BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS GENDER DALAM PROGRAM KELUARGA HARAPAN (PKH)

BAB I PENDAHULUAN. sekelompok orang yang tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan

BAB I PENDAHULUAN. Pada September 2000 sebanyak 189 negara anggota PBB termasuk

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kemiskinan yang dihadapi negara yang berkembang memang sangat

PENDAHULUAN Latar Belakang

KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI & KEWENANGAN MENTERI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK UU NO. 39 TAHUN 2008 TENTANG KEMENTERIAN NEGARA

PEMERINTAH KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. 189 negara anggota PBB pada bulan September 2000 adalah deklarasi Millenium

PENGARUSUTAMAAN GENDER DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. dalam Millenium Development Goals (MDGs). MDGs berisi delapan tujuan

PENDAHULUAN Latar Belakang

Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

TUJUAN 3. Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. Oleh karena itu, pembangunan merupakan syarat mutlak bagi suatu negara.

I. PENDAHULUAN. Pada hakekatnya pembangunan yang dilaksanakan oleh suatu negara

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pendekatan pembangunan manusia telah menjadi tolak ukur pembangunan. pembangunan, yaitu United Nations Development Programme (UNDP)

BAB I PENDAHULUAN. dan terbelakang, melainkan juga dialami oleh negara-negara maju.

BAB I PENDAHULUAN. masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta penegasan istilah. Bab ini ini akan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan pada indikator sosial maupun ekonomi menuju kearah yang lebih

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pembangunan pada dasarnya merupakan suatu proses multidimensional

BAB 12 PENINGKATAN KUALITAS KEHIDUPAN

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB X RELASI GENDER DALAM P2KP

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berkaitan, antara lain tingkat pendapatan,

KUALITAS & AKSESIBILITAS PDDKN BLM MERATA ANGKA PENGANGGURAN MASIH TINGGI

BAB I PENDAHULUAN. Pada konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. merupakan sofware dalam hidup dan kehidupan manusia darinya manusia hidup, tumbuh

BAB I PENDAHULUAN. Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan). Maka kesehatan adalah dasar

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan masalah yang bersifat kompleks dan

BAB I PENDAHULUAN. senantiasa berada di garda terdepan. Pembangunan manusia (human development)

BAB I PENDAHULUAN. maka membutuhkan pembangunan. Manusia ataupun masyarakat adalah kekayaan

BAB I PENDAHULUAN. indikator perbaikan dunia yang tercantum dalam Millenium Development Goals

KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI DALAM NEGERI PADA

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TEKNIK ANALISIS GENDER. Oleh: Dr. Nahiyah Jaidi Faraz, M.Pd

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan merupakan sebuah upaya atau proses untuk melakukan

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi individu dengan hidup yang sehat

BUPATI KEBUMEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER

Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

BUPATI KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN KABUPATEN KOTABARU

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tidak terpisahkan serta memberikan kontribusi terhadap pembangunan daerah dan

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA. a. INPRES No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam

Kesetaraan Gender Strategi Jitu dalam Pemberantasan Buta Aksara di Indonesia

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang tengah dihadapi oleh dunia adalah kemiskinan.

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) METODE BARU

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, sehingga menjadi suatu fokus perhatian bagi pemerintah Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian

DAFTAR TABEL. Tabel IV.1 Data Jumlah Penduduk Kota Medan berdasarkan Kecamatan Tabel IV.2 Komposisi pegawai berdasarkan jabatan/eselon...

BAB I PENDAHULUAN. negara di dunia. Kemiskinan tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang dan

PERATURAN WALIKOTA SABANG NOMOR TAHUN 2013 TENTANG PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER DALAM PEMBANGUNAN DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

BAB I PENDAHULUAN. nilai inti untuk memahami pembangunan yang paling hakiki antara lain

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan kemakmuran masyarakat yaitu melalui pengembangan. masalah sosial kemasyarakatan seperti pengangguran dan kemiskinan.

PENERAPAN PUG DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. maksud dan tujuan pembangunan. Tidaklah mudah untuk mengadakan perubahan

GENDER DAN PENDIDIKAN: Pengantar

PERATURAN BUPATI TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER (PUG) DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DI KABUPATEN MALANG. BAB I KETENTUAN UMUM

dalam Pembangunan Nasional;

WALIKOTA PEKANBARU PROVINSI RIAU PERATURAN WALIKOTA PEKANBARU NOMOR 41 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. suatu perhatian khusus terhadap pembangunan ekonomi. Perekonomian suatu

Perempuan dan Industri Rumahan

BAB I PENDAHULUAN. baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut

BAB I PENDAHULUAN. yang merdeka, berdaulat, bersatu, dan berkedaulatan rakyat dalam suasana. pergaulan yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai.

2.2 EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN RKPD SAMPAI DENGAN TAHUN 2013 DAN REALISASI RPJMD

MENGENALI DAN MEMAHAMI PENGARUSUTAMAAN GENDER (PUG) DALAM PEMBANGUNAN YURNI SATRIA

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam pembangunan adalah IPM (Indeks Pembangunan Manusia). Dalam. mengukur pencapaian pembangunan sosio-ekonomi suatu negara yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun , pemerintah mengakui masih rendahnya kualitas sumberdaya

BUPATI LOMBOK UTARA PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan dengan meluncurkan program-program pemberdayaan. Sejak periode

ANGGARAN RESPONSIF GENDER Anggaran Responsif Gender (ARG) DAN PENYUSUNAN GENDER BUDGET STATEMENT

PENDAHULUAN Latar Belakang

BUPATI BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DIDAERAH

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN GUBERNUR PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR : 62 TAHUN 2011 TENTANG

Sulit menciptakan keadilan dan kesetaraan gender jika negara terus menerus memproduksi kebijakan yang bias gender. Genderisasi kebijakan publik telah

BAB I PENDAHULUAN. merupakan prasyarat utama untuk memperbaiki derajat kesejahteraan rakyat.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 1 TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan pembangunan. Pembangunan pada dasarnya adalah suatu proses

C KONSEP PENGURUSUTAMAAN/ MAINSTREAMING GENDER

BAB I PENDAHULUAN. masalah infrastruktur yang belum merata dan kurang memadai. Kedua, distribusi yang

BAB I PENDAHULUAN. keberagaman kebutuhan kelompok dan individu masyarakat, tak terkecuali

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan dalam bangsa, yaitu peningkatan pertumbuhan ekonomi, perubahan

BAB 11 PENINGKATAN KUALITAS KEHIDUPAN DAN PERAN PEREMPUAN SERTA KESEJAHTERAAN DAN PERLINDUNGAN ANAK A. KONDISI UMUM

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Upaya pembangunan nasional yang selama ini diarahkan untuk. manfaat yang setara bagi perempuan dan laki-laki. Bahkan belum efektif

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan. Kemiskinan telah membuat pengangguran semakin bertambah banyak,

BAB I PENDAHULUAN. dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya yang menjadi masalah

BAB I PENDAHULUAN. yang banyak sehingga kemiskinan pun tak dapat dihindari. Masalah kemiskinan

BAB I PENDAHULUAN. terutama sejak terjadinya krisis ekonomi dan moneter pada tahun 1997.

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk terbesar di dunia. Jumlah penduduk Indonesia meningkat terus dari tahun ke tahun. Sensus penduduk mencatat jumlah penduduk Indonesia berturut-turut sejak tahun 2000, 2005, 2008, sampai 2009, yaitu 205,8 juta jiwa, 213,3 juta jiwa, 228,5 juta jiwa, hingga 231,3 juta jiwa (Badan Pusat Statistik/BPS, 2000, 2005, 2008, dan 2009). Layaknya negara berkembang, Indonesia tidak luput dari masalah kemiskinan (Gustina, 2008). Kemiskinan memang merupakan fenomena yang dihadapi oleh hampir semua negara berkembang terutama yang memiliki penduduk dalam jumlah besar. Mengacu kepada strategi nasional penanggulangan kemiskinan, kemiskinan diartikan sebagai suatu kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang (baik laki-laki maupun perempuan) tidak terpenuhi hak-hak dasarnya dalam mempertahankan serta mengembangkan kehidupan yang bermartabat (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional/RPJMN, 2004 2009). Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi, geografis, gender, serta kondisi lingkungan. Jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 36,14 juta jiwa dengan distribusi menurut jenis kelamin kepala rumah tangga yang dikepalai oleh lakilaki (RMKL) sebesar 91,62 persen dan sebesar 8,38 persen yang dikepalai oleh perempuan (RMKP) (BPS, 2004). Pada tahun 2007, data RMKL dan RMKP berubah menjadi RMKL sebesar 90,59 persen dan RMKP 9,41 persen (BPS, 2007). Data Kependudukan Tahun 2004 dan 2007 ini memperlihatkan naiknya jumlah RMKP miskin. Untuk menanggulangi kemiskinan di Indonesia, sebenarnya ada beberapa program yang telah dicanangkan oleh pemerintah, seperti pengembangan desa tertinggal, perbaikan kampung, serta gerakan terpadu pengentasan kemiskinan

2 (Gustina, 2008). Saat ini, pemerintah menangani program tersebut secara menyeluruh, terutama sejak krisis moneter dan ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1997, melalui program-program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Dalam JPS, masyarakat sasaran diharapkan dapat terlibat pada berbagai kegiatan. Ternyata, berbagai program intervensi tersebut cenderung tidak efektif (berhasil) dalam menanggulangi kemiskinan. Hal ini karena, program dilaksanakan tanpa koordinasi yang baik dan mengesampingkan peran penting Pemerintah Daerah (Pemda). Padahal, daerah merupakan terminal titik koordinasi bertemunya aspirasi dari bawah (masyarakat) dan kebijakan dari atas (pemerintah pusat). Selain itu, masyarakat cenderung ditempatkan sebagai objek program dan hanya kaum laki-laki yang hampir selalu dilibatkan atau dijadikan sebagai sasaran (peserta) utama (Gustina, 2008). Pada dasarnya, pembangunan ditujukan untuk kesejahteraan seluruh penduduk tanpa membedakan suku, agama, asal, dan jenis kelamin (Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan/Menneg PP dan BPS, 2007). Disinyalir bahwa pembangunan yang dilaksanakan masih bermuatan diskriminasi antara laki-laki dengan perempuan. Pembangunan yang dilakukan di segala bidang lebih banyak menguntungkan laki-laki. Dengan kata lain, terdapat ketimpangan gender dalam pelaksanaan pembangunan. Pemerintah Indonesia memang mengakui adanya ketimpangan gender yang ditunjukkan oleh masih relatif rendahnya Indeks Pembangunan Gender (IPG) dibandingkan dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) (Mugniesyah, 2009) 1. Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) mengukur pencapaian keseluruhan dari suatu negara dalam tiga dimensi dasar pembangunan manusia, yaitu lama hidup, pengetahuan, dan standar hidup yang layak (BPS, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, dan United Nations Development Programme/UNDP, 2001). Dimensi tersebut diukur dengan angka harapan hidup, pencapaian pendidikan, serta pendapatan per kapita yang telah disesuaikan menjadi kemampuan daya beli. 1 Panduan Turun Lapang Mata Kuliah Pendidikan Orang Dewasa (POD) (Bogor, 2009). Bahan Ajar Mata Kuliah POD, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

3 Pembangunan manusia di Indonesia selama periode 1999 2006 menunjukkan peningkatan (Menneg PP dan BPS, 2007). Pada tahun 1999, angka IPM sebesar 64,3 dan meningkat menjadi 70,1 di tahun 2006. Kenaikan ini merupakan dampak semakin baiknya kinerja perekonomian Indonesia selama tujuh tahun terakhir. Menurut UNDP dalam Laporan Pembangunan Manusia (Human Development Report) Tahun 2006, IPM Indonesia menempati urutan ke- 108 dari 177 negara. Urutan ini masih lebih baik daripada lima negara ASEAN lainnya, seperti Vietnam (109), Kamboja (129), Myanmar (130), Laos (133), dan Timor Timur (142). Tidak hanya IPM yang meningkat, tapi juga IPG Indonesia selama kurun waktu 1999 2006. Indeks ini merupakan IPM yang disesuaikan untuk menggambarkan ketimpangan gender. Makin besar ketimpangan maka semakin rendah IPG suatu negara terhadap IPM-nya. Di tahun 1999, IPG mencapai 55,9 dan meningkat menjadi 65,7 pada tahun 2006 (Menneg PP dan BPS, 2007). Angka ini masih lebih rendah dibandingkan dengan IPM dalam jangka waktu yang sama. Sebenarnya, pemerintah mendukung penyetaraan dan persamaan hak bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam Pancasila, Undang- Undang Dasar (UUD) 1945, Undang-Undang (UU), dan peraturan tentang hak azasi manusia (HAM), yang dijabarkan ke dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) (Mugniesyah dan Fadhilah, 2001). Selain itu, dalam perjalanan pembangunan Indonesia, sumberdaya manusia (SDM) dinyatakan sebagai sumberdaya insani pembangunan yang partisipasinya sangat diharapkan untuk mewujudkan kesejahteraan nasional. Sejarah mencatat bahwa kebijakan-kebijakan pembangunan dinyatakan netral. Jika menyangkut SDM (baik dalam konteks individu, keluarga, rumah tangga, masyarakat, maupun negara), secara implisit mencakup laki-laki dan perempuan. Kebijakan pembangunan yang netral justru menimbulkan ketidakadilan gender yang menghambat terwujudnya peningkatan kualitas SDM. Berdasarkan kondisi ini, pemerintah kemudian berkomiten untuk memperbaiki kualitas SDM, yang dimulai dengan menegaskan besarnya peran keluarga sebagai tempat utama membangun SDM yang kokoh (Gunarsa dalam

4 Fitasari, 2004). Untuk membuktikan komitmen tersebut, pada tahun 2000, Pemerintah Indonesia bersama dengan 188 negara menandatangani Millenium Development Goals (MDGs) dimana beberapa butir pentingnya adalah kesetaraan serta pemberdayaan perempuan, menghilangkan kesenjangan gender, meningkatkan kesehatan ibu, dan menurunkan angka kematian bayi (Menneg PP dan BPS, 2007). Indonesia sendiri, untuk daerah perkotaan, jumlah penduduk laki-laki yang mengeluh sakit pada tahun 2004, 2005, dan 2006 sebesar 48,98 persen, 49,16 persen, serta 49,15 persen (Menneg PP, 2007). Sementara itu, penduduk perempuan yang mengeluh sakit pada ketiga tahun tersebut adalah 51,02 persen, 50,84 persen, dan 50,82 persen. Adapun di daerah perdesaan, jumlah penduduk laki-laki yang mengeluh sakit di tahun 2004 2006 sebesar 48,92 persen, 49,24 persen, dan 49,12 persen, sedangkan perempuan sebanyak 51,08 persen, 50,76 persen, serta 50,88 persen. Fakta ini memperlihatkan tingkat kesehatan perempuan di perkotaan dan perdesaan dalam periode 2004 2006 lebih rendah daripada lakilaki. Di samping itu, dalam rentang tahun 2000 2005, jumlah balita yang berstatus gizi kurang dan buruk meningkat dari masing-masing 7,53 persen menjadi 8,80 persen serta 17,13 persen menjadi 19,24 persen. Dalam bidang pendidikan, jumlah penduduk laki-laki yang tidak/belum pernah sekolah pada periode 2004 2006 sebesar 4,90 persen, 5,00 persen, dan 4,80 persen; masih sekolah sebanyak 20,10 persen, 19,60 persen, dan 19,70 persen; serta tidak sekolah lagi sebesar 75,00 persen, 75,50 persen, dan 75,50 persen. Adapun jumlah penduduk perempuan yang tidak/belum pernah sekolah dalam periode yang sama sebesar 10,90 persen, 10,70 persen, dan 10,00 persen; masih sekolah sebesar 18,40 persen, 18,10 persen, serta 18,30 persen; dan tidak sekolah lagi sebanyak 70,70 persen, 71,20 persen, serta 72,10 persen. Data-data ini menunjukkan tingginya jumlah perempuan yang tidak/belum pernah sekolah dan rendahnya jumlah perempuan yang masih sekolah dibandingkan dengan lakilaki. Untuk mendukung pencapaian MDGs, pemerintah membuat beberapa kebijakan nasional, salah satunya adalah Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG). Instruksi ini

5 mengamanatkan pengintegrasian potensi, masalah, serta kebutuhan laki-laki dan perempuan ke dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi program pembangunan (Bappenas dan Menneg PP, 2007). Salah satu program yang diakui oleh pemerintah sebagai program pendukung pencapaian MDGs dan memperhatikan masalah kesetaraan gender adalah Program Keluarga Harapan (PKH) (Pedoman Operasional Kelembagaan PKH, 2008). Program ini dicanangkan pada 23 Juli 2007 dan diharapkan dapat dilaksanakan secara berkesinambungan setidaknya hingga tahun 2015 (Pedoman Operasional Kelembagaan PKH, 2008). Program Keluarga Harapan (PKH) merupakan upaya penanggulangan kemiskinan melalui pemberian bantuan tunai kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) berdasarkan persyaratan tertentu. Tujuan utama PKH adalah mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kualitas SDM terutama pada kelompok masyarakat sangat miskin. Untuk saat ini, komponen PKH difokuskan pada sektor kesehatan dan pendidikan, karena keduanya dianggap sebagai inti peningkatan kualitas hidup masyarakat (Buku Kerja Pendamping PKH, 2008). Sejauh ini, pelaksanaan PKH pada berbagai daerah di Indonesia belum diketahui tingkat keberhasilannya 2. Namun, salah satu wilayah yang sejauh ini dianggap berhasil adalah Jakarta Utara (Kecamatan Cilincing, Tanjung Priuk, Pademangan, Koja, Penjaringan, dan Kelapa Gading) di mana terjadi pengurangan jumlah RTSM penerima PKH. Pada tahun 2008, dana bantuan diberikan kepada 7.247 RTSM, sedangkan di tahun 2009 hanya diberikan kepada 7.027 RTSM. Walau penurunan jumlah tidak terjadi secara signifikan, hal tersebut membuktikan program ini bisa membantu warga sangat miskin. Dengan kata lain, terdapat 3,04% RTSM yang telah berhasil mengatasi masalah kesehatan (ibu, bayi, dan balita) serta pendidikan (anak usia SD dan SMP). Keberhasilan ini juga didukung oleh peran para pendamping serta ketersediaan fasilitas/pelayanan kesehatan dan pendidikan terdekat di wilayah tersebut. Daerah perkotaan lainnya yang juga menjadi tempat pelaksanaan PKH adalah Kota Bogor (Provinsi Jawa Barat). Di kota ini, angka harapan hidup penduduk dalam periode 2005 2007 menunjukkan peningkatan yang tidak besar, 2 Akmal Towel, Penerima Bantuan PKH Menurun, repository.usu.ac.id/bitstream, 2009, diakses pada 6 Mei 2010 pukul 21.00.

6 yakni dari 68 tahun menjadi 69 tahun (Menneg PP dan BPS, 2007). Angka melek huruf juga memperlihatkan sedikit kenaikan, yaitu dari 98,60 persen pada tahun 2005 menjadi 98,70 persen di tahun 2006 serta bertahan pada posisi 98,70 persen di tahun 2007. Adapun rata-rata lama sekolah memperlihatkan angka yang tetap dalam rentang waktu 2005 2007, yakni 10 tahun. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa PKH merupakan salah satu program yang diakui oleh pemerintah sebagai program pendukung pencapaian MDGs dan memperhatikan masalah kesetaraan gender, penelitian Analisis Gender dalam PKH menarik untuk dilakukan. Hal ini guna mengetahui (1) bagaimana relasi gender dalam alokasi dana bantuan di tingkat rumah tangga dan dikaitkan dengan efektivitas manfaat PKH; (2) faktor apa saja yang mempengaruhi relasi gender, serta (3) bagaimana hubungan antara peran pendamping dan ketersediaan fasilitas/pelayanan kesehatan serta pendidikan dengan efektivitas tersebut. 1.2 Perumusan Masalah Secara umum, program pemerintah yang berkaitan dengan rumah tangga bertujuan untuk membebaskan suatu rumah tangga dari belenggu kemiskinan. Pemerintah memberikan bantuan, misalnya uang, namun sumberdaya ini diberikan menurut prosedur yang berlaku. Jika peserta program tidak mampu mengelola dan memanfaatkannya dengan baik, bantuan akan diberhentikan. Secara khusus, PKH dimaksudkan untuk membangun suatu sistem perlindungan sosial bagi RTSM. Karena, setidaknya ada lima komponen MDGs yang akan terbantu oleh PKH, yakni (1) pengurangan penduduk miskin dan kelaparan, (2) pendidikan dasar, (3) kesetaraan gender, (4) pengurangan angka kematian bayi dan balita, serta (5) pengurangan kematian ibu melahirkan (Departemen Komunikasi dan Informatika/Depkominfo, 2007) 3. Sementara itu, sesuai dengan Inpres No. 9 Tahun 2000, setiap program pembangunan memang harus mengintegrasikan aspirasi, permasalahan, kebutuhan, dan pengetahuan 19.30. 3 Program Keluarga Harapan (PKH), www.depkominfo.go.id, 2007, diakses pada 2 Juli 2009 pukul

7 perempuan serta laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi program 4. Berdasarkan faktor MDGs dan Inpres No. 9 tersebut, penulis berasumsi bahwa relasi gender dapat mempengaruhi efektivitas manfaat PKH. Relasi gender yang dimaksud adalah proses pengambilan keputusan diantara suami isteri dalam RTSM peserta PKH. Adapun efektivitas manfaat menunjukkan tingkat keberhasilan program, yang dilihat dari alokasi (penggunaan/pengeluaran) dana bantuan di tingkat rumah tangga. Adapun faktor yang sering diasumsikan berpengaruh terhadap relasi gender adalah tingkat pendidikan dan status bekerja suami isteri. Selain itu, peran pendamping dan ketersediaan fasilitas/pelayanan kesehatan serta pendidikan juga diduga berpengaruh terhadap efektivitas manfaat PKH. Secara ringkas, masalah-masalah tersebut disusun dalam urutan pertanyaan penelitian (questions research) sebagai berikut: 1. Bagaimana PKH dilaksanakan? 2. Bagaimana hubungan antara tipe pengambilan keputusan RTSM untuk alokasi dana PKH dengan efektivitas manfaat PKH? 3. Apa saja faktor yang mempengaruhi tipe pengambilan keputusan RTSM untuk alokasi dana PKH? 4. Bagaimana hubungan antara peran pendamping serta ketersediaan fasilitas/pelayanan kesehatan dan pendidikan dengan efektivitas manfaat PKH? 1.3 Tujuan Penelitian Beberapa sasaran yang ingin dicapai dari penelitian ini, diantaranya mengetahui: 1. Pelaksanaan PKH. 2. Hubungan antara tipe pengambilan keputusan RTSM untuk alokasi dana PKH dengan efektivitas manfaat PKH. 4 Siti Amanah, Pengarusutamaan Gender (PUG) (Bogor, 2008), hal. 1. Bahan Ajar Mata Kuliah Gender dan Pembangunan, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

8 3. Faktor apa saja yang mempengaruhi tipe pengambilan keputusan RTSM untuk alokasi dana PKH. 4. Hubungan antara peran pendamping serta ketersediaan fasilitas/pelayanan kesehatan dan pendidikan dengan efektivitas manfaat PKH. 1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti (khususnya) dan masyarakat (umumnya) untuk menambah wawasan tentang analisis gender dalam program pemerintah terutama pada PKH. Peneliti juga mengharapkan hasil penelitian ini bisa menyumbangkan pengetahuan baru di bidang akademis yang memiliki kaitan dengan gender dan pembangunan.