BAB I PENDAHULUAN. Perubahan kurikulum sains dari kurikulum berbasis kompetensi (KBK) menjadi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. guru. Tugas guru adalah menyampaikan materi-materi dan siswa diberi tanggung

BAB I PENDAHULUAN. Fisika merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Elly Hafsah, 2013

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu mata pelajaran sains yang diberikan pada jenjang pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang sangat penting bagi siswa. Seperti

BAB I PENDAHULUAN. fenomena alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Muhammad Gilang Ramadhan,2013

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran fisika saat ini adalah kurangnya keterlibatan mereka secara aktif

BAB I PENDAHULUAN. siswa, oleh karena itu pembelajaran fisika harus dibuat lebih menarik dan mudah

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu pengetahuan alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang

BAB I PENDAHULUAN. terhadap suatu peristiwa yang diamati yang kemudian diuji kebenarannya

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pelajaran yang sulit dan tidak disukai, diketahui dari rata-rata nilai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pendidikan, manusia dapat mengembangkan diri untuk menghadapi tantangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Stevida Sendi, 2013

BAB I PENDAHULUAN. mengajukan dan menguji hipotesis melalui percobaan; merancang dan merakit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

2015 PENGARUH PEMBELAJARAN FISIKA BERORIENTASI PENEMUAN TERHAD AP PRESTASI BELAJAR FISIKA SISWA SMP KELAS VIII PAD A POKOK BAHASAN HUKUM NEWTON

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan proses dimana seseorang memperoleh

BAB I PENDAHULUAN. Pelajaran Fisika merupakan salah satu bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Heri Sugianto, 2013

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan faktor yang penting dalam kehidupan. Negara

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewi Elyani Nurjannah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. 2. Memupuk sikap ilmiah yaitu jujur, obyektif, terbuka, ulet, kritis dan dapat bekerjasama dengan orang lain

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada hari Jum at, tanggal 25 November

MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR IPA MATERI GAYA MAGNET MELALUI METODE INKUIRI TERBIMBING

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sains pada hakekatnya dapat dipandang sebagai produk dan sebagai

2015 PENERAPAN MODEL INQUIRY PADA PEMBELAJARAN IPA UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA SD

BAB I PENDAHULUAN. Fisika bukan hanya penguasaan sekumpulan pengetahuan yang berupa faktafakta,

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan (KTSP) menuntut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbuka, artinya setiap orang akan lebih mudah dalam mengakses informasi

I. PENDAHULUAN. keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan mata pelajaran yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di dalam Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar

BAB I PENDAHULUAN. Mata pelajaran Fisika sebagai bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)

I. PENDAHULUAN. yang telah di persiapkan sebelumnya untuk mencapai tujuan. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. Sains atau Ilmu Pengetahuan Alam (selanjutnya disebut IPA) diartikan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Denok Norhamidah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan mata pelajaran yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan cara mencari

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan pengalaman pada kegiatan proses pembelajaran IPA. khususnya pada pelajaran Fisika di kelas VIII disalah satu

I. PENDAHULUAN. permasalahannya dekat dengan kehidupan sehari-hari. Konsep dan prinsip

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Yuliani Susilawati,2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. diperoleh pengetahuan, keterampilan serta terwujudnya sikap dan tingkah laku

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori Pembelajaran IPA IPA merupakan ilmu yang mempelajari tentang alam yang sesuai dengan kenyataan dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Inkuiri dalam Pembelajaran IPA. menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan.

I. PENDAHULUAN. Dewasa ini pembelajaran fisika masih didominasi dengan penggunaan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Setiap peserta didik perlu memiliki kemampuan matematis pada tingkatan

BAB I PENDAHULUAN. ditakuti dan tidak disukai siswa. Kecenderungan ini biasanya berawal dari

BAB I PENDAHULUAN. Fisika merupakan cabang ilmu pengetahuan eksak dan terorganisir secara

JIPFRI: Jurnal Inovasi Pendidikan Fisika dan Riset Ilmiah

BAB I PENDAHULUAN. Fisika dan sains secara umum terbentuk dari proses penyelidikan secara sistematis

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurningsih, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia merupakan faktor penting dalam membangun suatu

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan sains diarahkan untuk mencari tahu dan berbuat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan mata pelajaran fisika pada jenjang Sekolah Menengah Atas. (SMA)/ Madrasah Aliyah (MA) berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan pikiran dalam mempelajari rahasia gejala alam (Holil, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan aspek penting dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran IPA khususnya fisika mencakup tiga aspek, yakni sikap,

I. PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (Sains) merupakan ilmu yang berhubungan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pada abad ke-20 telah terjadi perubahan paradigma dalam dunia sains,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran problem solving merupakan salah satu model pembelajaran

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Adelia Alfama Zamista, 2015

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Suryosubroto, 2009:2).

BAB I PENDAHULUAN. peserta didik, sehingga yang bersangkutan mampu menghadapi dan memecahkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PENINGKATAN KECAKAPAN AKADEMIK SISWA SMA DALAM PEMBELAJARAN FISIKA MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. satunya adalah kelompok Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Ilmu Pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. dengan tujuan pendidikan nasional dan tuntutan masyarakat. Kualitas pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) pembelajaran fisika

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan berpikir kritis dan kreatif untuk memecahkan masalah dalam

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut kita untuk memiliki

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Rena Ernawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu

Jurnal Ilmiah Guru COPE, No. 01/Tahun XVII/Mei 2013 METODE DISKUSI KELOMPOK BERBASIS INQUIRI UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR FISIKA DI SMA

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan kualitas pendidikan merupakan masalah yang harus diselesaikan

I. PENDAHULUAN. Ilmu kimia merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. kurikulum yang berlaku di jenjang sekolah menengah adalah kurikulum

BAB III PEMBAHASAN. pembelajaran yang semakin luas membawa banyak perubahan dalam dunia

BAB 1 PENDAHULUAN. dan tingkah laku yang sesuai. Sanjaya (2006:2) mengatakan bahwa pendidikan

Siti Solihah, Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hermansyah, 2014 Universitas Pendidikan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi serta informasi yang sangat cepat perlu upaya proaktif dari pemerintah seperti perubahan kurikulum sains. Perubahan kurikulum sains dari kurikulum berbasis kompetensi (KBK) menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sekarang merupakan respon pemerintah yang baik. Pada dasarnya KTSP seperti halnya KBK adalah kurikulum yang bertitik tolak dari kompetensi yang seharusnya dimiliki pelajar setelah menyelesaikan pendidikannya namun pengembangannya dilakukan oleh guru tingkat satuan pendidikan sehingga dapat disesuaikan dengan keadaan lokal dan peserta didik. Kompetensi sains pada tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) meliputi pengetahuan, keterampilan serta nilai-nilai dan pola berpikir anak yang merupakan refleksi dari pemahaman dan penghayatan dari apa yang telah dipelajarinya (Depdiknas, 2004). Selain itu untuk dapat mencapai kompetensi yang telah ditetapkan tersebut, guru dituntut turut melakukan perubahan proses pembelajaran yaitu dari sekedar pembelajaran untuk tahu (learning to know) menjadi pembelajaran untuk berbuat (learning to do). Sehingga tujuan yang harus dicapai dalam proses pembelajaran harus meliputi domain kognitif, afektif dan psikomotor. Pelajaran fisika merupakan paduan antara analisis deduktif dan proses induktif sehingga diharapkan siswa selain memperoleh pengalaman untuk membentuk kemampuan

2 bernalar juga memperoleh pengalaman belajar melalui kerja ilmiah dalam belajar fisika. Secara rinci, fungsi dan tujuan mata pelajaran fisika ditingkat SMA adalah sebagai sarana: 1) Membentuk sikap positif terhadap fisika dengan menyadari keindahan dan keteraturan alam serta mengagungkan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa. 2) Memupuk sikap ilmiah yaitu jujur, objektif, terbuka, ulet, kritis dan dapat bekerja sama dengan orang lain. 3) Mengembangkan pengalaman untuk dapat merumuskan masalah, mengajukan dan menguji hipotesis melalui percobaan, merancang dan merakit instrumen percobaan, mengumpulkan, mengolah, dan menafsirkan data, serta mengkomunikasikan hasil percobaan secara lisan dan tulisan. 4) Mengembangkan kemampuan bernalar dalam berfikir analisis induktif dan deduktif dengan menggunakan konsep dan prinsip fisika untuk menjelaskan berbagai peristiwa alam dan menyelesaikan masalah secara kualitatif maupun kuantitatif. 5) Menguasai konsep dan prinsip fisika, serta mepunyai keterampilan mengembangkan pengetahuan, dan sikap percaya diri sebagai bekal untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (Depdiknas, 2006). Penelitian dilakukan di salah satu SMA Negeri Tangerang. Pemilihan sekolah penelitian dengan pertimbangan bahwa SMA ini merupakan satu-satunya SMA Negeri yang ada di Kecamatan Benda Kota Tangerang. Secara geografis, sekolah ini dekat dengan Bandara Internasional Soekarno-Hatta dengan pemukiman yang padat. Hal ini membawa konsekuensi terhadap beberapa hal, diantaranya menampung siswa dalam jumlah yang cukup besar dimana untuk kelas X terdapat 12 kelas dan XI IPA ada 5 kelas dengan rata-rata jumlah siswa adalah 35 orang dalam satu kelas. Hal tersebut membawa dampak terhadap susahnya melakukan pembatasan penerimaan siswa berdasarkan prestasi akademiknya. Keadaan ini sangat berpengaruh terhadap kualitas hasil dan proses pembelajaran yang berlangsung, terutama dalam implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang sudah dilaksanakan mulai tahun ajaran 2006/2007.

3 Implementasi kurikulum ini memasuki tahun kelima di SMAN tersebut dan menuntut adanya perubahan dalam sistem pembelajaran. Perubahan terutama terlihat dari adanya standar kompetensi yang harus dimiliki anak setelah proses pembelajaran secara tuntas, serta dari pendekatan dan metode pembelajaran yang diharapkan dapat berubah dari teacher-centered menjadi pola student-centered, dimana fokus model pembelajaran yang berpusat pada siswa adalah penempatan siswa yang mengkonstruksi pengetahuan dari pengalaman mereka sendiri. serta membawa adanya perubahan susunan materi dalam pembelajaran Fisika. Dari hasil diskusi dengan guru diketahui bahwa ketuntasan pencapaian kompetensi siswa tentang beberapa konsep fisika masih sangat bervariasi, dimana masih banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan dan memahami konsep - konsep fisika. Kesulitan terutama dialami siswa dalam penyelesaian soal-soal pemecahan masalah. Kemampuan matematika sebagian siswa yang kurang sangat mempengaruhi kemampuan mereka dalam menyelesaikan soal-soal yang memerlukan perhitungan. Kesulitan dalam mempelajari materi vektor yang menjadi prasyarat dalam pembahasan kinematika dan dinamika juga dialami oleh sebagian siswa, sehingga sangat mempengaruhi kemampuan kognitif dan penyelesaian soal-soal tentang konsep fisika yang berkaitan erat dengan vektor seperti fluida. Kesulitan lain yang dialami oleh sebagian siswa adalah menentukan rumus yang harus digunakan dalam menyelesaikan setiap persoalan. Kesulitan menentukan rumus, dikarenakan terbiasanya siswa mencatat dan mengerjakan soal soal berdasarkan contoh soal yang diberikan. Sehingga pemahaman siswa terhadap konsep fisika lebih bersifat

4 hafalan dan tidak mendorong keterampilan berpikir. Sehingga hal tersebut memberikan dampak pada hasil belajar fisika yang rendah. Keberhasilan siswa dalam mempelajari fisika salah satunya ditentukan oleh kemampuan guru mengelola pembelajaran. Dalam mengelola pembelajaran diperlukan metode mengajar yang baik. Namun selama ini Guru mengajar di kelas dengan metode ceramah dan tanya jawab (sifatnya penyampaian informasi/konsep). Hampir setiap petemuan Guru lebih sering mencatat penjelasan bahkan terkadang mendiktekan penjelasan dan memberikan contoh soal sehingga catatan siswa lengkap namun hanya sebatas bisa mengerjakan soal soal yang mirip dengan contoh soal. Sehingga bila soal divariasikan siswa cenderung kebingungan. Guru jarang menggunakan format representasi konsep yang berbeda bahkan media pada saat belajar dan kegiatan praktikum jarang dilakukan walaupun pembelajaran dilakukan di ruang fisika. Metode mengajar banyak ragamnya, dalam proses belajar mengajar tidak menggunakan hanya satu metode saja, tetapi harus divariasikan, yaitu disesuaikan dengan tipe belajar siswa dan kondisi serta situasi yang ada pada saat itu, sehingga tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan oleh guru dapat tercapai. Selain itu seorang guru harus memiliki seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dikuasai dan diaktualisasikan oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan (kompetensi). Menurut Johnstone (1982) dalam Treagust et al (2003), guru sering mengasumsikan bahwa siswa dapat mentransfer pengetahuannya dari tingkat pemahaman yang satu ke tingkat pemahaman yang lainnya dengan mudah. Padahal Russel et al (1997) mengungkapkan bahwa orang awam (novices) biasanya hanya membentuk satu

5 jenis representasi, sangat jarang mereka dapat mentransfer pengetahuannya ke bentuk yang lainnya semudah para ahli melakukannya. Sementara itu menurut Waldrip (2008) pengalaman dan pengetahuan siswa bergantung pada bahasa, perangkat dan skema yang dimiliki siswa untuk mempresentasikan pengalaman dan pengetahuannya. Pada dasarnya tujuan dari pembelajaran adalah untuk membantu siswa belajar. Sehingga muncul ide model model pembelajaran yang sangat ragam variasi, namun hanya beberapa yang cocok dengan pengajaran sains di sekolah. Hassard dan Dias dalam Wenning (2011) mengatakan bahwa ada tema tema yang dapat digabungkan dalam pembelajaran sains, diantaranya adalah pengajaran sains seharusnya aktif, bermakna, konstruktivis,, prior knowledge, termasuk didalamnya bekerja sama dan bekerja secara kolaboratif. Peranan guru dalam mengkonstruksi atau menyediakan informasi yang utuh sangat diperlukan seperti halnya siswa menyajikan sendiri konsep, proses dan topik. Sehingga perlu dikembangkan suatu model pembelajaran yang memberikan pengalaman kepada siswa untuk menemukan konsep seperti inkuiri namun dengan memberikan sajian berbagai representasi dari konsep tersebut. Model pembelajaran inkuiri merupakan salah satu model pembelajaran yang menekankan kepada aktifitas siswa dalam proses belajar dimana polanya mengikuti metode sains sehingga memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar bermakna. Sehubungan dengan itu Robert B. Sund (Hamalik, 2011) mengatakan bahwa penemuan terjadi apabila individu terlibat, terutama dalam penggunaan proses-proses mentalnya untuk menemukan beberapa konsep dan prinsip. Seorang siswa harus menggunakan segenap kemampuannya, dan

6 bertindak sebagai seorang ilmuwan (scientist) yang melakukan eksperimen dan mampu melakukan proses mental berinkuiri yang digambarkan dengan tahapantahapan yang dilalui. Facione (2007) mengatakan Becoming educated and practicing good judgment does not absolutely guarantee a life of happiness, virtue, or economic success, but it surely offers a better chance at those things, oleh karenanya sangatlah wajar jika keterampilan untuk mengambil keputusan melalui pertimbangan yang matang dimiliki pula oleh siswa-siswa kita. Namun demikian, keterampilan tersebut bukanlah sesuatu yang baru, karena keterampilan yang dikenal sebagai keterampilan berpikir kritis tersebut merupakan pengembangan dari kemampuan kognitif yang dimiliki seseorang, seperti yang diungkapkan Facione (2007) Above we suggested you look for a list of mental abilities and attitudes or habits, the experts, when faced with the same problem you are working on, refer to their lists as including cognitive skills and dispositions. Dengan demikian proses belajar siswa yang biasanya berorientasi hanya pada peningkatan kemampuan kognitif saja, dapat lebih dikembangkan kearah pengembangan keterampilan berpikir kritis mereka, sehingga kebermaknaan dalam proses pembelajaran di kelas sekaligus membekali kecakapan hidup di luar kelas. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti melakukan penelitian dengan mengembangkan pembelajaran inkuiri dengan multipel representasi untuk meningkatkan kemampuan kognitif dan keterampilan berpikir kritis siswa SMA.

7 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang diajukan adalah bagaimana pengaruh pembelajaran inkuiri dengan multipel representasi terhadap kemampuan kognitif dan keterampilan berpikir kritis pada topik fluida statis? Adapun sub masalah dari penelitian ini adalah : 1. Bagaimana peningkatan kemampuan kognitif siswa kelas XI IPA pada topik fluida statis setelah menerapkan model pembelajaran inkuiri dengan pendekatan multipel representasi dibandingkan dengan penerapan pembelajaran konvensional? 2. Bagaimana peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa kelas XI IPA IPA pada topik fluida statis setelah menerapkan model pembelajaran inkuiri dengan pendekatan multipel representasi dibandingkan dengan penerapan pembelajaran konvensional? 3. Bagaimana respon siswa kelas XI IPA terhadap penerapan model pembelajaran inkuiri dengan pendekatan multipel representasi pada topik fluida statis? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan masalah dan latar belakang diatas maka tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh gambaran perbandingan peningkatan kemampuan kognitif dan keterampilan berpikir kritis siswa pada topik fluida statis antara siswa yang mendapatkan pembelajaran inkuiri dengan pendekatan multipel representasi dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional.

8 Selain itu diharapkan penelitian ini memperoleh gambaran mengenai respon siswa kelas XI IPA terhadap penerapan model pembelajaran inkuiri dengan pendekatan multipel representasi pada topik fluida statis. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini dijadikan bukti tentang potensi pembelajaran inkuiri dengan multipel representasi dalam meningkatkan kemampuan kognitif dan keterampilan berpikir kritis siswa yang nantinya dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak yang berkepentingan seperti guru, mahasiswa dan praktisi pendidikan. E. Definisi Operasional Variabel dalam penelitian ini adalah kemampuan kognitif siswa dan keterampilan berpikir kritis pada topik fluida statis. Dalam penelitian ini terdapat beberapa istilah yang seringkali dimunculkan seperti berikut ini : 1. Pembelajaran inkuiri dengan multipel representasi merupakan kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis dimana setiap tahapannya merepresentasi ulang konsep yang sama dengan format yang berbeda, termasuk dalam bentuk verbal, gambar, grafik, matematis. Sintaks model pembelajaran inkuiri yang digunakan dalam penelitian ini adalah penyajian masalah, mengajukan hipotesis, mengumpulkan data, menguji hipotesis dan membuat kesimpulan. Pada setiap tahapannya guru merepresentasikan konsep dalam format yang berbeda seperti gambar, grafik, matematis dan verbal. Proses pembelajaran inkuiri dengan multipel

9 representasi akan diamati keterlaksanaannya menggunakan lembar observasi sesuai dengan tahapan yang direncanakan. 2. Pembelajaran konvensional adalah model pembelajaran yang biasa digunakan oleh guru dengan langkah sebagai berikut penyajian masalah, mengajukan hipotesis, mengumpulkan data, menguji hipotesis dan membuat kesimpulan. 3. Berpikir kritis merupakan proses dan kemampuan yang dilibatkan dalam membuat keputusan secara rasional apa yang harus dilakukan dan dipercaya (Ennis, 1987). Indikator keterampilan berpikir kritis yang digunakan dalam penelitian ini diadaptasi dari Liliasari (1997), yaitu mendefinisikan materi subjek, memberikan alasan dari percobaan, menggunakan strategi logis, menentukan hal yang dilakukan secara tentatif, menjawab pertanyaan tentang fakta, melaporkan berdasarkan pengamatan, mengidentifikasi hal yang relevan, melibatkan sedikit dugaan berdasarkan peristiwa peristiwa, melaporkan generalisasi eksperimen. Keterampilan berpikir kritis siswa dijaring dengan menggunakan tes pilihan ganda yang memuat indikator - indikator keterampilan berpikir kritis setelah mendapatkan pembelajaran inkuiri dengan multipel representasi. 4. Kemampuan kognitif yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah kemampuan siswa pada tingkatan kognitif sebagaimana tercakup dalam taksonomi Bloom yang meliputi C2 (pemahaman), C3 (penerapan) dan C4 (analisis). Kemampuan kognitif dalam penelitian ini diukur dengan tes objektif beralasan yang dilakukan sebelum dan setelah pembelajaran. 5. Respon adalah tanggapan yang diberikan oleh siswa yang diperoleh dari jawaban angket setelah pemberian pembelajaran inkuiri dengan multipel

10 representasi. Angket yang diberikan menggunakan skala likert dengan pernyataan positif dimulai dengan 4 (Sangat setuju), 3 (setuju), 2 (tidak setuju), 1 (sangat tidak setuju). Pernyataan negatif dengan 4 (Sangat tidak setuju), 3 (tidak setuju), 2 (setuju), 1 (sangat setuju). Respon siswa dianalisis menggunakan persentase persetujuan siswa terhadap pembelajaran.