan mengambil kesimpulan bahwa perkara perselisihan hasil pemilu yang dimohonkan pada pokoknya akibat terjadinya multitafsif antara Pemohon dengan KPU terhadap tatacara penetapan perolehan kursi tahap ketiga Pemilu Anggota DPR tahun 2009. Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya tidak mendasarkan pada pasal 77 ayat (3) yang berbunyi Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar. Mahkamah Konstitusi justru memberikan tafsiran tentang penerapan

155 tatacara penghitungan kursi tahap ketiga untuk DPR RI sebagaiamana perkara pengujian undang-undang. c. Dalam Putusan No. 28-65-70-82-84-89/PHPU.C-VII/2009 tentang putusan sela untuk perintah pemungutan suara ulang di Kabupaten Nias Selatan Mahkamah Konstitusi hanya mendasarkan pada UU No. 10 tahun 2008 pasal 219 ayat (2) huruf a saja dan tidak menerapkan secara utuh pasal 219 dan pasal 220. Dalam konteks putusan sela, Mahkamah Konstitusi mendasarkan pada pasal 9 Peraturan MK No. 16/PMK/2009 yang tidak secara tegas mengatur tentang materi putusan sela yaitu pemungutan suara ulang. d. Sedangkan untuk Putusan No. 47-81/PHPU.A-VII/2009 tentang Pemungutan suara ulang di 37 distrik di Yahukimo sesuai dengan budaya untuk memilih anggota DPD dan penghitungan suara ulang di 14 distrik Mahkamah Konstitusi secara tegas mengakui bahwa tidak dapat menerapkan UU No. 10 tahun 2008 khususnya pasal 176 ayat (2) huruf b tentang suara sah apabila pemberian tanda satu kali pada foto salah satu calon anggota DPD dan Peraturan KPU No. 35 tahun 2008 Pasal 26 ayat (3) huruf g, pasal 29 ayat (2) dan Pasal 40 ayat (1) Joncto Peraturan KPU No. 03 tahun 2009 pasal 29 ayat (2) dan Pasal 40 ayat (1)tentang tatacara pemberian suara. Pengabaian ketentuan Undang-undang dan peraturan KPU tersebut dimaksudkan untuk mengakomodasi adat istiadat masyarakat setempat. 3. Bahwa putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabaikan ketentuan hukum positif secara tekstual tersebut didasari oleh pertimbangan hukum yang bersifat substansial berupa penerapan prinsip-prinsip bernegara seperti misal Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Kepastian hukum yang adil. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan dasar hukum misalnya Pasal 1 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 28E ayat (3). Sebagai lembaga pengawal konstitusi, maka Mahkamah Kosntitusi memiliki tanggungjawab untuk menegakkan nilai-nilai demokrasi, menjamin hak konstitusional warga negara. Dalam menjalankan tugasnya tersebut terutama kewenangan pengujian undang-undang dan mengadili perselisihan hasil

156 Pemilu, Mahkamah Konstitusi menegaskan diri tidak hanya bersandarkan legalitas formal undang-undang dalam mengadili, akan tetapi juga memiliki tanggung jawab mewujudkan tujuan norma hukum itu sendiri, yakni keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Keadilan yang ingin dicapai oleh Mahkamah Konstitusi tidak sematamata sebuah keadilan prosedural, yakni keadilan sebagaimana sesuai rumusan bunyi Undang-undang, namun di sisi lain mengabaikan keadilan dan kepastian hukum. Prinsip penegakan keadilan dalam proses peradilan itulah yang saat ini digali sedalam-dalamnya untuk merasakan keadilan substantif (substantive justice) di masyarakat dan tidak terbelenggu dengan apa yang ditetapkan undang-undang (procedural justice). Upaya penegakan keadilan substantive ini jika ditelusuri secara filosofis sejalan dengan aliran realisme hukum yang memandang hukum tidak hanya sebatas teks peraturan melainkan tujuan-tujuan social tertentu yaitu tegaknya demokrasi dan terjaminnya hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil. Keadilan substantive hanya dapat diperoleh dari sebuah proses Peradilan substatif dengan ciri-ciri sebagai berikut 217 ; a. Peradilan substantive menghendaki penegak hukum yang tidak hanya sekedar menjalankan peraturan perundang-undangan melainkan harus mampu menangkap kehendak umum masyarakat. b. Peradilan substantive lebih menekankan pada tujuan-tujuan social dan berdasarkan justifikasi factual yang bersifat dinamis c. Untuk memenuhi tujuan-tujuan social tersebut peradilan tidak hanya diukur dari telah terpenuhinya sebagaimana prosedur hukum acara, akan tetapi bagaimana peradilan dapat menghasilkan output yang berorientasi pada keadilan masyarakat 217 Dikutip dari pendapat Faisal dalam karyanya Menerobos Positivisme Hukum, (Yogyakarta: Rangkang- Education, 2010) hal. 42-43. Faisal membuat kesimpulan kategoris antara peradilan pidana procedural dan peradilan pidana substantive. Walaupun kajian dalam buku tersebut terkait dengan system peradilan pidana, namun penulis menarik intisari dari peradilan substantive juga dapat diterapkan dalam peradilan konstitusi yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi terutama terkait dengan perkara perselisihan hasil pemilu yang membutuhkan pembuktian secara factual atas dalildalil pemohon.

157 d. Peradilan substantive menaruh harapan kepada hakim dalam membuat putusan dapat memperhatikan realitas social. Langkah Mahkamah Konstitusi yang menegakkan keadilan substantive dengan membangun peradilan substantive sejalan dengan pemikiran realism hukum yang dalam perkembangan di Indonesia dikenal dengan konsep Hukum Progressif. Namun demikian karena Hukum Progressif sangat erat kaitannya dengan perilaku manusia maka peran para penegak hukum terutama hakim konstitusi sangat besar dalam turut serta menngembangkan gagasan hukum progressif yang memiliki asumsi dasar bahwa hukum untuk manusia. 5.2 Saran Berangkat dari beberapa kesimpulan tersebut diatas, wacana penalaran hukum para hakim konstitusi sangat penting untuk dikaji lebih lanjut guna mendasari putusanputusan yang berkeadilan. Kontradiksi antara keadilan procedural dan keadilan substantive dapat didamaikan dengan pembentukan hukum yang responsive dan dapat mengakomodasi hati nurani masyarakat. Kontradiksi tersebut saat ini menjadi polemic yang produktif di masyarakat dalam memandang hukum oleh karena itu penulis merekomedasikan hal-hal sebagai berikut: 1. Agar keadilan substantive dapat tercapai tanpa mengesampingkan keadilan procedural, maka perlu dilakukan pembenahan dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemilihan umum dan Mahkamah Konstitusi sehingga dapat mengakomodir hal-hal yang bersifat substantive dan tidak membelenggu hakim konstitusi dalam memutus perkara konstitusional. 2. Salah satu agenda aksi yang ditawarkan oleh Hukum Progressif adalah pendidikan hukum dan membangun kultur hukum, maka yang dapat dilakukan adalah dengan terus mengembangkan diskursus hukum dari sisi filosofis penalaran hakim dalam menyusun analisa terhadap putusan-putusan Mahkamah Konstitusi maupun lembaga peradilan lainnya. diskursus filosofis tersebut dapat membantu kita untuk menemukan solusi-solusi atas permasalahan secara lebih mendasar dan tidak terjebak kepada aspek-aspek teknis hukum. Dengan memperluas diskursus aspek filosofis putusan hakim setidaknya dapat memberikan referensi bagi para penegak

158 hukum, mahasiswa hukum dan masyarakat pada umumnya sehingga dapat membentuk kultur hukum yang lebih bersifat substansial dan tidak semata-mata procedural sebagaimana menjadi arus besar (mainstream).